Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH Al-islam kemuhamadiyahan 1

Mawaris/Faraid

Dosen pengampu:Khairul Saleh,Spd Mpd


Disusun oleh :
Kelompok 10
1) Feri
2) Khoirum Rizky
3) Gian

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN JASMANI,KESEHATAN DAN


REKREASI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH MUARA BUNGO
TAHUN AJARAN
2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya,
seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah
membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Al-islam kemuhamadiyahan dengan
ini penulis mengangkat judul “Mawaris /faraid”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalam
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………..
………………………1

DAFTAR ISI……………..……..…………………………………..
………………………………………..2

BAB I PENDAHULUAN

1) Latar belakang……………………………………………………. .

………………………….3
2) Rumusan masalah…………………………………………………….
…………………………...3
3) Tujuan………………………………………………………………………..…………3
BAB II RUMUSAN MASALAH

1) Sumber warisan …………………………………………………………………………6


2) hukum membagi harta waris…………………………………………………………….9
3) Rukun mempusakai…………………………………………………………………….12 .

4) Hak waris dan yang menggugurkannya……………………….……………………….14


BAB III PENUTUP

1) Kesimpulan ………………………………………………….
………………………………………18
2) Saran ………………………………………………………………..……………..
………….19

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah warits adalah masalah yang paling penting dan selalu menjadi salah satu pokok
bahasan utama dalam hukum islam, karna hal ini selalu ada dalam setiap keluargadan masalah
warits ini rentan dengan konflik /masalah di masyarakat setiap pembagian yang di anggap
kurang adil atau ada pihak pihak yang merasa dirugikan. Oleh sebabb itu syari’at islam membuat
aturan yang begitu lengkap tentang masalah warits yang terdapat dalam Al-quran seperti (QS.
An-naml:16 dan an-nisa:7-12)

Secara teoritis orang yang beragama islam harus melakukan pembagian warisannnya
menurut agama islam, dan jika ada sengketa harys di lakukakan di depan sidang peradilan agama
sebagai mana kekuasaan/kewenangan peradilan yaitu berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di
bidang a.perkawinan,b,kewarisan,wasiat dan hibah yang dilakukan secara berdasarkan rukun
islam dan c.wakaf dan shadaqoh. Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud ayat 1 huruf b
ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli warits, dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut.

Lebih lanjut dan juga ditegaskan bahwa apabila terjadi sengketa tentang objek hak
milik dan bidang keperdataan lainnya. Haruslah terlebih dahulu di putus oleh lingkungan
peradailan umum, hal ini secara tegas di kemukakan dalm pasal 50 yang berbunyi sebagai
berikut:” dalam hal terjadi sengketa mengenai milik atau keperdataan lain dalam perkara-
perkara sebagai mana di maksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ilmu mawaris ?
2. Apa yang dimaksud dengan sebab-sebab kewarisan dan sebab-sebab terhalangnya ?
3. Apa yang dimaksud dengan metode pembagian harta warisan ?

C. Tujuan Masalah
1. Agar mengetahui ilmu mawaris ?
2. Agar mengetahui sebab-sebab kewarisan dan sebab-sebab terhalangnya?
3. Agar mengetahui metode pembagian harta warisan ?
BAB II

A.    SUMBER WARISAN

Kewarisan Islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau dasar sebagai penguat
hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber hukum kewarisan dalam Islam diantaranya
adalah, sebagai berikut

1. Dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an.

2. Dalil-dalil yang bersumber dari as-Sunnah

. 3. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma’ dan ijtihad para ulama’. Dasar hukum bagi kewarisan
adalah nash atau apa yang ada didalam alQur’an dan as-Sunnah. Ayat-ayat al-Qur’an yang
mengatur secara langsung tentang waris diantaranya adalah: a. Dalil-dalil yang bersumber dari
al-Qur’an:”Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak dan bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”

5 Garis hukum kewarisan pada ayat diatas (Q.S al-Nisa> : 7) adalah sebagai berikut: ‫يب‬ ِ َ‫لِل ِّر َجا ِل ن‬
ٌ ‫ص‬
‫ضا‬ ِ َ‫يب ِم َّما تَ َر َك ا ْل َوالِدَا ِن َواأل ْق َربُونَ ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ أَ ْو َكثُ َر ن‬
ً ‫صيبًا َم ْف ُرو‬ ٌ ‫ص‬ َ ِّ‫ِم َّما ت ََركَ ا ْل َوالِدَا ِن َواأل ْق َربُونَ َولِلن‬
ِ َ‫سا ِء ن‬

1) Bagi anak laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.

2) Bagi aqrabu>n (keluarga dekat) laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan aqrabu>n
(keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya).

3) Bagi anak perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.

4) Bagi aqrabu>n (keluarga dekat) perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan
aqrabu>n (keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya)

5) Ahli waris itu ada yang menerima warisan sedikit, dan ada pula yang banyak. Pembagian-
pembagian itu ditentukan oleh Allah SWT.

6 Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa ayat ke-7 surat al-Nisa taraka. Sesuai dengan sistem ilmu
hukum pada umumnya, dimana ditemui perincian nantinya maka perincian yang khusus itulah
yang mudah memperlakukannya dan yang akan diperlakukan dalam kasus-kasus yang akan
diselesaikan. selanjutnya surat al-Nisa ayat 8

‫ض َر ْالقِ ْس َمةَ أُولُو ْالقُرْ بَ ٰى َو ْاليَتَا َم ٰى َو ْال َم َسا ِكينُ فَارْ ُزقُوهُ ْم ِم ْنهُ َوقُولُوا لَهُ ْم قَوْ اًل َم ْعرُوفًا‬
َ ‫َوإِ َذا َح‬

Artinya: ”dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka
berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
SURAT AN-NISA AYAT 11
ۚ ُ‫َت ٰ َو ِح َدةً فَلَهَا ٱلنِّصْ ف‬ ْ ‫ك ۖ َوإِن َكان‬ َ ‫ق ْٱثنَتَ ْي ِن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما ت ََر‬ َ ْ‫ُوصي ُك ُم ٱهَّلل ُ فِ ٓى أَوْ ٰلَ ِد ُك ْم ۖ لِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ ٱأْل ُنثَيَ ْي ِن ۚ فَإِن ُك َّن نِ َسٓا ًء فَو‬
ِ ‫ي‬
ُ َ ٌ ْ َ َ ُ ُ ُّ ُ َ َ َ َ َّ ُ َّ َ
‫ك إِن َكانَ لهۥُ َول ٌد ۚ فإِن ل ْم يَكن لهۥُ َول ٌد َو َو ِرث ٓۥهُ أبَ َواهُ فأِل ِّم ِه ٱلثلث ۚ فإِن َكانَ ل ٓۥهُ إِخ َوة فأِل ِّم ِه‬ َ َ َ ‫وَأِل َبَ َو ْي ِه لِك ِّل َو ِح ٍد ِّمنهُ َما ٱل ُّس ُدسُ ِم َّما ت ََر‬
ْ ٰ ُ
‫ضةً ِّمنَ ٱهَّلل ِ ۗ إِ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلِي ًما‬ َ ‫صى بِهَٓا أَوْ َد ْي ٍن ۗ َءابَٓا ُؤ ُك ْم َوأَ ْبنَٓا ُؤ ُك ْم اَل تَ ْدرُونَ أَيُّهُ ْم أَ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۚ فَ ِري‬ ِ ‫صيَّ ٍة يُو‬ ِ ‫ٱل ُّس ُدسُ ۚ ِم ۢن بَ ْع ِد َو‬
‫َح ِكي ًما‬

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. (An-Nisa' 4:11)

·         Al – Qur’an Surat An – Nisa ayat 176, yang artinya:

Mereka meminta fatwa kepadamu [tentang kalalah]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah [yaitu]: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka
[ahli waris itu terdiri dari] saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. 

2.      Sumber Hukum Waris yang berasal dari Al – Hadist yaitu:

·         Hadist yang artinya “Allah telah menurunkan hukum waris bagi saudara-saudaramu yang
perempuan itu dan alloh telah menerangkan bahwa mereka mendapat bagian dua pertiga dari
hartamu” 
·         Hadist yang artinya “bagi yang membunuh tidak mendapatkan hak waris atau bagian harta
warisan”(HR.An nasai)

·         Hadist yang artinya “seorang muslim tidak berhak mendapat bagian harta warisan dari seorang
kafir,dan sebaliknya seorang kafir tidak berhak mandapat bagian harta warisan dari seorang
muslim” (HR.jamaah ahlu hadist)  

·         Dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Berikanlah faraidh (bagian-bagian yang
telah ditentukan) kepada yang berhak, dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan
laki-laki yang terdekat." (HR Bukhari dan Muslim). 
Dari Jabir bin Abdullah RA, dia berkata: Janda (dari Sa'ad RA)
datang kepada Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuannya.Lalu ia berkata: "Wahai
Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa'ad yang telah syahid pada Perang Uhud. Paman
mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk
mereka. Keduanya tidak dapat kawin tanpa harta." Nabi SAW bersabda: "Allah akan
menetapkan hukum dalam kejadian ini." Kemudian turun ayat-ayat tentang warisan. Nabi SAW
memanggil si paman dan berkata: "Berikan dua pertiga untuk dua orang anak Sa'ad,
seperdelapan untuk isteri Sa'ad, dan selebihnya ambil untukmu." (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu
Majah, dan Ahmad)

·         Dari Huzail bin Surahbil RA, dia berkata: Abu Musa RA ditanya tentang kasus kewarisan
seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, dan seorang saudara perempuan.
Abu Musa RA berkata: "Untuk anak perempuan setengah, untuk saudara perempuan setengah.
Datanglah kepada Ibnu Mas'ud RA, tentu dia akan mengatakan seperti itu pula." Kemudian
ditanyakan kepada Ibnu Mas'ud RA dan dia menjawab: "Saya menetapkan berdasarkan apa yang
telah ditetapkan oleh Nabi SAW. Yaitu untuk anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan
seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, sisanya untuk saudara perempuan." (HR Bukhari, Abu
Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

·         Mughirah bin Syu'bah RA berkata: "Saya pernah menghadiri majelis Nabi SAW yang
memberikan hak nenek sebanyak seperenam." Abu Bakar RA berkata: "Apakah ada orang lain
selain kamu yang mengetahuinya?" Muhammad bin Maslamah RA berdiri dan berkata seperti
yang dikatakan Mughirah RA. Maka akhirnya Abu Bakar RA memberikan hak warisan nenek
itu." (HR Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah) Demikianlah beberapa hadits Nabi SAW yang
dapat dijadikan sebagai pelengkap sumber hukum waris Islam setelah Al-Qur’an.
B. Hukum membagi harta waris
Sumber utama dalam hukum Waris Islam adalah Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 11, 12, dan 176.
hukum Waris Islam atau ilmu faraidh adalah ilmu yang diketahui. siapa yang berhak mendapat
waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.[5]
Ilmu Faraidh termasuk ilmu yang paling mulia tingkat bahayanya, paling tinggi kedudukannya,
paling besar ganjarannya, oleh karena pentingnya, bahkan sampai Allah sendiri yang
menentukan takarannya, Dia terangkan jatah harta warisan yang didapat oleh setiap ahli waris,
dijabarkan kebanyakannya dalam beberapa ayat yang jelas, karena harta dan pembagiannya
merupakan sumber ketamakan bagi manusia, sebagian besar dari harta warisan adalah untuk pria
dan wanita, besar dan kecil, mereka yang lemah dan kuat, sehingga tidak terdapat padanya
kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu.[6]
Dzawil Furudl
Dzawil Furudl adalah anggota keluarga yang memiliki hak atas harta peninggalan seorang yang
meninggal dunia,[7] yaitu:

 Laki-laki:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. Ayah
4. Kakek / ayahnya ayah
5. Saudara kandung
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki
7. Suami
8. Paman
9. Anak dari paman
10. Laki-laki yang memerdekakan budak
 Perempuan:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Ibu
4. Nenek
5. Saudari kandung
6. Istri
7. Wanita yang memerdekakan budak
Penggolongan Ahli Waris
Terdapat tiga golongan ahli waris menurut ajaran bilateral:
Dzul faraa-idh (biasa disebut juga sebagai ashabul furudh atau dzawil furudh
Dzul faraa-idh ialah ahli waris yang telah mendapat bagian pasti, yang bagian-bagian tersebut
telah ditentukan dalam Alquran surat An-Nisa, atau sebagaimana pula telah disebutkan dalam
Kompilasi Hukum Islam bab ketiga, yang di antaranya:
1. anak perempuan yang tidak didampingi laki-laki
2. ibu
3. bapak dalam hal ada anak
4. duda
5. janda
6. saudara laki-laki dalam hal kalaalah
7. saudara, laki-laki dan perempuan bergabung bersyirkah dalam hal kalaalah
8. saudara perempuan dalam hal kalaalah
Dzul qarabat atau ashabah
Dzul qarabat ialah ahli waris yang mendapat bagian sisa atau tidak ditentukan, di antaranya:

1. anak laki-laki
2. anak perempuan yang didampingi laki-laki
3. bapak
4. saudara laki-laki dalam hal kalaalah
5. saudara perempuan yang didampingi saudara laki-laki dalam hal kalaalah
Mawali
Mawali adalah ahli waris pengganti yang menggantikan seseorang untuk memeroleh bagian
warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu. Mawali ialah keturunan anak
pewaris, keturunan saudara pewaris, atau keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian
mewaris (misalnya wasiat) dengan pewaris.

Pembagian
 Setengah
Anak perempuan, Cucu perempuan dari anak laki-laki, Saudari seayah Ibu, Saudari
seayah dan Suami jika tanpa anak.
 Seperempat
Suami bersama anak atau cucu, Istri tanpa anak atau cucu dari anak laki-laki.
 Seperdelapan
Istri bersama Anak atau cucu dari anak laki-laki
 Sepertiga
Ibu tanpa ada anak, Saudari seibu 2 orang atau lebih.
 Duapertiga
Anak perempuan, Cucu perempuan dari anak laki-laki, Saudari seayah ibu, Saudari
seayah
 Seperenam
Ibu bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, Nenek, Saudari seayah bersama Saudari
seayah ibu, Ayah bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, Kakek.
Hukum Waris Perdata
Hukum waris dalam ilmu hukum merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pengaturan mengenai hukum waris tersebut dapat
dijumpai dalam pasal 830 sampai dengan pasal 1130 KUH Perdata. Meski demikian, pengertian
mengenai hukum waris itu sendiri tidak dapat dijumpai pada bunyi pasal-pasal yang
mengaturnya dalam KUH Perdata tersebut. Untuk mengetahui pengertian mengenai hukum waris
selanjutnya kita akan coba menilik beberapa pengertian mengenai hukum waris yang diberikan
oleh para ahli, sebagai berikut:
Hukum waris menurut Vollmar merupakan perpindahan harta kekayaan secara utuh, yang berarti
peralihan seluruh hak dan kewajiban orang yang memberikan warisan atau yang mewariskan
kepada orang yang menerima warisan atau ahli waris.
Hukum waris menurut Pitlo adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai
kekayaan karena meninggalnya seseorang.
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai
kedudukan harta dan kekayaan seseorang setelah meninggal dunia dan mengatur mengenai cara-
cara berpindahnya harta kekayaan tersebut kepada orang lain.
Selain beberapa pengertian tersebut di atas, pengertian mengenai hukum waris juga dapat dilihat
dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, dalam pasal 171 disebutkan bahwa:
Hukum Waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan atas harta
peninggalan pewaris kemudian menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
menentukan berapa bagian masing-masing.

C.    RUKUN MEMPUSAKAI
Pusaka-mempusakai itu mempunyai 3 rukun, yakni:

·            Mauruts,

·            Muwarrits,

·            Warits,

a.   TA’RIF TIRKAH

Tirkah ialah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan
oleh syariat untuk dipusakai oleh para ahli waris. Apa yang i tinggalkan oleh orang yang
meninggal dunia harus diartikan sedemikian luas agar dapat mencakup kepada:

·            Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai kebendaan.

·            Hak-hak kebendaan.

·            Hak-hak yang bukan kebendaan,

·            Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.

b.  HAK-HAK YANG BERSANGKUTAN DENGAN HARTA PENINGGALAN.

III.1.2   Biaya-biaya perawatan (Tajhiz)

·      Biaya-biaya perawatan bagi kerabat yang menjadi tanggungannya.

menurut

As-Syafi’iyah, Abu Yusyf dan kitab UU Ahmad bin Hambal, Malikiyah


Hukum Warisan Mesir Al Hasan dan As-
syabi:

1.      Kerabat-kerabat yang fakir 1.      Kerabat-kerabat yang Budak.


fakir.
2.      Budak
2.      Budak
3.      Istri, baik kaya maupun fakir

III.1.3   HUTANG-HUTANG
Ibnu Hazim dan Hanafiyah Malikiyah Hanabilah
syafi’iyah

1.      Dainullah 1.      D. Ainiyah harus


1.      D. Ainiyah harus Diprosentasikan
didahulukan daripada didahulukan daripada antara dainullah
tajhiz. tajhiz. dan dainul ibad,
dan dainul
ainiyah harus
didahulukan
daripada dainul
2.      D. Shihhah, 2.      D. Shihhah/D.maradh. muthlaqah.

3.      D. Maradh 3.      Dainullah yang ada


saksinya.
4.      Dainullah yang
terbaru/diwasiatkan.
2.      D. Ainiyah

3.      D. Sihhah/
D.Maradh

                                                                                    Ket. D = Dain = Hutang

III.2  WASHIYAT

·            Ta’rif washiat

·            Sumber-sumber Hukum washiyat ( Al-Kitab, As-Sunnah, Al- Ijma, Al-Ma’qul ).

·            Hukum washiyat

III.3  Kitab Undang-undang Hukum Washiyat Mesir

Pada fasal : 17,melarang memberikan washiyat kepada pembunuh yang melakukan


pembunuhan dengan sengaja. Termasuk dalam kriteria pembunuh karna udzur ialah
pembunuh karena noodweerexces (pembelaan diri karena terpaksa).

III.4  Washiyat Wijabah 

III.4.1   0rang-orang yang berhak mendapat washiyat wijabah


Berdasarkan pendapat djuhurul-fuqaha’mewasiatkan sebagian harta benda kepada
seseorang keluarga,dekat maupun jauh,tidak diwajibkan oleh syariat. Kecuali bagi orang
yang mempunyai tanggungan hak dengan orang lain yang tidak dapat diketahui selain oleh
dia sendiri atau mempunyai amanat amanat yang tidak diketahui orang (saksi).

D. hak waris dan yang menggugurkannya


a. Adanya Pertalian Kerabat

Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi
yang disebabkan oleh kelahiran. Pertalian kerabat yang menyebabkan seorang ahli waris dapat
menerima warisan adalah lakilaki yang memiliki  kekuatan untuk membela, melindungi, dan
memelihara qabalah (persukuan) atau sekurang-kurangnya keluarga mereka.Persyaratan ini
mengakibatkan anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan tidak dapat menerima
pusaka. Pantangan menerima pusaka bagi kedua golongan ini  karena dianggap tidak sanggup
melakukan tugas-tugas peperangan dan lebih dari itu mereka dipandang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum. Oleh karena itu, para ahli waris jahiliah dari golongan kerabat semuanya
terdiri atas: (a) anak laki-laki, (b) saudara laki-laki, (c) paman, (d) anak-anak yang semuanya
harus dewasa, dan (e) anak laki-laki paman. Apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki
yang sudah besar, maka harta peninggalannya jatuh kepada saudara laki-lakinya yang sanggup
berperang. Satu hal lain yang aneh ialah bahwa yang diwariskan itu tidak hanya harta
peninggalan saja, tetapi juga isterinya, asalkan saja istri itu bukan ibu kandung yang mewarisi.
Mereka juga memberi warisan kepada anak yang lahir di luar pernikahan.

b. Adanya Janji Ikatan Prasetia

Janji prasetia adalah dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan
kehormatan mereka. Tujuan ini tidak mungkin terealisasi apabila pihak-pihak yang berjanji
adalah anak-anak yang belum dewasa, apalagi kaum wanita. Adapun isi janji prasetia tersebut
adalah: “Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganku
perjuanganmu, perangku perangmu damaiku damaimu, kamu mewarisi hartamu aku mewarisi
hartamu, kamu dituntut darahmu karena aku dan aku dituntut darahku karena kamu, dan
diwajibkan membayar denda sebagai ganti nyawaku, aku pun diwajibkan membayar denda
sebagai pengganti nyawamu”. Konsekuensi janji setia itu adalah jika salah satu pihak meninggal
dunia, maka pihak lain yang masih hidup berhak mempusakai harta peninggalan partner-nya
sebanyak 1/6 bagian harta peninggalannya. Adapun sisa harta setelah dikurangi  1/6 dibagikan
kepada ahli warisnya.
c. Adanya Pengangkatan Anak

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pewarisan atas pertalian kerabat, pewarisan atas
dasar ikatan janji prasetia, dan pewarisan atas dasar pengangkatan anak, disyaratkan harus laki-
laki yang sudah dewasa (kuat). Adapun tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia dan
pengangkatan anak adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga
dan kehormatan mereka serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan mereka. Hal itu
tidak akan terealisasikan jika masih anak-anak atau perempuan.Sebelum diangkat menjadi Rasul,
Nabi Muhammad saw mengangkat Zaid Ibn Haritsah menjadi anak angkatnya dan dikatakanlah
Zaid bin Muhammad. Beliau mengangkat  Zaid ini sebagai anaknya, sesudah Zaid
dimerdekakan. Abu Hutzaifah Ibn ‘Utbah mengangkat Salim menjadi anaknya dan dikatakanlah:
Salim ibn Abu Huzaifah.16 Keadaan ini berlaku hingga turun surat al-Ahza>b dibawah ini:
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka
(panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada
dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Ayat ini
menegaskan bahwa, Nabi Muhammad saw bukanlah ayah dari seorang anak angkat (Zaid) dan
anak-anak angkat tidaklah dapat dianggap sebagai anak sendiri, serta anak-anak angkat itu
haruslah dibangsakan kepada ayah mereka sendiri.

D. Sebab-sebab Menerima Warisan Menerima warisan merupakan perbuatan pengalihan hak dan
kewajiban, dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya

1. Perkawinan (‫ (الزوجیة‬Perkawinan yang menjadi sebab menerima warisan tersebut disyaratkan


harus menjadi akad yang sah menurut syariat,35 walaupun dalam perkawinan tersebut belum
terjadi khalwat (tinggal berduaan), dan ikatan perkawinan tersebut masih utuh atau hanya
anggapan Jadi perkawinan yang fasid atau yang bat}il tidak menjadi sebab penerima warisan.
Adapun yang menjadi dasar sebab dapat menerima warisan adalah firman Allah swt dalam al-
Qur’an: “Dan bagimu (suamisuami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak, jika kamu mempunyai anak maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau sesudah dibayar hutanghutangmu”.

2. Kekerabatan (‫ (الترابة‬Kekerabatan merupakan sebab menerima warisan karena kelahiran, suatu


unsur kausalitas adanya seorang yang tidak dapat dihilangkan, baik untuk anak turun (cabang)
dari si mayit (furu>’ul mayyit), leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si mayit (ush}u>lul
mayyit), atau keluarga yang dihubungkan dengan si mayyit melalui garis menyamping (al-
hawas{yi). Mereka yang memiliki kekerabatan dengan si mayyit, sebagai sebab dalam menerima
harta peninggalan, adalah ayah dan ibu si mayyit, anak-anak, dan orang-orang yang bernasab
kepada mereka. Adapun yang menjadi dasar sebab dapat menerima warisan adalah firman Allah
swt: “Orang-orang yang mempunyai kekerabatan itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya .

3. Wala’ (‫ (الوالء‬Wala’ secara bahasa adalah penolong atau pertolongan, biasanya ditujukan untuk
menunjukkan kekerabatan. Menurut istilah syariat, wala’ adalah hubungan kekerabatan menurut
hukum sebagaimana ditetapkan oleh syariat antara mu’tiq (yang membebaskan) dan mu’taq
(yang dibebaskan) atau yang muncul antara seseorang dan yang lain disebabkan oleh akan
muwalah dan sumpah. Jadi, kekerabatan itu ada dua macam. Pertama, kekerabatan yang
disebabkan oleh hubungan nasab yang sesungguhnya. Dia mempunyai hubungan peranakan, per-
ayah-an, persaudaraan, dan perpamanan. Kedua, hubungan kekerabatan yang disebabkan oleh
hukum, seperti wala’ al-muwalah dan wala’ perbudakan.

E. pengguguran warisan

Halangan untuk menerima warisan atau disebut mawani ‘al-irs adalah halhal yang menyebabkan
gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan almuwarris. Adapun
hal-hal yang dapat menghalangi tersebut, yang disepakati ulama ada tiga, yaitu: perbudakan,
pembunuhan, dan berlainan agama. Adapun yang tidak disepakati ulama adalah berlainan
negara.

a. Perbudakan

Seorang budak, sekalipun budak mukattab, tidak dapat mewarisi dan mewariskan harta
peninggalan dari dan kepada ahli warisnya. Ia tidak dapat mewarisi karena dipandang tidak
cakap mengurusi harta-harta milik, dan status kekeluargaanya terputus dengan ahli warisnya, ia
tidak dapat mewariskan harta peninggalan karena ia dianggap orang yang tidak memiliki harta
sedkit pun.

b. Pembunuhan

Jumhur fuqaha telah sepakat dalam menetapkan pembunuhan sebagai penghalang pewarisan.
Hanya Fuqaha dari golongan Khawarij yang mengingkarinya.Pembunuhan yang telah disepakati
sebagai penghalang kewarisan adalah pembunuhan yang disengaja dan disertai permusuhan.
Sedangkan selainnya masih diperselisihkan oleh para ulama. Menurut Malikiyah, pembunuhan
yang menjadi penghalang pewarisan hanyalah pembunuhan dengan sengaja, mirip sengaja, dan
tak langsung. Menurut Hanafiyah, pembunuhan yang menjadi penghalang pewarisan adalah
pembunuhan langsung, sedangkan pembunuhan tidak langsung, bukan penghalang untuk
mewarisi.44 Menurut Hanabilah, disamping pembunuhan-pembunuhan yang telah disebutkan,
pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak cakap bertindak (ghairu mukallaf) pun
termasuk di dalamnya. Sedangkan menurut Syafi’iyah, seluruh pembunuhan, termasuk
pembunuhan karena udzur, secara mutlak .

c. Perbedaan Agama

Adapun yang dimaksud dengan perbedaan agama adalah berlainannya agama orang yang
menjadi pewaris dengan orang yang manjadi ahli waris. Mengenai kedudukan perbedaan agama
sebagai pengahalang pewarisan, para ulama telah sepakat (ijma’). Hal ini dikarenakan hadis
Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. “Tidak ada saling mewarisi bagi
dua agama dengan suatu apapun, Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir,
dan tidak berhak pula orang kafir mewarisi harta seorang muslim” Selain perbudakan,
pembunuhan, berlainan agama dan berlainan negara, ada yang berpendapat bahwa hal-hal yang
dapat menghalangi seseorang untuk menerima warisan adalah karena murtad dan hilang tanpa
berita.Murtad menjadi penghalang menerima warisanberdasarkan hadis Rasulullah yang
diriwayatkan oleh Abu Bardah yang menceritakan bahwa “saya telah diutus oleh Rasulullah saw,
kepada seseorang laki-laki yang kawin dengan istri bapaknya, Rasulullah saw, menyuruh supaya
dibunuh laki-laki tersebut dan membagi hartanya sebagai harta rampasan karena ia murtad
(berpaling dari agama Allah).” Adapun hilang tanpa berita dan tidak tentu di mana alamat dan
tempat tinggalnya selama empat tahun atau lebih, maka orang tersebut dihukumi mati—dengan
putusan hakim—serta dengan sendirinya tidak dapat menerima warisan (‫مفقود‬.)
BAB III
PENUTUP
1) KESIMPULAN

Dengan penjelasan-penjelasan mengenai hukum waris di atas, maka dapat di


simpukan bahwa :

 Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli
waris yang masih hidup.
 Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
(Pasal 171 huruf a KHI).
 Ahli waris adalah orang-orang mendapatkan hak memperoleh harta peninggalan orang
yang telah meninggal yang masih mempunyai hubungan darah.
 Bagian-bagian yang di peroleh ahli waris telah di tetapkan dalam Al-Qur’an, sehingga
tidak ada kata tidak adil karena Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT. Yang di jamin
kebenarannya.
 Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di
dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
 Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
 Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan
sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di
pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
 Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
 Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta penginggalan
si mayat.
 Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah seseorang
meninggal dunia dan hukum wasiat adalah sunnah.
 
2) SARAN

Rasululloh SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh rodliallohu


‘anhu, yaitu :
“Diriwatkan dari Abu Hurairoh rodliallohu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda “pelajarilah oleh kalian ilmu faro’id, karena sesungguhnya ilmu faro’id itu
sebagian dari agama kalian dan setengah dari seluruh ilmu. Dan sesungguhnya ilmu
faro’id itu ilmu yang mula-mula akan di cabut dari umatku”.”
Dari hadist tersebut dapat di peroleh kesimpulan bahawa ilmu faraid atau yang biasa di
kenal dengan ilmu pembagian harata waris ini sangat penting untuk di pelajari. Oleh karena itu
pengenalan dan pemahaman ilmu faraid harus lebih di tingkatkan lagi.
 Mempelajari ilmu ini juga untuk mengetahui dengan jelas orang-orang yang berhak
menerima warisan sehingga terhindar dari perselisihan dan perebutan harta penginggalan
yang meninggal.
 Mengajarkan ilmu faraid(ilmu pembagian harta waris) memang tidak mudah, metode
pengajaran yang kreatif dan inovatif sangat di perlukan kerena tidak dapat di pungkiri
bahwa ilmu faraidh sudah mulai tidak di gunakan lagi, padahal ilmu faraidh telah di
jelaskan d Al-Qur’an yang di jamin kebenarannya. Metode pengajaran yang dapat di
lakukan adalah dengan menerapkannya langsung pada kisah nyata kehidupan sehari-hari
orang-orang dalam suatu masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
https://sayyidahchalimah07.wordpress.com/2014/06/22/makalah-hukum-waris/

http://1st-iqomah.blogspot.com/2012/02/ilmu-faroidh-ilmu-yang-pertama-kali.html

http://kobonksepuh.wordpress.com/2013/01/30/pentingnya-mempelajari-ilmu-faraidh/

Muhammad Ali ash-Sahabuni, Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah ‘Ala Dhau’ Al- Kitab wa
Sunnah.  Terj. A.M. Basalamah “ Pembagian Waris Menurut Islam”, Jakarta: Gema Insani
Press, 1995, hlm. 33

Anda mungkin juga menyukai