Anda di halaman 1dari 8

UAS RESUME HUKUM KEWARISAN ISLAM

BUKU:HUKUM KEWARISAN ISLAM (Sebagai Pembaruan Hukum Positif Di Indonesia)

PENGARANG : Dr.H.Moh.Muhibbin, S.H., M.HUM.

Dr.H.Abdul Wahid, S.H., M.Ag.

DISUSUN OLEH:

M.Yoga Asinji

B10016293

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JAMBI

2020

1
BAB 1 PENDAHULUAN

Hukum Islam melingkupi seluruh segi kehidupan manusia di dunia,baik untuk mewujudkan

kebahagiaan di atas dunia maupun akhirat kelak. Di antara hukum tersebut ada yang tidak

mengandung sanksi,yaotu tuntutan untuk patuh dan ada juga yang mengandung sanksi yang

dapat dirasakan di dunia layaknya sanksi hukum pada umumnya. Adapula sanksi yang tidak

dirasakan di dunia maupun ditimpakan di akhirat kelak dalam bentuk dosa dan balasan atas doa

tersebut

BAB 2 PENGERTIAN DAN TUJUAN MEMPELAJARI HUKUM KEWARISAN

A.Pengertian Hukum Kewarisan

Fiqg mawaris adalah kata yang berasal dari bahsa arab fiqh dan mawaris untuk mengetahui

maksud dan pembahasannya lebig lanjut,sebaiknya terlebih dahulu kita mengetahui tentang

pengertian fiqh mawaris itu.

Fiqh menurut bahsa berarti mengetahui,memahami,yakni mengetahui sesuatu atau

memahami sesuatu sebagai ahasil usaha mempergunakan pikiran yang sungguh-

sungguh,menurut istilah ulama,fiqh ialah suatu ilmu yang menerangkan segala hukum

syara,yang berhubungan dengan amaliah,dipetik dari dalil-dalilnya yang jelas (tafshili),maka ia

melengkapi hukum-hukum yang dipahami para mujtahid dengan jalan ijtihad dan hukum yang

tidak diperlukan ijtihad,seperti hukum yang di nash kan dalam alquran dan masalah ijma

Dari pengetian di atas ,dapat disimpulkan bahwa fiqh itu dipakai dalam dua arti,yaitu :

1. Sebagai nama ilmu ; dan

2. Sebagai hukum-hukum yang diperoleh dengan jalan ijtihad dalam menghasilkannya

2
B.Tujuan Mempelajari Hukum Kewarisan

Para ulama menetapkan bahwa mempelajari ilmu daidh adalah fardhu kifayah,artinya kalau

dalam suatu masyarakat atau perkampungan tidak ada yang mempelajari ilmu faraidh maka

berdosalah orang-orang di kampong itu. Akan tetapi,jika ada yang mempelajari,walau hanya satu

atau dua orang saja, maka terlepaslah semuanya dari dosa.

Adapun tujuan mempelajari ilmu faraidh atau hukum waris isalah agar kita dapat

menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama,jangan sampai ada

yang dirugikan dan termakan bagiannya oleh ahli waris yang lain. Disamping itu, apabila hukum

waris dipelajari dengan benar akan bermanfaat baik bagi dirinya maupun untuk masyarakat,yang

jelas akan dapat dimanfaatkan dalam kasus penyelesaian pwmbagian harta waris dilingkungan

keluraga,lebih lanjut dapat membantu kasus pembagian waris di masyarakat.

Tidak jarang terjadi problem keluarga karena persoalan membagi waris,karena salah satu di

anatara keluarga itu tidak mengerti tentang pembagian waris dalam agama,oleh karenanya

kadangkala sampai terangkat ke siding pengadilan,oleh karena iotu, jika di anatara anggota

keliarga ada yang memahami tentang hukum waris,kasus-kasus tersebut kiranya tidak sampai

terangkat ke pengadilan. Dengan demikian,tepatlah bila para ulama berpendapat bahwa

mempelajari hukum waris adalah fardhu kifayah.

BAB 3 SUMBER DAN ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM

A.Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan Islam

Kewarisan Islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau

dasar sebagai penguat hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber hukum

kewarisan dalam Islam diantaranya adalah, sebagai berikut:

3
1. Dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an.

2. Dalil-dalil yang bersumber dari as-Sunnah.

3. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma’ dan ijtihad para ulama’.

Dasar hukum bagi kewarisan adalah nash atau apa yang ada didalam al-

Qur’an dan as-Sunnah. Ayat-ayat al-Qur’an yang mengatur secara langsung

tentang waris diantaranya adalah:

a. Dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an Surat al-Nisa>: 7


Artinya:”Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak dan bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut 5
bahagian yang telah ditetapkan.”

Garis hukum kewarisan pada ayat diatas (Q.S al-Nisa> : 7) adalah sebagai
berikut:

1) Bagi anak laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.
2) Bagi aqrabu>n (keluarga dekat) laki-laki ada bagian warisan dari harta

peninggalan aqrabu>n (keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya).

3) Bagi anak perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.

4) Bagi aqrabu>n (keluarga dekat) perempuan ada bagian warisan dari harta

peninggalan aqrabu>n (keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya)

5) Ahli waris itu ada yang menerima warisan sedikit, dan ada pula yang banyak.

Pembagian-pembagian itu ditentukan oleh Allah SWT.

Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa ayat ke-7 surat al-Nisa<’ ini masih bersifat

4
Universal, walaupun ini ayat pertama yang menyebut-nyebut adanya harta peninggalan. Harta
peninggalan disebut dalam ayat ini dengan sebutan ma> taraka.

Sesuai dengan sistem ilmu hukum pada umumnya, dimana ditemui perincian

nantinya maka perincian yang khusus itulah yang mudah memperlakukannya dan

yang akan diperlakukan dalam kasus-kasus yang akan diselesaikan.

Kemudian dalam ayat selanjutnya surat al-Nisa> ayat 8 :

Artinya: ”dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan

orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”

Q.S. an-nisa’ ayat 11 :

5
B.Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Yang menyangkut asas-asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari ayat-ayat hukum
kewarisan serta sunah nabi Muhammad SAW. Asas-asas dapat diklasifikasikan sebagi berikut:
(Suhardi K Lubis, 1995:37).
1. Asas Ijbari
Secara etimologi “Ijbari” mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu diluar
kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah
meninggal kepada yang masih hidup terjadi dengan sendirinya. Artinya tanpa adanya perbuatan
hukum atau pernyataan kehendak dari pewaris. Dengan perkataan lain adanya kematian pewaris
secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya.
Asas Ijbari ini dapat dilihat dari berbagai segi yaitu: 1 dari peralihan harta, 2 dari segi jumlah
harta yang beralih, 3 dari segi kepada siapa harta itu akan beralih. Kententuan asas Ijbari ini
dapat dilihat antara lain dalam ketentuan Alquran surat An-Nisa ayat 7 yang menyelaskan
bahwa: “bagi seorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang
tuanya atau dari karib kerabatnya
kata nasib dalam ayat tersebut dalam arti saham, bagian atau jatah dari harta peninggalan
sipewaris.”

2. Asas Bilateral
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah seseorang
menerima hak kewarisan bersumber dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis keturunan
perempuan maupun keturunan laki-laki. Asas bilateral ini secara tegas dapat di temui dalam
ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176 antara lain dalam ayat 7 dikemukakan
bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh warisan dari pihak ayahnya maupun ibunya. Begitu
juga dengan perempuan mendapat warisan dari kedua belah pihak orang tuanya. Asas bilateral
ini juga berlaku pula untuk kerabat garis kesamping (yaitu melalui ayah dan ibu).
3. Asas Individual
Pengertian asas individual ini adalah: setiap ahli waris (secara individu) berhak atas bagian
yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan demikian bagian yang diperoleh
oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan semua harta yang telah menjadi bagianya.
Ketentuan ini dapat dijumpai dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7 yang mengemukakan
bahwa bagian masing-masing ahli waris ditentukan secara individu.
4. Asas keadilan berimbang
Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara antara hak dengan
kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan kegunaan. Dengan
perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak

6
kewarisan. Dasar hukum asas ini adalah dalam ketentuan Alquran surat An-Nisa ayat 7, 11, 12
dan 179.
5. Kewarisan Semata Akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata karena
adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih apabila belum ada
kematian. Apabila pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak dapat dilakukan dengan
pewarisan.
BAB 4 SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM KEWARISAN ISLAM
A.Sebab-Sebab Pembagian Harta Kewarisan Pada Zaman Jahiliyah
1. Karena hubungan kerabat
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang
mewarisi,yang disebabkan oleh kelahiran. Pengertian kerabat saja belum cukup
dijadikan alasan untuk menuntut harta waris,selagi tidak dilengkapi dengan adanya
kekuatan jasmani yang sanggup untuk membela,melindungi,dan memelihara qabalah
atau sekurang-kurangnya keluarga mereka
2. Karena Janji Setia
Janji setia adalah dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan
kehormatan merdeka.Tujuan ini tidak mungkinn terealisasi apabila pihak-pihak yang
berprasetia adalah anak-anak yang belum dewasa,apalagi kaum wanita
3. Karena Pengangkatan Anak
Apabila anak angkat tersebut sudah dewasa dan bapak angkatnya meninggal
dunia,dapat mempusakai harta peninggalan bapak angkatnya seperti anak
keturunanya sendiri.Di dalam segala hal ia diperlukan sebagai anak kandung dan di
nasab kan kepadanya,bukan di nasab kan kepada bapak yang sejati
B.Pembagian Waris Pada Awal Islam Menuju Kesempurnaan
Pada masa awal Islam, seseorang bisa mewarisi harta dari orang yang meninggal dunia
karena keturunan, pengangkatan anak, dan sumpah setia. Selanjutnya, ditambah lagi dengan
orang yang ikut berhijrah dan dipersaudarakannya orang-orang Muhajirin (hijrah dari Makkah ke
Madinah) dengan orang Anshar (yang menolong orang-orang Muhajirin).
Yang dimaksud dengan alasan ikut hijrah ialah jika seorang sahabat Muhajirin meninggal
dunia, maka yang mewarisinya adalah keluarganya yang ikut hijrah. Sedangkan, kerabat yang
tidak ikut hijrah, tidak mewarisi.
Sementara jika sahabat Muhajirin yang meninggal dunia itu tidak mempunyai kerabat yang
ikut hijrah, maka sahabat dari golongan Anshar-lah yang mewarisinya. Inilah makna yang
terkandung dalam perbuatan Nabi SAW mempersaudarakan sahabat Anshar dengan sahabat
Muhajirin.
Pada masa itu juga diperlakukan pewarisan harta orang yang memerdekakan budak (mu'tiq)
terhadap mantan budak yang telah dimerdekakannya ('atiq) dengan sistem yang disebut dengan

7
wala' (yaitu hak mewarisi pada mantan majikan terhadap mantan budak yang pernah
dimerdekakannya. Dengan catatan, sistem wala' ini tidak berlaku timbal balik.
Hak waris-mewarisi pada masa permulaan Islam juga diberlakukan antara pasangan suami-
istri (zaujiyah). Karenanya, yang berlaku dalam kewarisan Islam pada masa permulaan adalah
sistem nasab-kerabat yang berlandaskan kelahiran (nasab, qarabah, rahm), sebagaimana
disebutkan dalam Alquran, surah al-Anfal [8]: 75.
Dengan sistem tersebut diatas, maka dihapuslah hak mewarisi yang didasarkan atas sumpah
setia, kecuali bagi pihak-pihak yang tetap memperlakukannya. Adapun mengenai warisan atas
alasan pengangkatan anak memang sejak awal telah dihapuskan Islam. Hal ini tertuang dalam
perintah Allah SWT yang ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad SAW sendiri mengenai
penghapusan akibat hukum yang timbul dari pengangkatan Zaid bin Haritsah sebagai anak
angkatnya (Alquran surat al-Ahzab [33]: 5, 37, dan 40)
C.Hukum Kewarisan Di Indonesia
Bangsa Indonesia yang menganut berbagai agama dan kepercyaan mempunnyai bentuk
kekerabatan dengan system keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan yang berbeda-beda
ini berpengaruh terhadap system kewarisan dalam masyarakat tersebut.Di antara orang-orang
Indonesia asli tidal terdapat satu sifat kekeluargaan,melainkan di berbagai daerah terdapat
berbagai sifat kekeluargaan yang dapat dimasukan dalam tiga golongan,yaitu :
1. Sifat kebapakan
2. Sifat Keibuan
3. Sifat kebapak-ibuan

Dalam kekeluargaan yang bersifat kebapakan,seorang istri karena perkawinannya dilepaskan


dari hubungan kekeluargaan dengan orang tuanya nenek moyangnya,saudara sekandung,saudara
sepupu,dan lain-lain dari sanak keluarganya,kekeluargaan yang bersifat kebapakan ini di
Indonesia terdapat di tanah Gayo.Alas,Bapak,Ambon,Paua dan Bali.Kekeluargaan yang bersifat
keibuan di Indonesia hanya terdapat di satu daerah,yaitu di tanah Minangkabau

D.Lembaga Yang Berwenang Menyelesaikan Perkara Kewarisan Di Indonesia


Dalam dunia Peradilan,Putusan Peradilan Agama tidak mempunyai kekuatan untuk
dipaksakan.Apabila hendak memaksakannya maka harus dimintakan kekuatan (pengukuhan)
oleh Pengadilan Negeri,sementara Pengadilan Negeri enggan memberikan pengukuhan terhadap
putusan pengadilan agama jika keputusannya dipandang melampaui batas wewenangnya atau
meklanggar hal-hal yang formil yang tersebut dalam staatsblad 1882 No.152.

Anda mungkin juga menyukai