Anda di halaman 1dari 7

RESUME FIQIH MAWARIS

RUKUN DAN SYARAT WARIS, SEBAB-SEBAB


KEWARISAN MASA SEBELUM ISLAM, AWAL
ISLAM, DAN SESUDAH ISLAM

NAMA : IRAWAN DUKOMALAMO


NIM : 14 136 037
PRODI : AHWAL AL-SYAKHSIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TERNATE


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDY AHWAL AL-SYAKHSIYAH
2020
A. Rukun dan Syarat Mewarisi

1. Rukun-Rukun waris
Rukun-rukun waris yaitu:

a. Muwarris,
yaitu orang yang mewariskan dan meninggal dunia. Baik
meninggal dunia secara hakiki, atau karena keputusab hakim
dinyatakan mati berdasarkan beberapa sebab.
b. Maurus
yaitu harta peninggalan simati yang akan dipusakai
setelahdikurangi biaya perawatan, hutang-hutang, zakat
dan setelah digunakan untuk melaksanakan wasiat. Harta
pusaka disebut juga miros, irs, turosdan tarikah.

c. Waris
yaitu orang yang akan mewarisi, yang mempunyai hubugan
dengan si muwarri, baik hubungan itu karena hubungan
kekeluargaan atau perkawinan.

2. Syarat-syarat mewarisi

Waris-mewarisi itu menyangkut harta benda dan sebagaimana


kita ketahui, harta benda itu mempunyai pemilik. Jadi terdapat hak
pemilikan yang penuh. Sekarang, dengan jalan waris mewarisi itu
akan terjadi peralihan, perpindahan hak pemilikan, atau hak milik.
Oleh karena itu untuk terjadi waris mewarisi disini menurut hukum
Islam terdapat syarat syarat sebagagai berikut:

a. Muwarris atau orang yang meninggal dunia


b. Ahli waris yang masih hidup
c. Hubungan kewarisan yang sah

a. Muwarris|, artinya orang yang mewariskan. Dalam hal ini


pewarisan baru terjadi apabila simuwarris| sudah meninggal dunia.
Artinya selagi simuwarris masih hidup, menurut hukum Islam tidak
ada proses memproses pewarisan. Artinya, apabila simuwarris
masih hidup dan pada saat itu terjadi pemberian harta kepada ahli
waris, pemberian ketika itu simuwarris masih hidup ini tidak
termasuk didalam
kategori waris mewaris kelak harta benda yang sudah diberikan ini
tidak termasuk diperhitungkan. Mati disini, baik hakiki maupun
hukmi (artinya berdasarkan keputusan hakim).
Tanggal kematian itu dihitung sebagai yang dinyatakan oleh
keputusan hakim itu. Bukan tanggal ketika keputusan itu
dikeluarkan. Ini apabila menyangkut mati yang hukum atau ada
keraguan kapan matinya seseorang

b. Ahli waris yang masih hidup, hidup dalam hal ini harus dibuktikan
bahwa ahli waris benar-benar masih hidup pada saat kematian
(prepositus) sebelum mereka dibolehkan mewarisi harta
peninggalan tersebut. Dalam kasus janin dalam kandungan,
tidak mendapat warisan kecuali janin itu lahir hidup,
hubungannya harus ditangguhkan untuk menunggu penyerahan
harta. Akan tetapi hubungan yang harus dijaga adalah hubungan
anak laki-laki. Tetapi menurut madzhab Maliki, semua hak milik
harus ditangguhkan penyerahannya kepada anak kecil tersebut
sebelum harta pusaka itu dibagikan. Dalam kasus dimana orang-
orang mati dalam waktu yang sama dan tidak ada jalan untuk
menentukan siapa yang mati terlebih dahulu dan siapa yang mati
terkemudian, sementara harta mereka harus diwariskan kepada
kerabat yang masih hidup. Otoritas aturanini terjadi setelah terjadi
perang yamamah dimana umat Islam banyak yang mati syahid.
Sayyidina Abu Bakar memerintahkan Zaid bin s|abit untuk
membagikan harta mereka, dimana Zaid membagikan kepada
keluarga yang masih hidup.

Artinya: ‚Zaid berkata: ‚Umar memerintahkan kepadaku untuk


membagikan warisan kepada orang-orang yang terserang
penyakit menular. Ada kabilah yang anggota keluarganya
meninggal. Aku membagikan harta waris dari harta orang yang
mati kepada orang yang masih hidup. Maka orang yang masih
hidup itu mewarisi harta orang-orang yang mati. Orang-orang
yang mati itu tidak mewarisi harta orang-orang yang mati.

Kehidupan manusia dimuka bumi ini dibatasi oleh waktu, sampai


datang waktu yang telah dijanjikan tanpa dikurangi
sedetikpun sebelum dan sesudah kematian itu akan
menjemputnya. Selama masa hidupnya yang sebentar itu apapun
yang dikumpulkan olehnya didunia ini harus ditinggalkan kecuali
amal baiknya. Harta kekayaan dan semua miliknya yang
ditinggalkan didunia akan diserahkan kepada ahli warisnya.
Islam adalah jalan hidup yang sempurna mengandung aturan-
aturan untuk pembagian harta warisan.

B. Sebab-sebab Mewarisi dan Halangan Waris Mewaris

Sebab-sebab Timbulnya Kewarisan dalam Islam.


Seseorang dapat mewarisi harta peninggalan karena 3 (tiga) hal yaitu
sebab hubungan kerabat atau nasab, perkawinan dan
wala’(pemerdekaan budak). Adapun pada literatur hukum Islam
lainnya disebutkan ada 4 sebab hubungan seseorang dapat menerima
harta warisan dari seseorang yang telah maninggal dunia yaitu:
a. Perkawinan
b. Kekerabatan/nasab
c. Wala’ (memerdekakan budak), dan
d. Hubungan sesama Islam

a. Hubungan Kekerabatan/nasab

Salah satu sebab beralihnya harta seseorang yang telah meninggal


dunia kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan
silaturrahim atau kekerabatan antara keduanya. Yaitu
hubungan nasab yang disebabkan oleh kelahiran

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang


mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga
golongan, yaitu sebagai berikut:
1) Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si mati.
2) Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asal) yang menyebabkan
adanya simati.
3) Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan
simeninggal dunia melalui garis menyamping, seperti
saudara, paman, bibi, dan anak turunnya dengan tidak
membeda-bedakan laki-laki atau perempuan.

C. Warisan Sebelum Islam


Masa
sebelum islam dikenal juga dengan masa jahiliah, yaitu masa di mana bangsa Arab
selalu melakukan peperangan dan bertindak tidak adil. Pada masa itu, kehidupan
orang Arab ber- gantung pada hasil perniagaan, jarahan, dan hasil rampasan perang
dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Ketika itu, kekayaan berada di tangan
laki-laki dewasa yang mampu dan memiliki kekuatan serta kekuasaan. Hal itu juga
berlaku terhadap pembagian harta warisan. Maka, menjadi wajar jika harta warisan
diberikan kepada laki-laki dewasa, bukan kepada perempuan dan anak-anak. Pada
masa sebelum islam, pembagian harta warisan dilakukan dengan memakai dua
sistem, yaitu sistem keturunan dan sistem sebab. Tradisi pembagian harta warisan pada
masa jahiliah bersifat patrilinear, artinya anak-anak yang belum dewasa dan kaum
perempuan tidak berhak mendapatkan harta warisan, sekalipun mereka merupakan
ahli waris dari yang telah meninggal.

Sangat jelas bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab memper- lakukan kaum
wanita secara zalim. Mereka tidak memberikan hak waris kepada kaum wa- nita dan
anak-anak, baik dari harta pening- galan ayah, suami, maupun kerabat mereka. Selain
itu mereka juga berdalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang mem- bela
kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, “Bagaimana mung-
kin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak
pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul sen- jata, serta tidak pula berperang
melawan musuh.”

Mereka mengharamkan kaum wanita me- nerima harta warisan sebagaimana


mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil.

Bahkan, sebagian mereka beranggapan bahwa perempuan janda yang ditinggal mati
termasuk harta yang dapat diwariskan kepada dan di- warisi oleh para ahli waris
suaminya.

Pada masa sebelum islam, warisan dapat di- berikan jika ada hubungan
kekerabatan. Selain itu, mereka berkeyakinan bahwa harta warisan dapat diberikan
kepada orang-orang yang mem- punyai perjanjian prasetia, dan anak-anak yang diadopsi
(pengangkatan anak). Dapat dipahami bahwa, seseorang akan mendapatkan harta
warisan apabila.

D. Pada masa awal Islam.


Pada masa awal islam masih berlaku sistem pembagian kewarisan masa jahiliah hingga
turun ayat yang menerangkan bahwa para lelaki (tidak memandang dewasa atau
anak- anak) memperoleh bagian (pusaka) dari harta peninggalan orang tua dan
kerabat-kerabat ter- dekat, begitu juga dengan perempua, baik harta itu sedikit
maupun banyak. Sebagaimana Allah swt menjelaskan dalam al-Qur’an:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta pening- galan kedua orang tua dan kerabatnya, dan
bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta pe- ninggalan kedua orang tua dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.

E. Pendapat Para Ulama

Kata wasiat diambil dari kata waṣaitu, asy-syaia, ūṣ īhi, artinya auṣ altuhu (aku
menyampaikan sesuatu). Maka mūṣ īy (orang yang berwasiat) adalah orang yang
menyampaikan pesan di waktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia
meninggal dunia.
Dalam istilah syara‟, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik
berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi
wasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal dunia.
Menurut para fuqaha, wasiat adalah akad yang boleh dalam arti, bahwa wasiat
tersebut dapat dibatalkan sewaktu-waktu oleh salah satu pihak. Dan dalam hal ini
adalah oleh pihak pemberi wasiat berdasarkan kesepakatan fuqaha. Yakni bahwa
pemberi wasiat dapat mencabut kembali harta yang telah diwasiatkan,
kecuali hamba mudabbar, karena fuqaha memperselisihkannya.
Wasiat terdiri dari dua macam, wasiat tamlīkiyyah, seperti seseorang berwasiat
dengan sebagian harta untuk diberikan kepada seseorang sesudah wafatnya. Dan
wasiat ahdiyah, seperti wasiat berkaitan dengan penanganan jenazah seseorang
dan wasiat untuk pelaksanaan ibadah atas nama dirinya sesudah ia wafat.
Ahli waris yaitu mereka yang berhak menerima harta peninggalan pewaris
dikarenakan adanya hubungan kekerabatan atau ikatan pernikahan. Dengan
adanya ahli waris yang masih hidup pada waktu pewaris meninggal.

maka hak-hak kepemilikan dari pewaris bisa berpindah kepada ahli waris tersebut.
Datangnya agama Islam tidaklah menghapus dan membatalkan lembaga wasiat
yang sudah diterima secara umum oleh masyarakat waktu itu. Islam menerima institusi
yang sudah lama berjalan itu dengan jalan memberikan koreksi dan perbaikan
seperlunya, sehingga wasiat tetap menjadi suatu lembaga yang diperlukan yang dalam
pelaksanaannya hak kaum kerabat perlu diperhatikan.
Di kalangan para ulama berselisih pendapat tentang hukum berwasiat kepada salah
seorang ahli waris yang akan mendapatkan warisan, diantaranya:
1. Pendapat Imam Syafi’i

Mengenai wasiat kepada ahli waris, Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah
ayat 180.
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-
33
bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf , (ini adalah) kewajiban atas orang-
34
orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 180)
2. Pendapat Mazhab Malikiyah

Pendapat yang dianut oleh Mazhab Malikiyah menyatakan bahwa larangan berwasiat
kepada ahli waris tidak menjadi gugur dengan adanya persetujuan dari ahli waris
yang lain. Menurut mereka, larangan seperti itu adalah termasuk hak Allah SWT
yang tidak bisa gugur dengan kerelaan manusia yang dalam hal ini adalah ahli waris.
Ahli waris tidak berhak membenarkan sesuatu yang dilarang Allah SWT. Menurut
pandangan ini, suatu hal yang paling penting dalam hal ini ialah agar harta tidak
hanya bertumpuk pada tangan ahli waris. Sebagian harta itu perlu disalurkan kepada
hal-hal lain yang membutuhkannya. Seandainya ahli waris menyetujuinya juga,
begitu dijelaskan dalam pandangan ini, maka statusnya bukan lagi sebagai
wasiat, tetapi bertukar menjadi hibah (pemberian) dari pihak ahli waris itu sendiri,
yang harus memenuhi syarat- syarat tertentu sebagaimana lazimnya hibah.

3. Pendapat al-Muzanni dan al-Zahiri

Al-Muzanni dan al-Zahiri berpendapat bahwa tidak sah berwasiat kepada ahli waris
walaupun diizinkan oleh ahli waris yang lain, karena Allah SWT melalui lisan
Rasulullah SAW sebab harta warisan ketika itu sudah hak menjadi ahli waris. Jadi
orang yang memberi wasiat terhadap harta warisan milik ahli waris itu batal (tidak
sah).

Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:

Artinya: “ʼUtbah bin Abdullah al-Marwaziy mengabarkan kepada kami, dia berkata:
Abdullah bin Mubarak menceritakan kepada kami, dia berkata: Isma‟il bin
Abi Khalid menceritakan kepada kami, dari umar bin kharijah,
Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan
hak kepada siapa yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris”.
(HR. Al- Nasa’i)

Anda mungkin juga menyukai