Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

HUKUM WARIS DALAM ISLAM

DI SUSUN OLEH :
Husaini Alfisian Y (20200410302)

Meli Putri Liyani (20200410323)

M. Syahrizal Rasyidi (20200410326)

Putri Andriyani P (20200410302)

PRODI MANAJMENE FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum keluarga dan sungguh sangat
erat kaitannya dengan masyarakat, karena padahakikatnya manusia yang hidup pasti akan
mengalami kematian, sehingga masalah waris merupakan suatu hal yang kemungkinan besar
ada dalam kehidupan masyarakat karena, Pengertian waris adalah proses peralihan harta dari
orang yang telah meninggal kepada ahli waris.1 Proses peralihan harta tersebut merupakan
peristiwa kewarisan dari yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dan
merupakan keturunannya secara otomatis.

Mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, maka Hukum Waris Islam


merupakan hukum yang sering digunakan dalam menyelesaikan masalah waris di Indonesia,
terlebih setelah dikeluarkannya dan berlakunya UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang dalam Pasal
49 UU No.3 Tahun 2006 dalam Penjelasannya menyebutkan bahwa “ warga negara muslim
di Indonesia sudah tidak mempunyai hak pilih hukum dalam melaksanakan pengurusan
kewarisannya hanya dapat diajukan ke Pengadilan Agama yang artinya Penyelesaiannya
berdasarkan Hukum Islam”. Yang artinya kompetensi mengadili masalah waris orang Islam
harus dilakukan di Pengadilan Agama.

Oleh karenanya memahami proses mewaris secara Islam adalahsuatu keniscayaan


bagi sarjana hukum di Indonesia, karena mayoritaspenduduk bangsa Indonesia beragama
Islam. Pengertian Hukum Waris Menurut Islam adalah suatu disiplin ilmu yang membahas
tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak
menerima bagian harta warisan / peninggalan itu serta berapa masing-masing bagian harta
waris menurut hukum waris Islam.

Sumber utama dalam hukum Waris Islam adalah AlQur’an Surat An-Nisa' ayat 7, 9,
11, 12, 13, 14, 22, 23, 24 a,b dan 176.Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk
yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap
manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga
menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli
warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan, besar atau kecil. 3 Selain dalam Al-qur‟an, sumber pengaturan mengenai hukum
waris Islam khususnya di Indonesia bersumber pula pada Hadist dan Kompilasi Hukum
Islam/KHI (Instruktur Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991).

Hukum waris merupakan Ilmu faraidh , hukum mempelajari ilmu faraidh adalah fardu
Kifayah yang artinya bila sudah ada yang mempelajarinya gugurlah kewajiban itu bagi orang
lain. Selain itu ada juga yang mewajibkan mempelajari dan mengajarkan hukum waris Islam
dijumpai dalam Hadist Rassullullah Salallahu Alaihi Wassalam yang diriwayatkan oleh
Ahmad, An-Nasa‟I dan As-Daruqthniy yang artinya :

“Pelajarilah Al-Qur‟an dan ajarkan kepada orang-orang dan pelajarilah faraidh dan
ajarkanlah kepada orang-orang. Karena saya adalah yang bakal direnggut (mati), sedangkan
ilmu itu akan

diangkat. Hampir-hampir dua orang yang bertengkar tentang pembagian pustaka, maka
mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup menfatwakannya kepada
mereka”.

Pada praktiknya, proses pewarisan tidak selalu berjalan mulus.Terkadang, terjadi


selisih pendapat antar ahli waris tentang siapa yang paling berhak menerima warisan. Dalam
Waris Islam juga mengatur bahwa Warisan haruslah cepat dibagikan atau sesegera mungkin
setelah urusan hutang piutang,dan segala bentuk urusan yang berhubungan dengan si mayit
selesai.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana hukum


waris dalam islam dan bagaimana bagian waris agar nantinya umat islam dapat menjalankan
hukum waris sesuai dengan hukum waris islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Hukum Waris dalam islam dan apa saja asas-asanya


2. Darimana saja sumber-sumber hukum waris dan apa penyebab hilangnya hak
kewarisan dalam islam.
3. Apa saja golongan dan bagian waris dalam hukum waris

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui hukum waris dalam islam dan asas-asas hukum waris
2. Untuk mengetahui sumber-sumber hukum waris dan penyebab hilangnya hak waris
dalam islam
3. Untuk mengetahui golongan yang menerima hak waris dan bagianya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kewarisan Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti Orang yang berhak
menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Di dalam bahasa Arab kata waris
berasal dari kata ‫ورثا‬-‫رث‬HH‫ي‬-‫ ورث‬yang artinya adalah Waris. Contoh, ‫اه‬HH‫ ورث اب‬yang artinya
Mewaris harta (ayahnya).

Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli
warisnya dan juga berbagai aturan tentang perpidahan hak milik, hak milik yang dimaksud
adalah berupa harta, seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah
lain waris disebut juga dengan fara‟id. Yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut
agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya dan yang telah di tetapkan
bagianbagiannya.4 Adapun beberapa istilah tentang waris yaitu :

1. Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan. Ada
ahli waris yang sesungguhnya yang memiiki hubungan kekerabatan yang dekat akan tetapi
tidak berhak menerima warisan. Dalam fiqih mawaris, ahli waris semacam ini disebut ini
disebut Zawil alarham. Hak-hak Waris bisa ditimbulkan karena hubungan darah, karena
hubungan perkawinan, dan karena akibat memerdekakan hamba.

2. Mawarrits, ialah orang yang diwarisi harta benda peninggalan. Yaitu orang yang
meninggal baik itu meninggal secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan),atau melalui
keputusan hakim. Seperti orang yang hilang (al-mafqud), dan tidak tahu kabar beritanya
setelah melalui pencaharian dan persaksian, atau tenggang waktu tertentu hakim memutuskan
bahwa ia dinyatakan meninggal dunia melalui keputusan hakim.

3. Al-Irts, ialah harta warisan yang siap dibagi kepada ahli waris sesudah diambil
untuk keperluan pemeliharaan zenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan utang, serta pelaksanaan
wasiat.
4. Waratsah, ialah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda
dengan harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak bisa dibagi-bagi, karena menjadi
milik kolektif semua ahli waris.

4. Tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil
untuk kepentingan pemeliharaan zenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiyat
yang dilakukan oleh orang yang meninggal ketika masih hidup.
B. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam

Dalam kewarisan Islam ada beberapa asas yang berkaitan dengan peralihan harta
kepada ahli warist, cara pemililkan harta oleh yang menerima kadar jumlah harta dan waktu
terjdinya peralihan harta. Asas-asas tersebut yaitu:

1. Asas Ijbari

Asas Ijbari ialah pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya
berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Tanpa digantungkan kepada kehendak
pewaris dan ahli warisnya dan asas ini dapat dilihat dari berbagai segi.

Ketentuan asas Ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan al-Quran surat An-nisa ayat
:7

ِ ‫ك ْال َوالِ ٰد ِن َوااْل َ ْق َربُوْ نَ ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ اَوْ َكثُ َر ۗ ن‬


‫َص ْيبًا َّم ْفرُوْ ضًا‬ ِ ‫صيْبٌ ِّم َّما تَ َركَ ْال َوالِ ٰد ِن َوااْل َ ْق َربُوْ ۖنَ َولِلنِّ َس ۤا ِء ن‬
َ ‫َصيْبٌ ِّم َّما تَ َر‬ ِ َ‫لِل ِّر َجا ِل ن‬

Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

Ayat di atas menjelaskan bahwa: “bagi seorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari
harta peninggalan orang tuanya atau dari karib kerabatnya, kata nasib dalam ayat tersebut
dalam arti saham, bagian atau jatah dari harta peninggalan sipewaris.

2.Asas Bilateral

Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah seseorang
menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis keturunan
perempuan maupun keturunan laki-laki. Untuk lebih jelasnya asas bilateral in dapat dilihat
dalam surah an-Nisa ayat :7, dan 11. Dalam ayat 7 dijelaskan dikemukakan bahwa seorang
laki-laki berhak memperoleh warisan dari pihak ayahnya maupun ibunya. Begitu juga dengan
perempuan mendapat warisan dari kedua belah pihak orang tuanya. Ayat ini merupakan dasar
bagi kewarisan bilateral selanjutnya di pertegas dalam surah an-Nisa: 11.

3. Asas Individual

Asas individual ini adalah, setiap ahli waris (secara individu) berhak atas bagian yang
didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan demikian bagian yang diperoleh
oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan semua harta yang telah menjadi
bagianya. Ketentuan ini dapat dijumpai dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7 yang
secara garis besar menjelaskan bahwa anak laki-laki maupun prempuan berhak meerima
warisan dari orang tuanya dan karib kerabatnya, terlepas dari jumlah haran yang yang telah
ditentukan .yang mengemukakan bahwa bagian masing-masing ahli waris ditentukan.

4. Asas Keadilan Berimbang

Yang dimaksud asas keadilan berimbang adalah keseimbangan antara antara hak dengan
kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan kegunaan.
Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidak menentukan
dalam hak kewarisan.

5. Kewarisan Akibat Kematian

Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata karena
adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih apabila belum
ada kematian. Apabila pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak dapat dilakukan
dengan pewarisan

C. Sumber-Sumber Hukum Waris

Ada beberapa Sumber hukum ilmu faraidh adalah al- Qur’an, as- Sunnah Nabi saw, dan ijma
para ulama.

1.Al-Qur’an

Dari sumber hukum yang pertama al-Qur’an, setidaknya ada tiga ayat yang memuat tentang
hukum waris. Ada beberapa ayat yang berkaitan dengan kewarisan yaitu surat An-Nisa ayat
11
2.Hadis

Ada beberapa hadis yang menerangkan tentang pembagian harta waris antara lain:

Artinya: dari Ibnu Abbas ra. Nabi Muhammad Saw bersabda” berikanlah harta pusaka
kepada orang- orang yang berhak sesudah itu sisanya untuk laki-laki yang lebih utama.
(Hr.Muslim).

Artinya: Dari Usamah bin Said ra. Bahwasanya Nabi saw bersabda: tidaklah berhak seorang
muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewaisi ( Hr. Bukhari dan Muslim).

3.Ijma dan Ijtihad

Para sahabat, tab‟in, generasi pasca sahabat dan tabi‟it tabi‟in dan generasi pasca
tabi‟in. Telah berijma atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraid dan tidak ada yang dapat
menyalahinya.19 Imam- imam mazhab yang berperan dalam pemecahan- pemecahan
masalah waris yang belum dijelaskan dalam nash-nash shorih.

D. Sebab –Sebab Hilangnya Hak Kewarisan Dalam Islam.

Adapun yang dimaksud sebab hilangnya hak keawarisan adalah hal-hal yang menggugurkan
hak ahli waris untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris. Ada beberapa sebab yang
mengakibatkan ahli waris kehilangan haknya yaitu:

1.Perbudakan

Seorang yang berstatus sebagai budak tidaklah mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun
dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak menjadi milik tuannya juga.

2.Perbedaan Agama.
Adapun yang dimaksud perbedaan agama ialah keyakinan yang dianut antara ahli waris dan
muaris (orang yang mewarisi) ini menjadi penyebab hilangnya hak kewarisan sebagaimana
ditegaskan dalam hadis Rasulullah dari Usama bin Zaid, diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim,
Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibn Majah. Yang telah disebutkan bahwa seorang muslim tidak
bisa menerima warisan dari yang bukan muslim.23 Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa
hubungan antara kerabat yang berbeda agama dalam kehidupan sehari-hari hanya nenyangkut
hubungan sosial saja.

3.Pembunuhan

Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dari pewaris yang


dibunuhnya. Ini berdasarkan hadis Rosulullah dari Abu Hurairah yang di riwayatkan oleh Ibn
Majah, bahwa seseorang yang membunuh pewarisannya tidak berhak menerima warisan dari
orang yang dibunuhnya. Dari hadis tersebut menegaskan bahwa pembunuhan menggugurkan
hak kewarisan.

4.Berlainan Negara

Yang dimaksud dengan negara dalam hal ini ialah ibarat suatu daerah yang ditempat tinggali
oleh muarris dan ahli waris, baik daerah itu berbentuk kesultanan, kerajaan, maupun republik.

5.Murtad

Adapun yang dimaksud Murtad ialah orang yang keluar dari agama Islam, dan tidak dapat
menerima harta pusaka dari keluarganya yang muslim. Begitu pula sebaliknya.

E. Golongan dan Bagian Hak Waris

1.Golongan ahli waris

Adapun ahli waris dari kalangan dari kalangan laki-laki ada sepuluh yaitu: Anak laki-laki,
Cucu laki-laki dari anak laki-laki, Ayah, Kakek dan terus ke atas, Saudara laki-laki
sekandung, Saudara laki-laki dari ayah, Paman, Anak laki-laki, suami, Tuan laki-laki yang
memerdekakan budak.

Ada tujuh ahli waris dari dari kalangan perempuan yaitu: Anak perempuan, Anak perempuan
dari anak laki-laki, Ibu, Nenek, Saudara perempuan, Istri, dan Tuan wanita yang
memerdekakan budak.
Ada lima ahli waris yang yang tidak perna gugur mendapatkan mendapatkan hak waris yaitu:
Suami, Istri, Ibu, Ayah, dan Anak yang langsung dari pewaris

Dan ashabah ang paling dekat yaitu: Anak laki-laki, Cucu dari anak laki-laki, Ayah, Kakek
dari pihak ayah, Saudara laki-laki seayah dan seibu, Saudara laki-laki seayah, Anak laki-laki
dari saudara laki seayah dan seibu, Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, Paman, Anak
laki-laki paman, dan Jika Ashabah tidak ada, maka tuan yang memerdekakan budaklalah
yang mendapatkannya.

2.Bagian waris

Masing-masing ahli waris mempunyai bagian yang berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi
karena jumlah ahli waris yang ada dan jauh dekatnya suatu hubungan. Adapun bagian
masing-masing ahli waris yaitu dalam bentuk tabel sebagai berikut:

AHLI
N O BAGIAN KONDISI
WARIS
½ Tidak ada Anak/ Cucu
1 Suami
¼ Ada Anak/ Cucu
¼ Tidak ada Anak/ Cucu
1
/8 Ada Anak/ Cucu
2 Istri
Dari ¼ atau 1/8 bagian tsb
dibagi rata
(jika Istri lebih dari seorang)
Sendirian atau bersama
Dzawil Furudh
Ashabah
2 x bagian Anak pr (jika ada
3 Anak lk Anak lk dan Anak pr)

dibagi rata Anak lk lebih dari seorang

½ Anak pr hanya seorang


2 Anak pr lebih dari seorang
/3
4 Anak pr (dibagi rata)
½ bagian Anak lk (jika ada
Ashabah
Anak lk dan Anak pr)
5 Cucu lk 0 Ada Anak lk
(dari Sendirian atau bersama
Anak lk) Dzawil Furudh
Ashabah
2 x bagian Cucu pr (jika ada
Cucu lk dan Cucu pr)

dibagi rata Cucu lk lebih dari seorang

- Ada Anak lk
Ada dua orang atau lebih Anak
0
pr (kecuali Cucu pr bersama
Cucu lk)
Cucu pr ½ Cucu pr hanya seorang
6 (dari
2 Cucu pr lebih dari seorang
Anak lk) /3
(dibagi rata)
1
/6 Cucu pr bersama Anak pr
½ bagian Cucu lk (jika ada
Ashabah
Cucu lk dan Cucu pr)
1
/6 Ada Anak lk atau Cucu lk
1
/6 dan sisa Ada Anak pr atau Cucu pr
2 Ahli waris hanya Ayah dan
/3
Ibu
7 Ayah
(setelah dikurangi hak Istri/
2
/3 dari sisa Suami), jika ada Istri/ Suami
dan Ibu
Ashabah Tidak ada ahli waris lainnya

1 Ada Anak/ Cucu/ dua orang


/6
atau lebih Saudara

1 Ahli waris hanya Ibu, atau


/3
8 Ibu Ayah dan Ibu

(setelah dikurangi hak Istri/


1
/3 dari sisa Suami), jika ada Istri/ Suami
dan Ayah

F. Kewarisan Menurut KHI ( Kompilasi Hukum Islam)

1. .Ahli waris
Menurut pasal 172 KHI yang disebut ahli waris “ ahli waris dipandang beragama
Islam apabila diketahui dari Kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau
kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa,
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya. Kemudian menurut Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat para pewaris.
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.

2. Kelompok Ahli Waris


Adapun mengenai kelompok ahli waris ditentukan pada Pasal 174 yaitu
Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
Menurut hubungan darah:
a. golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan
kakek.
b. Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari
nenek.

3. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.


Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak,
ayah, ibu, janda atau duda.

4. Besarnya Bagian
Adapun mengenai besarnya bagian dalam Pasal 176 dijelaskan bahwa” Anak
perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih
mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan
bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua
berbanding satu dengan anak perempuan. Selanjutnya pada Pasal 177 mengenai
bagian yang didapat ayah” Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. Pada Pasal 178
a. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih.
Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat
sepertiga bagian
b. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda
bila bersamasama dengan ayah.

G. Kesimpulan
1. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing, Dari definisi hukum kewarisan menurut KHI ini, dapat kita
simpulkan bahwa hukum kewarisan merupakan aturan-aturan tentang bagaimana
kepemilikan harta peninggalan di bagikan kepada orang-orang yang berhak atas pembagian
itu,serta ketentuan-ketentuan yang mengatur berapa saja bagian tiap-tiap mereka yang
berhak atas harta peniggalan itu.
2. Seorang khunsa dapat mempunyai kedudukan yang sah untuk menjadi ahli waris
berdasarkan kelamin baru apabila telah diperoleh putusan yang sah, karena telah dilalui
proses penanganan secara medis terhadap seorang khunsa tersebut dan telah melalui
proses hukum hukum yang sah maka seorang khunsa tersebut mengikuti status hukum yang
baru apabila terjadi perubahan status dari yang awalnya misalkan berjenis kelamin wanita
menajadi berjenis kelamin pria, hal ini tidak bertentangan dengan FATWA MUI dalam
MUNAS No. 3 Tahun 2010, dimana penulis menyimpulkan seorang khunsa dapat tergolong
golongan yang sah melakukan operasi jenis kelamin karena berkelamin ganda, dan statusnya
mengikuti jenis kelamin yang baru setelah dilakukan operasi ataupun sesuai putusan yang
berlaku.
3. Upaya hukum yang dapat dialkukan seorang khunsa untuk memperoleh kepastian hukum
adalah melalui proses pengajuan perubahan data atas status barunya apabila seorang
khunsa telah melakukan operasi pada kelaminnya/ melakukan pembuangan salah satu
kelamin, dengan bukti secara medis yang sah maka orang tersebut dapat mengajukan
perubahan statusnya ke pengadilan untuk merubah status kependudukan dengan jenis
kelamin yang baru dengan dasar perubahan data tersebut termasuk ke dalam peristiwa
penting menurut UU AMINDUK, meskipun tikdak terdapat UU yang secara khusus mengatur
mengenai seorang khunsa pengadilan tetap harus menerima kasus tersebut karena menurut
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan tidak boleh menolak
suatu perkara meskiipun tidak ada UU yang mengaturnya

Anda mungkin juga menyukai