Anda di halaman 1dari 13

HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM

1. PENGERTIAN HUKUM WARIS DALAM ISLAM

Warisan berasal dari bahasa Arab Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk

masdar (infinititif) dari kata waritsa- yaritsu- irtsan- miiraatsan. Maknanya menurut bahasa

ialah ‘berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain’ atau dari suatu kaum kepada

kaum lain. Al-Qur’an banyak menggunakan kata kerja warasa seperti QS al-Naml (27) : 16

“wa warisa Sulaiman Dawud” yang artinya “dan Sulaiman mewarisi Daud”, artinya “Nabi

Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Daud a.s. serta mewarisi ilmu

pengetahuannya. “Dalam QS al-Zumar (39): 74 “wa aurasana al-arda” yang artinya

“….dan telah memberi kepada kami tempat ini”. Demikian juga dalam QS Maryam: 6

“yarisuni wa yarisu min ali Ya’qub” artinya “…yang akan mewarisi aku dan mewarisi

sebagian keluarga Ya’qub”. Arti mirâts menurut bahasa adalah ketentuan-ketentuan

tentang pembagian harta pusaka yang meliputi ketentuan tentang siapa yang berhak dan

tidak berhak menerima warisan dan berapa jumlah masing-masing harta yang diterima.

Adapula yang mengartikan berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain

atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Sesuatu itu lebih umum dari pada sekedar

harta, yang meliputi ilmu, kemuliaan dan sebagainya. Mawaris juga disebut faraid, bentuk

jamak dari kata faraidhlah. Kata ini berasal dari kata faraid yang artinya ketentuan, atau

menentukan. Faraidh diartikan oleh para ulama farridhiyyun semakna dengan kata

mafrudhah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya. Oleh karena itu, farâidh lebih

banyak digunakan dari pada yang lain. Pengkhususan istilah ini adalah karena Allah

menjelaskannya dengan nama itu. Dengan demikian, kata faraidh atau faridhah artinya

adalah ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak

mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapatkannya, dan berapa bagian
yang dapat diterima oleh mereka. Ilustrasi di atas dapat dipahami bahwa fiqh mawaris

adalah ilmu fiqh yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima

warisan, siapa-siapa yang tidak behak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang

diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya. Al-Syarbini mengatakan bahwa “fiqh

mawaris yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar

sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian yang wajib diterima dari harta

peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya. Ketentuan ilmu waris itu ada di

dalam al-Quran surat an-Nisa ayat 11, 12, 13 & 14. Allah sendiri yang

menjelaskannya secara langsung dan detail mengenai bagian-bagian ahli waris.

2. PENYEBAB DAN SYARAT MENERIMA WARIS DALAM ISLAM

Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak

pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak

menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing. Dalam beberapa literatur hukum

Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti Fiqh

Mawaris dan ilmu Faraidh. Adapun ruang lingkupnya menyangkut masalah pengurusan

atau penyelesaian harta peninggalan meliputi dan dan kewajiban pengurusan jenazah dari

mulai memandikan, mengafankan, mensholatkan, dan menguburkannya. Kemudian

dilanjutkan dengan mengurus hutang-hutang si jenazah. Baik hutang kepada Allah, hutang

kepada manusia, dan hutang kepada Allah sekaligus kepada manusia. Ada juga

permasalahan tentang wasiat yang telah dipesankan oleh jenazah semasa hidupnya dengan

cara menunaikannya tidak lebih dari sepertiga harta peninggalannya. Dan kelanjutan hak-

hak dan kewajiban-kewajiban si mayit kepada ahli waris yang ditinggalkan. Penyelesaian

harta peninggalan tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-siapa

yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian mereka masing-
masing, bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai hal yang

berhubungan dengan pembagian harta warisan.

a. Sebab-sebab menerima waris dalam Islam

Dalam hukum Islam, sebab-sebab untuk dapat menerima warisan ada tiga, yaitu:

Hubungan kekerabatan (al-qarabah), Hubungan perkawinan atau semenda (al-musaharah),

Hubungan karena sebab memerdekakan budak atau hamba sahaya (al-wala'). Namun untuk

sebab karena memerdekakan budak sudah tidak berlaku Iagi untuk sekarang, karena

praktik perbudakan ini hanya ada pada masa Rasulullah SAW.

1. Hubungan Kekerabatan (al-qarabah).

Di antara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada yang masih

hidup adalah adanya hubungan kekerabatan antara keduanya. Adapun hubungan

kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat

adanya kelahiran . Jika seorang anak lahir dari seorang ibu, maka ibu mempunyai

hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkan. Hal ini tidak dapat dipungkiri oleh

siapa pun karena setiap anak yang lahir dari rahim ibunya sehingga berlaku

hubungan kekerabatan secara alamiah antara seorang anak dengan seorang ibu yang

melahirkannya. Sebaliknya, bila diketahui hubungan antara ibu dengan anaknya

maka dicari pula hubungan dengan laki-laki yang menyebabkan si ibu melahirkan.

Jika dapat dibuktikan secara hukum melalui perkawinan yang sah penyebab si ibu

melahirkan, maka hubungan kekerabatan berlaku pula antara si anak yang lahir

dengan si ayah yang menyebabkan kelahirannya. Hubungan kekerabatan antara anak

dengan ayah ditentukan Oleh adanya akad nikah yang sah antara ibu dengan ayah

(penyebab si ibu hamil dan melahirkan). Dengan mengetahui hubungan kekerabatan

antara ibu dengan anaknya dan hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya,

dapat pula diketahui hubungan kekerabatan ke atas, yaitu kepada ayah atau ibu dan
seterusnya, ke bawah, kepada anak dan seterusnya, dan hubungan kekerabatan ke

samping, kepada saudara beserta keturunannya. Dari hubungan kekerabatan yang

demikian, dapat juga diketahui struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris bila

seorang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan .

2. Hubungan Perkawinan (al-musharah).

Hubungan atau pernikahan dijadikan sebagai penyebab hak adanya

perkawinan, hal ini dipetik dan Qur'an surah An-Nisa' (4) : 12, yang intinya

menjelaskan tentang hak saling mewarisi antara orang yang terlibat dalam tali

pernikahan yaitu suami istri . Syarat suami-istri saling mewarisi di samping

keduanya telah melakukan akad nikah secara sah menurut syariat. Juga antara suami-

istri yang berakad nikah itu belum terjadi perceraian ketika salah seorang dari

keduanya meninggal dunia .

3. Memerdekakan Budak Atau Hamba Sahaya (al-Wala')

Al-wala' adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan budak

atau hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong menolong. Untuk yang terahir ini

agaknya jarang dilakukan malahan tidak sama sekali. Adapun al-wala' yang pertama

disebut dengan wala ' al-ataqah atau ushubah sababiyah, dan yang kedua disebut

dengan wala' al-muwalah, yaitu wala' yang timbul akibat kesediaan orang untuk

tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian perwalian. Adapun

bagian orang yang memerdekakan budak atau hamba sahaya adalah 1/6 dari harta

peninggalan. Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada hamba

sahaya, maka jawabannya adalah bahwa hapusnya perbudakan merupakan salah satu

keberhasilan misi Islam. Karena memang imbalan warisan kepada almufiq atau al-

mu 'ttqah salah satu tujuannya adalah untuk memberikan motivasi kepada siapa saja
yang mampu, agar membantu dan mengembalikan hak-hak hamba menjadi orang

yang merdeka.

b. Rukun waris dalam Islam

Seperti halnya dengan hal-hal lain, warisan juga memiliki sejumlah rukun yang harus

ada. Karena jika salah satu dari rukun tersebut tidak terpenuhi, maka harta warisan tidak

dapat dibagi di antara para ahli waris. Untuk menghindarinya, berikut beberapa rukun

waris berdasarkan hukum waris Islam. Dalam fikih hukum waris Islam, ada tiga rukun

waris yang harus dipenuhi sebelum pembagian waris. Ketiga rukun tersebut adalah:

1. Pewaris (muwarrits)

Muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris.

Bagi pewaris berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya

dengan sempurna, dan ia telah benar-benar meninggal dunia.

2. Ahli Waris (waarits)

Ahli waris dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 butir c adalah

orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau

hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang

hukum untuk menjadi ahli waris. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a) Menurut hubungan darah:

 Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-

laki, paman dan kakek.

 Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara

perempuan dari nenek.

b) Menurut hubungan perkawinan terdiri dari :

 Duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak

mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.


3. Harta Warisan (mauruts)

Dalam Kompilasi Hukum Islam dibedakan antara harta warisan dan harta

peninggalan. Pada pasal 171 butir d disebutkan bahwa harta peninggalan

adalah harta yang ditinggalkan pewaris baik berupa benda yang menjadi

miliknya maupun hak-haknya. Sementara yang dimaksud dengan harta waris

sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 171 butir e Kompilasi hukum Islam

adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan

untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan

jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat

c. Syarat menerima waris dalam Islam

Waris-mewarisi berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam memiliki harta benda

antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang ditinggalkannya. Pengertian

tersebut tidak sesekali bila orang yang bakal diganti kedudukannya masih ada dan berkuasa

penuh terhadap harta miliknya atau orang yang bakal menggantinya tidak berwujud disaat

penggantian terjadi. Apalagi diantara keduanya terdapat hal-hal yag menjadi sebuah

penghalang.

Menurut Hukum Waris Islam, berdasarkan Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum

Islam, kelompok ahli waris laki-laki meliputi ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,

paman, bibi dan kakek. Jadi ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek

membentuk kelompok ahli waris. Menimbang bahwa ahli waris karena perkawinan adalah

para janda dan duda. Jika semua golongan ahli waris masih hidup, maka harta warisan

menjadi milik anak, ayah, ibu, istri dan suami.

Adapun syarat ahli waris mendapat warisan menurut Hukum Waris Islam adalah

sebagai berikut:
1. Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum, seperti

keputusan hakim atas kematian orang yang mafqud (hilang).

2. Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun seperti anak dalam

kandungan. Para ahli waris yang benar-benar hidup disaat kematian muwarrits,

baik mati haqiqy maupun mati taqdiry, maka berhak mewarisi harta

peninggalannya

3. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan,

Meskipun dua syarat waris mewarisi itu telah ada pada muwarrits dan warrits,

namun salah seorang dari mereka tidak dapat mewariskan harta

peninggalannya kepada yang lain atau mewarisi harta peningalan dari yang

lain, selama masih terdapat salah satu dari empat macam penghalang yang

dapat menjadikan tidak mendapatkannya warisan, yakni: perbudakan,

pembunuhan, perbedaan agama, perbedaan negara.

3. PENYEBAB TERHALANGNYA MENERIMA WARIS

Memperoleh hak waris tidak cukup hanya karena adanya penyebab kewarisan, tetapi

pada seseorang itu juga harus tidak ada penyebab yang dapat menghalanginya untuk

menerima warisan. Karena itu orang yang dilihat dari aspek penyebabpenyebab kewarisan

sudah memenuhi syarat untuk menerima warisan, tetapi jika ia dalam keadaan dan atau

melakukan sesuatu yang menyebabkan dia tersingkir sebagai ahli waris. Dalam hukum

Islam secara umum faktor penghalang hak waris terdapat beberapa sebab yaitu:

1. Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapatkan warisan dari

keluarga yang dibunuhnya.

2. Ahli waris yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang

beragama Islam, demikian pula sebaliknya.


3. Orang kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarga yang beragama

Islam.

4. FURUD DAN ASHABAH

Golongan besarnya hak yang akan diterima oleh para ahli waris di dalam hukum waris Islam

dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu:

1). Ashabul furudh, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tertentu, yaitu 1/2,

1/3, 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3.

2). Ashabah, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tidak tertentu, tetapi

mendapatkan ushubah (sisa) dari ashabul furudh atau mendapatkan semuanya jika

tidak ada ashabul furudh.

3). Dzawil arham, yaitu golongan kerabat yang tidak termasuk golongan pertama dan

kedua27 .

a. Ashabul furudh

Secara umum, ashabul furudh dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok, yaitu

ashabul furudh sababiyyah dan ashabul furudh nasabiyyah.

1). Ashabul Furudh Sababiyyah ialah orang berhak mendapat bagian harta

warisan, karena adanya sebab, yaitu adanya akad perkawinan, sehingga antara

suami dan istri mempunyai hubungan saling mewarisi.

2). Ashabul Furudh Nasabiyyah ialah orang berhak menperoleh harta warisan,

karena adanya hubungan nasab (hubungan darah/keturunan). Ahli waris

nasabiyyah ini dapat dibedakan kepada 3 jenis, yaitu: furu‟ al-mayyit, usul al-

mayyit dan al-hawasyi28 .

 Furu‟al-mayyit yaitu hubungan nasab menurut garis lurus keturunan ke

bawah. Yang termasuk ke dalam furu‟al-mayyit ini ialah:


1. Anak perempuan dari anak laki-laki

2. Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah

keturunan laki-laki

 Usul al-mayyit yaitu ahli waris yang merupakan asal keturunan dari

orang yang mewariskan, atau hubungan nasab garis keturunan ke atas.

Mereka ini adalah:

1. Ayah

2. Ibu

3. Ayah dari ayah (kakek) dan seterusnya ke atas

4. Ibu dari ayah atau ibu dari ibu (nenek dari pihak ayah atau nenek

dari pihak ibu)

 Al-Hawasyi ialah hubungan nasab dari arah menyamping, dan mereka

terdiri dari:

1. Saudara perempuan sekandung

2. Saudara perempuan seayah

3. Saudara laki-laki seibu

4. Saudara perempuan seibu

b. Ashabah

Para ahli fara’id membedakan ashabah ke dalam tiga macam, yaitu ashabah bi nafsih,

ashabah bi al-ghair, dan ashabah ma’a al-ghair. Di bawah ini akan dijelaskan dari ketiga

macam ashabah di atas yaitu :

1. Ashabah bi nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri

berhak menerima bagian ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-

laki, kecuali mu‟tiqah (orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya).

 Anak laki-laki
 Cucu laki-laki dari garis anak laki-laki dan seterusnya ke bawah

 Bapak

 Kakek (dari garis bapak)

 Saudara laki-laki Sekandung

 Saudara laki-laki seayah

 Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

 Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak

 Paman (saudara bapak) sekandung

 Paman (saudara bapak) sebapaK

 Anak laki-laki paman sekandung

 Anak laki-laki paman sebapak

 Mu‟tiq atau mu‟tiqah (laki-laki atau perempuan yang memerdekakan

hamba sahaya)

2. Ashabah bi al-ghair, yaitu seseorang yang sebenarnya bukan ashabah karena ia

adalah perempuan, namun karena bersama saudara laki-lakinya maka ia

menjadi ashabah. Ahli waris penerima ashabah bilghair tersebut adalah

sebagau berikut :

 Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki

 Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-

laki,

 Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung

 Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.


3. Ashabah ma’aal-ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena

bersama dengan ahli waris lain yang tidak menerima sisa (ahli waris yang

mendapatkan bagian tertentu). Ahli waris yang menerima bagian ashabah

ma’aal-ghair ialah :

 Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak

perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki (seorang atau lebih).

 Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) bersama dengan anak

perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki (seorang atau lebih).

c. Dzawil arham

Dalam pembahasan fiqh mawaris, terminologi dzawil arham digunakan untuk

menunjuk ahli waris yang tidak termasuk ke dalam ahli waris ashab alfurudl dan ashabah.

Oleh karena itu, menurut ketentuan al-Qur’an, mereka itu tidak berhak menerima bagian

warisan sepanjang ahli waris ashab al-furudl dan ashabah ada. Adapun bagian pasti yang

telah ditentukan dalam al-Qur’an ada enam, yaitu seperdua, seperempat, seperdelapan, dua

pertiga, sepertiga, dan seperenam.

 Yang mendapat bagian setengah (1/2) harta ialah :

1. Anak perempuan, apabila sendirian (anak tunggal) dan tidak ada anak lakilaki

(alias saudara kandung)

2. Cucu perempuan pancar dari anak laki-laki, apabila sendirian serta tidak

adanya anak perempuan atau ahli waris anak laki-laki

3. Saudara perempuan sekandung, dalam situasi dan sendirian serta tidak ada

anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki

4. Saudara perempuan sebapak, dalam situasi kalalah dan sendirian serta tidak

adanya anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki, dan saudara

perempuan kandung,
5. Suami apabila istri tidak punya anak.

 Yang mendapat bagian seperempat (1/4) harta ialah :

1. Suami apabila ada ahli waris anak dari istri

2. Istri bila tidak ada anak atau cucu.

Ketentuan hukum pembagian warisan untuk suami dan istri yang mendapatkan

bagian seperempat ini, telah dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran surat an-Nisa‟ [4]: 12.

 Yang mendapat bagian seperdelapan (1/8) harta yaitu istri bila ada anak atau cucu.

 Yang mendapat bagian dua pertiga (2/3) harta apabila tidak ada anak laki-laki ialah :

1. Dua orang anak perempuan atau lebih.

2. Dua orang atau lebih cucu perempuan pancar anak laki-laki.

3. Dua orang atau lebih saudara perempuan sekandung.

4. Dua orang atau lebih saudara perempuan sebapak.

 Yang mendapat bagian sepertiga (1/3) harta ialah :

1. Ibu apabila tidak ada anak laki-laki dan saudara laki tidak lebih dari satu.

2. Dua orang atau lebih saudara perempuan seibu apabla tidak ada anak laki dan

tidak ada bapak/kakek dari pihak laki-laki.

 Yang mendapat bagian seperenam (1/6) harta ialah :

1. Ibu apabila ada anak laki-laki atau saudara laki yang lebih dari satu.

2. Bapak apabila ada ahli waris anak.

3. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) apabila tidak ada ibu.
4. Cucu perempuan pancar anak laki-laki apabila bersamaan dengan anak

perempuan yang mendapatkan bagian 1/2 serta tidak adanya cucu lakilaki dari

anak laki.

5. Kakek (bapak dari bapak) apabila ada anak dan tidak ada ayah.

6. Seorang saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan apabila tidak

ada salah satunya serta tidak adanya anak atau bapak/kakek dari pihak laki-

laki.

7. Satu orang atau lebih saudara perempuan sebapak apabila bersamaan dengan

saudara perempuan kandung yang mendapat bagian 1/2 serta tidak adanya

saudara laki sebapak.

Dalam pembagian warisan apabila terdapat ahli waris yang bersama-sama, seperti

anak perempuan dan anak laki-laki. Maka menurut prinsip dalam Islam telah dijelaskan

oleh Allah SWT. “Bagi seorang laki-laki mendapat bagian sama dengan bagian dua

orang perempuan”. (QS. An-Nisa [4]: 11). Karenanya, untuk menjaga keseimbangan

antara beban yang dipikulkan di pundak kaum laki-laki dan beban yang dipikulkan di

pundak kaum wanita, maka ditetapkanlah bahwa kaum laki-laki diberi bagian warisan 2

(dua) kali lipat bagian kaum wanita. Persamaan yang adil adalah persamaan yang sesuai

dengan kadar kebutuhan masing-masing pihak .

Anda mungkin juga menyukai