Anda di halaman 1dari 9

Dasar-dasar ilmu waris dalam islam

Muqoddimah
Sebagai agama paripurna, Islam yang dibawa Rasulullah merupakan rahmat bagi alam semesta.
Keberadaannya sebagai agama yang sempurna dan diridhai Allah benar-benar menyinari perjalanan hidup
umat manusia, baik sebagai komunitas maupun individu. Semenjak belia, kehidupan anak manusia telah
ditata sebaik-baiknya dalam Islam. Pada hari ketujuh dari kelahirannya, disyariatkan untuk disembelihkan
dua ekor kambing (bila lelaki) dan bila perempuan disembelihkan satu ekor kambing, sebagai aqiqahnya.
Pada hari itu pula diberi nama dan dibersihkan rambutnya.
Demikian pula selanjutnya dari perjalanan hidupnya; masa tumbuh kembang, masa dewasa, dan masa tua,
tak lupa diperhatikan oleh Islam baik dalam hal jasmani maupun rohani. Setelah meninggal dunia
sekalipun, Islam masih memerhatikannya; disyariatkan baginya untuk dimandikan, dikafani, dishalati, dan
dimakamkan dengan penuh hormat. Tak berhenti sampai di situ. Segala hal yang terkait dengan harta waris
yang ditinggalkannya pun diatur dengan seadil-adilnya, bahkan dipaparkan sejelas-jelasnya dalam kitab
suci Al-Quran dan Sunnah Rasulullah
Para ulama pun tak tinggal diam. Mereka merangkum berbagai masalah penting seputar permasalahan
waris tersebut dalam spesialisasi ilmu tertentu yang dikenal dalam khazanah ilmu-ilmu Islam dengan
sebutan ilmu al-faraidh. Sebuah ilmu yang tergolong penting dalam Islam, mengingat hukum waris Islam
semuanya tercakup dalam ilmu tersebut dan umat pun (dalam setiap generasinya) senantiasa
membutuhkannya.
Sahabat Umar bin Khaththab mengatakan: Pelajarilah ilmu al-faraidh, karena ia bagian dari agama kalian.
(Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 15)
Mengenal Ilmu Al-Faraidh
Syaikh Utsaimin menyebutkan bahwa defnisi ilmu faraidh adalah : Ilmu untuk membagi harta waris, baik
secara fqh maupun perhitungannya
Pembahasannya adalah apa yang ditinggalkan oleh mayit, baik berupa harta, hak ataupun sesuatu yang
khusus menjadi miliknya
Buah dari ilmu faraidh adalah memberikan kepada setiap ahli waris apa yang menjadi haknya dari harta
waris.
Hukum mempelajarinya : fardhu kifayah, jika sudah ada orang-orang yang dirasa cukup yang sudah
mempelajarinya, maka gugur kewajiban bagi lainnya dan berubah hukumnya menjadi sunnah. . (Tashilul
faraidh hlm : 11)
Dasar Pijakan Ilmu Al-Faraidh
Dasar pijakannya adalah Al-Quran, Sunnah Rasulullah, dan ijma. Adapun Al-Quran, maka sebagaimana
termaktub dalam Surah An-Nisa ayat 11, 12, dan 176. Allah berfrman (Artinya) :
Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anak kalian. Yaitu: bagian
(jatah) seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga (2/3) dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah harta (1/2), dan untuk kedua orangtua (ibu
bapak), bagi masing-masingnya seperenam (1/6) dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga (1/3); jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam (1/6). (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orangtua dan anak-anak kalian, maka kalian tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagi kalian (para suami) setengah
(1/2) dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri
kalian itu mempunyai anak, maka kalian mendapat seperempat (1/4) dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh
seperempat (1/4) harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan (1/8) dari harta yang kalian tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kalian buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utang kalian. Jika seseorang mati, baik lelaki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan bapak dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara lelaki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam (1/6) harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga (1/3) itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
1
sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah l menetapkan yang
demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun. (An-Nisa: 11-12)
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu setengah dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
lelaki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian
seorang saudara lelaki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepada kalian, supaya kalian tidak sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 176)
Sedangkan Sunnah Rasulullah, maka sebagaimana sabda beliau n:

"

&

'

(
)
*

)
,

-
Berikanlah bagian/jatah waris yang Allah tentukan (1/2, 1/3, , 1/6, 1/8, 2/3) kepada para pemiliknya,
sedangkan apa yang tersisa adalah untuk ahli waris lelaki yang paling kuat (berhak). (HR. Al-Bukhari, no.
6733, dari sahabat Abdullah bin Abbas c)
Syaikh as Sadi berkata: Ayat-ayat tersebut (An-Nisa: 11-12, pen.) dan ayat terakhir dari surat An-Nisa
merupakan ayat-ayat yang mengandung sistem waris Islam. Sesungguhnya ayat-ayat tersebut dan hadits
Abdullah bin Abbas c yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari:

"

&

'

(
)
*

)
,

-
Berikanlah bagian/jatah waris yang Allah tentukan (1/2, 1/3, , 1/6, 1/8, 2/3) kepada para pemiliknya,
sedangkan apa yang tersisa untuk ahli waris lelaki yang paling kuat (berhak).
mencakup mayoritas bahkan semua hukum waris sebagaimana yang akan anda lihat nanti, kecuali jatah
waris nenek. Akan tetapi telah ditetapkan dalam beberapa kitab Sunan dari sahabat Al-Mughirah bin
Syubah dan Muhammad bin Maslamah c bahwa Nabi n telah memberi nenek jatah waris 1/6 (seperenam),
seiring dengan adanya ijma ulama dalam masalah tersebut. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 132)
Pengaturan Harta Waris Mutlak Di Tangan Allah dan Rasul-Nya
Allah, dengan hikmah Nya yang tak terhingga telah memberikan aturan syariat pada hamba Nya agar
mereka hidup dengan tenteram dan bahagia dunia akhirat. Diantaranya mengenai waris ini.
Syaikh Utsaimin berkata: Allah telah menentukan hukum waris tersebut dengan segala hikmah dan
keilmuan-Nya. Dia mengatur pembagiannya kepada segenap ahli waris dengan cara terbaik dan teradil,
yang itu merupakan konsekuensi dari hikmah-Nya yang tinggi, kasih sayang-Nya yang meliputi segala
sesuatu, dan keilmuan-Nya yang luas. Sebagaimana pula Dia l menjelaskan cara pembagian tersebut dengan
sebaik-baik penjelasan dan selengkap-lengkapnya. Sehingga didapatilah ayat-ayat dan hadits-hadits tentang
waris benar-benar mencakup segala kemungkinan yang terjadi dalam permasalahan waris. Baik ayat-ayat
dan hadits-hadits yang amat jelas dan dapat dipahami oleh semua orang ataupun yang membutuhkan
perhatian khusus dalam memahaminya. (Tashilul Faraidh, hal. 5)
Pembagian harta waris sendiri, merupakan masalah sensitif yang seringkali menjadi sumber konfik dalam
sebuah keluarga. Maha Suci Allah manakala berkenan mengatur secara langsung cara pembagian harta
waris tersebut sebagaimana dalam Al-Quran, ataupun melalui lisan Rasul Nya nan mulia. Dengan
pembagian tersebut, masing-masing dari ahli waris akan mendapatkan bagian sesuai dengan porsinya, tak
seorang pun dirugikan. Karena yang menetapkannya adalah Allah Dzat Yang Maha Mengetahui, Maha
Bijaksana lagi Maha Penyantun. Sebagaimana frman Allah :
Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa:
11)
Manakala keharmonisan sebuah keluarga yang ditinggalkan si mayit (ahli waris) sangat bergantung pada
penerapan aturan pembagian tersebut, maka Allah menegaskan:
(Batasan-batasan hukum) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Al-Jannah yang mengalir di dalamnya sungai-sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Maka barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam An-Nar sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.
(An-Nisa: 13-14)
Dari ayat-ayat di atas dapatlah disimpulkan bahwa Allah l menetapkan hukum waris tersebut berdasarkan
keilmuan dan hikmah-Nya. Oleh karena itu, hukum waris tersebut harus diterapkan dan tidak boleh
ditambah ataupun dikurangi. Berikutnya, Allah l menjanjikan Al-Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-
.
sungai bagi orang-orang yang menaati-Nya dalam hal ketetapan hukum waris tersebut dengan berjalan di
atasnya, dan mengancam siapa saja yang melampaui batas-batas yang telah ditetapkan-Nya dengan
dimasukkan ke dalam An-Nar dan diazab dengan siksa yang menghinakan. (Lihat Tashilul Faraidh, hal. 6)
Yang berhak mendapatkan waris
Dalam sistem waris Islam, tak semua orang bisa mendapatkan harta waris. Demikianlah ketentuan Allah
yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana. Dengan segala hikmah dan keilmuan-Nya yang luas, Dia memilih
orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris tersebut.
Orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris dari kalangan laki-laki adalah:
1. Anak lelaki
2. Cucu lelaki dari anak lelaki, dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki
3. Bapak
4. Kakek (dari pihak bapak) dan ke atasnya dari jalur lelaki
5. Suami
6. Saudara lelaki sekandung
7. Saudara lelaki sebapak
8. Saudara lelaki seibu
9. Anak lelaki dari saudara lelaki sekandung (keponakan), dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki
10. Anak lelaki dari saudara lelaki sebapak (keponakan), dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki
11. Paman (saudara bapak sekandung)
12. Paman (saudara bapak sebapak)
13. Anak lelaki dari paman/saudara bapak sekandung (sepupu), dan seterusnya dari keturunannya yang
lelaki
14. Anak lelaki dari paman/saudara bapak sebapak (sepupu), dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki
15. Seorang lelaki yang membebaskan budak (mutiq), dan ashabah-nya dari jenis ashabah bin-nafsi.
Jika diandaikan semuanya terkumpul dalam satu masalah waris, maka yang berhak mendapatkan harta
waris dari mereka adalah anak lelaki, bapak, dan suami. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-
Faradhiyyah, hal. 65-67)
Sedangkan orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris dari kalangan perempuan adalah:
1. Ibu
2. Anak perempuan
3. Cucu perempuan dari anak lelaki, dan seterusnya dari keturunan perempuan yang melalui jalur lelaki
4. Nenek dari pihak ibu, dan ke atasnya dari jenis perempuan
5. Nenek dari pihak bapak
6. Ibunya kakek dari pihak bapak (buyut perempuan)
7. Saudara perempuan sekandung
8. Saudara perempuan sebapak
9. Saudara perempuan seibu
10. Istri, walaupun lebih dari satu
11. Seorang perempuan yang membebaskan budak (mutiqah).
Jika diandaikan semuanya terkumpul dalam satu masalah waris, maka yang berhak mendapatkan harta
waris dari mereka adalah ibu, anak perempuan, cucu perempuan dari anak lelaki, istri, dan saudara
perempuan sekandung. Adapun jika diandaikan semua ahli waris tersebut baik dari kalangan lelaki
maupun perempuan terkumpul dalam satu masalah waris, maka yang berhak mendapatkan harta waris
adalah bapak, anak lelaki, suami atau istri, ibu, dan anak perempuan. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil
Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 68 dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 62-63)
Wallahu alam
Hal-hal penentu dalam mewarisi harta
Dalam sistem waris Islam, ada beberapa perkara yang sangat menentukan bagi terealisasinya proses waris-
mewarisi. Ia meliputi rukun waris, syarat waris, sebab waris dan penghalang waris.
Rukun Waris
Proses waris-mewarisi mempunyai tiga rukun yang tidak akan terealisasi suatu proses waris-mewarisi
kecuali dengan keberadaannya
Tiga rukun waris tersebut adalah:
1. Muwarrits: si mayit yang meninggalkan harta waris/pemilik harta waris.
/
2. Warits: ahli waris/pewaris yang berhak mendapatkan harta waris.
3. Mauruts/tarikah: harta waris yang ditinggalkan oleh si mayit. (Lihat Tashilul Faraidh, hal. 18)
Kalau tidak ada muwarrits (si mayit yang meninggalkan harta waris) maka tidak akan ada harta waris,
demikian pula orang yang mewarisinya. Jika tidak ada ahli waris, maka harta waris yang ditinggalkan si
mayit pun tidak ada yang mewarisinya (dari ahli waris yang sesungguhnya). Demikian pula ketika tidak ada
harta waris, tidaklah mungkin bisa terjadi proses waris-mewarisi. Dari sini jelaslah bahwa keberadaan tiga
rukun waris tersebut mutlak ada demi terealisasinya proses waris-mewarisi.
Syarat Waris
Syarat waris merupakan salah satu penentu bagi terealisasinya proses waris-mewarisi. Karena betapapun
telah terpenuhi rukun waris sementara syarat warisnya belum terpenuhi, maka proses waris-mewarisi pun
tidak bisa dilakukan. Apa sajakah syarat waris itu?
Syarat waris dalam hukum waris Islam ada tiga:
1.Kejelasan tentang meninggalnya si pemilik harta waris (muwarrits), baik meninggalnya bisa dipastikan
maupun sebatas didasari dugaan yang kuat.
Bisa dipastikan, maksudnya bahwa proses kematian si pemilik harta waris tersebut benar-benar bisa
dipastikan, baik dengan melihatnya secara langsung, dengan kemasyhuran akan kematiannya, atau dengan
persaksian dua orang lelaki yang adil (bisa dipertanggungjawabkan). Sedangkan yang dimaksud dengan
didasari dugaan yang kuat adalah bahwa vonis kematian yang dijatuhkan kepada pemilik harta waris
tersebut atas dasar dugaan yang kuat. Seperti seseorang yang diduga kuat telah mati, karena sejak lama
menghilang dan tak didapati lagi tanda-tanda kehidupannya, yang hal ini ditetapkan oleh hakim setempat.
2. Kejelasan tentang hidupnya ahli waris setelah meninggalnya si pemilik harta waris/muwarrits walau
sesaat, baik secara pasti maupun didasari oleh dugaan kuat. Maksud secara pasti adalah bahwa ahli waris
tersebut dipastikan masih hidup saat meninggalnya pemilik harta waris. Kepastian ini bisa dibuktikan
dengan melihatnya secara langsung, dengan kemasyhuran bahwa dia masih hidup, atau dengan persaksian
dua orang lelaki yang adil (bisa dipertanggungjawabkan). Sedangkan yang dimaksud dengan didasari oleh
dugaan yang kuat adalah bahwa vonis tentang hidupnya ahli waris tersebut didasari atas dugaan yang kuat.
Seperti seorang anak yang masih berada di perut ibunya saat meninggalnya pemilik harta waris (muwarrits-
nya) walaupun belum ditiupkan ruh kepadanya. Maka dia digolongkan ke dalam jajaran ahli waris dan bisa
mendapatkan harta waris, dengan syarat dilahirkan dalam kondisi hidup.
3. Mengetahui segala hal yang terkait dengan sebab terjadinya proses waris-mewarisi tersebut dan
mengetahui keterkaitan masing-masing ahli waris dengan pemilik harta waris (muwarrits)-nya. (Lihat
Tashilul Faraidh, hal. 18-19)
Sebab Waris
Waris-mewarisi dalam hukum waris Islam tidaklah terjadi begitu saja. Akan tetapi amat terkait dengan
sebab waris yang dengannya bisa terjadi proses waris-mewarisi. Sebab waris tersebut ada tiga:
1. Perkawinan yang dibangun di atas akad nikah yang sah. Manakala telah terlaksana suatu perkawinan
yang sah, maka suami istri tersebut mempunyai hak untuk saling mewarisi walaupun belum terjadi khalwat
(berduaan) maupun jima (hubungan sebadan) di antara mereka. Lebih-lebih lagi bila telah terjadi khalwat
ataupun jima antara keduanya. Dalilnya adalah keumuman frman Allah : (An-Nisa: 12)
Sebab pertama ini akan terus berlaku hingga terjadinya talak bain (cerai yang ketiga kalinya, atau cerai yang
pertama/kedua dan telah habis masa iddah/tenggangnya) atau fasakh (pembatalan nikah). Dengan
terjadinya talak bain atau fasakh, maka sejak saat itu pula mereka tidak bisa saling mewarisi lagi. Kecuali
jika talak bain tersebut dijatuhkan oleh suami menjelang kematiannya yang (diduga kuat) bertujuan untuk
menghalangi istri tersebut dari hak warisnya, maka dalam kondisi semacam ini si istri tetap mendapatkan
jatah warisnya menurut pendapat yang rajih. Adapun talak raji (cerai yang pertama/kedua) dan masih
dalam masa iddah/tenggang, maka masih memungkinkan bagi mereka untuk saling mewarisi jika saat itu
salah satunya ada yang meninggal dunia, karena statusnya masih terhitung sebagai suami-istri. (Lihat
Tashilul Faraidh, hal. 20 dan 22, dan At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 32-35)
2. Ikatan nasab, yaitu hubungan kekerabatan antara dua orang baik secara dekat maupun jauh. Hubungan
kekerabatan ini meliputi ushul (bapak, ibu, kakek, dan nenek si mayit), furu (anak, cucu dari anak lelaki si
mayit, dan terus ke bawahnya), dan hawasyi (saudara-saudara si mayit dan anak-anak lelakinya, paman-
paman si mayit dan ke atasnya, anak-anak lelaki paman dan terus ke bawahnya). Dalilnya adalah frman
Allah dalam Al-Anfal: 75
3. Ikatan wala, yaitu pembebasan seseorang terhadap budak tertentu, baik karena berderma semata atau
karena suatu kewajiban; seperti nadzar, zakat, dan kafarah. Gambaran kasusnya adalah bila seorang mantan
0
budak meninggal dunia dan tidak ada yang mewarisi dari kalangan ahli warisnya, maka seseorang yang
dahulu membebaskannya dari perbudakan itulah yang mewarisi hartanya.
Demikianlah tiga sebab yang dengannya bisa terjadi proses waris-mewarisi menurut kesepakatan jumhur
(mayoritas) ulama.
Penghalang Waris
Penghalang waris adalah sesuatu yang dapat menghalangi ahli waris untuk mendapatkan hak warisnya
(baik secara keseluruhan ataupun sebagian besarnya, pen.), meskipun telah terpenuhi padanya sebab-sebab
waris.
Penghalang waris, secara garis besar terbagi menjadi dua:
Pertama: Penghalang dalam bentuk sifat/kriteria tertentu yang dapat menghalangi ahli waris dari jatah
warisnya secara keseluruhan. Penghalang jenis ini bisa menimpa seluruh ahli waris tanpa terkecuali, yang
dalam ilmu al-faraidh dikenal dengan istilah mawaniul irtsi (penghalang-penghalang waris). Adapun
rinciannya ada tiga:
1) Perbudakan: Seorang yang berstatus budak tidaklah bisa mewarisi, karena dia dan hartanya menjadi milik
tuannya. Tidak adanya hak milik bagi seseorang, merupakan penghalang syari baginya untuk mendapatkan
harta waris. Jika si budak tersebut mendapatkan harta waris, maka harta waris itu akan menjadi milik
tuannya, padahal si tuan tersebut bukan bagian dari ahli waris si mayit. Atas dasar itulah, jika seorang mayit
muslim meninggalkan seorang anak muslim yang berstatus budak dan seorang cucu muslim dari kalangan
merdeka, maka yang mewarisi hartanya adalah sang cucu walaupun ada bapaknya. Mengapa? Karena si
bapak statusnya masih budak dan budak tidak bisa mewarisi, sedangkan sang cucu dari kalangan merdeka.
2) Pembunuhan yang dilakukan terhadap pemilik harta waris (muwarrits): Jika seorang ahli waris
membunuh muwarrits-nya, maka si pembunuh tersebut tidak berhak mendapatkan harta waris darinya.
Gambaran kasusnya adalah seorang anak (ahli waris) membunuh bapaknya (pemilik harta waris), maka si
anak tersebut tidak berhak mendapatkan harta waris yang ditinggalkan bapaknya.
Di antara hikmah dari ketentuan di atas adalah mencegah bermudahannya ahli waris dari perbuatan keji
tersebut hanya karena untuk mendapatkan harta waris.
Lalu, apakah setiap jenis pembunuhan dapat menghalangi seseorang dari jatah warisnya? Para ulama
berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Namun menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin t dan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan bahwa pembunuhan yang menyebabkan
terhalangnya seseorang dari jatah warisnya adalah pembunuhan yang bersifat bighairil haq (tidak
dibenarkan secara syari), yaitu pembunuhan yang mengakibatkan qishash, membayar diyat (tebusan), atau
membayar kafarah. Seperti pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan semi sengaja dan pembunuhan
karena kekeliruan (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 50-52 dan Tashilul
Faraidh, hal. 29)
3) Perbedaan agama antara pemilik harta waris (muwarrits) dengan ahli warisnya. Gambaran kasusnya: si
mayit yang meninggalkan harta waris adalah seorang muslim, sedangkan ahli warisnya non muslim (kafr).
Atau sebaliknya, si mayit yang meninggalkan harta waris adalah seorang non muslim (kafr), sedangkan ahli
warisnya seorang muslim. Menurut jumhur (mayoritas) ulama, masing-masingnya tidak bisa saling
mewarisi. Karena secara tinjauan syari, hubungan di antara mereka telah terputus. Dalilnya adalah frman
Allah l kepada Nabi Nuh :
Allah berfrman: Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan
diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan) dia adalah perbuatan yang tidak baik. (Hud: 46)
Demikian pula sabda Rasulullah :
1

"

&

"

Tidaklah seorang muslim mewarisi seorang non muslim (kafr) dan tidak pula seorang non muslim (kafr)
mewarisi seorang muslim. (HR. Al-Bukhari no. 6383 dan Muslim no. 1614, dari hadits Usamah bin Zaid )
Kedua: Penghalang dalam bentuk ahli waris yang berposisi lebih kuat. Artinya keberadaan ahli waris yang
secara posisi lebih kuat itu bisa menyebabkan terhalangnya ahli waris tertentu untuk mendapatkan hak
warisnya, baik secara keseluruhan ataupun sebagian besarnya. Proses penghalangan ini dalam ilmu al-
faraidh dikenal dengan istilah hajb. Seorang yang terhalang dari harta warisnya disebut mahjub, sedangkan
penghalangnya disebut hajib. Penghalang jenis ini terbagi menjadi dua:
a. Hajb Hirman (menghalangi secara keseluruhan). Jika penghalangnya dari jenis pertama ini, maka dapat
menghalangi seorang ahli waris dari jatah warisnya secara keseluruhan. Penghalang jenis ini bisa menimpa
semua ahli waris kecuali enam orang; bapak, ibu, anak lelaki, anak perempuan, suami, dan istri.
7
b. Hajb Nuqshan (menghalangi dari jatah waris yang terbesar). Jika ada penghalang dari jenis kedua ini,
maka dapat menghalangi seorang ahli waris dari jatah warisnya terbesar, sehingga ia bergeser dari jatahnya
yang besar kepada jatahnya yang lebih sedikit. Penghalang jenis ini terbagi menjadi tujuh macam:
1) Menghalangi ahli waris tertentu dari jatah waris tertentu (fardh) dengan menggesernya kepada jatah
waris tertentu (fardh) yang lebih sedikit. Misalnya, bergesernya suami dari jatah waris kepada .
Demikian pula bergesernya satu orang istri atau lebih dari jatah waris kepada 1/8.
2) Menghalangi ahli waris tertentu dengan menggesernya dari suatu tashib kepada tashib yang lebih
sedikit. Misalnya, saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan sebapak yang bergeser dari
ashabah maal ghair kepada ashabah bil ghair.
3) Menghalangi ahli waris tertentu dengan menggesernya dari jatah waris tertentu (fardh) kepada tashib
yang lebih sedikit. Misalnya, bergesernya jatah waris dari para pemiliknya kepada ashabah bil ghair.
4) Menghalangi ahli waris tertentu dengan menggesernya dari tashib kepada jatah waris tertentu (fardh)
yang lebih sedikit. Misalnya, bergesernya bapak dan kakek dari tashib kepada jatah waris tertentu (fardh).
5) Saling berserikat dalam jatah waris tertentu (fardh). Misalnya, berserikatnya para istri pada jatah waris
dan 1/8, berserikatnya para pemilik jatah waris 1/3 dan juga para pemilik jatah waris 2/3 pada jatah
tersebut.
6) Saling berserikat dalam tashib tertentu, seperti berserikatnya ashabah pada suatu harta secara utuh atau
pada apa yang tersisa dari ashhabul furudh.
7) Saling berserikat dalam masalah aul, di mana masing-masingnya mendapatkan jatah yang lebih (di atas
kertas) namun dalam praktik nyatanya tidak demikian. (Lihat Al-Fawaidul Jaliyyah Fil Mabahits Al-
Faradhiyyah, hal. 26-27)
Empat Hak yang Harus Didahulukan Sebelum Pembagian Harta Waris
Jika suatu permasalahan waris telah terpenuhi padanya rukun waris, syarat waris, sebab waris, dan tidak
didapati penghalang waris, maka langkah selanjutnya adalah membagikan harta waris tersebut kepada ahli
warisnya sesuai dengan apa yang dibimbingkan Allah dan Rasul-Nya.
Namun perlu diketahui, ada empat perkara terkait dengan harta waris yang amat menentukan proses
pembagian harta waris. Di mana proses pembagian harta waris tidak akan bisa dilakukan hingga benar-
benar diselesaikan terlebih dahulu empat perkara tersebut. Empat perkara itu adalah:
1. Biaya pemakaman si mayit dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengurusan jenazahnya.
2. Utang dalam bentuk barang (berkaitan langsung dengan barang yang diwariskan). Seperti sepeda motor
utang (kredit) milik si mayit, dll.
3. Utang secara mutlak yang tidak berkaitan dengan barang, baik utang tersebut berkaitan dengan hak Allah
seperti zakat, kafarah, dan lain-lain, maupun yang berkaitan dengan hak manusia seperti pinjam uang,
transaksi tertentu yang belum dilunasi, dan lain-lain.
4. Pelaksanaan wasiat yang ditujukan kepada selain ahli waris dengan nominal yang tidak lebih dari 1/3
harta waris. Namun jika semua ahli waris sepakat/ridha terhadap wasiat yang ditujukan kepada salah satu
dari ahli waris atau jumlah nominalnya melebihi 1/3 dari harta yang diwaris, maka wasiat tersebut sah dan
bisa dilaksanakan.
Demikianlah empat perkara yang harus didahulukan sebelum pembagian harta waris. Jika empat perkara
tersebut telah diselesaikan dengan baik, maka tibalah saatnya pembagian harta waris sesuai dengan yang
dibimbingkan Allah l dan Rasul-Nya.
Wallahu alam
Pernik-pernik hukum waris
1. Seseorang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempunyai ahli waris, maka untuk siapakah harta
warisnya?
Syaikh As-Sadi ketika menafsirkan surat Al-Anfal ayat 75 mengatakan: Tidaklah mewarisi harta si mayit
kecuali karib kerabatnya dari para ashabah maupun ashhabul furudh. Jika tidak didapati para ahli waris
tersebut maka yang mewarisinya adalah yang terdekat hubungannya dengan si mayit dari kalangan dzawil
arham (para kerabat dekat yang tidak termasuk ashhabul furudh dan tidak pula ashabah). (Taisirul
Karimirrahman, hal. 289)
Pendapat inilah yang difatwakan oleh sahabat Umar bin Al-Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin
Masud, Abdullah bin Abbas, juga Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, serta generasi akhir dari kalangan
mazhab Maliki dan Syafi.1 Demikian pula yang dipilih Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. (Lihat Al-Fawaidul
Jaliyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 102, Tashilul Faraidh, hal. 73 dan At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil
Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 263-264)
8
Siapa sajakah yang termasuk dzawil arham itu?
Mereka ada sebelas jenis:
1) Para cucu dari anak-anak perempuan dan anak-anak para cucu perempuan dari anak lelaki (cicit) dan ke
bawahnya.
2) Anak saudara perempuan secara mutlak; sekandung, sebapak saja dan seibu saja (keponakan).
3) Anak perempuan dari saudara lelaki; sekandung dan sebapak saja, tidak termasuk yang seibu
(keponakan) dan para cucu perempuan dari jalur anak lelaki saudara tersebut.
4) Anak saudara seibu (keponakan).
5) Paman (seibu); baik paman (saudara bapak yang seibu) dari si mayit, paman bapak (saudara kakek seibu)
dari si mayit atau paman kakek (saudara buyut lelaki seibu) dari si mayit.
6) Bibi dari jalur bapak secara umum; baik bibi dari jalur bapak si mayit, bibi kedua orangtua si mayit dari
jalur bapaknya masing-masing, bibi dari kakek si mayit dari jalur bapaknya (saudara perempuan buyut
lelaki dari kakek) ataupun bibi dari nenek si mayit dari jalur bapaknya (saudara perempuan buyut lelaki
dari nenek).
7) Anak perempuan paman dari jalur bapak; baik yang sekandung, sebapak saja ataupun seibu saja (saudara
sepupu).
8)Paman dan bibi (saudara-saudara ibu; baik yang sekandung, sebapak saja ataupun seibu saja).
9) Para kakek yang bukan termasuk ahli waris, baik dari jalur ibu maupun jalur bapak. Seperti bapaknya ibu
(kakek) dan juga bapaknya nenek (buyut lelaki) dari jalur bapak, dsb.
10) Para nenek yang bukan dari ahli waris, baik dari jalur ibu maupun jalur bapak. Seperti; Ibunya kakek
(buyut perempuan) dari jalur ibu dan ibunya buyut lelaki menurut pendapat yang memasukkan keduanya
ke dalam dzawil arham, dsb.
11) Semua kerabat yang mempunyai keterkaitan dengan si mayit melalui (perantara) sepuluh jenis yang
telah disebutkan sebelumnya. (Lihat Al-Fawaidul Jaliyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 102)

2. Warisan saudara sesusuan
Saudara sesusuan dengan kriteria yang telah ditentukan para ulama, mempunyai hukum seperti saudara
senasab dalam hal nikah, khalwat (berduaan tanpa mahram), kemahraman, dan saling melihat. Adapun
dalam hal waris-mewarisi, maka saudara sesusuan tidak bisa saling mewarisi dengan saudara sesusuannya
menurut ijma (kesepakatan) ulama. Karena menyusu bukanlah sebab dari sebab-sebab waris, sebagaimana
dalam pembahasan Sebab Waris yang telah lalu. (Lihat Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 59-60)

3. Warisan anak zina dan anak lian
Anak zina adalah seorang anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak syari (berzina).
Sedangkan anak lian adalah seorang anak yang tidak diakui oleh bapaknya hingga saling melaknat
(mulaanah) dengan istrinya (ibu si anak), dengan suatu klaim (dari si bapak) bahwa anak tersebut dari lelaki
lain dan bukan dari dirinya.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, anak zina dan anak lian ini tidak bisa saling mewarisi dengan
bapaknya dan karib kerabat bapaknya, karena tidak ada hubungan nasab secara syari antar mereka.
Adapun dengan ibunya dan karib kerabat ibunya, maka bisa saling mewarisi karena nasabnya kepada si ibu
diakui secara syari. (Lihat Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 260-261)

4. Warisan anak angkat (adopsi)
Dahulu di masa jahiliah, anak angkat berposisi sebagai anak kandung. Dipanggil dengan nasab bapak
angkatnya dan mereka pun saling mewarisi. Kemudian datanglah Islam, mengubah aturan jahiliah tersebut
dengan penuh hikmah. Sebagaimana frman Allah dalam al Ahzab : 4-5
Menurut para mufassirin, dua ayat di atas merupakan nasikh (penghapus) bagi adat jahiliah yang
memosisikan anak angkat sebagai anak kandung dengan dinasabkan kepadanya dan mewarisi hartanya.
Sejak turunnya ayat tersebut, anak angkat tidak boleh dinasabkan kepada bapak angkatnya (akan tetapi
dinasabkan kepada bapaknya sendiri) dan mereka pun tidak saling mewarisi satu dengan lainnya.
Imam Said bin Musayyib menegaskan bahwa anak angkat tidak bisa mendapatkan harta waris dari bapak
angkatnya, namun masih memungkinkan baginya mendapatkan harta tersebut jika ada wasiat untuknya
dari si bapak angkat. (Lihat Tafsir Ath-Thabari, juz 14, hal. 116, Maalimut Tanzil, juz 1, hal. 316, Fahmul
Quran, juz 1, hal. 465, Ad-Durrul Mantsur, juz 6, hal. 563, Al-Muharrar Al-Wajiz, juz 5, hal. 290, At-Tahrir
wat Tanwir, juz 11, hal. 204, dan Majmu Fatawa, juz 35, hal. 95)

5. Warisan anak temuan
9
Anak temuan adalah seorang anak yang dibuang oleh orangtuanya karena takut menanggung nafkahnya
atau karena takut ketahuan berzina. Demikian juga anak yang tersesat dan tidak terlacak siapa orangtuanya
dan di mana rumahnya, kemudian dipelihara oleh seseorang yang mengasihinya. (Lihat At-Tahqiqat Al-
Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 42 dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 260)
Apakah anak temuan bisa saling mewarisi dengan seorang yang memeliharanya?
Dalam permasalahan ini ada dua pendapat di antara para ulama:
Pertama: Pendapat jumhur (mayoritas) ulama, bahwa anak temuan tidak bisa saling mewarisi dengan
seorang yang memeliharanya. Dasarnya adalah sebagaimana yang dikatakan Imam Al-Khaththabi bahwa
anak temuan menurut mayoritas ahli fqh (fuqaha) adalah seorang yang merdeka, sedangkan dia tidak
mempunyai ikatan wala (pembebasan diri dari perbudakan) dengan siapapun. Sementara proses waris-
mewarisi itu kalau tidak karena ikatan nasab, maka karena ikatan wala. Kedua ikatan tersebut tidak
didapati pada anak temuan dengan seorang yang memeliharanya itu. (Maalimus Sunan, juz 4, hal. 176)
Kedua: Pendapat Imam Ishaq bin Rahawaih dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad bin Hanbal , bahwa
anak temuan bisa saling mewarisi dengan seorang yang memeliharanya tersebut ketika tidak didapati ahli
warisnya. Pendapat inilah yang nampaknya dikuatkan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim , sebagaimana dalam
Tahdzibus Sunan, juz 4, hal. 179. (Diringkas dari At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah,
hal. 43-44)
6. Warisan orang-orang/suatu keluarga yang mati tenggelam, tertimbun (longsor/reruntuhan) atau
terbakar
Maksud dari pembahasan ini adalah tentang warisan orang-orang (suatu keluarga yang saling mewarisi)
yang tertimpa musibah secara kolektif, baik karena naik kapal laut kemudian tenggelam, tertimbun tanah
longsor, kebakaran rumah/kampung, dan berbagai peristiwa lainnya yang banyak terjadi belakangan ini
(hanya kepada Allah l-lah tempat berlindung).
Hukum waris di antara mereka meliputi lima keadaan:
1) Dapat diketahui dengan jelas siapa di antara mereka yang meninggal dunia belakangan. Dalam keadaan
ini, yang meninggal dunia belakangan mewarisi dari yang meninggal dunia sebelumnya, dan tidak
sebaliknya.
2) Dapat diketahui dengan jelas bahwa mereka meninggal dunia dalam waktu yang sama (sekaligus). Dalam
keadaan ini, mereka tidak saling mewarisi karena tidak adanya syarat waris, yaitu kejelasan tentang
hidupnya ahli waris setelah meninggalnya pemilik harta waris/muwarrits walau sesaat, baik bersifat pasti
maupun didasari oleh dugaan kuat (hukmi).
3) Tidak diketahui proses kematian mereka, apakah satu demi satu atau sekaligus.
4) Dapat diketahui bahwa proses kematian mereka satu demi satu, namun tidak bisa dipastikan siapa di
antara mereka yang meninggal dunia belakangan.
5) Dapat diketahui siapa di antara mereka yang meninggal dunia belakangan, kemudian lupa.
Pada tiga keadaan yang terakhir ini, menurut jumhur sahabat, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-
Syafi, dan generasi akhir dari murid-murid Al-Imam Ahmad, mereka tidak saling mewarisi satu dengan
yang lainnya, dan harta yang mereka tinggalkan diwarisi oleh ahli warisnya masing-masing yang hidup
ketika terjadinya peristiwa tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Al-Imam Ibnu Qudamah, Majduddin
Ibnu Taimiyah6, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah7, Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi, Asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-
Fauzan. (Lihat Tashilul Faraidh, hal. 132, At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 238
dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 251-253)
Akhir kata, sebagai penutup perlu kami sampaikan bahwa kajian waris yang diangkat dalam kesempatan
kali ini belum mewakili ilmu al-faraidh sebagai disiplin ilmu tertentu. Karena cakupannya amat luas dan
masing-masing pembahasannya pun membutuhkan rincian, sementara kajian dalam edisi ini sangat
terbatasi dengan jatah halaman. sehingga cukuplah kiranya yang diangkat hanya beberapa poin
terpentingnya saja.
Besar harapan kami semoga dengan kajian waris ini umat Islam semakin mengenal bimbingan agamanya
yang indah dan penuh hikmah, untuk kemudian berupaya mengamalkan bimbingan tersebut baik dalam
permasalahan waris secara khusus ataupun dalam berbagai permasalahan lainnya.
Dan sebagai amanat ilmiyyah kajian singkat ini kami nukilkan dan sarikan dari berbagai sumber
diantaranya : Tashilul Faraid oleh syaikh Utsaimin, At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah
oleh syaikh Sholih al Fauzan, al Mawarits f Syariah Islamiyyah oleh ash Shobuni dan Al-Khulashah Fi Ilmil
Faraidh oleh Nashir bin Muhammad Al-Ghamidi serta makalah tentang ilmu Faraidh oleh ust Ruwaif bin
Sulaimi dalam majalah Asy Syariah)
Wallahu alam bish-shawab.
:
;

Anda mungkin juga menyukai