Warisan berasal dari bahasa Arab Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk
masdar (infinititif) dari kata waritsa- yaritsu- irtsan- miiraatsan. Maknanya menurut bahasa
ialah ‘berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain’ atau dari suatu kaum kepada
kaum lain. Al-Qur’an banyak menggunakan kata kerja warasa seperti QS al-Naml (27) : 16
“wa warisa Sulaiman Dawud” yang artinya “dan Sulaiman mewarisi Daud”, artinya “Nabi
Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Daud a.s. serta mewarisi ilmu
“….dan telah memberi kepada kami tempat ini”. Demikian juga dalam QS Maryam: 6
“yarisuni wa yarisu min ali Ya’qub” artinya “…yang akan mewarisi aku dan mewarisi
tentang pembagian harta pusaka yang meliputi ketentuan tentang siapa yang berhak dan
tidak berhak menerima warisan dan berapa jumlah masing-masing harta yang diterima.
Adapula yang mengartikan berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain
atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Sesuatu itu lebih umum dari pada sekedar
harta, yang meliputi ilmu, kemuliaan dan sebagainya. Mawaris juga disebut faraid, bentuk
jamak dari kata faraidhlah. Kata ini berasal dari kata faraid yang artinya ketentuan, atau
menentukan. Faraidh diartikan oleh para ulama farridhiyyun semakna dengan kata
mafrudhah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya. Oleh karena itu, farâidh lebih
banyak digunakan dari pada yang lain. Pengkhususan istilah ini adalah karena Allah
menjelaskannya dengan nama itu. Dengan demikian, kata faraidh atau faridhah artinya
adalah ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak
mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapatkannya, dan berapa bagian
yang dapat diterima oleh mereka. Ilustrasi di atas dapat dipahami bahwa fiqh mawaris
adalah ilmu fiqh yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima
warisan, siapa-siapa yang tidak behak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang
mawaris yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar
sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian yang wajib diterima dari harta
peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya. Ketentuan ilmu waris itu ada di
dalam al-Quran surat an-Nisa ayat 11, 12, 13 & 14. Allah sendiri yang
Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing. Dalam beberapa literatur hukum
Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti Fiqh
Mawaris dan ilmu Faraidh. Adapun ruang lingkupnya menyangkut masalah pengurusan
atau penyelesaian harta peninggalan meliputi dan dan kewajiban pengurusan jenazah dari
dilanjutkan dengan mengurus hutang-hutang si jenazah. Baik hutang kepada Allah, hutang
kepada manusia, dan hutang kepada Allah sekaligus kepada manusia. Ada juga
permasalahan tentang wasiat yang telah dipesankan oleh jenazah semasa hidupnya dengan
cara menunaikannya tidak lebih dari sepertiga harta peninggalannya. Dan kelanjutan hak-
hak dan kewajiban-kewajiban si mayit kepada ahli waris yang ditinggalkan. Penyelesaian
harta peninggalan tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-siapa
yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian mereka masing-
masing, bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai hal yang
Dalam hukum Islam, sebab-sebab untuk dapat menerima warisan ada tiga, yaitu:
Hubungan karena sebab memerdekakan budak atau hamba sahaya (al-wala'). Namun untuk
sebab karena memerdekakan budak sudah tidak berlaku Iagi untuk sekarang, karena
Di antara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada yang masih
kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat
adanya kelahiran . Jika seorang anak lahir dari seorang ibu, maka ibu mempunyai
hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkan. Hal ini tidak dapat dipungkiri oleh
siapa pun karena setiap anak yang lahir dari rahim ibunya sehingga berlaku
hubungan kekerabatan secara alamiah antara seorang anak dengan seorang ibu yang
maka dicari pula hubungan dengan laki-laki yang menyebabkan si ibu melahirkan.
Jika dapat dibuktikan secara hukum melalui perkawinan yang sah penyebab si ibu
melahirkan, maka hubungan kekerabatan berlaku pula antara si anak yang lahir
dengan ayah ditentukan Oleh adanya akad nikah yang sah antara ibu dengan ayah
antara ibu dengan anaknya dan hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya,
dapat pula diketahui hubungan kekerabatan ke atas, yaitu kepada ayah atau ibu dan
seterusnya, ke bawah, kepada anak dan seterusnya, dan hubungan kekerabatan ke
demikian, dapat juga diketahui struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris bila
perkawinan, hal ini dipetik dan Qur'an surah An-Nisa' (4) : 12, yang intinya
menjelaskan tentang hak saling mewarisi antara orang yang terlibat dalam tali
keduanya telah melakukan akad nikah secara sah menurut syariat. Juga antara suami-
istri yang berakad nikah itu belum terjadi perceraian ketika salah seorang dari
atau hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong menolong. Untuk yang terahir ini
agaknya jarang dilakukan malahan tidak sama sekali. Adapun al-wala' yang pertama
disebut dengan wala ' al-ataqah atau ushubah sababiyah, dan yang kedua disebut
dengan wala' al-muwalah, yaitu wala' yang timbul akibat kesediaan orang untuk
tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian perwalian. Adapun
bagian orang yang memerdekakan budak atau hamba sahaya adalah 1/6 dari harta
peninggalan. Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada hamba
sahaya, maka jawabannya adalah bahwa hapusnya perbudakan merupakan salah satu
keberhasilan misi Islam. Karena memang imbalan warisan kepada almufiq atau al-
mu 'ttqah salah satu tujuannya adalah untuk memberikan motivasi kepada siapa saja
yang mampu, agar membantu dan mengembalikan hak-hak hamba menjadi orang
yang merdeka.
Seperti halnya dengan hal-hal lain, warisan juga memiliki sejumlah rukun yang harus
ada. Karena jika salah satu dari rukun tersebut tidak terpenuhi, maka harta warisan tidak
dapat dibagi di antara para ahli waris. Untuk menghindarinya, berikut beberapa rukun
waris berdasarkan hukum waris Islam. Dalam fikih hukum waris Islam, ada tiga rukun
waris yang harus dipenuhi sebelum pembagian waris. Ketiga rukun tersebut adalah:
1. Pewaris (muwarrits)
Muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris.
Ahli waris dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 butir c adalah
orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hukum untuk menjadi ahli waris. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
Duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak
Dalam Kompilasi Hukum Islam dibedakan antara harta warisan dan harta
adalah harta yang ditinggalkan pewaris baik berupa benda yang menjadi
sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 171 butir e Kompilasi hukum Islam
adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan
antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang ditinggalkannya. Pengertian
tersebut tidak sesekali bila orang yang bakal diganti kedudukannya masih ada dan berkuasa
penuh terhadap harta miliknya atau orang yang bakal menggantinya tidak berwujud disaat
penggantian terjadi. Apalagi diantara keduanya terdapat hal-hal yag menjadi sebuah
penghalang.
Menurut Hukum Waris Islam, berdasarkan Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum
Islam, kelompok ahli waris laki-laki meliputi ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman, bibi dan kakek. Jadi ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek
membentuk kelompok ahli waris. Menimbang bahwa ahli waris karena perkawinan adalah
para janda dan duda. Jika semua golongan ahli waris masih hidup, maka harta warisan
Adapun syarat ahli waris mendapat warisan menurut Hukum Waris Islam adalah
sebagai berikut:
1. Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum, seperti
2. Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun seperti anak dalam
kandungan. Para ahli waris yang benar-benar hidup disaat kematian muwarrits,
baik mati haqiqy maupun mati taqdiry, maka berhak mewarisi harta
peninggalannya
Meskipun dua syarat waris mewarisi itu telah ada pada muwarrits dan warrits,
peninggalannya kepada yang lain atau mewarisi harta peningalan dari yang
lain, selama masih terdapat salah satu dari empat macam penghalang yang
Memperoleh hak waris tidak cukup hanya karena adanya penyebab kewarisan, tetapi
pada seseorang itu juga harus tidak ada penyebab yang dapat menghalanginya untuk
menerima warisan. Karena itu orang yang dilihat dari aspek penyebabpenyebab kewarisan
sudah memenuhi syarat untuk menerima warisan, tetapi jika ia dalam keadaan dan atau
melakukan sesuatu yang menyebabkan dia tersingkir sebagai ahli waris. Dalam hukum
Islam secara umum faktor penghalang hak waris terdapat beberapa sebab yaitu:
1. Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapatkan warisan dari
2. Ahli waris yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang
Islam.
Golongan besarnya hak yang akan diterima oleh para ahli waris di dalam hukum waris Islam
1). Ashabul furudh, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tertentu, yaitu 1/2,
2). Ashabah, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tidak tertentu, tetapi
mendapatkan ushubah (sisa) dari ashabul furudh atau mendapatkan semuanya jika
3). Dzawil arham, yaitu golongan kerabat yang tidak termasuk golongan pertama dan
kedua27 .
a. Ashabul furudh
Secara umum, ashabul furudh dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok, yaitu
1). Ashabul Furudh Sababiyyah ialah orang berhak mendapat bagian harta
warisan, karena adanya sebab, yaitu adanya akad perkawinan, sehingga antara
2). Ashabul Furudh Nasabiyyah ialah orang berhak menperoleh harta warisan,
nasabiyyah ini dapat dibedakan kepada 3 jenis, yaitu: furu‟ al-mayyit, usul al-
keturunan laki-laki
Usul al-mayyit yaitu ahli waris yang merupakan asal keturunan dari
1. Ayah
2. Ibu
4. Ibu dari ayah atau ibu dari ibu (nenek dari pihak ayah atau nenek
terdiri dari:
b. Ashabah
Para ahli fara’id membedakan ashabah ke dalam tiga macam, yaitu ashabah bi nafsih,
ashabah bi al-ghair, dan ashabah ma’a al-ghair. Di bawah ini akan dijelaskan dari ketiga
1. Ashabah bi nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri
berhak menerima bagian ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-
Anak laki-laki
Cucu laki-laki dari garis anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
Bapak
hamba sahaya)
sebagau berikut :
Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-
laki,
bersama dengan ahli waris lain yang tidak menerima sisa (ahli waris yang
ma’aal-ghair ialah :
c. Dzawil arham
menunjuk ahli waris yang tidak termasuk ke dalam ahli waris ashab alfurudl dan ashabah.
Oleh karena itu, menurut ketentuan al-Qur’an, mereka itu tidak berhak menerima bagian
warisan sepanjang ahli waris ashab al-furudl dan ashabah ada. Adapun bagian pasti yang
telah ditentukan dalam al-Qur’an ada enam, yaitu seperdua, seperempat, seperdelapan, dua
1. Anak perempuan, apabila sendirian (anak tunggal) dan tidak ada anak lakilaki
2. Cucu perempuan pancar dari anak laki-laki, apabila sendirian serta tidak
3. Saudara perempuan sekandung, dalam situasi dan sendirian serta tidak ada
4. Saudara perempuan sebapak, dalam situasi kalalah dan sendirian serta tidak
adanya anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki, dan saudara
perempuan kandung,
5. Suami apabila istri tidak punya anak.
Ketentuan hukum pembagian warisan untuk suami dan istri yang mendapatkan
bagian seperempat ini, telah dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran surat an-Nisa‟ [4]: 12.
Yang mendapat bagian seperdelapan (1/8) harta yaitu istri bila ada anak atau cucu.
Yang mendapat bagian dua pertiga (2/3) harta apabila tidak ada anak laki-laki ialah :
1. Ibu apabila tidak ada anak laki-laki dan saudara laki tidak lebih dari satu.
2. Dua orang atau lebih saudara perempuan seibu apabla tidak ada anak laki dan
1. Ibu apabila ada anak laki-laki atau saudara laki yang lebih dari satu.
3. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) apabila tidak ada ibu.
4. Cucu perempuan pancar anak laki-laki apabila bersamaan dengan anak
perempuan yang mendapatkan bagian 1/2 serta tidak adanya cucu lakilaki dari
anak laki.
5. Kakek (bapak dari bapak) apabila ada anak dan tidak ada ayah.
6. Seorang saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan apabila tidak
ada salah satunya serta tidak adanya anak atau bapak/kakek dari pihak laki-
laki.
7. Satu orang atau lebih saudara perempuan sebapak apabila bersamaan dengan
saudara perempuan kandung yang mendapat bagian 1/2 serta tidak adanya
Dalam pembagian warisan apabila terdapat ahli waris yang bersama-sama, seperti
anak perempuan dan anak laki-laki. Maka menurut prinsip dalam Islam telah dijelaskan
oleh Allah SWT. “Bagi seorang laki-laki mendapat bagian sama dengan bagian dua
orang perempuan”. (QS. An-Nisa [4]: 11). Karenanya, untuk menjaga keseimbangan
antara beban yang dipikulkan di pundak kaum laki-laki dan beban yang dipikulkan di
pundak kaum wanita, maka ditetapkanlah bahwa kaum laki-laki diberi bagian warisan 2
(dua) kali lipat bagian kaum wanita. Persamaan yang adil adalah persamaan yang sesuai