Anda di halaman 1dari 36

KELEBIHAN HUKUM WARIS ISLAM

DENGAN HUKUM WARIS LAIN-NYA


DEFINISI WARIS

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)


kata waris berarti Orang yang berhak menerima
Harta pusaka dari orang yang telah meninggal.

Di dalam bahasa Arab kata waris berasal dari


kata ‫ورثا‬-‫يرث‬-‫ ورث‬yang artinya adalah Waris.
Contoh, ‫ ورث اباه‬yang artinya Mewaris Harta
(ayahnya).
Dalam perkembangan sejarah hukum di indonesia,
Hukum Waris Islam di indonesia (HWI) berkembang
pesat, di tandai dengan munculnya peraturan dan
pendapat pendapat dari beberapa ahli, di antaranya :

1. Gagasan tentang harta bersama (gono-gini) dan sistem bilateral,


dikemukakan oleh Prof. Dr. Hazairin, SH. Beserta ahli hukum
lainnya.
2. UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur
kewenangan dan tata cara pemeriksaan perkara-perkaraorang
Islam, yaitu : masalah perkawinan, Warisan, dan Wakaf.
3. Amandemen UU No. 3 tahun 2006 yang memperluas kewenangan
Peradilan Agama memeriksa perkara-perkara : Zakat, Infak,
Shadaqah, dan Ekonomi Syari’ah.
4. Inpres No. 1 tahun 1991 tentang kompilasi Hukum Islam (KHI)
yang mengatur perkawinan, Waris, dan Wakaf.
Undang – Undang dan Inpres tersebut merupakan
hukum positif di indonesia . itu artinya, HWI adalah
hukum yang berlaku dan dilaksanakan oleh negara
melalui Peradilan Agama. HWI, yang dinyatakan
sebagai hukum positif ini, belum diatur dalam
undang-undang.

Namun para hakim telah mengacu pada KHI dalam


menyelesaikan perkara. Oleh sebab itu, sudah
selayaknya KHI segera diatur dalam undang-undang
agar dapat menjadi aturan yang kuat.

Banyak hal baru yang dapat di temukan dalam


himpunan peraturan tersebut : diantaranya tentang
peradilan ahli waris, gono gini, perdamaian dan lain-
lain.
Di seluruh Indonesia, mungkin tidak ada masalah
hukum yang lebih membingungkan daripada
masalah waris. Masalah yang mudah sekali
menimbulkan kekacauan dan perdebatan seru di
kalangan para ahli hukum maupun aktivis politik.

Banyak sekali bahan bacaan dan karangan yang di


terbitkan sejak permulaan abad ini, namun masih
belum nampak ada kesimpulan yang menyeluruh
dan belum pernah pula di coba membuat undang-
undang yang mengatur masalah waris untuk
seluruh indonesia.
Hanya dalam Undang-Undang Agraria tahun 1960,
ditemukan beberapa ketentuan yang menyangkut
kewarisan, terutama dalam bentuk bahan penelitian
dan administrasi persoalan umum yang menyangkut
hukum waris di indonesia, secara khusus
menggambarkan kelemahan maupun kekuatan
peradilan Agama Islam.

Begitu pula, problema kewarisan ini jelas sekali


menunjuk kan bagaimana hukum, kekuasaan
ideologi, pertentangan sosial maupun pertentangan
kelembagaan saling berkait tak terpisahkan.
Di sini tdak cukup tempat untuk menguraikan
semua bentuk bentuk dan sistem kewarisan
menurut adat dalam masyarakat indonesia. Buku
“Hukum adat di indonesia” dari Ter Haar,
merupakan pengantar yang baik.

Cukup disebut, bahwa garis besar susunan keluarga


di indonesia terdiri dari bilateral, patrilinial, serta
petrilinial. Dan pola-pola hukum kewarisan pada
umumnya mengikuti susunan-susunan itu. Di dalam
pola-pola keseluruhan itu , banyak variasi-variasi
setempat.
Kalau kondisi ekonomi dan sosial berubah , praktek
dalam hukum waris adat pun berubah dengan
sedikit atau banyak keteganganpada tahun-tahun
terakhir ini, peradilan sipil nasional telah mulai
memberikan penafsiran lebih bebas terhadap hukum
adat setempat, dengan lebih menonjolkan secara
seragam ciri-ciri yang sebagian menurut konsepsi
hukum keluarga di jawa dan untuk sebagian lain
standard dari kalangan intelektual kosmopolitan.
Adapun hukum waris islam, dapat di uraikan agak
luas, walaupun serba dangkal. Keuntungan dari
Islam ialah bentuknya yang seragam, sederhana dan
langsung. Ada dua kelompok utama yang berhak atas
waris.

Satu yang di sebut “Asabah,” semula berasal dari


kebiasaan Arab sebelum islam yang terdiri dari ahli-
ahli waristunggal dalam urutan keluarga patrilinial.

Mereka tetap merupakan sisa dari ahli waris bagi


keseluruhan harta benda (teoritis) , yang akan
menerima bagian setelah kelompok ahli waris lain
mendapat bagiannya yang sudah ditentukan
Kelompok kedua ini di sebut “ Ashabul fara’id atau
dzawil-furudl,” yaitu mereka-mereka yang oleh nabi
Muhammad SAW ditetapkan berhak pula atas
warisan. Suatu hal baru dalam masyarakat (di waktu
itu) , dalam kategori kedua ini, adalah
dikukuhkannya hak waris bagi keturunan wanita.

Hubungan darah menjadi ukuran pokok dalam


penentuan ahliwaris menurut kategori pertama,
sedangkan hubungan angkat (adopsi) tidak
mempunyai hukum apa-apa.
Termasuk di antara ketentuan waris menurut islam,
masalah adopsi ini tidak di pegang teguh di
indonesia, di mana sering terjadi dan bahkan
memeberikan akibat hukum yang penuh dengan hak-
hak kewarisan kepada anak angkat.

Rumusan Hukum Waris Islam sangat jelas.


Seperdelapan untuk istri, seperenam untuk suami,
kakek, ibu, nenek, saudara perempuan, dan
kemanakan perempuan, anak perempuan berhak
mendapatkan separo jika tidak ada laki-laki,
sepertiga bila ada anak laki-laki, dan seterusnya.
Semua harta benda waris di gabung dan dinilai uang,
sehingga pembagian masing-masing dapa di lakukan
dengan tepat sekali.
Oleh karena ketentuan tentang pembagian waris di
sebut dalam Al-Qur’an sendiri, maka dianggap sangat
mewajibkan. Tetapi ketentuan di dalam Al-Qur’an itu
tidak mencakup seluruh masalah hukum Waris
dalam Islam. Dan di lengkapi oleh ketentuan yang di
jelas kan oleh nabi Muhammad SAW.

TEORI HUKUM WARIS ISLAM

Hukum waris Islam dalam bahasa Arab dinamakan


ilmu Faraidh, yang berarti ilmu “pembagian”. Lebih
jelasnya, Faraidh adalah : suatu ilmu yang
menerangkan tata cara pembagian harta peninggalan
dari seorang yang telah meninggal kepada para ahli
warisnya.
A. Sumber Hukum Waris Islam
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijtihad

B. Asas-asas Pewarisan dalam Hukum Islam


1. Bagian warisan laki-laki dengan perempuan adalah 2
berbanding 1.
2. Pembagian harta peninggalan bersifat individual, yaitu
mengakui adanya hak milik perseorangan dan setiap ahli
waris berhak atas bagian harta yang telah di tentukan.
3. Pembagian harta peninggalan bersifat bilateral; artinya ,
pembagian ini berlaku kepada dua pihak (laki-laki dan
perempuan).
4. Bagian harta dari masing-masing ahli waris selalu berubah
sesuai dengan keberadaan ahli waris lainya.
C. Unsur-unsur Hukum Waris Islam
1. Rukun terjadinya warisan:
 Pewaris
 Ahli waris
 Tirkah (harta peninggalan)

2. Syarat-syarat terjadinya warisan :


 Pewaris benar-benar meninggal
 Ahli waris masih hidup pada waktu pewaris
meninggal
 Ilmu pengetahuan tentang Fara’idh atau HWI

3. Sebab-sebab terjadinya warisan:


 Nikah
 Keturunan
 Wala’ atau kemerdekaan hamba.
4. Terhalang untuk saling mewarisi dapat terjadi
karena:

 Berbeda agama.
 Membunuh dan memfitnah
 Menjadi budak orang lain.

5. Hal-hal yang berhubungan dengan harta


peninggalan:

 Kewajiban yang melekat seperti: zakat, jaminan.


 Biaya penyelenggaraan jenazah.
 Membayar hutang
 Membayar wasiat (maksimum 1/3bagian.)
 Pembagian kepada ahli waris
PERBANDINGAN HUKUM
WARIS BARAT, ISLAM DAN ADAT
Hukum Waris Barat
Pada asasnya yang dapat beralih kepada para ahli
waris ialah hak dan kewajiban pewarisan yang
terletak dibidang hukum harta benda atau harta
kekayaan.

Dengan meninggalnya seseorang maka seketika itu


juga beralihlah semua hak dan kewajiban pewaris
kepada para ahli warisnya sebagaimana diatur dalam
Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata

Yang berhak untuk mewaris adalah keluarga atau ahli


waris yang mempunyai hubungan darah dengan
pewaris. Oleh karena itu, pada awalnya suami atau
isteri yang hidup terlama tidak mempunyai hak untuk
mewaris.
Pada asasnya harta peninggalan tidak boleh dibiarkan
dalam keadaan tidak terbagi, kecuali jika hal itu
terjadi, dengan persetujuan para ahli waris.

Pada asasnya setiap orang sekalipun bayi yang baru


dilahirkan adalah cakap untuk mewaris, kecuali
mereka yang dinyatakan tidak patut untuk mewaris.

Bahkan lebih lanjut KUHPerdata Pasal 2 menyatakan


bahwa bayi yang belum lahir (masih dalam
kandungan) mempunyai hak waris.
Dalam Hukum Perdata Barat, pada hakekatnya
pembagian waris (pewarisan) dapat terjadi
berdasarkan 2 cara, yaitu :

 Pewarisan yang terjadi karena ditunjuk oleh


undang undang, yang disebut pewarisan ab-
intestato dan para ahli waris disebut ahli
waris abintestaat.

 Pewarisan yang terjadi karena ditunjuk


oleh testament atau surat wasiat.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dalam
hukum perdata barat dikenal 4 penggolongan ahli
waris yaitu :

 Golongan I :
anak anak dan keturunan serta janda atau dud
a yang hidup terlama (Pasal 852 KUHPerdata)
 Golongan II : orang tua, saudara laki laki, saudara
perempuan dan keturunan dari saudara laki
laki dan saudara perempuan (Pasal 854, 857, 8
59 KUHPerdata)
 Golongan III : Keluarga sedarah dalam garis lurus
ke atas sesudah orang tua (Pasal 853 KUHPerdata)
 Golongan IV: Keluarga sedarah lainnya dalam
garis menyamping sampai derajat ke enam (Pasal
858 KUHPerdata)
Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki
dan perempuan, juga tidak membedakan urutan
kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris
golongan pertama jika masih ada maka akan menutup
hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus
ke atas maupun ke samping.

Demikian pula golongan yang lebih dekat derajatnya


menutup yang lebih jauh derajatnya. Sedangkan ahli
waris menurut surat wasiat atau testamen, jumlahnya
tidak tentu sebab ahli waris macam ini bergantung
pada kehendak si pembuat wasiat.
a. Sumber hukum: KUH Perdata.
b. Sistem kewarisan: bilateral, individual.
c. Terjadinya pewarisan karena menurut UU:
1. Adanya hubungan darah
2. Adanya perkawinan (Karena ditunjuk
testamentier)
d. Berbeda agama mendapat warisan.
e. Sistem golongan ahli waris: I, II, III, IV.
f. Ahli waris mempunyai tanggung jawab
kebendaan (utang, pinjaman)
g. Bagi laki-laki dan perempuan adalah sama.
h. Sebagian ahli waris bagian nya tertentu (pasal
584 KUHPerdata)
i. Anak/Suami/Istri (golongan I) menutup orangtua
(golongan II).
j. Anak angkat mendapat warisan.
k. Wasiat dibatasi oleh laki-laki dan wanita (bagian
mutlak).
l. Jenis harta dalam perkawinan:

• Harta campur
• Harta pisah
• Perjanjian kawin ( untung rugi, hasil
pendapatan dan lain-lain)
Hukum Waris Islam

Pengertian Hukum Waris Islam


Hukum Waris Islam adalah suatu hukum yang
mengatur pembagian harta peninggalan seseorang
yang berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Terdapat
beberapa pendapat mengenai definisi hukum waris
yang dikemukakan oleh beberapa fuqaha (ahli
hukum fiqh) yaitu :

Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum kewarisan adalah


suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui
orang yang menerima pusaka, orang yang tidak
menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-
tiap waris dan cara membaginya.
Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu
fara’id ialah Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah
fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta
warisan dan orang-orang yang berhak yang
mendapatkannya agar masing-masing orang yang
berhak mendapatkan bagian harta warisan yang
menjadi haknya.

Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu hukum


yang mengatur tentang peralihan hak milik atas harta
warisan dari pewaris kepada orang-orang yang berhak
menerimanya (ahli waris), barapa besar bagiannya
masingmasing, kapan dan bagaimana cara
peralihannya sesuai ketentuan dan petunjuk Al-
Qur’an, hadist dan ijtihad para ahli.
Dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa hukum
waris islam itu merupakan hukum yang mengatur
tentang pemindahan dan pembagian harta
peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia
kepada orang-orang yang masih hidup, baik
mengenai harta yang ditinggalkan, orang-orang yang
berhak menerimanya (ahli waris), bagian masing-
masing ahli waris maupun cara penyelesaian
pembagiannya

a. Sumber hukum: Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijtihad


b. Sistem Kewarisan: bilateral, individual.
c. Terjadinya pewarisan karena
 Adanya hubungan darah
 Adanya perkawinan
d. Berbeda agama tidak mendapat warisan.
e. Tidak ada golongan ahli waris tetapi ada sistem
hijab.
f. Ahli waris hanya bertanggung jawab sampai batas
harta peninggalan.
g. Bagian anak laki-laki dan anak perempuan adalah
2 berbanding 1.
h. Bagian ahli waris tertentu: ½, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6/
1/8.
i. Anak (cucu) dan orang tua tidak saling menutup.
j. Wasiat maksimum 1/3 dari harta peninggalan
(kecuali ahli waris setuju)
k. Jenis harta dalam perkawinan
 Harta bawaan
 Harta campur
Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan
keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan
proses penerusan/pengoperan dan
peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan
non materiil dari generasi ke generasi.
Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas
lapangan hukum waris atas lapangan hukum waris
dapat diwariskan sebagai berikut:

1. Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum


adat yang bersangkutan membatasi pewarisan
tanah.
2. Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-
perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah
si pelaku meninggal.
3. Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus
dilanjutkan oleh ahli
waris.
4. Struktur pengelompokkan wangsa/anak, demikan
pula bentuk perkawinan turut bentuk dan isi
perkawinan.

Perbuatan-perbuatan hukum seperti adpsi,


perkawinan ambil anak, pemberian
Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum
waris adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah
menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa
didalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya
akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya
dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas hukum waris
adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis
ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum
waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris
serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada
ahli waris.
Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum
penerusan harta kekeyaan dari suatu generasi kepada
keturunannya. Dalam hal ini dapat diperhatikan
bagaimana pendapat para ahli hukum adat dimasa
lampau tentang hukum waris adat

Dengan demikian hukum waris itu mengandung


tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan harta
warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta
kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang
akan meneruskan pengurusannya atau yang akan
menerima bagiannya

a. Sumber hukum:
 Adat atau kebiasaan
 Yurisprudensi
b. Sistem kewarisan, bervariasi: bilateral, patrilineal,
matrilineal, mayorat.
c. Terjadinya perwarisan karena:
Adanya hubungan darah
Adanya perkawinan
Adanya pengangkatan anak
d. Berbeda agama mendapat warisan
e. Ahli waris hanya bertanggung jawab sampai batas
harta peninggalan.
f. Bagian laki-laki dan bagian perempuan adalah
sama.
g. Tidak ada bagian tertentu
h. Anak angkat dapat warisan
i. Wasiat di batasi jangan sampai mengganggu
kehidupan anak.
Jenis harta dalam perkawinan menurt waris
adat:

 Harta bawaan.
 Harta gono-gini atau harta pencarian atau
harta bersama.
KEISTIMEWAAN HUKUM WARIS ISLAM
1. Universal: dapat diterima setiap lapisan
masyarakat.
2. Ijbari: berlaku menurut ketetapan Allah dan
Rasul. Allah Swt. Menjanjikan syurga untuk
orang yang melaksanakan HWI dan mengancam
dengan neraka untuk orang yang tidak
melaksanakannya (QS. 4:13-14.)
3. Bilateral: ahli waris dari pihak ibu dan bapak.
4. Hak berimbang: sesuai dengan hak dan
kewajiban.
5. Individual: mengakui hak pribadi.
6. Menghormati hak orang tua dan istri.
7. Memiliki keunggulan komparatif daripada
hukum waris barat dan adat.
DAFTAR PUSTAKA

Arief , S. (2008). Praktik Pembagian Harta


Peninggalan berdasarkan Hukum Waris Islam,
Darunnajah Publishing. Jakarta, 289 hal.
Daniel.S. Lev. (1980) .Peradilan Agama di
Indonesia. PT, Intermasa, jakarta
Subekti.R dan Tjitrosudibio (1914) .Burgerlijk
Wetboek. PT. Pradnya paramita, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai