Anda di halaman 1dari 8

MUAMALAH

( KEADILAN HUKUM WARIS ISLAM)


D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
NAMA : FINY MUZAHRA NST
NPM : 1906200216
KELAS : III/D-1 PAGI
DOSEN : Dra. Hj Salmi Abbas M.H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumWr.Wb

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Semua limpahan
rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunaan Makalah yang berjudul Keadilan
dalam Hukum Waris Islam meskipun dengan Sangat sederhana.

Makalah KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM disusun guna memenuhi Tugas dosen ibu Dra. Hj
Salmi Abbas M.H pada mata kuliah muamalah di UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SUMATERA UTARA.

Harapan saya semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaaat Sebagai salah satu rujukan
maupun pedoman bagi para pembaca, menambah Wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya
saya dapat memperbaiki Bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Sebagai penulis, saya mengakui bahwasanya masih banyak kekurangan yang Terkandung di dalam
nya. Oleh sebab itu, dengan penuh kerendahan hati saya Berharap kepada para pembaca untuk
memberikan kritik dan saran supaya Saya bisa lebih memperbaiki makalah ini . Terima kasih .
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan
dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal
dunia kepada ahli warisnya. Dengan demikian, dalam hukum kewarisan ada tiga unsur pokok
yang saling terkait yaitu pewaris, harta peninggalan, dan ahli waris. Kewarisan pada dasarnya
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum, sedangkan hukum adalah bagian dari
aspek ajaran Islam yang pokok.
Waris merupakan salah satu kajian dalam Islam yang dikaji secara khusus Dalam lingkup
fiqih mawaris. Pengkhususan pengkajian dalam hukum Islam secara tidak langsung
menunjukkan bahwa bidang waris merupakan salah satu bidang kajian yang penting dalam
ajaran Islam. Bahkan dalam al-Qur’an, permasalahan mengenai waris dibahas secara detail
dan terperinci. Hal tersebut tidak lain adalah untuk mencegah terjadinya sengketa antara
anggota keluarga Terkait dengan harta peninggalan anggota keluarga yang telah mati.
Ruang lingkup kajian hukum Islam terkait dengan waris sangat luas. Di Antaranya
meliputi orang-orang yang berhak menerima warisan, bagian-bagian atau jumlah besaran
waris, dan masih banyak lagi seperti tentang penambahan atau pengurangan bagian waris.
Orang yang berhak menerima waris, dalam Konteks hukum Islam, dibagi ke dalam tiga
golongan yakni:
1. Żul farāiḍ, yakni ahli waris yang mendapat bagian warisan tertentu dalam keadaan
tertentu pula.

2. Żul qarabāt, yakni ahli waris yang menerima warisan dengan bagian yang Tidak
tertentu atau terbuka bagiannya atau juga ahli waris yang menerima Sisa.

3. Mawali, yakni ahli waris pengganti yang kedudukannya menggantikan ahli Waris
yang seharusnya mendapat warisan namun karena sesuatu hal maka ahli waris
tersebut tidak mendapatkan warisan dan digantikan oleh kelompok Ahli waris
mawali.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana ketentuan pembagian warisan wanita menurut islam?


2. Asas asas keadilan dalam hukum waris Islam ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. BAGAIMANA KETENTUAN WARISAN MENURUT ISLAM


Hukum yang paling adil adalah hukum Islam yang didapatkan dalam Al Quran.
Termasuk cara pembagian harta warisan. Dikutip dari buku berjudul “Pembagian Warisan
Menurut Islam” oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni, jumlah pembagian yang ditentukan
Al Quran ada 6 macam yaitu setengah, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga,
dan seperenam.
1. Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separuh dari harta waris peninggalan pewaris
ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul
furudh tersebut adalah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah
2. Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta peninggalannya
hanya ada dua yaitu suami dan istri.
3. Seperdelapan
Dari sederet ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian warisan seperdelapan (1/8)
yaitu istri. Istri baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta
peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir
dari rahimnya atau rahim istri yang lain.
Dalilnya adalah firman Allah SWT:
“Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau )dan) sesudah dibayar
utang-utangmu.” (an-Nisa: 12)
4. Dua per Tiga
Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga dari harta peninggalan pewaris ada
empat dan semuanya terdiri dari wanita:
- Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
- Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
- Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
- Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
5. Sepertiga
Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapat warisan sepertiga bagian hanya dua yaitu
ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
5. Seperenam
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam, ada tujuh orang.
Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-
laki dan perempuan seibu.
Akan tetapi, ada beberapa hal yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur
yakni:
- Budak
Seseorang yang berstatus budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari
saudaranya. Sebab, segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik
tuannya.
- Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya: seorang anak membunuh
ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah SAW:
“Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya.”
- Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apapun
agamanya. Hal ini telah diterangkan Rasulullah SAW dalam sabdanya:
“Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir dan tidak pula orang kafir
mewarisi muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim).

B. Asas asas keadilan dalam hukum waris Islam

1. Asas Ijbari
Asas Ijbari yang terdapat dalam hukum waris Islam mengandung arti pengalihan harta dari
seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut
ketentuan Allah tanpa digantungkan dengan kehendak pewaris atau ahli warisnya. Asas Ijbari
dapat dilihat dari segi: pengalihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia. Hal
ini dapat dilihat dari Al-Qur‟an Surah An-Nisa ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi laki-laki
dan perempuan ada bagian waris dari harta peninggalan ibu, ayah, dan keluarga dekatnya,
dari kata nasyibun (bagian) itu dpat diketahui dalam jumlah harta yang ditinggalkan oleh
pewaris, terdapat bagian ahli waris. Oleh karena itu pewaris tidak perlu menjanjikan sesuatu
yang akan diberikan kepada ahli warisnya sebelum dia meninggal dunia.
Unsur ijbari ini juga dapat dilihat dari jumlah harta yang sudah ditentukan Bagi masing-
masing ahli waris, istilah ini sering disebut dengan furudhul muqaddarah yang bermakna
bahwa apa ditentukan dan telah diperhitungkan Oleh Allah wajib dilaksanakan oleh seorang
yang beragama Islam. Asas ijbari ini mengandung makna paksaan, jadi asas ini menekankan
bahwa segala Sesuatu yang telah Allah tetapkan tentang hukum waris, baik itu penentuan
Ahli waris ataupun jumlah warisan yang harus diterima adalah harus sesuai Dengan ayat-ayat
Allah tentang hukum waris. Sebagai seorang yang beragama Islam wajib menjalankan
ketentuan-ketentuan di dalam hukum waris Islam. Asas ini juga dikuatkan dengan dasar
hukum waris pada ayat 13 surah An-Nisa, ayat ini menegaskan bahwa ketentuan waris adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah yan harus dilaksanakan Oleh hamba-hambaNya. Ayat in juga
mengandung makna tentang kewajiban untuk menaati aturan-aturan Allah, yaitu aturan
kewarisan Islam, dan barang siapa yang taat niscaya janji Allah adalah berupa balasan
keberuntungan, yaitu surga.
2. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hukum waris Islam mengandung arti bahwa harta warisan beralih
kepada ahli warisnya melalui dua arah (dua belah pihak). Hal ini berarti bahwa setiap orang
menerima hak waris dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan
laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Pada prinsipnya asas ini menegaskan
bahwa jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewarisi atau diwarisi.
3. Asas Individual
Asas individual dalam hukum waris Islam berarti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi
kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk Itu dalam pelaksanaannya, seluruh
harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli
waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.Jika pembagian
menurut asas individual ini terlaksana, setiap ahli waris berhak untuk berbuat atau bertindak
atas harta yang diperolehnya bia dia telah mempunyai kemampuan untuk bertindak. Apabila
belum, maka untuk mengurus hartanya menurut ketentuan-ketentuan perwaliannya. Wali
tersebut Bertanggung jawab mengurus harta orang yang belum dapat bertindak Mengurus
hartanya, memberikan pertanggungjawaban dan mengembalikan harta itu bila pemiliknya
telah mampu bertindak sepenuhnya mengurus miliknya yang selama ini berada dibawah
perwaliannya.
4. Asas Keadilan Berimbang
Keadilan dalam hukum waris Islam dapat diartikan dengan keseimbangan antara hak dan
kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya.
Asas ini mengandung arti harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban,
antara Yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Misalnya laki-
laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding dengan Kewajiban yang dipikulnya
masing-masing dalam kehidupan keluarga dan Masyarakat. Dalam sistem waris Islam, harta
peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya adalah pelanjutan
tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karen itu perbedaan bagian yang
diterima oleh masing-masing berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing
terhadap keluarga. Seorang laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap kehidupan
keluarganya, yaitu mencukupi keperluan hidup untuk dirinya, istrinya dan seluruh anggota
keluarganya. Tanggung jawab itu merupakan kewajiba agama yang harus dilaksanakan,
terlepas dari persoalan apakah istri mampu ataukah tidak, tetap saja menurut agama laki-laki
yang mempunyai kewajiban nafkah tersebut.
Bahwa dalam praktik kehidupan masyarakat sekarang ini ada beberapa Keluarga yang mana
kaum perempuan menjadi tulang punggung kehidupan ekonomi sebuah keluarga, ini
merupakan kenyataan sosiologis yang terjadi bukan karena tuntutan apalagi tuntutan hukum
Islam, akan tetapi lebih disebabkan karena kerelaan kaum perempuan itu sendiri dalam
rangka kerja sama keluarga yang sama sekali tidak dilarang dalam hukum slam. Hanya saja
partisipasi aktif kaum perempuan dalam
Menyejahterakan ekonomi keluarga, tidak secara otomatis dengan sendirinya harus
mengubah hukum waris Islam dengan menganut asas 1:1. Jadi meskipun perempuan menjadi
tulang punggung keluarga maka bagian waris perempua tidak akan berubah.
5. Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam telah menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada Orang lain dengan
menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang Mempunyai harta telah
meninggal dunia. Asas ini menggambarkan bahwa Hukum waris Islam hanya mengenal satu
bentuk kewarisan, yaitu kewarisan Sebagai akibat dari adanya kematian dan tidak mengenal
asas dasar wasiat Yang dibuat saat pewaris masih hidup.
6. Asas Integrity (ketulusan)
Asas ini adalah yaitu dalam melaksanakan hukum kewarisan IslamDiperlukan ketulusan hati
untuk menaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenarannya.
7. Asas Ta’abudi (Penghambaan Diri)
Maksud dari asas ini adalah pembagian waris secara hukum Islam adalDirMerupakan bagian
dari ibadah kepada Allah swt.
8. Asas Huququl Maliyah (Hak-hak Kebendaan)
Asas ini adalah hak-hak kebendaan yang artinya hanya hak dan kewajiban Terhadap
kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak dan kewajiban dalam
lapangan kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau
Istri, jabatan keahlian, dalam suatu ilmu tidak dapat diwariskan.
9. Asas huququn Thaba’iyah (Hak-hak Dasar)
Pengertian asas ini adalah hak-hak dari ahli waris sebagai manusia. Artinya, meskipun ahli
waris itu seorang bayi yang baru lahir atau seorang yang sedang sakit menghadapi kematian,
sedangkan ia masih hidup ketika Pewaris meninggal dunia, maka baik bayi yang baru lahir
ataupun orang yang Sedang sakit keras tadi mereka berhak atas harta warisan, begitu juga
suami Istri yan belum bercerai walaupun berpisah tempat tinggalnya maka pasangan ini
masih dipandang cakap untuk mewarisi harta warisan.
10. Asas Membagi Habis Harta Warisan
Membagi semua harta warisan hingga tidak tersisa lagi adalah makna dalam asas ini.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum waris Islam nyatanya dapat mewujudkan konsep keadilan dan kesetaraan gender
seperti yang sudah dijelaskan pada penelitian ini.Kurangnya pemahaman yang lebih
mengenai hukum waris Islam menyebabkan masyarakat menilai bahwa hukum waris Islam
terlihat tidak sesuai dengan konsep keadilan dan kesetaraan gender yang notabene merupakan
konsep modern. Hal ini membuktikan bahwa ajaran agama Islam dapat menyesuakan zaman.
Apapun teori baru yang tidak menyimpang dari koridor Islam akan selalu sesuai dengan
ajaran yang ada dalam Al-Qur‟an, karena Al-Qur‟an selalu selaras dengan perkembangan
zaman.

Anda mungkin juga menyukai