PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta
maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang
masih hidup. "Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah
menetapkan para ahli waris atas apa vang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan
karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka,
Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta
bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan
menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu
masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan
yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi
suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang
Pada makalah kali ini kami akan menguraikan mengenai rukun, syarat serta
sebab- sebab dalam waris mewarisi.
1
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
C. Tujuan Pembahasan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Bila ada salah satu dari rukun- rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi
orang yang telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta warisan untuk
b) Warits (ahli waris) Menurut hukum islam, warits (ahli waris) adalah orang-
c) Mauruts (harta waris) Menurut hukum islam, mauruts (harta waris) adalah
harta benda yang di tinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh para
kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia (muwarits) yang
dibenarkan syari’at untuk dipusakai oleh para ahli waris (waris), yang meliputi:
1
Muhammad As shabuni Ali, 1995, Hukum Waris dalam Syariat lslam, (Bandung : CV
diponegoro)hlm,49
3
a. Harta kekayaan yang memiliki sifat-sifat kebendaan yang bernilai
d. Hak-hak atas harta kekayaan yang berkaitan dengan orang lain (piutang, hak
adalah harta bawaan di tambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk
(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. (pasal 171 huruf e)
B. Syarat-Syarat Mewarisi
a. Mati haqiqi (sejati), adalah kematian yang dapat di saksikan oleh panca indra.
adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup ataupun sudah mati.
4
Seorang ahli waris hanya akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris
meninggal dunia. Masalah yang biasanya muncul berkaitan dengan hal ini antara lain
mafqud, anak dalam kandungan, dan mati bersamaan. Masalah anak dalam
kandungan terjadi dalam hal istri muwaris dalam keadaan mengandung ketika
kelahiran anak tersebut. Oleh sebab itu, pembagian waris dapat di tangguhkan sampai
Seluruh ahli waris di ketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-
masing. Dalam hal ini, posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti,
misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan
pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab,
yang di terima, karena tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah
saudara sang pewaris. Akan tetapi, harus di nyatakan apakah ia sebagai saudara
hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada
yang karena ashobah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan
Meninggalnya pewaris sebagai syarat mutlak berpindahnya hak dan harta yang
menjadi miliknya dalam bentuk kewarisan, adalah didasarkan pada qs al-nisa 4:7
2
Fathur rahman, ibid, hlm 80
5
yang artinya: ” bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan (kementerian agama r.i., 2012). Ayat q.s al-nisa 4: 7 yang menjadi dasar
pewaris, adalah termasuk ayat yang qat’I subut dan qat’i dilalah. Qat’I subut adalah
sebuah ayat yang mempunyai sumber yang jelas yaitu bersumber dari al-qur’an dan
hadis mutawatir.
Sedangkan qath’i dilalah adalah ayat yang secara jelas menunjukkan makna
taraka al-walidani wal aqrabuna”dari harta peninggalan kedua orang tua dan
kerabatnya” pada qs al-nisa 4: 7 adalah termasuk lafazh dilihat dari segi makna yang
diciptakan untuknya, termasuk lafazh ‘amm, yaitu lafazh yang menunjukkan satu
ma’na yang dapat mencakup seluruh satuan satuan yang tidak terbatas dalam jumlah
tertentu. Makna yang segera dapat dipahami dari kalimat “mimma taraka al-walidani
wal aqrabuna”dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya” pada qs al-nisa
walidani wal aqrabuna “dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya pada
q.s al-nisa 4: 7 adalah “dari harta peninggalan ibu bapak dan karib kerabat yang
terhadap kalimat “mimma taraka al-walidani wal aqrabuna” dari harta peninggalan
kedua orang tua dan kerabatnya” pada qs al-nisa 4: 7 sama dengan wahbah zuhaili
dan wahbi sulaiman, dkk. Yang menafsirkan kalimat “mimmataraka al-walidani wal
6
aqrabuna”dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya” pada qs al-nisa 4: 7
dengan “bagian harta peninggalan kerabatnya yang meninggal dunia (wahbah zuhaili
walidani wal aqrabuna”dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya” pada
qs al-nisa 4: 7 tersebut, maka kalimat “bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian
dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya,” adalah dimaksudkan sesudah
arti sesungguhnya (hakiki) dikatakan sebagai pewaris, al-qur’an surah an-nisa 4: 176
yang artinya : “jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai
harta yang ditinggalkannya,” kalimat “mereka meminta fatwa kepadamu” pada qs al-
nisa 4: 176 adalah mengenai kalalah, yaitu jika seseorang meninggal dunia tanpa
meninggalkan bapak dan anak (katakanlah, "allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah; jika seseorang) umru’un menjadi marfu' dengan fi'il yang menafsirkannya
dan imam jalaluddin as-suyuthi, memahami kata “halaka” adalah “celaka dengan
maksud meninggal dunia (imam jalaluddin al-mahalliy dan imam jalaluddin as-
nisa 4: 176 di atas, maka kematian seseorang dalam arti sesungguhnya (hakiki) adalah
menjadi pensyaratan mutlak berpindahnya atau diwarisinya hak dan harta yang
menjadi miliknya.
2. Memahami Pembagian Harta Warisan Dapat Dilaksanakan Sebelum Terjadinya
Kematian Pada Diri Pewaris
7
kewarisan sebagaimana dijelaskan pada QS al-Nisa 4:7, QS al-Nis 4: 176 dan
sebagaimana diatur pada pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI).
sebelum terjadinya kematian pada diri pewaris. Hal ini diatur pada pasal 187 ayat (1)
sebagai berikut:
pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa
ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang;
yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak (H. Zainal Abidin
Abubakar, 1993).
Pasal 187 ayat (1) tersebut memperkenalkan cara lain proses waris-mewarisi
yang tidak pernah ditemukan dalam fikih kewarisan. Kebolehan pelaksanaan waris-
mewarisi tanpa didasari oleh adanya suatu kematian tidak mutlak atau masih bersifat
tentatif (belum pasti) pelaksanaannya. Hal ini dapat dipahami pada kata “dapat” yang
mewarisi tanpa didasari oleh adanya suatu kematian terhadap diri pewaris. Kedua,
8
Kebolehan pelaksanaan waris-mewarisi tanpa didasari oleh adanya kematian
yang akhirnya terjadi kemudaratan di antara para ahli waris dalam pelaksanaan waris-
kemungkinan besar dapat diatasi oleh pemilik harta yang akan meninggal dunia. Oleh
dilaksanakan semasih pewaris masih hidup. Tetapi apabila tidak ada kemungkinan
untuk berselisih terhadap harta yang akan ditinggalkan oleh pewaris, maka
Seperti telah diuraikan pada penjelasan pasal 187 ayat (1) di atas, bahwa
kebolehan pelaksanaan waris mewarisi tanpa didasari oleh adanya suatu kematian
adalah tidak mutlak atau masih bersifat tentatif (belum pasti) pelaksanaannya, maka
dan biaya tajhiz, kecuali para ahli waris sepakat untuk menanggung itu semua.
b. Tidak ada lagi ahli waris baru yang muncul atau dilahirkan oleh pewaris.
c. Tidak ada di antara para ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada
sipewaris.
d. Tidak ada kekhawatiran di antara para ahli waris ada yang murtad.
waris.
9
pertama, apabila para ahli waris sepakat untuk menanggung semua biaya
keperluan hidup, biaya sakit dan biaya tajhiz pewaris, maka harta warisan sipewaris
kedua, apabila ada lagi ahli waris baru muncul atau dilahirkan oleh sipewaris,
maka para ahli waris yang sudah membagi harta warisan bersedia mengembalikan
bagian ahli waris yang baru muncul atau dilahirkan oleh sipewaris,
ketiga, apabila ada di antara para ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari
pada sipewaris, maka para ahli waris bersedia membagi kembali bagian ahli waris
yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris sesuai perbandingan bagian masing-
masing (bagian laki-laki dua kali bagian permpuan) jika tidak dapat digantikan
anaknya, maka bagian ahli waris yang meninggal lebih dahlu dari pada sipewaris
diserahkan kepada anaknya dengan ketentuan anak laki-laki mendapat dua kali
keempat, apabila terjadi ada di antara para ahli waris yang murtad, maka
bagian ahli waris yang murtad harus berubah menjadi wasiat wajibah sebanyak-
kemudaratan di antara para ahli waris kalau tidak dilakukan pembagian harta warisan
semasa pewaris masih hidup, maka dapat dilakukan pembagian harta warisan semasa
hidupnya pewaris, walaupun pada pasal 171 huruf b mensyaratkan harus adanya
Apabila 5 (lima) hal tersebut tidak dapat dipenuhi, maka solusi yang paling
tepat untuk dilakukan untuk mengatasi hal-hal yang dikhawatirkan akan terjadi, jika
tidak melakukan pembagian harta warisan disaat pewaris masih hidup adalah harta
10
warisan tetap dibagi disaat pewaris masih hidup, tetapi dengan cara hak kepemilikan
harta warisan yang telah dibagi tetap ditahan oleh pewaris sampai terjadi kematian
pada dirinya. Jika terjadi perubahan ahli waris karena adanya kematian salah seorang
atau beberapa orang, atau ada di antara ahli waris yang terhalang karena hukum untuk
harta warisan yang telah dilakukan dengan menyesuaikan kondisi dan situasi yang
ada.
Sebelum Terjadinya Kematian Pada Diri Pewaris sebagaimana yang diatur pada pasal
187 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) karena alasan menghindari terjadinya
perselisihan yang akhirnya terjadi kemudaratan di antara para ahli waris adalah tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Karena kemudaratan itu harus dilenyapkan, maka
membagi harta warisan sebelum terjadinya kematian pada diri pewaris, maka
Hal ini diperkuat dengan qaidah cabang yang ditarik dari qaidah
ُت تُبِ ْي ُح اَلض َُّر ْو َرات ُ ْاْل َمح.
ِ ظ ْو َرا
Djazuli, 2010).
Oleh karena itu apabila pembagian harta warisan haram dilakukan sebelum
terjadinya kematian, maka kemudaratan yang terjadi di antara para ahli waris karena
11
Kemudaratan dalam pembagian harta warisan sering terjadi karena bagi
manusia harta atau kekayaan menduduki posisi yang amat penting dalam
dengan memiliki harta, maka berbagai macam kebutuhan hidup bisa dipenuhi, semua
keinginan-keinginan yang ada bisa diwujudkan. Hidup dengan harta yang berlebih
dari apa yang diharapkan, terasa sangat menyenangkan. Memiliki rumah yang banyak
ditambah dengan desain, isi dan perlengkapan yang mewah. Sungguh terasa nikmat
dan berbahagia jika kebutuhan hidup terpenuhi. Sudah menjadi tabiat dan kodrat
Oleh karena itu solusi yang ditawarkan oleh Islam terhadap harta kepemilikan
seseorang berpindah kepada orang lain ketika meninggal dunia adalah melalui proses
menjadi harta warisan. Namun untuk menghindari terjadinya cekcok dan perselisihan
antara anggota keluarga yang diakibatkan oleh tabiat manusia ingin mendapatkan
harta yang banyak dan ketidak tahuan serta makin tenggelamnya pengetahuan tentang
hukum kewarisan, maka dapatlah dilakukan pembagian harta warisan semasa pewaris
pewaris tidak akan terjadi, atau tidak terjadi kemudaratan, maka pembagian harta
warisan setelah meninggalnya pewaris tetap harus dilaksanakan. Hal ini didasarkan
12
Yang artinya : Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat ditetapkan hanya
dilakukan setelah meninggalnya pewaris dan tidak ada kekhawatiran akan terjadinya
kemudaratan, maka tetap harus dilaksnakan karena untuk menghindari hal-hal yang
tidak di inginkan
Jika dilihat dari segi jenis kelamin, maka ahli waris dapat dibagi kepada ahli
1). Ahli Waris Laki-Laki. Jika dikelompokan ahli waris yang laki-laki saja,
a. Ayah,
b. Kakek, yaitu ayah dari ayah sekalipun yang teratas,seperti ayah dari
c. Anak laki-laki,
d. Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dari anak laki-laki sekalipun yang
terbawah, seperti anak laki-laki dari anak laki-laki dari anak laki-laki,
terjauh, seperti anak laki-laki dari anak laki-laki dari saudara laki-laki
sekandung,
13
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah sekalipun yang terjauh,
seperti anak laki-laki dari anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah,
n. Suami,
berarti juga tidak ada lagi orang yang memerdekakan budak. 18 Jika
Jika dikelompokan ahli waris yang perempuan saja, maka mereka tersebut
berjumlah 10 macam, yaitu :
a. Ibu,
b. Nenek yaitu ibu dari ibu, sekalipun yang teratas, yaitu ibu dari ibu dari
ibu,
c. Nenek yang lain, yaitu ibu dari ayah, sekalipun yang teratas, seperti ibu
14
e. Saudara perempuan yang kandung,
h. Isteri, sekalipun isteri tersebut masih dalam „iddah yang boleh dirujuki,
Tapi dizaman sekarang ini tidak ada lagi budak, berarti tidak ada lagi
BAB III
PENUTUP
3
Mawardi Muhammad, Ilmu Faraidh, ( Padang : Sri Dharma, 1982 ), h. 12.
15
A. Kesimpulan
Muwarrits (Pewaris), yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang
Mauruts (harta waris), yaitu harta benda yang di tinggalkan oleh si mati
yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah digunakan untuk
wasiat.
mewarisi yaitu:
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat muwarrits meninggal dunia. Ahli
perpindahan hak itu di dapat melalui jalur waris. Oleh karena itu, setelah
muwarrits meninggal dunia, maka ahli warisnya harus betul-betul hidup, agar
16
pemindahan harta itu menjadi nyata.Mengetahui status kewarisan Agar
B. Saran
dalam tahap belajar, kami juga manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah
dan dosa, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
DAFTAR PUSTAKA
undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Cet. III; Jakarta: Yayasan Al-
Hikmah.
17
Al-Mahalliy, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, (1990).
Terjemah Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzul, Jilid 1, Cet. I; Bandung: Sinar
Baru.
Imam Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwiny, (t.th). Sunan
Muyassarah, terj. Imam Ghazali Masykur dan Ahmad Syaikhu, Al-Qur’an Seven in
18