1. Rukun-Rukun waris
Rukun-rukun waris yaitu:
a. Muwarris,
yaitu orang yang mewariskan dan meninggal dunia. Baik
meninggal dunia secara hakiki, atau karena keputusab hakim
dinyatakan mati berdasarkan beberapa sebab.
b. Maurus
yaitu harta peninggalan simati yang akan dipusakai
setelahdikurangi biaya perawatan, hutang-hutang, zakat
dan setelah digunakan untuk melaksanakan wasiat. Harta
pusaka disebut juga miros, irs, turosdan tarikah.
c. Waris
yaitu orang yang akan mewarisi, yang mempunyai hubugan
dengan si muwarri, baik hubungan itu karena hubungan
kekeluargaan atau perkawinan.
2. Syarat-syarat mewarisi
b. Ahli waris yang masih hidup, hidup dalam hal ini harus dibuktikan
bahwa ahli waris benar-benar masih hidup pada saat kematian
(prepositus) sebelum mereka dibolehkan mewarisi harta
peninggalan tersebut. Dalam kasus janin dalam kandungan,
tidak mendapat warisan kecuali janin itu lahir hidup,
hubungannya harus ditangguhkan untuk menunggu penyerahan
harta. Akan tetapi hubungan yang harus dijaga adalah hubungan
anak laki-laki. Tetapi menurut madzhab Maliki, semua hak milik
harus ditangguhkan penyerahannya kepada anak kecil tersebut
sebelum harta pusaka itu dibagikan. Dalam kasus dimana orang-
orang mati dalam waktu yang sama dan tidak ada jalan untuk
menentukan siapa yang mati terlebih dahulu dan siapa yang mati
terkemudian, sementara harta mereka harus diwariskan kepada
kerabat yang masih hidup. Otoritas aturanini terjadi setelah terjadi
perang yamamah dimana umat Islam banyak yang mati syahid.
Sayyidina Abu Bakar memerintahkan Zaid bin s|abit untuk
membagikan harta mereka, dimana Zaid membagikan kepada
keluarga yang masih hidup.
a. Hubungan Kekerabatan/nasab
Sangat jelas bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab memper- lakukan kaum
wanita secara zalim. Mereka tidak memberikan hak waris kepada kaum wa- nita dan
anak-anak, baik dari harta pening- galan ayah, suami, maupun kerabat mereka. Selain
itu mereka juga berdalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang mem- bela
kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, “Bagaimana mung-
kin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak
pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul sen- jata, serta tidak pula berperang
melawan musuh.”
Bahkan, sebagian mereka beranggapan bahwa perempuan janda yang ditinggal mati
termasuk harta yang dapat diwariskan kepada dan di- warisi oleh para ahli waris
suaminya.
Pada masa sebelum islam, warisan dapat di- berikan jika ada hubungan
kekerabatan. Selain itu, mereka berkeyakinan bahwa harta warisan dapat diberikan
kepada orang-orang yang mem- punyai perjanjian prasetia, dan anak-anak yang diadopsi
(pengangkatan anak). Dapat dipahami bahwa, seseorang akan mendapatkan harta
warisan apabila.
Kata wasiat diambil dari kata waṣaitu, asy-syaia, ūṣ īhi, artinya auṣ altuhu (aku
menyampaikan sesuatu). Maka mūṣ īy (orang yang berwasiat) adalah orang yang
menyampaikan pesan di waktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia
meninggal dunia.
Dalam istilah syara‟, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik
berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi
wasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal dunia.
Menurut para fuqaha, wasiat adalah akad yang boleh dalam arti, bahwa wasiat
tersebut dapat dibatalkan sewaktu-waktu oleh salah satu pihak. Dan dalam hal ini
adalah oleh pihak pemberi wasiat berdasarkan kesepakatan fuqaha. Yakni bahwa
pemberi wasiat dapat mencabut kembali harta yang telah diwasiatkan,
kecuali hamba mudabbar, karena fuqaha memperselisihkannya.
Wasiat terdiri dari dua macam, wasiat tamlīkiyyah, seperti seseorang berwasiat
dengan sebagian harta untuk diberikan kepada seseorang sesudah wafatnya. Dan
wasiat ahdiyah, seperti wasiat berkaitan dengan penanganan jenazah seseorang
dan wasiat untuk pelaksanaan ibadah atas nama dirinya sesudah ia wafat.
Ahli waris yaitu mereka yang berhak menerima harta peninggalan pewaris
dikarenakan adanya hubungan kekerabatan atau ikatan pernikahan. Dengan
adanya ahli waris yang masih hidup pada waktu pewaris meninggal.
maka hak-hak kepemilikan dari pewaris bisa berpindah kepada ahli waris tersebut.
Datangnya agama Islam tidaklah menghapus dan membatalkan lembaga wasiat
yang sudah diterima secara umum oleh masyarakat waktu itu. Islam menerima institusi
yang sudah lama berjalan itu dengan jalan memberikan koreksi dan perbaikan
seperlunya, sehingga wasiat tetap menjadi suatu lembaga yang diperlukan yang dalam
pelaksanaannya hak kaum kerabat perlu diperhatikan.
Di kalangan para ulama berselisih pendapat tentang hukum berwasiat kepada salah
seorang ahli waris yang akan mendapatkan warisan, diantaranya:
1. Pendapat Imam Syafi’i
Mengenai wasiat kepada ahli waris, Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah
ayat 180.
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-
33
bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf , (ini adalah) kewajiban atas orang-
34
orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 180)
2. Pendapat Mazhab Malikiyah
Pendapat yang dianut oleh Mazhab Malikiyah menyatakan bahwa larangan berwasiat
kepada ahli waris tidak menjadi gugur dengan adanya persetujuan dari ahli waris
yang lain. Menurut mereka, larangan seperti itu adalah termasuk hak Allah SWT
yang tidak bisa gugur dengan kerelaan manusia yang dalam hal ini adalah ahli waris.
Ahli waris tidak berhak membenarkan sesuatu yang dilarang Allah SWT. Menurut
pandangan ini, suatu hal yang paling penting dalam hal ini ialah agar harta tidak
hanya bertumpuk pada tangan ahli waris. Sebagian harta itu perlu disalurkan kepada
hal-hal lain yang membutuhkannya. Seandainya ahli waris menyetujuinya juga,
begitu dijelaskan dalam pandangan ini, maka statusnya bukan lagi sebagai
wasiat, tetapi bertukar menjadi hibah (pemberian) dari pihak ahli waris itu sendiri,
yang harus memenuhi syarat- syarat tertentu sebagaimana lazimnya hibah.
Al-Muzanni dan al-Zahiri berpendapat bahwa tidak sah berwasiat kepada ahli waris
walaupun diizinkan oleh ahli waris yang lain, karena Allah SWT melalui lisan
Rasulullah SAW sebab harta warisan ketika itu sudah hak menjadi ahli waris. Jadi
orang yang memberi wasiat terhadap harta warisan milik ahli waris itu batal (tidak
sah).
Artinya: “ʼUtbah bin Abdullah al-Marwaziy mengabarkan kepada kami, dia berkata:
Abdullah bin Mubarak menceritakan kepada kami, dia berkata: Isma‟il bin
Abi Khalid menceritakan kepada kami, dari umar bin kharijah,
Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan
hak kepada siapa yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris”.
(HR. Al- Nasa’i)