Anda di halaman 1dari 27

RESEARCH PROPOSAL

NAMA : M. EQMAL

NPM : 151010614

PROGRAM STUDY : ILMU HUKUM

KEKHUSUSAN : HUKUM PERDATA

JUDUL : PELAKSANAAN HUKUM WARIS ISLAM PADA

MASYARAKAT BANJAR KECAMATAN

TEMBILAHAN KOTA KABUPATEN INDRAGIRI

HILIR

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam Indonesia masa kini masih belum terwujud sebagaimana

diharapkan atau belum terpolakan secara jelas (Muchith A. Karim, 2010:Xi). Sebagai

konsekwensi logis dari Negara kebangsaan (nation-state), dimana Islam tidak

menjadi dasar Negara, tetapi Islam setara dengan agama lain dan mendapat tempat

terhormat dalam konstitusi bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah

Negara sekuler dan bukan Negara agama, hukum Islam tidaklah mungkin dapat

secara formil/ langsung menjadi sumber otoritatif satu-satunya bagi hukum nasional

(Muchith A Karim, 2010:1).

Hukum kewarisan adalah salah satu bagian dari hukum perdata secara

keseluruhan dan merupakan bagian kecil dari hukum kewarisan adalah bagian dari

1
hukum kekeluargaan yang memegang peranan sangat penting, bahkan menentukan

dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat

sehingga hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan

manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang di

namakan kematian. Dengan demikian, akan timbul akibat hukum dengan terjadinya

peristiwa hukum kematian seseorang, yakni masalah pengurusan dan kelanjutan hak –

hak dan kewajiban – kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia terhadap orang

– orang yang termasuk keluarga yang ditinggalkan. Peristiwa hukum adalah peristiwa

yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. Akibat yang diatur oleh hukum ini,

dalam bidang hukum perdata, terutama berupa terjadi dan lenyapnya hak (Doland

Albert Rumoko, 2016:127)

Penjelasan hak – hak dan kewajiban sebagai meninggalnya seseorang inilah

yang di atur oleh hukum kewarisan. Hukum kewarisan memuat peraturan tentang

berbagai hal yang mencakup dengan hak dan kewajiban mengenai kekayan seseorang

pada saat iya meninggal dunia akan beralih pada orang lain yang masih hidup

(Syamsul Bahri Salihima, 2015:2). Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta

seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku

setelah yang mempunyai harta meninggal dunia (Amir Syafirudin, 2008:28).

Sistem hukum kewarisan Islam adalah system hukum kewarisan yang diatur

dalam Al-Quran, Sunnah atau Hadist dan Ijma serta Ijtihad. Pewarisan menurut

system hukum kewarisan Islam adalah proses pemindahan harta peninggalan

2
seseorang yang telah meninggal dunia, baik berupa hak-hak kebendaan maupun hak-

hak lainnya kepada ahli warisnya yang dinyatakan berhak oleh hukum.

Menurut Sayyid Sabiq mendefenisikan faraidh adalah bentuk jamak dari

faridhah yang diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (Ketentuan), dalam istilah

syarak fardh adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris, dan ilmu mengenai

hal itu dinamakan ilmu waris dan ilmu faraid.

Kemudian Wahbah al-Zuhaili menyebutkan ilmu waris adalah kaidah-kaidah

fiqih dan perhitungan-perhitungan yang dengannya dapat diketahui bagian masing-

masing setiap ahli waris dari harta peningglan.

Begitu pula dengan Muhammad Ali ash-Shabuni memberikan makna Almirats

(waris) menurut istilah, yaitu : “Berpindahnya hak kepemilikan dari seseorang yang

meninggal pada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa

harta (uang), atau tanah, atau apa saja yang berupa hak milik secara syar’i.

Pada pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa,

“Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hal pemilikan

harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa siapa yang berhak menjadi ahli

waris dan berapa bagianya masing-masing.

Adapun pembagianya diatur menurut hukum kewarisan Islam yang

menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur. Al-Quran menjelaskan

dan memerinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan

tanpa mengabaikan hak seorangpun. Bagian yang harus diterima dijelaskan dengan

3
tegas sesuai kedudukan nasab atau keturunan terhadap pewaris, maka sumber utama

dari hukum kewarisan Islam adalah Al-Quran diantaranya:

QS.An-nisa’(4): Ayat 11

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan

untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua

orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya

lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika

dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang

ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari

harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang

meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja),

maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa

saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di

atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya.

(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara

mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh,

Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana”.

QS.An-nisa’(4): Ayat 12

“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan

oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu

mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya

setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya.

4
Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak

mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh

seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu

buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-

laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan

anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara

perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu

seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka

mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat)

yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan

(kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha

Penyantun”.

QS.An-nisa’(4): Ayat 33

“Dan tiap-tiap dari kalian itu Kami jadikan wali-wali (ahli waris) dari apa-

apa yang ditinggalkan kedua orang tua dan kaum kerabat. Dan orang-orang yang

kalian mengikat perjanjian dengan kalian, maka berikanlah bagian mereka,

sesungguhnya Allah itu Maha menyaksikan atas segala sesuatu.”

QS.An-nisa’(4): Ayat 176

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah

memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan

ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi

5
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan

saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia

tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi

keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika

mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka

bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara

perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat.

Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Amir Syafirudin, 2008:27).

Setelah sumber-sumber pokok hukum kewarisan Islam yang berdasarkan ayat

Al-Quran diatas maka dapat pula di temukan dasar atau sumber hukum kewarisan

Islam didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijabarkan pada pasal 176 sampai

dengan 183 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Rancangan Kompilasi Hukum Islam

yang terdiri dari tiga buku yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang

Hukum Kewarisan, dan buku III tentang Hukum Perwakafan, selaras dengan

wewenang utama Peradilan Agama, yang telah diterima baik oleh para ulama dan

sarjana hukum Islam seluruh Indonesia dalam lokakarya yang diselenggarakan di

Jakarta tanggal 2 sampai 5 Februari 1988, melaluai Instruksi Presiden Nomer 1

Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 telah ditentukan sebagai pedoman bagi instansi

pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah –

masalah di ketiga bidang hukum tersebut.(Mohammad Daud Ali, 2004:295).

6
Sumber- sumber hukum kewarisan Islam selain dalam Al-Quran juga terdapat

dalam beberapa hadist Rasulullah Saw. beberapa hadist yang diriwayatkan mengenai

kewarisan diantaranya :

Hadist Nabi dari Utsmah bin Zaid menurut riwayat al-Bukhariy, Muslim, Abu

Dawud, al-Tarmizi dan Ibnu Majah

”Dari Usamah bin Zaid (semoga Allah meridhainya) bahwa Nabi SAW

bersabda”Seseorang Muslim tidak mewarisi non-Muslimdan non-Muslim tidak

Mewarisi seorang Muslim.”.”

Hadist Nabi Sawdari Abu Hurairahmenurut riwayat Abu Dawud dan Ibnu

Majah.

“Dari AbuHurairah dari Nabi Muhammad SAW. bersabda “Pembunuh tidak

boleh mewarisi”.”(Amir Syarifudin, 2008:15).

Hukum kewarisan Islam mendapat perhatian besar, karena soal warisan sering

menimbulkan akibat – akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditingal

mati pewarisnya. Naluriah manusia yang menyukai harta benda tidak jarang

memotivasi seseorang untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta

benda tersebut, termasuk di dalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya sendiri.

Kenyataan demikian telah ada dalam sejarah umat manusia, hingga sekarang.

Terjadinya kasus-kasus gugat waris di pengadilan, baik di Pengadilan Agama

maupun Pengadilan Negeri, menunjukan fenomena ini (Ahmad Rafiq, 2015:282).

Sebuah perstiwa pada zaman Nabi Muhammad Saw, “Sa’ad ibn al-Rabi’

tewas (di medan peraang sebagai syahid) meninggalkan dua orang anak perempuan

dan seorang istri serta seorang saudara laki-laki. Kemudian saudara laki-lakinya itu

7
mengambil harta (peninggalannya) seluruhnya. Maka datanglah istri (janda) Sa’ad,

dan berkata kepada Rasulullah Saw. : “ Wahai Rasulullah Saw., ini adalah dua anak

perempuan Sa’ad, dan Sa’ad tewas di medan peperangan, pamanya telah mengambil

harta kedua anak seleruhnya”. Maka Rasulullah Saw. Bersabda: “kembalilah kamu,

barangkali Allah akan memberi putusan dalam masalah ini”. Maka setelah itu

kembalilah istri Sa’ad tersebut, dan menangis. Maka turunlah ayat ini(QS An-

Nisa’[4]:11-12), maka Rasulullah Saw. Memangil pamannya (anak-anak Sa’ad) dan

bersabda: “Berilah kedua anak Sa’ad dua pertiga (al-tsulutsain), ibunya seperdelapan

(al-tsumun), dan sisanya untuk kamu.(Al-Nawawy.Al-Tafsir.Al-Munirli ma’alim Al-

Tanzil,Jus 1:141-142)

Turunya ayat tersebut, menurut al-Nawawy, merupakan awal penentuan

bagian warisan dalam Islam. Dalam riwayat Ahmad, al-Nisa’I dan Daruquthni

disebutkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :

“Pelajarilah o;eh kalian Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, dan

pelajarilah ilmu fara’id dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah

manusia yang bakal terenggut (kematian), sedangkan ilmu akan dihilangkan. Hampir

dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapakan seorang

pun yang dapat memberi fatwa kepada mereka.”([Riwayat Ahmad, al-Nasa’I, dan al-

Darruquthni)

Hadist tersebut mengisyaratkan keprihatinan Rasulullah Saw. bahwa dalam

pembagian warisan atas harta si mati tidak jarang menjadi pemicu terjadinya

pertengkaran. Karena itulah, Islam mengatur agar misi ajaranya dapat memberi rasa

keadilan dan kesejahteran bagi pemeluknya. Allah mengutus Rasul-Nya adalah untuk

8
menebar rahmat kepada seluruh alam ini (QS Al-Anbiya”[21];107). Sejauh mana

hukum kewarisan Islam dapat dipahami telah dapat mewujudkan rasa keadilan,

memang menuntut kearifan dan kedalaman pemahaman tersendiri. Karena Islam

menentukan bagian yang diterima perempuan (QS Al-Nisa’ [4]: 11-12). Untuk itu

memahami hukum kewarisan Islam diperlukan wawasan kesejahteran, paling tidak

system sosial dan system hukum yang melingkupi ketika awal Islam diturunkan.

Wacana kesejahteraan, secara sepintas akan dikemukakan pada bagian lain tulisan ini

(Ahmad Rafiq, 2015:283).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aturan yang ditetapkan Allah

pada umumnya mudah dipahami dan dijalankan oleh umat Islam yang berlatar

belakang budaya dan bangsa yang berbeda-beda itu. Maka dalam penerpan,

penyesuian dari aturan kewarisan menurut adat lama kepada ketentutan baru yang

disebut faraid itu semestinya tidak mengalami kesulitan. Namun, kenyatannya

sebagian umat yang hidup dalam lingkungan dan budaya tertentu mengalami

kesulitan dalam melaksanaknnya. Hanya karena ketentuan ini adalah hukum agama

maka mereka memaksakan diri menjalankannya sehingga pelaksanannya tidak sama

dengan yang diharapkan.

Disamping itu, dasar aturan penyelesaian warisan disebut faraid atau hukum

kewarisan Islam adalah beberapa ayat Al-Qur’an dan sedikit tambahan dari hadist

Nabi. Maka, keseluruhanya menjadi begitu sederhana dan mudah dipahami.

Sayangnya, hukum kewarisan tersebut terlanjur diasumsikan sebagai suatu yang sulit

dan hanya dapat dipahami oleh orang-orang tertentu.

9
Bila diperhatikan dengan seksama, akan ditemukan jawaban sementara atas

sebegitu sulitnya beberapa umat dalam lingkungan budaya tertentu menyesuaikan diri

dan menerima fraid sebagai hukum warisan yang mengurus penyelesaian warisan itu,

dan mengapa hukum tersebut menjadi sulit dibaca dan dipahami oleh mayoritas umat.

Diantara kesulitan dalam penerapan dalam lingkungan budaya tertentu itu ialah

meskipun dasar kewarisan Islam adalah firman Allah dan sabda Nabi, namun

interpretasi dan perumusanya menjadi hukum kewarisan sebagaimana ditemukan

dalam kitab-kitab fikih (Amir Syarifudin, 2015:37).

Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai ilmu faraid saat ini, dan masih

terjaganya kebiasaan serta masih kentalnya budaya didalam masyarakat yang

membuat kurang maksimalnya pelaksanaan hukum kewarisan Islam. Oleh sebab itu

penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul “Pelaksanaan

Hukum Kewarisan Islam Pada Masyarkat Banjar Kecamatan Tembilahan

Kabupaten Indragiri Hilir.”

B. Rumusan Masalah

Dari uraian pada latar belakang maka dapatlah dirumuskan beberapa

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan hukum kewarisan Islam pada masyarakat Banjar di

Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir?

2. Bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan

adat pada masyarakat Tembilahan?

10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian :

a. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanan hukum kewarisan Islam

pada masyarakat Banjar di Kecamatan Tembilahan Kabupaten

Indragiri Hilir

b. Untuk mengetahui bagaimana hukum kewarisan Islam denganhukum

kewarisan adat pada masyarakat Tembilahan

2. Manfaat penelitian :

a. Penelitian ini di harapkan dapat menambah ilmu wawasan penulis

serta penulis dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang telah penulis

peroleh selama diperkuliahan

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan penjelasan

mengenai pelaksanaan hukum kewarisan Islam pada masyarkat Banjar

di Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan tambahan

ilmu kepada peneliti-peneliti berikutnya yang hendak melakukan

penelitian, asalkan penelitian tersebut berhubungan dengan

permasalahan pada penelitian ini.

D. Tinjauan Pustaka

Melihat prinsipnya bahwa hukum perdata adalah hukum yang mengatur

hubungan antar per orangan maka antar hukum waris digolongkan kedalam

serangkaian hukum perdata. Dengan demikian apabila yang digunakan dalam

pembagian hukum waris adalah sistem hukum adat, maka disebut sebagai hukum

11
perdata adat. Apabila yang digunakan adalah sistem hukum islam, maka disebut

hukum perdata islam. Atau apabila yang digunakan adalah sistem perdata umum,

maka disebut hukum perdata umum (Badriyah Harun, 2009:4).

1. Pengertian, Dasar Hukum dan Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

Dalam Hukum kewarisan Islam dikenal beberapa istilah diantaranya:

a. Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima

warisan. Hak-hak waris dapat timbul karena hubungan darah dan

karena hubungan perkawinan. Ada ahli waris yang sesungguhnya

memiliki hubungan kekerabatan yang dekat, akan tetapi tidak berhak

mendapatkan warisan, ahli waris yang demikian itu disebut zawu al-

arham.

b. Muwaris, artinya orang yang diwarisi harta benda peninggalannya,

yaitu orang yang meninggal dunia, baik itu meninggal secara hakiki

atau karena melalui putusan pengadilan, seperti orang yang hilang (al-

mafqud) dan tidak diketahui kabar berita dan domisilinya.

c. Al-irs, artinya harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah

diambil untuk keperluan pemeliharaan jenazah, pelunasan utang serta

melaksanakan wasiat.

d. Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.

e. Tirkah, yaitu semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia

sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pelunasan

12
utang, dan pelaksanaan wasiat yang dilakukan oleh orang yang

meninggal ketika masih hidup(Ahmad Rafiq, 2002:4-5).

Secara bahasa, kata waratsa asal kata kewarisan digunakan dalam Al-Qur’an.

Dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam sunnah Rasulullah SAW hukum kewarisan Islam

ditetapkan. Secara bahasa, kata warasta memiliki beberapa arti; pertama mengganti

(QS Al-Naml[27]:16), artinya “Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Daud,

serta mewarisi ilmu pengetahuannya’. Kedua, memberi (QS Az-Zumar [39]:74)

(Mardani, 2014:12).

Menurut Prof.Dr. Amir syarifudin menjelaskan mengenai arti hukum kewarisan

Islam yang penggunaan kata ‘hukum’ diawalnya mengandung arti seperangkat aturan

yang mengikat dan penggunaan kata Islam dibelakang mengandung arti ‘dasar yang

menjadi rujukan’. Dengan demikian dengan segala titik lemahnya, Hukum kewarisan

Islam itu dapat diartikan dengan :”Seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu

Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berujud harta dari yang

telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat

untuk semua yang beragama Islam (Amir Syarifudin, 2008:6).

Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah faraid. Bentuk jamak dari kata

tunggal faridlah, artinya ‘ketentuan’. Hal ini karena, bagian-bagian warisan yang

menjadi hak ahli waris telah dibakukan dalam Al-Qur’an. Meskipun dalam

realisasinya, sering tidak tepat secara persis nominalnya, seperti masalah rad Iatau

‘aul, akan dikemukakan kemudian.

13
Ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah kewarisan, baik secara

langsung maupun tidak langsung di dalam Al-Quran dapat dijumpai dalam beberapa

surah dan ayat, yaitu sebagai berikut (Suharwadi, 2008:34) :

a. QS.An-Nisa(4) : 7

b. QS.An-Nisa(4): 8

c. QS.An-Nisa(4): 9

d. QS.An-Nisa(4): 10

e. QS.An-Nisa(4): 11

f. QS.An-Nisa(4): 12

g. QS.An-Nisa(4): 13

h. QS.An-Nisa(4): 14

i. QS.An-Nisa(4): 33

j. QS.An-Nisa(4): 176

k. QS.Al-Anfal(8): 75

Beberapa hadist Nabi Muhammad SAW. yang secara langsung mengatur

kewarisan adalah (Amir Syarifudin, 2008:11) :

a. Hadist Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari

“Berikanlah faraid (bagian-bagian yang ditentukan itu kepada yang

berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-lakidari keturunan laki-laki

yang terdekat.”

b. Hadist Nabi dari Jabir menurut riwayat Abu Dawud al-Tarmizi, Ibnu Majah

dan Ahmad

14
“Dari jabir bin Abdullah berkata : janda sa’ad dating kepada Rasul

Allah SWT. Bersama dua orang anak perempuany. Lalu iya berkata : “Ya

Rasull Allah, ini dua orang anak perempuan Sa’ad yang telah gugur secara

syahid bersamamu di Perang Uhud. Paman mereka mengambil harta

peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka.

Keduanya tidak dapat kawan tanpa harta.” Nabi berkata: “Allah akan

menetapkan hukum pada kejadian ini.” Kemudian turun ayat-ayat tentang

kewarisan. Nabi memanggil si paman dan berkata: “Berikan dua pertiga

untuk dua orang anak Sa’ad, seperdelapan untuk istri Sa’ad dan selebihnya

ambil untukmu.””

c. Hadist Nabi dari ‘Umran bin Husein menurut riwayat Ahmad, Abu Dawud

dan al-Tarmizi

“Dari ‘Umran bin Husein bahwa seseorang laki-laki mendatangi Nabi

sambil berkata: “bahwa anak dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa

yang saya dapat dari harta warisannya.” Nabi berkata: ”Kamu mendapat

sperenam.””

d. Hadist Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat al-Bukhariy, Muslim,

Abu Dawud, al-Tarmizi dan Ibnu Majah

“Dari Usamah bin Zaid (semoga Allah meridhoinya) bahwa Nabi

SAW. bersabda: “Seseorang muslim tidak mewarisi non-muslim dan non-

muslim tidak mewarisi seorang muslim.””(Tim Penerjemah Jabal, 2008:290)

e. Hadist Nabi dari Ibnu ’Amir al-Husaini menurut riwayat Abu Dawud, al-

Tarmizi dan Ibnu Majah

15
“Dari ‘Amir bin Muslim dari Thawus, dari’Aisyah yang berkata:

bersabda Rasul Allah: “ Saudara laki-laki inu menjadi ahli waris bagi yang

tidak ada ahli warisnya.””

Sebagaimana hukum yang terutama bersumber kepada wahyu Allah yang

disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW., Hukum kewarisan Islam mengandung

berbagai asaas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang

bersumber dari akal manusia. Disamping itu hukum kewarisan Islam dalam hal

tertentu mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan yang lain.

Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan

Islam itu. Adapun asas-asas hukum kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari Al-

Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. diantaranya:

a. Asas Ijbari

Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti

bahwa pemindahan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli

warisnya dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan

kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Unsur memaksa hukum

kewarisan Islam itu terlihat, terutama dari kewajiban ahli waris untuk

memperoleh peralihan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris sesuai

dengan bagian yang telah ditentukan oleh Allah yang termuat dalam Al-

Qur’an yang berada di luar kehendak manusia itu sendiri (Amir Syarifudin,

2008:16-17).

16
b. Asas Bilateral

Membicarakn asas ini berarti berbicara tentang kemana arah peralihan

harta itu dikalangan ahli waris. Asas bilateral dalam kewarisan mengandung

arti baha harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah. Hal ini berarti

bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak gris

kerutunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan (Amir

Syarifudin, 2008:20).

c. Asas Individual

Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan arti

bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan.

Masing-masing ahli waris menerima bagianya secara tersemdiri, tanpa terikat

dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam

nilai tertentu yang mungkindibagi-bagi; kemudian jumlah tersebut dibagikan

kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing

(Amir Syarifudin, 2008:21).

d. Asas Keadilan Berimbang

Berdasarkan defenisi kata ‘adil’ yang ada didalam Al-Quran dalam

hubunganya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang

menyangkut dengan kewarisan, kata tersebut dapat diartikan: keseimbangan

antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan

keperluan dan kegunaan. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan

gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam Artinya sebagai mana

pria, wanita pun berhak mendapatkan hak yang sama kuat untuk mendapatkan

17
warisan dengan catatan hak yang sama dalam mendapatkan warisan bukan

mengenai jumlah warisan (Amir Syarifudin, 2008:24).

e. Asas Semata Akibat kematian

Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang

lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang

mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang

tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang

mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan

harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung, maupun terlaksana

setelah dia mati, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum

Islam (Amir Syarifudin, 2008:28).

2. Golongan Ahli Waris

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 171 huruf c

menjelaskan ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia

mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,

beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Ahli waris ada dua macam yaitu (Ahmad Rofiq, 2015:303)

a. Ahli Waris Nasabiyah

Yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya didasarkan karena

hubungan darah (kekerabatan).

b. Ahli Waris Sababiyah

Yaitu ahli waris yang hubungan kewarisnnya karena suatu sebab,

yaitu sebab pernikahan dan memerdekakan budak.

18
Dari pasal KHI di atas, secara garis besar dilihat dari jenis kelamin ahli
waris, golongan ahli waris ada tiga macam (Beni Ahmad Saebani dan Samsul
Falah,2011:217) :

1. Ahli waris laki-laki ada sepuluh orang yaitu:

a. Anak laki-laki

b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki

c. Ayah

d. Kakek

e. Saudara laki-laki

f. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki

g. Anak laki-laki paman

h. Suami

i. Maula (orang yang telah memerdekakan si mayat)

2. Warisan perempuan ada tujuh orang:

a. Anak perempuan

b. Cucu perempuan ari anak perempuan

c. Ibu

d. Nenek perempuan

e. Saudara perempuan

f. Istri

g. Perempuan yang telah memerdekakan si mayat

19
3. Waris dalam keadaan bercampur (laki-laki dan perempuan) ada kalanya
tidak bercampur. Waris yang tidak bercampur, dari laki-laki ada dua
jalan, yaitu jalan yang panjang dan jalan yang pendek. Dari jalan yang
panjang ahli waris laki-laki ada 15 yaitu:

a. Anak laki-laki

b. Cucu laki-laki dan anak laki-laki

c. Ayah

d. Kakek

e. Saudara laki-laki sekandung

f. Saudara laki-laki seayah

g. Saudara laki-laki seibu

h. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

i. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah

j. Paman (saudara laki-laki dari ayah sekandung )

k. Paman ( saudara laki-laki dari ayah seayah )

l. Anak laki-laki paman (saudara laki-laki dari ayah sekandung)

m. Anak laki-laki paman (saudara laki-laki dari ayah seayah) Suami

n. Laki-laki yang telah memerdekakan si ayah.

E. Konsep Operasional
a. Pelaksanaan adalah proses, atau cara, atau perbauatan melaksanakan
rancangan, keputusan, dalam hal ini pelaksanaan hukum kewarisan Islam
(Dep Diknas, 2008:774).

20
b. Hukum Kewarisan Islam adalah seperangkat aturan yang bersumber dari Al-
Qur’an dan Hadist mengenai perlihan harta milik orang yang telah meninggal
(pewaris) kepada orang yang masih hidup (ahli waris)
c. Masyarakat Banjar adalah sekumpulan orang yang bertempat tinggal atau
mendiami suatu wilayah tertentu yang bersuku bangsa Banjar
d. Kecamatan Tembilahan adalah salah satu kecamatan yang terdapat di
Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, yang mana Tembilahan merupakan
ibu kota dari Kabupaten Indragiri Hilir.(Wikipedia;2003;
https://id.wikipedia.org/wiki/Tembilahan,_Indragiri_Hilir;diakses pada 9
Februari 2019).
e. Kabupaten Indragiri Hilir adalah salah satu kabupaten yang terdapat di
Provinsi.Riau.(Wikipedia;2003;https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Indra
giri_Hilir;diakses pada 9 Februari 2019).

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akurat dan relevan agar sesuai dengan yang
diharapkan, maka dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode
penelitian sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Ditinjau dari jenis penelitian maka penelitian ini termasuk kedalam

penelitian observational research dengan cara survey yaitu penelitian yang

dilaksanakan dilapangan untuk mengumpulkan dan memperoleh data secara

langsung, dengan menggunakan alat pengumpul data berupa kuisioner dan

wawancara. Yang selanjutnya akan dijadikan bahan dalam penulisan

penelitian ilmiah ini. Yang mana penelitian ini dilihat dari sifatnya, sifat

penelitian ini adalah deskriptif yaitu penelitian yang memberikan gambaran

21
serta menunjukan keadaan yang sebenarnya terhadap suatu objek.

dihubungkan dengan pelaksanaan hukum kewarisan Islam pada masyarkat di

kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir.

Soerjono Soekanto dalam bukunya menjelaskan bahwa penelitian

diskriptif yaitu dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin

tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, dengan tujuan

mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat

teori-teori lama, atau dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soejono

Soekanto 2008:10).

2. Lokasi Penelitian

Sesuai judul penelitian, maka penelitian ini dilakukan pada masyarakat

Banjar yang berdomisili di Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir.

Penulis tertarik melakukan penelitian di Kecamatan Tembilahan karena

beberapa alasan, diantaranya sebagai berikut:

a. Karena di Kecamatan Tembilahan, Islam merupakan agama mayoritas.

Hal ini tentu menjadi acuan penulis untuk melakukan penelitian

mengenai pelaksanaan hukum kewarisan Islam.

b. Karena penulis menemukan adanya beberapa pelaksanaan hukum

kewarisan Islam yang tidak sesuai dengan syariat islam atau ketentuan

waris islam (faraidh).

3. Populasi dan Sampel

Populasi merupakan jumlah keseluruhan dari objek yang akan diteliti yang

mempunyai karakteristik yang sama (homogen) (Syafrinaldi, 2017:15).

22
Sedangkan sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi

(Bambang Sunggono, 2005:19). Untuk mendapatkan sampel dari populasi

penulis menggunakan metode purpossive sampling, yaitu penulis menentukan

sendiri karakteristik orang yang akan dijadikan kuisioner. Hal ini dilakukan

karena tak semua masyarakat Banjar di Kecamatan Tembilahan memahami

temtang pelaksanaan hukum kewarisan Islam. Yang menjadi populasi dalam

pengambilan data diantaranya:

a. Pemuka Agama Islam

b. Kepla Keluarga

c. Lurah/Kepala Desa.

Tabel 1.1

NO Jenis Populasi Populasi sampel persentase keterangan

1 Pemuka Agama Islam 15 5 33.3% sensus

2 Kepala Keluarga 700 21 3% sensus

3 Lurah/Kepala Desa 6 2 33.3% sensus

Jumlah 721 27 - -

4. Data dan Sumber

Data Primer atau data utama penulis peroleh dari Responden. Berdasarkan

sampel yaitu responden Pemuka agama islam seorang ustad, ulama, yang

memahami ilmu faraid, dan kepala keluarga yang pernah menjadi Ahli waris

23
selanjutnya Lurah/Kepala desa yang menjadi saksi atas pelaksanaan hukum

kewarisan Islam.

Data Sekunder penulis peroleh berdasarkan buku-buku literatur mengenai

hukum kewarisan Islam, perdata Islam Al-Qur’an dan Hadist Nabi

Muhammad SAW. data sekunder juga penulis peroleh dari skripsi, jurnal dan

lain-lain.

5. Alat Pengumpul Data

Dalam mengumpulkan data penulis melakukan wawancara. Yaitu penulis

secara langsung melakukan tanya jawab kepada responden untuk

mendapatkan data, sebagaimana penulis sebutkan yang menjadi responden

ialah beberapa masyarkat Tembilahan yang karakteristiknya penulis

menentukan berdasarkan pengetahuan terhadap hukum waris Islam.

6. Analisis Data

Berdasarkan jenis metode observational research. Data yang diperoleh

dari kuisoner dikumpul, diolah dan disajikan secara sistematis. dengan

membandingkan data lapangan dengan dasar ketentuan pada pokok-pokok

penelitian. hingga penulis dapat memberikan sebuah deskripsi atau gambaran

dari objek yang diteliti.

7. Penarikan Kesimpulan

Untuk penarikan kesimpulan, penulis dalam hal ini melakukan metode

deduktif. Yaitu mengambil atau menarik kesimpulan berdasarkan hal yang

bersifat umum, yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat khusus yang

penulis kaitkan pada hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan hukum

24
kewarisan Islam pada masyarakat Banjar Kecamatan Tembilahan Kabupaten

Indragiri Hilir.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

B. Masalah pokok

C. Tujuan dan manfaat penelitian

D. Tinjauan pustaka

E. Konsep operasional

F. Metode penelitian

BAB II TINJAUAN UMUM

A. Tinjauan umum tentang Kabupaten Indragiri Hilir

B. Tinjauan umum tentang hukum kewarisan Islam

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan hukum kewarisan Islam pada masyarakat Banjar di

Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

B. Hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat pada

masyarakat Tembilahan

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

25
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Mohammad Daud. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta. PT RajaGrafindo Persada

Al-Nawawy. al-Tafsir al-Munir li ma’alim al-Tanzil. Jus 1. Semarang:Usaha-


Keluarga

Dep Diknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, PT Gramedia Pustaka
Utama, cetakan 1, edisi IV, 2008.
Harun, Badriyah. 2009. Panduan Praktis Pembagian Waris. Yogyakarta : Penerbit
Pustaka Yustisia

Karim, Muchith A. 2010. Pelaksanaan Hukum Waris. Yogyakarta: Maloko Jaya


Abadi.

Lubis, Suhrawardi K. 2008. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Mardani. 2014. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo


Persada.

Rafiq, Ahmad. 2015. Hukum Perdata Islam Di Indonesi. Jakarta : PT RajaGrafindo


Persada

Rafiq, Ahmad. 2002. Fiqh Mawaris Cet. Keempat .Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada

Rumoko, Doland Albert. 2016. Pengantar Ilmu Huku. Jakarta:PT Rajawali Pers.

Salihima, Syamsulbahri. 2015. Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan.


Makassar: Kencana
Syarifudin, Amir. 2008. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta:Kencana.

26
Saebani, Beni Ahmad dan Falah, Samsul. 2011. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Bandung : Pustaka Setia

Soekanto, Soerjono. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas


Indonesia Press
Syafrinaldi. 2017. Buku Panduan Penulisan Skrips. Pekanbaru: UIR PresS.
Tim Penerjemah Jabal. 2008. Sahih Bukhari Muslim. Bandung : penerbit Jabal

Internet

https://id.wikipedia.org/wiki/Tembilahan,_Indragiri_Hilir (diakses pada 9 Februari


2019, Pukul 01.10 WIB)
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Indragiri_Hilir (diakses pada 9 Februari
2019, Pukul 01.24 WIB)

27

Anda mungkin juga menyukai