Anda di halaman 1dari 2

B.

KOMPLEKSITAS HUKUM WARIS DI INDONESIA

Warisan merupakan segala sesuatu peninggalan (bisa asset dan bisa utang) yang
ditinggalkan oleh pewaris (orang yang meninggal) dan diwasiatkann kepada Ahli waris.
Wujud warisan tersebut dapat berupa harta (harta yang bergerak dan harta tidak bergerak)
dan termasuk juga diwarisi utang (kewajiban). Harta yang bergerak seperti kendaraan,
logam mulia, sertifikat deposito dan lain sebagainya. Harta tidak bergerak seperti rumah dan
tanah.

Warisan dapat menyelesaikan masalah atau justru dapat menambah masalah dalam
keluarga besar. Hal tersebut dapat terjadi karena perbedaan pendapat mengenai
pembagian tanggung jawab hingga pembagian harta waris. Pembagian waris menurut
hukum waris selalu berusaha membagi secara adil. Dan di Indonesia sendiri memiliki tiga
jenis hokum yang berlaku, yaitu hukum waris perdata, hukum waris adat, dan hukum waris
Ajaran Agama Islam.

1. Hukum Waris Adat

Hukum adat merupakan peraturan yang berlaku kepada segenap masyarakat pribumi sejak
dahulu. Tidak hanya masyarakat pribumi, tetapi masyarakat Tionghoa pun memiliki
kebiasaan adat sendiri yang dibawanya. Tampaknya sampai kapan pun unifikasi hukum
waris di Indonesia merupakan suatu upaya yang dapat dipastikan sulit untuk diwujudkan.
Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, satu diantaranya adalah bidang hukum waris
dianggap sebagai salah satu bidang hukum yang berada diluar bidang-bidang yang bersifat
“netral” seperti hukum perseroan, hukum kontrak, dan hukum lalu lintas (darat, air, dan
udara).

Misalnya, hasil penelitian Cristian van den Berg pernah mengeluarkan teorinya
dengan reception in complex yang menyatakan bahwa hukum agama adalah hukum adat,
yaitu tempat hukum adat telah meresepsi hukum Islam.  Sayuti Thalib dengan teori Receptie
a Cantrario bahwa
1. Bagi orang Islam berlaku hukum Islam.

2. Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita moral.

3. Hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan hukum

Islam dan agama Islam.

Teori berkenaan dengan hukum dikembangkan oleh Jaenal Arifin, yakni cultural existence
theory, yaitu hukum yang hidup (dalam penelitiannya yang dimaksud adalah pengadilan
agama) berkembang karena adanya kebutuhan sosial dan budaya.
1. Perwarisan dalam Sistem Hukum Perdata

2. Prisip Pewarisan Perdata


Dalam KUHPerdata berkaitan dengan waris telah dijelaskan sedemikian rupa. Menurut
ketentuan undang-undang tersebut, yang berhak menerima warisan adalah para keluarga
sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami/istri yang hidup terlama. Keluarga
sedarah yang jadi ahli waris ini dibagi dalam empat golongan yang masing-masing
merupakan ahli waris golongan pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Selain itu, yang
berhak mendapatkan harta warisan apabila ditunjuk dalam surat wasiat. Secara
testamintair, yaitu ahli waris yang ditunjuk dalam surat wasiat, terdapat dalam Pasal 899
UUHPerdata. Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat untuk para ahli warisnya yang
ditunjuk dalam surat wasiat/testamen.

1. Hukum Waris yang berdasarkan Hukum Islam

2. Sumber Hukum Waris

Yang dimaksud dengan sumber adalah asal. Jadi sumber hukum di sini tidak lain asal-asal
hukum. Dengan demikian, sumber hukum Islam tentang waris ialah asal hukum Islam
tentang waris.

Dalam hal ini sumber hukum waris itu Islam itu ialah:

1. Al-Qur’an

2. As-Sunnah

3. Ijma’

4. Ijtihad

5. Rukun-Rukun Waris

Rukun-Rukun Waris itu ada tiga, yaitu:

1. Mawaris, yaitu orang yang mewariskan dan meninggal dunia. Baik meninggal

dunia secara hakiki, atau karena keputusan hakim dinyatakan mati berdasarkan

beberapa sebab.

2. Al-Warits, yaitu orang yang mewarisi orang yang bertalian dengan mayit

dengan salah satu dari beberapa sebab yang menjadikan ia bisa mewarisi.

3. Al-Mauruts yakni harta warisan yang ditinggalkan mayit setelah kematiannya.

DAFTAR PUSTAKA :

https://pm.unida.gontor.ac.id/pewarisan-di-indonesia-perbandingan-tiga-sistem-hukum/

Anda mungkin juga menyukai