Anda di halaman 1dari 10

PROBLEMATIKA PENERAPAN WARIS DALAM HUKUM ISLAM

Oleh:
Nurazki Aslamiah
1203010105

Dosen pengampu mata kuliah Tafsir Ahkam Hukum Keluarga:


Prof. Dr. H. Ah. Fathonih, M.Ag.
Dr. Imam Sucipto, S.Sy., M.Ag.

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung


e-mail: nurazkiaslamiah@gmail.com

A. PENDAHULUAN
Pada dasarnya manusia melalui tiga tahapan kehidupan yaitu lahir, hidup dan mati. Semua
tahapan tersebut memiliki akibat bagi lingkungannya, terutama orang-orang yang dekat
dengannya. Dekat dalam arti silsilah maupun dalam arti lingkungan. Kematiannya menyebabkan
munculnya cabang fikih yang dikenal dalam hukum Islam sebagai Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris
atau Faraid. Hukum waris adalah hukum yang mengatur/menyelesaikan tentang pemindahan harta
benda seseorang yang meninggal kepada pihak yang ditinggalkan berupa hak dan kewajiban.
Keberadaan hukum waris Islam merupakan bentuk Islam untuk menjaga warisan Islam.
Selain itu, hukum waris Islam berkaitan dengan perintah Allah yang ada di dalam Al-Qur'an
untuk tidak meninggalkan ahli waris dalam keadaan lemah. Amalan atau melaksanakannya itu
wajib dan mempelajarinya adalah kewajiban bersama (fardlu kifayah).
Pada dasarnya, hukum waris mengatur mengenai berakhirnya harta benda/kepemilikan
seseorang setelah meninggal untuk diberikan kepada ahli warisnya. Ruang lingkup masalah ini
menyangkut penyelesaian harta warisan, termasuk hak dan kewajiban almarhum kepada ahli
waris. Dalam pembagian harta warisan ditentukan siapa ahli warisnya, siapa yang berhak atas
bagian harta peninggalan, berapa bagian masing-masing, aturan cara pembagiannya, dan beragam
hal yang bertautan dengan pembagian harta warisan.
Saat ini, penerapan hukum waris Islam sebagian besar tidak sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan oleh Allah dalam nash-Nya yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Hal ini karena terdapat banyak
masalah atau alasan yang mengakibatkan hal ini terjadi. Salah satu yang menjadi penyebabnya
adalah karena manusia tidak memperhatikan pentingnya penerapan warisan, maka ilmu pada
akhirnya akan terlupakan. Penerapan hukum waris Islam memang harus dilakukan sesuai aturan.
Pentingnya ilmu faraid membutuhkan pengetahuan yang khusus tentang penerapan waris. Untuk
benar-benar memahaminya, Allah swt juga memberikan dampak, Allah telah menjanjikan pahala
di surga dan neraka bagi para pelaksananya.
Dengan latar belakang di atas, sangat menarik untuk mengkaji lebih jauh penerapan hukum
waris Islam. Untuk kajian yang lebih mendalam, sub pertanyaan yang menjadi pokok pembahasan
adalah sejauh mana penerapan hukum waris Islam, dan apa saja hambatan yang menghambat
penerapan hukum waris Islam ini.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Hukum waris dalam ajaran Islam disebut dengan istilah “Farāid”. Para ulama fiqh
memberikan definisi ilmu Farāid, yaitu; (1) Penetapan bagian untuk ahli waris; (2) ketentuan
tentang bagian warisan yang ditentukan oleh hukum Islam; (3) Ilmu fiqih yang berkaitan dengan
pembagian harta warisan, serta mengetahui perhitungan dan tingkat harta warisan yang harus
dimiliki oleh orang yang berhak. Jadi yang dimaksud dengan hukum waris Islam adalah
perpindahan hak milik dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang sah dan
juga telah ditentukan jumlahnya, baik berupa harta benda (uang), atau tanah atau apapun yang
berupa hak milik menurut syariat Islam.
Hukum waris di dalam ajaran Islam disebut dengan “faraid”. Para ulama fiqh telah
memberikan pengertian mengenai ilmu faraid, yaitu: (1) Penetapan mengenai bagian ahli waris;
(2) Pengaturan pembagian harta warisan menurut hukum Syariah; (3) Fiqih yang berkaitan
dengan pembagian harta warisan, dan pengetahuan tentang warisan yang harus dimiliki oleh
pemegang hak. Jadi hukum waris Islam berarti berpindahnya hak atas harta benda dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang sah dan jumlahnya juga telah ditentukan, baik berupa harta
(uang), atau tanah atau apapun yang berupa harta menurut hukum Islam.
2. Dasar Hukum
Ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Nabi yang mengatur mengenai warisan antara lain sebagai
berikut:
QS. An-Nisa ayat 11:
‫ُيْو ِص ْيُك ُم ُهّٰللا ِفْٓي َاْو اَل ِد ُك ْم ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُاْلْنَثَيْيِن ۚ َفِاْن ُك َّن ِنَس ۤا ًء َفْو َق اْثَنَتْيِن َفَلُهَّن ُثُلَثا َم ا َتَر َك ۚ َو ِاْن َكاَنْت‬
‫َو اِح َد ًة َفَلَها الِّنْص ُف ۗ َو َاِلَبَو ْيِه ِلُك ِّل َو اِح ٍد ِّم ْنُهَم ا الُّسُد ُس ِمَّم ا َتَر َك ِاْن َك اَن َلٗه َو َلٌد ۚ َفِاْن َّلْم َيُك ْن َّلٗه َو َلٌد َّو َو ِرَثٓٗه َاَبٰو ُه‬
‫َفُاِلِّمِه الُّثُلُث ۚ َفِاْن َك اَن َلٓٗه ِاْخ َو ٌة َفُاِلِّمِه الُّسُد ُس ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ِصْي ِبَهٓا َاْو َد ْيٍن ۗ ٰا َبۤا ُؤ ُك ْم َو َاْبَنۤا ُؤ ُك ْۚم اَل َتْد ُرْو َن َاُّيُهْم‬
‫َاْقَر ُب َلُك ْم َنْفًعاۗ َفِرْيَض ًة ِّم َن ِهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َك اَن َع ِلْيًم ا َحِكْيًم ا‬

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-


anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia
memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-
masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika
dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat
yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
QS. An-nisa ayat 12:

‫َو َلُك ْم ِنْص ُف َم ا َتَر َك َاْز َو اُج ُك ْم ِاْن َّلْم َيُك ْن َّلُهَّن َو َلٌد ۚ َفِاْن َك اَن َلُهَّن َو َلٌد َفَلُك ُم الُّر ُبُع ِمَّم ا َتَر ْك َن ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة‬
‫ُّيْو ِص ْيَن ِبَهٓا َاْو َد ْيٍن ۗ َو َلُهَّن الُّر ُبُع ِمَّم ا َتَر ْك ُتْم ِاْن َّلْم َيُك ْن َّلُك ْم َو َلٌد ۚ َفِاْن َك اَن َلُك ْم َو َلٌد َفَلُهَّن الُّثُم ُن ِمَّم ا َتَر ْكُتْم ِّم ْۢن َبْع ِد‬
‫َو ِص َّيٍة ُتْو ُصْو َن ِبَهٓا َاْو َد ْيٍن ۗ َو ِاْن َك اَن َر ُجٌل ُّيْو َر ُث َك ٰل َلًة َاِو اْمَر َاٌة َّو َلٓٗه َاٌخ َاْو ُاْخ ٌت َفِلُك ِّل َو اِح ٍد ِّم ْنُهَم ا الُّسُد ُۚس َفِاْن‬
‫َك اُنْٓو ا َاْكَثَر ِم ْن ٰذ ِلَك َفُهْم ُش َر َك ۤا ُء ِفى الُّثُلِث ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ٰص ى ِبَهٓا َاْو َد ْيٍۙن َغْيَر ُمَض ۤا ٍّر ۚ َو ِص َّيًة ِّم َن ِهّٰللاۗ َو ُهّٰللا‬
‫َع ِلْيٌم َح ِلْيٌۗم‬

“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat
atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu
buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi
wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada
ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.”
QS. An-Nisa ayat 176:

‫َيْسَتْفُتْو َنَۗك ُقِل ُهّٰللا ُيْفِتْيُك ْم ِفى اْلَك ٰل َلِةۗ ِاِن اْم ُر ٌؤ ا َهَلَك َلْيَس َلٗه َو َلٌد َّو َلٓٗه ُاْخ ٌت َفَلَها ِنْص ُف َم ا َتَر َۚك َو ُهَو َيِرُثَهٓا ِاْن َّلْم‬
‫َيُك ْن َّلَها َو َلٌد ۚ َفِاْن َك اَنَتا اْثَنَتْيِن َفَلُهَم ا الُّثُلٰث ِن ِمَّم ا َتَر َك ۗ َو ِاْن َك اُنْٓو ا ِاْخ َو ًة ِّر َج ااًل َّوِنَس ۤا ًء َفِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُاْلْنَثَيْيِۗن ُيَبِّيُن‬
‫ُهّٰللا َلُك ْم َاْن َتِض ُّلْو اۗ َو ُهّٰللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِلْيٌم‬
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi
mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan),
jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Di dalam hukum waris, Allah SWT telah menjelaskan rincian pembagian dengan mengacu
pada kuantitas dan ketegasan. Sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa ayat 11, tentang
pembagian anak laki-laki dan anak perempuan. Di dalam ayat 11 ini, dimulai dengan firman
Allah SWT, ‫ ‚ يوصيكم هللا‬Allah telah menetapkan (mewajibkan) bagimu, adalah Allah
menetapkan kepada kalian, ‫ ‚فى أولد كم للذكز مثل حظ األوثييه‬tentang (pembagian warisan untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempaun. Allah berfirman, Allah memerintahkan kepada kalian jika salah seorang di antara
kalian meninggal dengan meninggalkan anak laki-laki dan perempaun, maka semua anak
laki-laki dan perempuan memiliki hak untuk menerima harta warisan. Bagian anak laki-laki
sama dengan bagian dua anak perempuan.
Akhir ayat 11, Allah SWT telah menegaskan ‫‚ فز يضت‬Ini adalah ketetapan. Lafaz ini di-
nashab sebagai mashdar penguat, sehingga maknanya ‫ يوصيكم‬yaitu ditetapkan atas kalian.
Allah SWT telah menjelaskan bahwa seseorang tidak melakukan ijtihad di dalam penentuan
warisan karena Allah telah menjelaskan bagian-bagiannya secara syar’i.
Di akhir ayat 176, Allah SWT berfirman ‫ ‚ يبيه هللا لكم أن تضلوا‬Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Masudnya adalah, Allah telah menjelaskan
kepada umat muskim tentang pembagian hukum warisan, serta bagaimana ketentuan-
ketentuannya mengenai perkara kewarisan dan pembagiannya. Artinya, agar manusia tidak
menyalahgunakan hak tersebut dan tidak melakukan kesalahan dalam menetapkan pembagian
hukum warisan itu, karena bisa membuat siapapun yang melakukan kesalahan itu kehilangan
petunjuk jalan menuju kebenaran.
Lalu terdapat hadis dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َأْلِح ُقوا اْلَفَر اِئَض ِبَأْهِلَها َفَم ا َبِقَي‬: ‫َع ِن اْبِن َعَّباٍس َرِض َي ُهَّللا َع ْنُهَم ا َقاَل‬
‫َفُهَو َأِلْو َلى َر ُجل َذ َك ٍر‬
Ibnu Abbas r.a, dari Rasulullah saw bersabda: “Berikanlah bagian faraidh (warisan yang telah
ditetapkan) kepada yang berhak, maka yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling dekat
(nasabnya).” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Ketentuan Waris Dalam Islam
Ketentuan waris bersumber dari struktur dasar yang telah ditetapkan dalam hukum Islam,
yaitu Al-Qur'an, Hadits dan Ijtihad Ulama yang telah dijelaskan dan disistematisasikan oleh para
Imam madzhab melalui berbagai metode dan tafsir. Adapun Ketentuan waris di dalam Islam tidak
luput dari 3 rukun yang harus ada, yaitu:
Pertama pewaris, atau bisa juga disebut sebagai orang yang mewariskan, yaitu seseorang
yang telah meninggal dan meninggalkan warisan kepada ahli warisnya. Tentang ahli waris, dalam
QS. An-Nisa [4]: 7:

‫ِللِّر َج اِل َنِص ْيٌب ِّمَّم ا َتَر َك اْلَو اِلٰد ِن َو اَاْلْقَر ُبْو َۖن َو ِللِّنَس ۤا ِء َنِص ْيٌب ِّمَّم ا َتَر َك اْلَو اِلٰد ِن َو اَاْلْقَر ُبْو َن ِمَّم ا َقَّل ِم ْنُه َاْو‬
‫َك ُثَر ۗ َنِص ْيًبا َّم ْفُرْو ًضا‬
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan
bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
Kedua, ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta warisan, karena ada sebab yang
dapat mewarisi, baik yang disebabkan dengan kekerabatan/keturunan/hubungan darah,
perkawinanan dan memerdekakan budak. Dalam Islam terdapat 15 ahli waris dari golongan laki-
laki, yaitu dari anak laki-laki, ayah, suami, hingga al-mu'tiq atau seorang pria yang
memerdekakan budak, sementara ada 10 ahli waris dari golongan perempuan yaitu mulai dari
anak perempuan, ibu, istri, hingga al-mu'tiqah atau seorang wanita yang memerdekakan budak.
Masing-masing golongan memiliki bagian yang telah ditentukan dalam ketentuan waris Islam.
Ketiga, warisan, adalah segala sesuatu dari harta yang telah ditinggalkan oleh pewaris untuk
dialihkan kepada ahli waris. Warisan dimaksud tidak seluruhnya dialihkan kepada ahli waris,
setelah semua hak ahli waris telah terpenuhi, seperti mengurus segala sesuatu keperluan mengurus
jenazah ahli waris, melunasi semua hutang telah dilakukan oleh ahli waris, dan memenuhi wasiat
yang telah dibuat sebelum pewaris meninggal. Dari semua ketentuan warisan ini adalah dengan
mendahulukan hak orang lain dari harta ahli waris, sebelum dibagikan kepada ahli waris
(Syarifuddin, 2005).
Adapun syarat pembagian warisan serta halangan untuk menerima warisan adalah sebagai
berikut:
a. Ada tiga syarat untuk mendapatkan waris, yaitu:
1) ahli warisnya benar-benar telah meninggal. Baik untuk mati (mati) penting, yaitu
kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui bukti bahwa
seseorang telah meninggal, atau mati secara sah, adalah meninggalnya seseorang
yang secara hukum ditentukan melalui suatu keputusan Hakim dinyatakan
meninggal. Hal ini dapat terjadi seperti pada kasus seseorang yang dinyatakan
hilang (al-mafqud) tanpa diketahui dimana dan bagaimana.
2) pewaris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal, atau dengan putusan
hakim dinyatakan masih hidup pada waktu ahli waris meninggal. Jadi, jika dua
orang yang berhak mewarisi satu sama lain meninggal bersama, tetapi tidak
diketahui siapa meninggal lebih dulu, maka tidak ada warisan di antara mereka.
Misalnya, seseorang yang meninggal dalam kecelakaan penerbangan, tenggelam,
kebakaran, dan sebagainya.
3) benar-benar dapat mengetahui penyebab pewarisan kepada ahli waris, atau
Dengan kata lain, secara mutlak diketahui bahwa ahli waris yang bersangkutan
berhak mewaris. Syarat ketiga ini dinyatakan sebagai penegasan yang diperlukan,
terutama di pengadilan meskipun umum telah disebutkan dalam sebab-sebab
pewarisan.
b. Adanya sebab dan syarat warisan belum cukup menjadi alasan adanya hak waris,
kecuali jika tidak terdapat salah satu penghalang sebagai berikut:
1) perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris. Alasan penghalang ini adalah
hadits Nabi yang mengajarkan bahwa umat Islam tidak memiliki hak ahli waris
harta orang kafir dan orang kafir tidak berhak mewarisi harta orang kafir Muslim.
2) pembunuhan. Hadits Nabi mengajarkan bahwa pembunuh tidak berhak mewarisi
dari orang yang dibunuh. Apa arti dari membunuh adalah membunuh dengan
sengaja yang mengandung unsur pidana. Sementara pembunuhan yang tidak
menjadi penghalang mewarisi adalah:
a) pembunuhan karena khilaf,
b) pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap melakukan
c) hukum,
d) pembunuhan yang dilakukan karena tugas, dan
e) pembunuhan karena ‘uzur untuk membela diri.
Dalam ketentuan hukum Islam, sebab-sebab untuk dapat menerima warisan secara umum,
yaitu: (a) hubungan kekerabatan dan (b) hubungan perkawinan.
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama
memiliki hak waris seperti yang dinyatakan dalam QS. Al-Nisa’: 7, “Bagi orang laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu, bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak (bagian)
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang
telah ditetapkan”. (QS. Al-Nisa’: 7). Demikian juga dinyatakan dalam QS. Al-Anfal: 75, “Orang-
orang yang memiliki hubungan kerabat itu lebih berhak terhadap sesamanya di dalam kitab
Allah”. (QS. al-Anfal: 75). Islam tidak membedakan status hukum seorang dalam pewarisan dari
segi kekuatan pisiknya, tetapi semata-mata karena pertalian darah atau kekerabatan. Maka
meskipun ahli waris masih berada dalam kandungan, jika dapat dinyatakan sebagai ahli waris, ia
berhak menerima bagian.
Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum saling antara suami dan istri.
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi, baik menurut
ketentuan hukum agama maupun administratif sebagaimana diatur dalam peraturan
perundangundangan yang berlaku. Tentang syarat administratif ini, masih terdapat perbedaan
pendapat. Ada yang disebutnya semata-mata pencatatan saja, tetapi ada sebagian pendapat yang
disebut sebagai syarat yang apabila tidak membuahkan hasil tidak sah perkawinannya. Hukum
perkawinan Indonesia memberi kelonggaran dalam hal ini. Artinya, yang menjadi ukuran sah atau
tidaknya disebabkan oleh ketentuan administrasi, akan tetapi ketentuan hukum agama. Tetapi
harus diakui bahwa ketentuan administrasi ini. Suatu yang penting (mendesak), karena dengan
bukti-bukti pencatatan inilah, suatu perkawinan memiliki kekuatan hukum. Pencatatan pernikahan
sangat diperlukan untuk membuktikan secara yuridis formal, bahwa doa orang telah melalukan
perkawinan.
Adapun hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum warisan dibagi kepada ahli waris, yaitu:
1) Biaya perawatan jenazah (tajhiz al-janazah)
2) Pelunasan utang (wafa’ al-duyun)
3) Pelaksanaan wasiat (tanfiz al-wasaya)
Adapun dasar hukum bahwa biaya perawatan terhadap gugatan dilakukan secara wajar adalah
Allah dalam QS. Al-Furqan: 67, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya) tidak
berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, tetapi adalah (pembelanjaannya itu) di tengah-tengah antara
yang demikian”. (QS. Al-Furqan: 67).
Pelunasan utang merupakan tanggungan yang harus dipenuhi bagi orang yang hutang. Jika
seorang yang meninggal dunia ternyata meninggalkan utang pada orang lain yang belum dibayar,
maka sudah seharusnya utang tersebut dilunasi terlebih dahulu dan diambilkan dari harta
peninggalannya, sebelum harta itu dibagikan kepada ahli waris.
Pelaksanaan wasiat, wasiat adalah tindakan seseorang menyerahkan hak kebendaannya
kepada orang lain, yang berlakunya apabila yang berwasiat itu meninggal dunia. Bila seorang
meninggal dunia dan semasa hidupnya berwasiat atas sebagian harta kekayaannya untuk suatu
badan atau seseorang, maka wasiat itu wajib dilaksanakan sebelum harta peninggalannya dibagi
kepada ahli warisnya. Dasar hukum wasiat ini dinyatakan dalam firman Allah: “wajib atas kamu,
jika seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiatlah untuk ibu – bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ia adalah) kewajiban
atas orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 180).
4. Problematika Penerapan Waris
Berikut beberapa kendala yang menjadi akibat dari problematika dalam penerapan hukum
waris Islam:
a) Hukum adat
Keberadaan hukum adat yang menjadi tradisi generasi sebagai kebiasaan yang berlaku
yang menjadikan akibat terhambatnya bagi perkembangan hukum waris Islam. Akibatnya,
hampir semua penyelesaian dilakukan secara damai, tanpa keterlibatan pemerintah dalam
penegakannya.
b) Sikap dan ilmu pengetahuan yang kurang
Kendala kedua yang dihadapi adalah sikap yang tidak peduli atau tidak menganggap
penting penegakan hukum waris Islam. Maksudnya adalah bahwa sementara pelaksanaan
waris dapat diselesaikan dengan cara musyawarah , karena merasa rumit dengan pelaksanaan
yang tampaknya tidak adil, padahal itu adalah perintah Allah. Lalu kurangnya pemahaman
tentang hukum waris Islam juga menjadi faktor yang menyebabkan lemahnya penerapan
hukum waris Islam. Implikasinya adalah; (1) menyamaratakan bagian yang sama antara anak
laki-laki dan perempuan; (2) ketidakmampuan membedakan warisan, wasiat, dan hibah
sebagai solusi pengalihan harta.
c) Menjunjung tinggi Perbedaan
Perbedaan memiliki pengaruh dengan keberadaan hukum adat dalam pelaksanaan
kehidupan di masyarakat, khususnya masalah waris. Hukum adat yang diwariskan telah
memberikan hambatan dalam masyarakat mengenai penerapan hukum waris Islam.
5. Contoh Problematika Penerapan Waris
Beliau yang meninggal dunia bernama Hj. Akbar, seorang pensiunan PNS Guru Sejarah yang
memiliki 7 saudara yaitu Hj. Ahmad Fikri (pensiunan PNS), Sarah Azhari (pensiunan PNS), Fikri
Hikal (pensiunan PNS), Anisa Rahma (PNS Guru SD), Nabila Ratna(Sarjana S1), Diana Putri
(Sarjana S1) dan Dani Ramdani (Sarjana S1). Dari ketujuh saudaranya, tiga yang tidak memiliki
pekerjaan, mereka adalah Dani Ramdani, Diana Putri dan Nabila Ratna. Lalu dari ketujuh
saudaranya ada dua yang tidak menikah yakni Hj. Ahmad Fikri dan Nabila Ratna.
Penjelasan yang lebih rinci terkait dengan harta yang tertinggal sebagai penjabaran bahwa:
1) Deposit sebesar Rp. 100.000.000 yang disimpan di Bank Syariah
2) Uang yang ditemukan berjumlah Rp. 10.000.000
3) Harta benda berupa emas dengan rincian:
 Emas stelan (cincin dan anting) sebesar 8 gram, sebanyak 4 stelan yang jika
dirupiahkan dengan harga emas 24 karat per gramnya Rp. 600.000, maka menjadi
senilai Rp. 19.200.000
 Kalung emas permata seberat 10 gram sebanyak 2 buah, yang jika dirupiahkan
dengan harga emas 24 karat per gramnya Rp. 600.000, maka menjadi senilai Rp.
8.000.000.
Dari semua harta peninggalannya, maka dapat dijumlahkan ke dalam rupiah menjadi senilai
Rp. 161.800.000 (seratus enam puluh satu juta delapan ratus ribu rupiah). Implementasi harta
tersebut dibagikan kepada ketujuh saudaranya, kepada anak dari saudaranya, dan cucunya.
Deposit Rp. 100.000.000 itu dibagi tiga, yaitu kepada Nabila Azhar dan Dani Ramdani
masing-masing mendapat sebanyak Rp. 25.000.000. Untuk kedua saudaranya diberikan deposit
ini dengan berupa alasan bahwa Dani Ramdani tidak memiliki pekerjaan dan harus menafkahi
keluarganya sedangkan Nabila Ratna mendapat deposit ini dengan alasan karena tidak memiliki
pekerjaan dan belum menikah. lalu Deni Fauzan sebagai cucu anak dari saudara perempuannya
mendapat Rp. 50.000.000. Alasan yang diberikan karena dia adalah anak asuhnya dan sudah
berjanji akan memberangkatkan cucunya ini umroh. Selain mendapatkan deposit, Deni
Fauzanjuga mendapatkan kalung markis melalui wasiat almarhum.
Hibah yang telah diucapkan juga telah ditunaikan dengan memberikan tiga keponakan
perempuannya sebuah cincin emas sebagai hadiah dipernikahannya kelak. Lalu yang terakhir,
barulah sisa hartanya diberikan kepada ketujuh ahli warisnya.
Penyimpangan yang terjadi adalah pertama-tama meskipun saudara-saudaranya semua diberi
harta warisan, tetapi tidak sesuai dengan aturan Islam. Aturannya adalah jika saudara lebih dari
satu laki-laki dan perempuan, pembagiannya adalah 2:1, yang berarti satu saudara laki-laki
mendapat dua bagian perempuan. Mereka mengungkapkan bahwa ternyata mereka tidak
mengetahui ilmunya, lalu keinginan untuk memprotes tidak ada gunanya. Kedua, Deni Fauzan di
dalam syariat Islam bukanlah ahli waris yang dapat diwarisi karena terhalang. Dalam kasus ini,
memperoleh lebih dari 1/3 dari jumlah warisan melalui wasiat merupakan penyimpangan.
Dalam aturan Islam pembagian harta warisan dalam suatu perkara harus diselesaikan terlebih
dahulu, hal-hal yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu yang Pertama penyelesain
Administrasi, hutang yang ditinggalkan oleh almarhum, dan wasiat almarhum yang harus
dipenuhi. Untuk kematian almarhum, ahli waris harus mempertimbangkan dan melaksanakan
ketiganya. Mengenai wasiat orang yang meninggal, jika ahli waris tidak setuju dan kadarnya tidak
dapat melebihi 1/3 dari harta yang tersisa, maka itu harus dilakukan.
Kedua, menentukan ahli waris dan jumlah harta yang ditinggalkan. Dalam hal ini yang
menjadi ahli waris adalah tujuh saudaranya yang dimiliki dengan membagi hartanya dengan
sembilan hartanya. Itu karena dia meninggalkan empat saudara perempuan dan setiap saudara
perempuan ini mendapat satu bagian, sedangkan masing-masing saudara laki-lakiny masing-
masing mendapat dua bagian dari harta itu. Jadi keduanya memiliki empat bagian. Dari jumlah
harta yang ditinggalkan dari contoh kasus diatas sebanyak Rp. 161.800.000 (seratus enam puluh
satu juta delapan ratus ribu rupiah) tetapi setelah selesai perkara, hutang dan wasiat, sisa harta
peninggalannya adalah Rp. 41.200.000.
Dalam hal ini, penyelesaian pembagian harta oleh keluarga adalah (a) surat wasiat untuk
membayar kepada cucu dengan memberikan uang sejumlah Rp. 58.000.000 dari deposit Rp.
50.000.000 dan kalung markis Rp. 8.000.000. (b) Pemenuhan wasiat lisan almarhum dengan
membayar kelebihan titipan masing-masing sebesar Rp25.000.000 kepada Dani Ramdani dan
Nabila Ratna. (c) Hibah diberikan kepada ketiga keponakannya yang masing-masing mendapat
uang senilai Rp. 4.200.000 beserta cincin emas yang diuangkan. ( d) Untuk harta pusaka
saudaranya sebesar 41.200.000 rupiah, pembagiannya rinci, Dani Ramdani menerima Rp.
10.000.000 dengan alasan untuk modal membangun rumah untuk keluarganya. Hj. Ahmad Fikri
dan Sarah Azhari masing-masing mendapat senilai Rp 7.500.000. Diana Putri, Anisa Rahma,
Nabila Ratna, dan Fikri Haikal masing-masing mendapatkan senilai Rp 4.000.000.
Jika diselesaikan menurut aturan Allah, maka pembagian harta tujuh bersaudara itu dibagi
sembilan dengan jumlah lima bersaudara masing-masing mendapat senilai Rp. 4.577.777, lalu
kedua saudaranya yang lain masing-masing mendapat senilai Rp. 9.155.555.
C. KESIMPULAN
Hukum pembagian waris dalam Islam adalah qath‛i. Sebagaimana Allah jelaskan dalam Al-
Qur'an surah An- Nisa ayat 11, 12 dan 176 dengan memiliki rincian yang tegas, tidak ambigu dan
jelas, sehingga tidak perlu ijtihad. Artinya setiap ahli waris harus menyetujui bagian yang telah
ditentukan oleh Allah SWT tanpa harus mencari dalil yang shahih untuk menentang ketentuan
Allah. Inilah esensi mengapa Allah SWT menegaskan di akhir ayat 11 yang artinya: Ini adalah
ketetapan Allah, dan Allah juga menegaskannya di akhir ayat 176, yang artinya: Allah
menjelaskan kepadamu (hukum ini), supaya kamu tidak tersesat, Allah Maha Mengetahui. "
Jika para ahli waris sepakat untuk menyelesaikan pembagian harta warisan berupa suatu
perjanjian yang berbeda dengan ketentuan-ketentuan ayat tersebut, dengan ketentuan bahwa
semua ahli waris mengetahui sepenuhnya bagian dan haknya masing-masing, sepanjang
pembagian yang di janjikan itu tidak merugikan ahli waris, maka pembagian tersebut dibenarkan.
Ketentuan tersebut juga diatur dalam pasal 183 KHI yang berbunyi: ‘para ahli dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari
bagiannya’. Namun sebaliknya, jika tidak ada kesepakatan demikian, maka hukum yang terdapat
dalam surat an-Nisa' ayat 11, 12, dan 176 bersifat memaksa atau qath'i.
D. TUGAS DAN EVALUASI
1. Apa definisi Waris dalam Islam?
2. Apa yang menjadi dasar hukum Waris?
3. Apa saja ketentuan Waris dalam Islam?
4. Apa saja problematika yang ada dalam penerapan Waris?
5. Bagaimana contoh problematika dalam penerapan Waris?

E. DAFTAR PUSTAKA
Leleang, A. T. L. T., & Zubair, A. Z. A. (2019). Problematika Dalam Penerapan Hukum Waris
Islam. Al-Bayyinah, 3(2), 220-234.
Robin, A. (2018). PROBLEMATIKA HUKUM PEMBAGIAN WARIS 2: 1 DALAM
PENDEKATAN TEORI QATH’I ZHANNI. SANGAJI: Jurnal Pemikiran Syariah dan
Hukum, 2(1), 108-133.
Subeitan, S. M. (2021). KETENTUAN WARIS DAN PROBLEMATIKANYA PADA
MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA. Al-Mujtahid: Journal of Islamic Family Law,
1(2), 113-124.
Syarifuddin, A. (2005). Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Khosyi'ah, S. (2021). Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Simbiosa Rekatama Media.
Khisni, A. (2017). Hukum Waris Islam. Semarang: Perpustakaan Nasional Katalog Dalam
Terbitan (KDT).
F. PROFIL PENULIS
Penulis dilahirkan di Desa Batulayang Kecamatan Cililin Kabupaten
Bandung Barat pada tanggal 10 November 2002. Ia adalah anak
pertama dari tiga bersaudara Bapak Unang Ramdan dengan Ibu Neng
Tita. Dari kecil penulis menempuh pendidikan baik yang bersifat
formal maupun non formal.
Pendidikan formal yang ditempuh penulis Tk Nurul Fatah, SDN
Dayeuh Luhur, SMPN 01 Cililin, MAN Bandung Barat dan sekarang
sedang menempuh mahasiswa S1 UIN Sunan Gunung Djati Bandung
(Ahwal Syakhsiyah). Sedangkan pendidikan non formal yang
ditempuh penulis adalah Pondok Pesantren Darussalam Batulayang Cililin, Pondok Pesantren
Putri Amanah Ma’mun Cililin, Pondok Pesantren Nurul Huda Pajagalan Cililin Bandung Barat.

Bandung, Juni 2022


Hormat Saya
Nurazki Aslamiah

G. GLOSARIUM
a. Faraid (warisan)
b. Pewaris (orang yang meninggal dunia dan mewariskan hartanya)
c. Ahli waris (orang yang berhak atas warisan)
d. Al-Qur’an (kitab suci agama Islam)
e. Hadis (perkataan, perbuatan, ketetapan, dan persetujuan dari Rasul)
f. Nash (lafadz)
g. Syar’I (ilmu Allah berupa keterangan dan petunjuk)
h. Qath’I (pasti)
i. Shahih (benar)
j. Syari’ah (komponen ajaran Islam)
k. KHI (kompilasi hukum Islam)

Anda mungkin juga menyukai