Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat


teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap
manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat
Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah
meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya,
tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum
yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang
pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan
nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek,
ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan
penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang
diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit.
Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat
Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali
hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah
satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di
samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi
individu maupun kelompok masyarakat.

B. Rumusan Masalah
Apa Pengertian Hukum Kewarisan Islam ?
Mengapa Ahli Waris dapat Mewarisi Harta Pewaris ?
Bagaimana Sistem Pergantian Tempat Ahli Waris Pengganti dalam-
Hukum Kewarisan Islam ?

1
BAB II

KONSEP PENGGANTIAN TEMPAT AHLI WARIS/ AHLI WARIS

PENGGANTI DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM

A. Tinjauan Umum tentang Hukum Kewarisan Islam

1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam


Hukum yang mengatur tentang peralihan harta warisan dari
pewaris kepada ahli waris dinamakan hukum kewarisan, yang dalam
hukum Islam dikenal beberapa istilah seperti : faraidh, fikih Mawaris, dan
lain-lain, yang kesemua pengertiannya oleh para fukaha (ahli hukum fikih)
di kemukakan sebagai berikut :
a. Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum kewarisan adalah :
Suatu ilmu yang dengan dialah dapat diketahui orang yang
menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang
diterima tiap-tiap waris dan cara membaginya.1
b. Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu Fara’id ialah :
Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang
berkaitan dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak yang
mendapatkannya agar masing-masing orang berhak mendapatkan bagian
harta warisan yang menjadi haknya.2
c. Ahmad Zahari, Hukum Kewarisan Isalm yaitu :
Hukum yang mengatur tentang peralihan hak milik atas harta
warisan dari pewaris kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli
waris), berapa besar bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana cara
peralihannya sesuai ketentuan dan petunjuk Al-Qur’an, hadist dan ijtihad
para ahli.3

1
Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris (Jakarta: Bulan BIntang, 1973), hal. 18
2
Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah ( Penterjemah Khairul Amru
Harahap dan Faisal Saleh), (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), hal. 682
3
Ahmad Zahari, Hukum Kewarisan Islam , (Pontianak : FH.Untan Pres, 2008), hal. 148

2
Dari definisi-definisi diatas dapatlah dipahami bahwa ilmu faraid
sebagai ilmu yang mengatur tentang pemindahan dan pembagian harta
peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada orang-orang
yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkan, orang-orang
yang berhak menerimanya (ahli waris), bagian masing-masing ahli waris
maupun cara penyelesaian pembagiannya.
Kompilasi hukum Islam yang tertuang dalam format perundang-
undangan yang mengatur ketentuan kewarisan dipakai sebagai pedoman
dalam hukum kewarisan Islam.
2. Unsur-unsur Hukum Kewarisan
Menurut hukum kewarisan Islam ada 3 unsur yaitu :
a. Pewaris
Yaitu : seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan sesuatu yang
dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.4
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huru b mendefinisikan sebagai
berikut :
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan pengadilan, beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
b. Ahli Waris
Yaitu : orang yang berhak mendapat warisan karena mempunyai hubungan
dengan pewaris, berupa hubungan kekerabatan, perkawinan atau hubungan
lainnya.
Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf c, menyatakan ahli waris
adalah : orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
c. Warisan
Yaitu : sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, baik
berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak.

4
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana Predana Media Group, 2008), hal. 12

3
3. Syarat-syarat mewarisi
Sebelum seseorang mewaris haruslah dipenuhi tiga syarat yaitu :
a. Meninggal dunianya pewaris
Meninggalnya pewaris mutlak harus dipenuhi karena seseorang
baru disebut pewaris setelah dia meninggal dunia yang berarti jika
seseorang memberikan hartanya kepada ahli waris ketika dia masih hidup
itu bukan waris. Meninggal dunia atau mati dapat dibedakan :
 Mati haqiqy (sejati), adalah kematian yang dapat disaksikan
oleh panca indra.
 Mati hukmy (menurut putusan hakim), yaitu kematian yang
disebabkan adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup
maupun sudah mati.
 Mati taqdiry (menurut dugaan), yaitu kematian yang didasarkan
ada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah
mati.5
b. Hidupnya ahli waris
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia karena
seseorang akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal
dunia.
Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang
ditinggalkan oleh pewaris, perpindahan hak tersebut diperoleh melalui
jalan kewarisan.
c. Tidak ada penghalang-penghalang untuk mewaris.
Tidak terdapat salah satu dari sebab terhalangnya seseorang untuk
menerima warisan.

5
H.R.Otje Salman S, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung : PT.Refika Aditama, 2006),
hal.5

4
4. Sebab-sebab Mewarisi
Harta orang yang telah meninggal dunia dengan sendirinya
berpindah kepada orang yang masih hidup yang menpunyai hubungan
dengan orang yang meninggal tersebut. Hubungan yang dimaksud adalah
yang menyebabkan orang menerima warisan, yaitu :
a. Hubungan kekerabatan
Hubungan kekerabatan adalah hubungan yang ditentukan oleh adanya
hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran.6
Hubungan kekerabatan dalam garis lurus ke bawah (anak, cucu dan
seterusnya), garis lurus ke atas (ayah, kakek dan seterusnya), maupun
garis kesamping (saudara-saudara) dan mereka saling mewaris satu
sama lainnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT dalam Al-Qur’an,
baik dari garis laki-laki/ ayah maupun dari garis perempuan/ ibu.
b. Hubungan Perkawinan
Hak saling mewaris antara suami istri yang disebabkan adanya
hubungan hukum yaitu perkawinan.
Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dan istri didasarkan
pada :
 Adanya akad nikah yang sah
Keduanya masih terikat perkawinan ketika salah satu meninggal
dunia, temasuk juga istri yang dalam masa iddah setelah ditalak
raji’i.
c. Hubungan Wala’
Adalah hubungan antara seorang hamba dengan orang yang
memerdekakannya, orang yang memerdekakan hamba dapat mewarisi
harta hamba yang dimerdekakannya, berdasarkan ketentuan
Rasulullah SAW (Hadist).
d. Hubungan Seagama
Hak saling mewaris sesama umat Islam yang pelaksanaannya melalui
Baitulmaal. Hubungan ini terjadi apabila seorang Islam meninggal

6
Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal. 175

5
dunia tidak mempunyai ahli waris, sehingga hartanya diserahkan ke
baitul maal untuk digunakan oleh umat Islam.

B. Ahli Waris Pengganti/Penggantian Tempat Ahli Waris dalam Hukum


Kewarisan Islam
1. Ahli Waris Pengganti/ penggantian Tempat Ahli Waris
Istilah penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti, secara
harfiah terdiri dari kata waris dan kalimat pengganti. Kata-kata ahli waris
adalah mereka yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh
pewarisnya.7
Kemudian kalimat pengganti berasal dari kata ganti yang diberi
awalan pe yang berarti orang yang menggantikan pekerjaan, jabatan orang
lain sebagai wakil.8
Dalam Kamus Hukum disebutkan penggantian tempat ahli
waris/ahli waris pengganti adalah pengganti dalam pembagian warisan
bilamana ahli waris tersebut lebih dahulu meninggal dari pada si pewaris,
maka warisannya dapat diterima kepada anak-anak waris yang meninggal.9
Menurut Hazairin, cucu yang terlebih dahulu orangtuanya
meninggal dunia dari kakek dan neneknya, secara umum (dengan tanpa
membedakan jenis kelamin) dapat menggantikan kedudukan orang tuanya
dalam memperoleh warisan secara umum (dengan tanpa membedakan
jenis kelamin) pula. Pemahaman Hazairin tentang adanya penggantian
tempat ahli waris/ ahli waris pengganti ini didasarkan pada pemahaman
kata mawali dalam Q. S. An. Nisa’: 33:
        
          
 
Yang terjemahannya menurut “ Bagi setiap orang Allah SWT
mengadakan mawali bagi harta peninggalan orang tua dari keluarga dekat,
7
Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 41
8
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), hal. 297
9
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang : CV. Aneka Ilmu, 1977), hal. 320

6
dan jika ada orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan
mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah
SWT menyaksikan segala sesuatu.10
Menurut H. Toha Jahja Omar, M.A.,11 kata mawali dalam Q.S.4:
33 adalah lafaz mujmal yang mufradnya maula yang mempunyai arti lebih
dari satu, antara lain:
a. Tuan yang memerdekakan,
b. Budak yang dimerdekakan
c. Sahabat,
lafaz mujmal perlu kepada mubayyin. Mubayyinnya ada tiga, yaitu :
1. Qur’an atau firman Allah, SWT,
2. Sabda Rasul,
3. Perbuatan Rasul.
Lafaz mawali dalam ayat itu sudah ada mubayyinnya, yaitu terdiri dari
dua kalimat, karena itu Q.S. An-Nisa: 33 harus dibaca :
…  …       
“Bagi tiap-tiap pewaris kami jadikan mawali, dari harta
peninggalannya dan mereka itu adalah dua ibu-bapak dan kerabat-kerabat
yang terdekat”.
“Al-Walidaini wa al-aqrabuna bukan menjadi fa’il dari taraka,
tetapi menerangkan maksud al-mawali, sedangkan fa’il dari taraka
kembali kepada lafaz kullin yang dalam hal ini pewaris.
Mahmud Yunus, setelah mengutip Q.S. An-Nisa’(4); 33,
menyebutkan bahwa arti mawali (jamak maula) menurut bahasa banyak
sekali, yaitu yang mempunyai (tuan), budak, yang memerdekakan, yang
dimerdekakan, halif, tetangga, anak, anak paman, anak saudara
perempuan, paman, dan lain-lain. Tetapi bila kata itu disusun dalam satu
kalimat, maknanya hanya satu, bukan semua makna itu. Bahkan beliau

10
Hazairin 1, Op.Cit. hal.30
11
Toha Yahya Omar, “Pembahasan Utama dalam Seminar Hukum Nasional 1963 tentang asas-asas
Tata Hukum Nasional dalam Bidang Hukum Waris”, dalam Perdebatan dalam Seminar Hukum
Nasional tentang Faraid, (Jakarta : Tintamas, 1964), hal. 20

7
katakan, telah sepakat ahli tafsir, arti mawali dalam ayat tersebut adalah
anak atau ahli waris atau asabah atau yang mempunyai wilayah atas harta
peninggalan, namun mereka berbeda pendapat tentang tafsir ayat
tersebut.12
Mengapa sepakat ahli tafsir tentang mawali itu arti mawali itu ahli
waris. Karena Q.S. An-Nisa (4): 33 itu, diterangkan oleh Q.S. Maryam
(19): 5-6 bahwa mawali disebutkan maknanya dengan ahli waris dan wali
adalah awala. Demikian pula Q.S. An-Nisa (4): 7 yang menyatakan bahwa
laki-laki dan perempuan (mawali bapak dan karib-karib yang terdekat).
Berdasarkan penjelasan ayat terhadap ayat tersebut, maka ulama tafsir
sepakat bahwa mawali dalam Q.S. An-Nisa (4): 33 itu maknanya adalah
ahli waris.13
2. Ahli Waris Pengganti dalam Konsep Fikih Klasik
Konsep Fikih Klasik seperti as-Sarakhsiy dalam al-Mabsut, Imam
Malik dalam al-Muwatto, Imam Syafi’i dalam al-Umm, dan Ibn Qudamah
dalam al-Mugni, tidak dikenal istilah ahli waris pengganti/ penggantian
tempat ahli waris. Tetapi Syamsuddin Muhammad ar-Ramli dalam
karyanya,14 mencatat:
a. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dapat menggantikan ayahnya,
sedangkan cucu dari anak perempuan tidak mungkin.
b. Cucu tersebut baru dapat menggantikan orang tuanya apabila
pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang masih hidup.
c. Hak yang diperoleh pengganti belum tentu sama dengan hak orang
yang digantikan tetapi mungkin berkurang.
Istilah ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris
sesungguhnya telah dikenal dalam hukum Islam, jadi kurang tepat apa

12
Mahmud Yunus, “Pembahsan Umum” dalam Perdebatan dalam Seminar Hukum Nasional tentang
Faraid, (Jakarta : Tintamas, 1964), hal. 78.
13
Adapun teks Q.S. Maryam (19): 5-6 dan Q.S.An-Nisa (4): 7 adalah sebagai berikut : Q.S. Maryam
(19): 5-6 : Q.S.An-Nisa (4): 7 :
14
Al-Ramli dalam Ramlan Yusuf Rangkuti, Fikih Kontemporer di Indonesia (studi tentang Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2010). hal. 351

8
yang ditulis oleh Wirjono Prodjodikoro, bahwa dalam hukum Islam tidak
dikenal ahli waris pengganti.15
Muhammad Amin al-Asyi16 mencatat : “cucu dari anak laki-laki
adalah seperti anak laki-laki, hanya ia tidak mendapat dua kali bahagian
bersama anak perempuan. Cucu perempuan dari anak laki-laki adalah
seperti anak perempuan, kecuali ia dapat terhalang dengan adanya anak
laki-laki. Nenek perempuan adalah seperti ibu, hanya ia tidak dapat
menerima 1/3 atau 1/3 sisa. Kakek adalah seperti ayah, kecuali ia tidak
dapat menghalangi saudara seibu-sebapak dan saudara sebapak. Saudara
laki-laki sebapak adalah seperti saudara laki-laki seibu-sebapak, kecuali ia
tidak menerima dua kali banyaknya, bersama saudara perempuan sebapak.
Saudara perempuan sebapak adalah seperti saudara perempuan seibu-
sebapak, kecuali ia dapat terhalang dengan adanya saudara laki-laki seibu-
sebapak.17 Berdasarkan pendapat diatas, dapat dipahami bahwa istilah
penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti telah lama dikenal
dalam konsep fikih klasik, hanya saja bentuk penggantiannya yang
berbeda, serta hak ahli waris pengganti tidak sama dengan hak ahli waris
yang digantikannya. Sebagai contoh cucu dari pancar anak perempuan
tidak mendapat bahagian warisan seperti yang didapat oleh cucu pancar
anak laki-laki.
3. Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, disebutkan bahwa
yang dimaksud Ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris
adalah ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka
kedudukannya sebagai ahli waris dapat digantikan oleh anaknya.18
15
Wirjono Prodjodikoro selengkapnya menyatakan “ menurut tafsiran yang sampai sekarang hampir
merata dianut, maka hukum Islam tidak kenal penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti ini,
maka didaerah-daerah yang pengaruh hukum Islam ada agak kuat, mungkin masih menajadi persoalan,
apakah penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti ini diakui oleh masyarakat. Lihat Wirjono
Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung : Sumur, 1976), Cetakan ke 5, hal. 43
16
Muhammad Amin al-Asyi dalam A. Wasit Aulawi, Sistem Penggantian dan Pengelompokan Ahli
Waris, (Jakarta : UI Depok, 1992), hal. 12
17
Ramlan Yusuf Rangkuti, Op. Cit, hal. 352
18
KHI Pasal 185 ayat 1, “ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada sipewaris, maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.”

9
Jadi anak dari yang seharusnya menjadi ahli waris yang meninggal
lebih dahulu dari pewaris, itulah ahli waris pengganti. Anak dari ahli waris
yang meninggal lebih dahulu dari pewaris dapat menggantikan kedudukan
bapaknya sebagai ahli waris dengan syarat anak itu tidak terhalang
menjadi ahli waris, seperti yang disebut dalam pasal 173.19
Disebutkan juga dalam KHI, bahwa bagian bagi ahli waris
pengganti belum tentu sama jumlahnya dengan ahli waris yang digantikan
sekiranya ia masih hidup, karena ada disyaratkan bagian ahli waris
pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti.20
Memperhatikan Pasal 185 KHI, A. Sukris Sarmadi menyebutkan :
“Ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris adalah ahli waris
yang menggantikan kedudukan ahli waris, yang didalam situasi tertentu
sama pengertiannya Hazairin dan sistem pewarisan mawali, tetapi
bersyarat, yakni tidak boleh melebihi bahagian orang yang sederajat
dengan orang yang diganti, dan ada kemungkinan semakna dengan Syi’ah
dalam hal menggantikan kedudukan orang tua mereka, tetapi tidak terhijab
dengan orang yang sederajat dengan orang yang diganti.”21
Berdasarkan pengertian diatas, yang dimaksud dengan ahli waris
pengganti/ penggantian tempat ahli waris itu adalah ahli waris dari ahli
waris yang diganti (orang yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pada
si pewaris). Itu berarti tidak hanya anak dari ahli waris yang telah
meninggal terlebih dahulu, seperti yang tertera di dalam Pasal 185 ayat 1
Kompilasi Hukum Islam.

19
KHI Pasal 173, “seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan keputusan Hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena : a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat pewaris, b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat”.
20
KHI Pasal 185 ayat 2, “bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris
yang sederajat dengan yang diganti”.
21
A. Sukri Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1970), Cetakan ke I, hal. 165-166

10
Hal ini dapat dilihat dari penyamaan ahli waris pengganti/
penggantian tempat ahli waris itu dengan ahli waris mawali menurut
pendapat Hazairin, yaitu mawali (ahli waris pengganti) adalah berupa
nama yang umum dari mereka yang menjadi ahli waris karena
penggantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada
lagi penghubung antara mereka dengan si pewaris.22

22
Hazairin 1. Op.Cit. hal. 32

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang


peralihan harta warisan dari pewaris kepada ahli waris setelah pewaris
meninggal.

Ahli waris dapat mewarisi harta pewaris karena telah memenuhi


syarat dan sebab mewarisi harta, adapun syarat dan sebabnya adalah :

Syarat-syarat mewarisi :
a. Meninggal dunianya pewaris
b. Hidupnya ahli waris
c. Tidak ada penghalang-penghalang untuk mewaris.

Sebab-sebab Mewarisi :
a. Hubungan kekerabatan
b. Hubungan Perkawinan
c. Hubungan Wala’
d. Hubungan Seagama

Dalam Kamus Hukum disebutkan penggantian tempat ahli


waris/ahli waris pengganti adalah pengganti dalam pembagian warisan
bilamana ahli waris tersebut lebih dahulu meninggal dari pada si pewaris,
maka warisannya dapat diterima kepada anak-anak waris yang meninggal

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, disebutkan bahwa


yang dimaksud Ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris
adalah ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka
kedudukannya sebagai ahli waris dapat digantikan oleh anaknya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1973. Fiqhul Mawaris. Jakarta: Bulan Bintang


Kamal, Abdullah Malik. 2007. Sahih Fikih Sunnah ( Penterjemah Khairul Amru
Harahap dan Faisal Saleh). Jakarta : Pustaka Azzam
Zahari, Ahmad. 2008. Hukum Kewarisan Islam. Pontianak : FH.Untan Pres
Syarifuddin, Amir. 2008. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta : Kencana Predana
Media Group
H.R.Otje Salman S, Mustofa Haffas. 2006. Hukum Waris Islam. Bandung :
PT.Refika Aditama
Parman, Ali. 1995. Kewarisan dalam Al-Qur’an. Jakarta : Raja Grafindo Persada
W.J.S. Poerwadarminta. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka
Puspa, Yan Pramadya. 1977. Kamus Hukum. Semarang : CV. Aneka Ilmu
Omar, Toha Yahya. 1964 . “Pembahasan Utama dalam Seminar Hukum Nasional
1963 tentang asas-asas Tata Hukum Nasional dalam Bidang Hukum Waris”,
dalam Perdebatan dalam Seminar Hukum Nasional tentang Faraid. Jakarta :
Tintamas
Yunus, Mahmud. 1964. “Pembahsan Umum” dalam Perdebatan dalam Seminar
Hukum Nasional tentang Faraid. Jakarta : Tintamas
Al-Ramli. 2010. Fikih Kontemporer di Indonesia (studi tentang Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa Press
Sarmadi, A. Sukri. 1970. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Kompilasi Hukum Islam

13

Anda mungkin juga menyukai