Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta

maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang

masih hidup. "Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah

menetapkan para ahli waris atas apa vang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan

karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka,

maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan

segala sesuatu." (QS. 4/An-Nisa': 33)

Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta

benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.Hukum kewarisan merupakan

bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan

menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu
masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan

ruang lingkup kehidupan manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa,

yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi

suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang

sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan

kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.

Pada makalah kali ini kami akan menguraikan mengenai rukun, syarat serta
sebab- sebab dalam waris mewarisi.

1
B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:

1. Jelaskan rukun-rukun kewarisan dalam islam!

2. Jelaskan syarat-syarat kewarisan daam islam!

C. Tujuan Pembahasan

Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dalam makalah ini, yaitu:

1. Menjelaskan rukun-rukun kewarisan dalam islam!

2. Menjelaskan syarat-syarat kewarisan dalam islam!

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Rukun –Rukun Mewarisi

Pewarisan harta dalam pelaksanaanya harus memenuhi rukun- rukun waris.

Bila ada salah satu dari rukun- rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi

pewarisan.1 Menurut hukum islam, rukun-rukun mewarisi ada 3 yaitu :

a) Muwarrits (pewaris) Menurut hukum islam, muwarrits (pewaris) adalah

orang yang telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta warisan untuk

di bagi- bagikan atau pengalihan harta kepada para ahli waris.

b) Warits (ahli waris) Menurut hukum islam, warits (ahli waris) adalah orang-

orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan si mati, baik di sebabkan

adanya hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun

sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits.

c) Mauruts (harta waris) Menurut hukum islam, mauruts (harta waris) adalah

harta benda yang di tinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh para

ahli waris setelah di ambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-


hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini oleh para faradhiyun

di sebut juga dengan tirkah atau turats.

Fatchur Rahman, mendefinisikan tirkah atau harta peninggalan adalah harta

kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia (muwarits) yang

dibenarkan syari’at untuk dipusakai oleh para ahli waris (waris), yang meliputi:

1
Muhammad As shabuni Ali, 1995, Hukum Waris dalam Syariat lslam, (Bandung : CV
diponegoro)hlm,49

3
a. Harta kekayaan yang memiliki sifat-sifat kebendaan yang bernilai

b. Hak-hak atas kebendaan, misal hak irigasi pertanian

c. Hak-hak immateriil, misal hak syuf’ah (privilege)

d. Hak-hak atas harta kekayaan yang berkaitan dengan orang lain (piutang, hak

gadai yang sesuai syari’ah, penulis).

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), Mauruts (harta waris)

adalah harta bawaan di tambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk

keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah

(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. (pasal 171 huruf e)

B. Syarat-Syarat Mewarisi

Menurut hukum islam, masalah waris mewarisi akan terjadi apabila di

penuhinya syarat-syarat mewarisi. Adapun syarat-syarat mewarisi ada 3 yaitu :

1. Meninggal dunianya muwarris (pewaris).

Kematian muwaris, menurut ulama, di bedakan ke dalam tiga macam, yaitu:

(Fathur Rahman, 1981 :79)

a. Mati haqiqi (sejati), adalah kematian yang dapat di saksikan oleh panca indra.

b. Mati hukmy (menurut putusan hakim), adalah kematian yang di sebabkan

adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup ataupun sudah mati.

c. Mati taqdiry (menurut dugaan), adalah kematian yang di dasarkan pada

dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.

2. Hidupnya warits (ahli waris).

4
Seorang ahli waris hanya akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris

meninggal dunia. Masalah yang biasanya muncul berkaitan dengan hal ini antara lain

mafqud, anak dalam kandungan, dan mati bersamaan. Masalah anak dalam

kandungan terjadi dalam hal istri muwaris dalam keadaan mengandung ketika

muwaris meninggal dunia. Penetapan keberadaan anak tersebut dilakukan saat

kelahiran anak tersebut. Oleh sebab itu, pembagian waris dapat di tangguhkan sampai

anak tersebut dilahirkan.

3. Mengetahui status kewarisan2

Seluruh ahli waris di ketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-

masing. Dalam hal ini, posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti,

misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan

pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab,

dalam hukum waris, perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah

yang di terima, karena tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah

saudara sang pewaris. Akan tetapi, harus di nyatakan apakah ia sebagai saudara

kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai

hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada
yang karena ashobah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan

(mahjub), serta ada yang tidak terhalang.

1. Meninggalnya Pewaris Sebagai Syarat Mutlak Pelaksanaan Pembagian Yang

Dikatakan Pembagian Harta Warisan

Meninggalnya pewaris sebagai syarat mutlak berpindahnya hak dan harta yang

menjadi miliknya dalam bentuk kewarisan, adalah didasarkan pada qs al-nisa 4:7

2
Fathur rahman, ibid, hlm 80

5
yang artinya: ” bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua

dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan

kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah

ditetapkan (kementerian agama r.i., 2012). Ayat q.s al-nisa 4: 7 yang menjadi dasar

hukum kematian seseorang dalam arti sesungguhnya (hakiki) dikatakan sebagai

pewaris, adalah termasuk ayat yang qat’I subut dan qat’i dilalah. Qat’I subut adalah

sebuah ayat yang mempunyai sumber yang jelas yaitu bersumber dari al-qur’an dan

hadis mutawatir.

Sedangkan qath’i dilalah adalah ayat yang secara jelas menunjukkan makna

tertentu tidak membutuhkan penafisran lain dalam memahaminya. Kalimat “mimma

taraka al-walidani wal aqrabuna”dari harta peninggalan kedua orang tua dan

kerabatnya” pada qs al-nisa 4: 7 adalah termasuk lafazh dilihat dari segi makna yang

diciptakan untuknya, termasuk lafazh ‘amm, yaitu lafazh yang menunjukkan satu

ma’na yang dapat mencakup seluruh satuan satuan yang tidak terbatas dalam jumlah

tertentu. Makna yang segera dapat dipahami dari kalimat “mimma taraka al-walidani

wal aqrabuna”dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya” pada qs al-nisa

4: 7 adalah kematian dalam bentuk hakikatnya. Menurut imam jalaluddin al-mahalliy


dan imam jalaluddin as-suyuthi, bahwa yang dimaksud kalimat “mimma taraka al-

walidani wal aqrabuna “dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya pada

q.s al-nisa 4: 7 adalah “dari harta peninggalan ibu bapak dan karib kerabat yang

meninggal dunia.”(imam jalaluddin al-mahalliy dan imam jalaluddin as-suyuthi,

1990). Penafsiran imam jalaluddin al-mahalliy dan imam jalaluddin as-suyuthi

terhadap kalimat “mimma taraka al-walidani wal aqrabuna” dari harta peninggalan

kedua orang tua dan kerabatnya” pada qs al-nisa 4: 7 sama dengan wahbah zuhaili

dan wahbi sulaiman, dkk. Yang menafsirkan kalimat “mimmataraka al-walidani wal

6
aqrabuna”dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya” pada qs al-nisa 4: 7

dengan “bagian harta peninggalan kerabatnya yang meninggal dunia (wahbah zuhaili

dan wahbi sulaiman, 2009).Berdasarkan penafsiran kalimat “mimma taraka al-

walidani wal aqrabuna”dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya” pada

qs al-nisa 4: 7 tersebut, maka kalimat “bagi laki-laki ada hak bagian dari harta

peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian

dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya,” adalah dimaksudkan sesudah

kematiannya. Selain qs al-nisa 4: 7 sebagai dasar hukum kematian seseorang dalam

arti sesungguhnya (hakiki) dikatakan sebagai pewaris, al-qur’an surah an-nisa 4: 176

yang artinya : “jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai

saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari

harta yang ditinggalkannya,” kalimat “mereka meminta fatwa kepadamu” pada qs al-

nisa 4: 176 adalah mengenai kalalah, yaitu jika seseorang meninggal dunia tanpa

meninggalkan bapak dan anak (katakanlah, "allah memberi fatwa kepadamu tentang

kalalah; jika seseorang) umru’un menjadi marfu' dengan fi'il yang menafsirkannya

(celaka) maksudnya meninggal dunia. Demikian pula imam jalaluddin al-mahalliy

dan imam jalaluddin as-suyuthi, memahami kata “halaka” adalah “celaka dengan
maksud meninggal dunia (imam jalaluddin al-mahalliy dan imam jalaluddin as-

suyuthi, 1990). Dengan demikian, berdasarkan pemahaman qs al-nisa 4: 7 dan qs al-

nisa 4: 176 di atas, maka kematian seseorang dalam arti sesungguhnya (hakiki) adalah

menjadi pensyaratan mutlak berpindahnya atau diwarisinya hak dan harta yang

menjadi miliknya.
2. Memahami Pembagian Harta Warisan Dapat Dilaksanakan Sebelum Terjadinya
Kematian Pada Diri Pewaris

Walaupun syarat kematian atau meninggalnya pewaris dipersyaratkan secara


mutlak pembagian harta warisan dikatakan sebagai pembagian harta dalam bentuk

7
kewarisan sebagaimana dijelaskan pada QS al-Nisa 4:7, QS al-Nis 4: 176 dan

sebagaimana diatur pada pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Ketentuan tersebut dapat disimpangi dengan membolehkan pembagian harta warisan

sebelum terjadinya kematian pada diri pewaris. Hal ini diatur pada pasal 187 ayat (1)

sebagai berikut:

a. Bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh

pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa

orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:

 Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda

bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para

ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang;

 Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai

dengan pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c.

b. Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan

yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak (H. Zainal Abidin

Abubakar, 1993).

Pasal 187 ayat (1) tersebut memperkenalkan cara lain proses waris-mewarisi
yang tidak pernah ditemukan dalam fikih kewarisan. Kebolehan pelaksanaan waris-

mewarisi tanpa didasari oleh adanya suatu kematian tidak mutlak atau masih bersifat

tentatif (belum pasti) pelaksanaannya. Hal ini dapat dipahami pada kata “dapat” yang

mengangdung dua makna. Pertama, mengandung makna boleh melaksanakan waris-

mewarisi tanpa didasari oleh adanya suatu kematian terhadap diri pewaris. Kedua,

mengangdung makna tidak boleh melaksanakan waris-mewarisi tanpa didasari oleh

adanya suatu kematian terhadap diri pewaris.

8
Kebolehan pelaksanaan waris-mewarisi tanpa didasari oleh adanya kematian

terhadap diri pewaris, terkandung maksud untuk menghindari terjadinya perselisihan

yang akhirnya terjadi kemudaratan di antara para ahli waris dalam pelaksanaan waris-

mewarisi. Dengan masih hidupnya pewaris, maka perselisihan harta warisan

kemungkinan besar dapat diatasi oleh pemilik harta yang akan meninggal dunia. Oleh

karena itu, maka jalan satu-satunya adalah pelaksanaan waris-mewarisi harus

dilaksanakan semasih pewaris masih hidup. Tetapi apabila tidak ada kemungkinan

untuk berselisih terhadap harta yang akan ditinggalkan oleh pewaris, maka

pelaksanaan waris-mewarisi harus dilaksanakan sesudah meninggalnya pewaris.

Seperti telah diuraikan pada penjelasan pasal 187 ayat (1) di atas, bahwa

kebolehan pelaksanaan waris mewarisi tanpa didasari oleh adanya suatu kematian

adalah tidak mutlak atau masih bersifat tentatif (belum pasti) pelaksanaannya, maka

sebelum pelaksanaannya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

a. Menyisihkan sebagian harta pewaris untuk keperluan hidup, keperluan sakit

dan biaya tajhiz, kecuali para ahli waris sepakat untuk menanggung itu semua.

b. Tidak ada lagi ahli waris baru yang muncul atau dilahirkan oleh pewaris.

c. Tidak ada di antara para ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada
sipewaris.

d. Tidak ada kekhawatiran di antara para ahli waris ada yang murtad.

e. Apabila tidak dilakukan pembagian harta warisan semasa hidupnya pewaris,

akan terjadi perselisihan dan menimbulkan kemudaratan di antara para ahli

waris.

Dari 5 (lima) hal tersebut perlu diperjanjikan:

9
pertama, apabila para ahli waris sepakat untuk menanggung semua biaya

keperluan hidup, biaya sakit dan biaya tajhiz pewaris, maka harta warisan sipewaris

dapat dibagi semasa masih hidupnya,

kedua, apabila ada lagi ahli waris baru muncul atau dilahirkan oleh sipewaris,

maka para ahli waris yang sudah membagi harta warisan bersedia mengembalikan

bagian ahli waris yang baru muncul atau dilahirkan oleh sipewaris,

ketiga, apabila ada di antara para ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari

pada sipewaris, maka para ahli waris bersedia membagi kembali bagian ahli waris

yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris sesuai perbandingan bagian masing-

masing (bagian laki-laki dua kali bagian permpuan) jika tidak dapat digantikan

kedudukannya oleh anaknya. Tetapi apabila kedudukannya dapat digantikan oleh

anaknya, maka bagian ahli waris yang meninggal lebih dahlu dari pada sipewaris

diserahkan kepada anaknya dengan ketentuan anak laki-laki mendapat dua kali

bagian anak perempuan,

keempat, apabila terjadi ada di antara para ahli waris yang murtad, maka

bagian ahli waris yang murtad harus berubah menjadi wasiat wajibah sebanyak-

banyak 1/3 dari harta warisan pewaris,


kelima, apabila hal yang kelima akan terjadi perselisihan yang akhirnya terjadi

kemudaratan di antara para ahli waris kalau tidak dilakukan pembagian harta warisan

semasa pewaris masih hidup, maka dapat dilakukan pembagian harta warisan semasa

hidupnya pewaris, walaupun pada pasal 171 huruf b mensyaratkan harus adanya

kematian pada diri sipewaris.

Apabila 5 (lima) hal tersebut tidak dapat dipenuhi, maka solusi yang paling

tepat untuk dilakukan untuk mengatasi hal-hal yang dikhawatirkan akan terjadi, jika

tidak melakukan pembagian harta warisan disaat pewaris masih hidup adalah harta

10
warisan tetap dibagi disaat pewaris masih hidup, tetapi dengan cara hak kepemilikan

harta warisan yang telah dibagi tetap ditahan oleh pewaris sampai terjadi kematian

pada dirinya. Jika terjadi perubahan ahli waris karena adanya kematian salah seorang

atau beberapa orang, atau ada di antara ahli waris yang terhalang karena hukum untuk

mewarisi, maka pewaris dapat melakukan peninjauan kembali terhadap pembagian

harta warisan yang telah dilakukan dengan menyesuaikan kondisi dan situasi yang

ada.

Sedangkan Pandangan Hukum Islam Terhadap Pembagian Harta Warisan

Sebelum Terjadinya Kematian Pada Diri Pewaris sebagaimana yang diatur pada pasal

187 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) karena alasan menghindari terjadinya

perselisihan yang akhirnya terjadi kemudaratan di antara para ahli waris adalah tidak

bertentangan dengan hukum Islam. Karena kemudaratan itu harus dilenyapkan, maka

apabila kemudaratan itu bertemu dengan larangan-larangan, misalnya larangan

membagi harta warisan sebelum terjadinya kematian pada diri pewaris, maka

larangan itu menjadi tidak berlaku apabila akan menimbulkan kemudharatan.

Hal ini diperkuat dengan qaidah cabang yang ditarik dari qaidah
ُ‫ت تُبِ ْي ُح اَلض َُّر ْو َرات‬ ُ ْ‫اْل َمح‬.
ِ ‫ظ ْو َرا‬

Yang artinya : Kemudaratan itu menghalalkan larangan-larangan (H. A.

Djazuli, 2010).

Oleh karena itu apabila pembagian harta warisan haram dilakukan sebelum

terjadinya kematian, maka kemudaratan yang terjadi di antara para ahli waris karena

pembagian harta warisan dilakukan sesudah terjadinya kematian, menghilangkan

keharaman pembagian harta warisan sebelum pewaris meninggal dunia.

11
Kemudaratan dalam pembagian harta warisan sering terjadi karena bagi

manusia harta atau kekayaan menduduki posisi yang amat penting dalam

kehidupanya dan bahkan sebagian orang menjadikan harta segala-galanya karena

dengan memiliki harta, maka berbagai macam kebutuhan hidup bisa dipenuhi, semua

keinginan-keinginan yang ada bisa diwujudkan. Hidup dengan harta yang berlebih

dari apa yang diharapkan, terasa sangat menyenangkan. Memiliki rumah yang banyak

ditambah dengan desain, isi dan perlengkapan yang mewah. Sungguh terasa nikmat

dan berbahagia jika kebutuhan hidup terpenuhi. Sudah menjadi tabiat dan kodrat

manusia bahwa semua manusia ingin mendapatkan harta yang banyak.

Oleh karena itu solusi yang ditawarkan oleh Islam terhadap harta kepemilikan

seseorang berpindah kepada orang lain ketika meninggal dunia adalah melalui proses

peralihan kepemilikan dalam bentuk warisan, sehingga harta yang ia tinggalkan

menjadi harta warisan. Namun untuk menghindari terjadinya cekcok dan perselisihan

antara anggota keluarga yang diakibatkan oleh tabiat manusia ingin mendapatkan

harta yang banyak dan ketidak tahuan serta makin tenggelamnya pengetahuan tentang

hukum kewarisan, maka dapatlah dilakukan pembagian harta warisan semasa pewaris

masih hidup dan tentu memperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi


seperti diuraikan pada uraian di atas.

Apabila kekhawatiran akan terjadinya cekcok dan perselisihan antara anggota

keluarga yang diakibatkan oleh pembagian harta warisan setelah meninggalnya

pewaris tidak akan terjadi, atau tidak terjadi kemudaratan, maka pembagian harta

warisan setelah meninggalnya pewaris tetap harus dilaksanakan. Hal ini didasarkan

pada qaidah fiqhiyah di bawah ini.

‫ يُقَد َُّر ِبقَد ِْرهَا ِللض َُّر ْو َرةِ َو َماا ُ ِب ْي ُح‬.

12
Yang artinya : Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat ditetapkan hanya

sekedar kedaruratannya (H. A. Djazuli, 2010).

Berdasarkan qaidah fiqhiyah tersebut, maka pembagian harta warisan yang

dilakukan setelah meninggalnya pewaris dan tidak ada kekhawatiran akan terjadinya

cekcok dan perselisihan antara anggota keluarga yang akan menimbulkan

kemudaratan, maka tetap harus dilaksnakan karena untuk menghindari hal-hal yang

tidak di inginkan

3. Adanya Harta Warisan Yang Di Bagi

Jika dilihat dari segi jenis kelamin, maka ahli waris dapat dibagi kepada ahli

waris laki-laki dan ahli waris perempuan

1). Ahli Waris Laki-Laki. Jika dikelompokan ahli waris yang laki-laki saja,

maka mereka tersebut berjumlah 15 macam, yaitu :

a. Ayah,

b. Kakek, yaitu ayah dari ayah sekalipun yang teratas,seperti ayah dari

ayah dari ayah,

c. Anak laki-laki,

d. Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dari anak laki-laki sekalipun yang
terbawah, seperti anak laki-laki dari anak laki-laki dari anak laki-laki,

e. Saudara laki-laki sekandung,

f. Saudara laki-laki seayah,

g. Saudara laki-laki seibu,

h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung sekalipun yang

terjauh, seperti anak laki-laki dari anak laki-laki dari saudara laki-laki

sekandung,

13
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah sekalipun yang terjauh,

seperti anak laki-laki dari anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah,

j. Paman kandung, yaitu saudara laki-laki yang kandung oleh ayah,

sekalipun yang teratas, seperti paman dari ayah,

k. Paman seayah, yaitu saudara laki-laki yang seayah oleh ayah,

sekalipun yang teratas, seperti paman seayah oleh ayah,

l. Anak laki-laki dari paman yang kandung sekalipun yang terbawah,

seperti anak laki-laki dari anak laki-laki dari paman kandung,

m. Anak laki-laki dari paman seayah sekalipun yang terbawah, seperti

anak laki-laki dari anak laki-laki dari paman seayah,

n. Suami,

o. Tuan laki-laki (penghulu) yang telah memerdekakan simayat dari

kebudakannya. Tapi dizaman sekarang ini tidak ada lagi budak,

berarti juga tidak ada lagi orang yang memerdekakan budak. 18 Jika

semua ahli waris yang laki-laki itu ada,

2. Ahli Waris Perempuan.

Jika dikelompokan ahli waris yang perempuan saja, maka mereka tersebut
berjumlah 10 macam, yaitu :

a. Ibu,

b. Nenek yaitu ibu dari ibu, sekalipun yang teratas, yaitu ibu dari ibu dari

ibu,

c. Nenek yang lain, yaitu ibu dari ayah, sekalipun yang teratas, seperti ibu

dari ayah dari ayah Anak perempuan,

d. Anak perempuan dari anak laki-laki sekalipun yang terbawah, seperti

anak perempuan dari anak laki-laki dari anak laki-laki,

14
e. Saudara perempuan yang kandung,

f. Saudara perempuan seayah,

g. Saudara perempuan yang seibu,

h. Isteri, sekalipun isteri tersebut masih dalam „iddah yang boleh dirujuki,

i. Penghulu perempuan yang memerdekakan simayat dari kebudakannya.

Tapi dizaman sekarang ini tidak ada lagi budak, berarti tidak ada lagi

orang yang memerdekakan budak.3

BAB III

PENUTUP

3
Mawardi Muhammad, Ilmu Faraidh, ( Padang : Sri Dharma, 1982 ), h. 12.

15
A. Kesimpulan

Rukun – rukun mewarisi ada 3 yaitu :

 Muwarrits (Pewaris), yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang

dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama islam

meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan

 Warits (Ahli waris), yaitu orang-orang yang berhak mendapatkan harta

peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya hubungan kekerabatan

dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak

perwalian dengan muwarrits.

 Mauruts (harta waris), yaitu harta benda yang di tinggalkan oleh si mati

yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah digunakan untuk

keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan

jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat atau

wasiat.

2. Seseorang bisa mendapatkan warisan harus dengan memenuhi syarat-syarat

mewarisi yaitu:

 Meninggal dunianya muwarrits (pewaris).

 Matinya muwarrits (pewaris) mutlak harus di penuhi, jadi seseorang baru

disebut muwarrits apabila orang tersebut telah meninggal dunia. Hidupnya

warits (ahli waris).

 Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat muwarrits meninggal dunia. Ahli

waris merupakan pengganti untuk menguasai harta peninggalan, dan

perpindahan hak itu di dapat melalui jalur waris. Oleh karena itu, setelah
muwarrits meninggal dunia, maka ahli warisnya harus betul-betul hidup, agar

16
pemindahan harta itu menjadi nyata.Mengetahui status kewarisan Agar

seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia, adanya

hubungan suami istri, hubungan kerabat dan derajat kekerabatannya.beserta

apa saja yang menjadi penghalang untuk mewarisi.

B. Saran

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan

dan kesalahan dalam tulisan maupun penyusunannya, karena selain kami

dalam tahap belajar, kami juga manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah

dan dosa, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang

membangun demi perbaikan makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, H. Zainal Abidin, (1993). Kumpulan Peraturan Perundang-

undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Cet. III; Jakarta: Yayasan Al-

Hikmah.

17
Al-Mahalliy, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, (1990).

Terjemah Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzul, Jilid 1, Cet. I; Bandung: Sinar

Baru.

H. A. Djazuli, (2010). Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam

dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Cet. III; Jakarta: Kencana

Prenada Media Group.

Imam Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwiny, (t.th). Sunan

Ibnu Majah Juz II, Indonesia: Maktabah Dahlan.

Kementerian Agama R.I., (2012). Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta:

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Urusan Agama Islam

dan Pembinaan Syariah.

Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, (1993). Dasar-Dasar Pembinaan

Hukum Fiqh Islami, Cet. X; Bandung: PT. Al-Ma’arif.

Rahman, Fatchur, (1994). Ilmu Waris, Cet. III; Bandung: Al-Ma’arif.

Zuhaili, Wahbah dan Wahbi Sulaiman, (2009). Al-Mausu>’ah al-Qur’a>niyyah al-

Muyassarah, terj. Imam Ghazali Masykur dan Ahmad Syaikhu, Al-Qur’an Seven in

One, Cet. II; Jakarta Timur: Almahira.

18

Anda mungkin juga menyukai