Anda di halaman 1dari 5

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Pemikiran Hukum Waris

Hukum waris, adalah ketentuan – ketentuan hukum yang mengatur tentang nasib
kekayaan seseorang setelah meninggal dunia. Dan menurut arti katanya “waris” berasal
bahasa Arab “warotsa”, artinya pemindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain
setelah pemiliknya meninggal dunia. Sedangkan harta warisannya dinamakan pusaka.
Dilihat dari rumusan – rumusan ini menunjukkan adanya unsur – unsur subyek
hukum dan obyek hukum dalam suatu pewarisan yang diatur oleh ketentuan – ketentuan
hukum tertentu. Timbulnya subyek hukum dan obyek hukum dalam pewarisan itu kalau
terjadi peristiwa kematian. Yang dimaksud dengan subyek hukum dan obyek hukum
itu, adalah :
1. Subjek dalam pewarisan
a. Pewaris
Adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan
dalam keadaan bersih. Orang yang meninggal dunia dimaksudkan bagi
pria/wanita maupun yang belum berkeluarga atau dalam kehidupan
keluarga, meninggalkan hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan
untuk dipindah tangankan kepada yang berhak dan masih hidup.
Yang dimaksud dengan harta kekayaan dalam keadaan bersih, ialah sisa
dari hak – hak yang didahulukan seperti kewajiban yang ditinggalkan dan
perlu diselesaikan, kemudian orang yang berhak menerima bagian benar –
benar menerimanya tanpa memikul beban kewajiban pewaris.
b. Ahli waris
Adalah orang yang berhak menerima bagian dari harta warisan seorang
pewaris. Dan orang yang berhak menerima bagian dari harta warisan itu
merupakan keturunan terdekat dari pewaris atau yang ditentukan oleh
hukum dan tidak termasuk yang kehilangan hak mewarisnya.
2. Objek hukum dalam pewarisan
a. Harta Warisan (pusaka)
Merupakan harta kekayaan yang ditinggal oleh seseorang sesaat setelah
meninggal dunia menjadi harta yang diwariskan. Tetapi harta kekayaan
yang menjadi harta yang diwariskan itu harus dalam keadaan bersih.
Maksudnya ahliwaris yang menerima bagian akan memperolehnya tanpa
menanggung beban hutang dari pewaris dan hak – hak lainnya yang
didahulukan.

B. Asas Kewarisan

Menyangkut asas – asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari ayat – ayat
hukum kewarisan serta sunnah Nabi Muhammad SAW. Asas – asas dimaksud dapat
diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Asas Ijbari
Secara etimologi kata ijbari mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu
melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti
terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih
hidup dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan
kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris (semasa hidupnya) tidak dapat menolak
atau menghalang – halangi terjadi peralihan tersebut.
Dengan perkataan lain, dengan adanya kematian si pewaris secara otomatis
hartanya beralih kepada ahli warisnya, tanpa terkecuali apakah ahli warisnya suka
menerima atau tidak (demikian juga halnya bagi si pewaris).
Asas ijbari ini dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu :
1.) Dari segi peralihan harta
2.) Dari segi jumlah harta yang beralih
3.) Dari segi kepada siapa harta itu beralih.

Ketentuan asas ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan QS. An –
Nisa’ (4) ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi seseorang laki – laki maupun
perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tua dan karib kerabatnya. Kata
nasib dalam ayat tersebut dapat berarti saham, bagian, atau jatah dari harta
peninggalan si pewaris.
2. Asas Bilateral
Adapun yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam
adalah bahwa seorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis kerabat,
yaitu dari garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki – laki.
Asas bilateral ini secara tegas dapat ditemui dalam ketentuan QS. An – Nisa’
(4) ayat 7, 11, 12, dan 176. Antara lain dalam ayat 7 dikemukakan bahwa seorang
laki – laki berhak memperoleh warisan dari pihak ayahnya dan demikian juga dari
pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan mendapat warisan dari kedua pihak
orang tuanya.
Asas bilateral ini juga berlaku pula untuk kerabat garis ke samping (yaitu
melalui ayah dan ibu).

3. Asas Individual
Pengertian asas individual ini adalah setiap ahli waris (secara individu) berhak
atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris lainnya (sebagaimana
halnya dengan pewarisan kolektif yang dijumpai di dalam ketentuan Hukum Adat).
Dengan demikian, bagian yang diperoleh ahli waris dari harta pewaris dimiliki
secara perorangan, dan ahli waris yang lainnya tidak ada sangkut paut sama sekali
dengan bagian yang diperolehnya tersebut, sehingga individu masing – masing ahli
waris bebas menentukan (berhak penuh) atas bagian yang diperolehnya.
Ketentuan asas individual ini dapat dijumpai dalam ketentuan QS. An – Nisa’
(4) ayat 7 yang mengemukakan bahwa bagian masing – masing (ahli waris secara
individual) telah ditentukan.

4. Asas keadilan Berimbang


Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara hak dan
kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan
kegunaan.
Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidaklah
menentukan dalam hak kewarisan (kebalikan dari asas keseimbangan ini dijumpai
dalam masyarakat yang menganut sistem garis keturunan patrilineal, yang ahli waris
tersebut hanyalah keturunan laki – laki saja/garis kebapakan). Dasar hukum asas ini
dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan QS. An – Nisa’ (4) ayat 7, 11, 12, dan
176.
5. Kewarisan Semata Akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata
– mata disebabkan adanya kematian. Dengan perkataan lain, harta seseorang tidak
dapat beralih (dengan pewarisan) seandainya dia masih hidup. Walaupun ia berhak
untuk mengatur hartanya, hak tersebut semata – mata hanya sebatas keperluannya
semasa ia masih hidup, dan bukan untuk penggunaan harta tersebut setelah ia
meninggal dunia.
Dengan demikian hukum waris Islam tidak mengenal seperti yang ditemukan
dalam ketentuan hukum waris menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
(BW), yang dikenal dengan pewarisan secara ab intestato dan secara testamen.
Memang di dalam ketentuan hukum Islam dikenal juga istilah wasiat, namun
hukum wasiat terpisah sama sekali dengan persoalan kewarisan.

C. Sebab – sebab Mendapat Warisan


Salah satu hal yang terpenting dalam mempelajari hukum waris Islam adalah
menyangkut waris, kalau ditinjau dari segi asal kata, perkataan waris berasal dari
bahasa Arab yaitu warits, secara gramatikal berarti yang ditinggal atau yang kekal,
maka dengan demikian apabila dihubungkan dengan persoalan hukum waris, perkataan
waris tersebut berarti orang – orang yang berhak untuk menerima pusaka dari harta
yang ditinggalkan oleh si mati, dan populer diistilahkan dengan ahli waris.
Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab seseorang
itu mendapatkan warisan dari si mayit (ahli waris) dapat diklasifikasikan sebagai
berikut.
1. Karena Hubungan Perkawinan
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan
adanya hubungan perkawinan antara si mayit dengan seorang tersebut, yang
termasuk dalam klasifikasi ini adalah suami atau istri dari si mayit.

2. Karena Adanya Hubungan Darah


Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan
adanya hubungan nasab atau hubungan darah/kekeluargaan dengan si mayit, yang
termasuk dalam klasifikasi ini seperti ibu, bapak, kakek, nenek, dsb.
3. Karena Memerdekakan Si Mayit
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) dari si mayit
disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayit dari perbudakan, dalam hal ini
dapat saja seorang laki – laki atau seorang perempuan.

4. Karena Sesama Islam


Seseorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak meninggalkan ahli waris
sama sekali (punah), maka harta warisannya diserahkan kepada Baitul Mal, dan
lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.

D. Sebab – sebab Tidak Mendapat Warisan


Adapun yang menjadi sebab seseorang itu tidak mendapat warisan (hilangnya hak
kewarisan/penghalang mempusakai) adalah disebabkan secara garis besar dapat
diklasifikasikan kepada :
1. Karena halangan kewarisan
2. Karena adanya kelompok keutamaan dan hijab

1. Halangan Kewarisan
Dalam hal hukum kewarisan Islam, yang menjadi penghalang bagi seorang ahli
waris untuk mendapatkan warisan disebabkan karena hal – hal berikut.
a. Pembunuhan
Perbuatan membunuh yang dilakukan oleh seorang ahli waris terhadap
si pewaris menjadi penghalang baginya (ahli waris yang membunuh
tersebut) untuk mendapatkan warisan dari pewaris.
Ketentuan ini didasarkan kepada hadist Nabi Muhammad SAW

Anda mungkin juga menyukai