Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


HUKUM waris Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. telah mengubah
hukum waris Arab pra-Islam dan sekaligus merombak struktur hubungan
kekerabatannya, bahkan merombak sistem pemilikan masyarakat tersebut atas harta
benda, khususnya harta pusaka. Sebelumnya, dalam masyarakat Arab ketika itu,
wanita tidak diperkenankan memiliki harta benda --kecuali wanita dari kalangan
elite-- bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan.

Islam merinci dan menjelaskan --melalui Al-Qur'an Al-Karim-- bagian


tiap-tiap ahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan didalam masyarakat.
Meskipun demikian, sampai kini persoalan pembagian harta waris masih menjadi
penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping karena
keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan oleh
kekurangtahuan ahli waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya.

Kekurang pedulian umat Islam terhadap disiplin ilmu ini memang tidak
kita pungkiri, bahkan Imam Qurtubi telah mengisyaratkannya: "Betapa banyak
manusia sekarang mengabaikan ilmu faraid."

Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti.


Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak
merupakan harapan untuk menjadi sandaran dikala usia lanjut. Ia dianggap sebagai
modal untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status
social orang tua. Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang
tua masih hidup anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal
anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda
kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi
maupun rendah, anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya.
2

Menurut ajaran Islam, anak adalah amanah dari Allah swt yang harus
dijaga dan dilindungi. Sebagai amanah anak harus dijaga sebaik mungkin oleh
yang memegangnya, yaitu orang tua. Anak adalah manusia yang memiliki nilai
kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apapun. Istilah anak
sering disebutkan dalam Al-qur’an dengan kata al-walad (jamaknya al-awlad)
yang berarti anak yang dilahirkan orang tuanya, laki-laki maupun perempuan,
besar atau kecil, tunggal maupun banyak. Karenanya jika anak belum lahir
belum dapat disebut al-walad atau al-mawlud, tetapi disebut janin yang berarti
al-matsur (tertutup) dan al-khafy (tersembunyi) di dalam rahim ibu. Islam
membagi anak yang lahir menjadi dua status, yaitu anak syar’iy dan anak
thabi’iy. Anak syar’iy adalah anak dimana hukum menetapkan adanya
hubungan nasab antara anak dan orang tua laki-lakinya. Sedangkan anak
thabi’iy adalah anak dimana secara hukum anak dianggap tidak memiliki
hubungan nasab dengan orang tua laki-lakinya. Untuk itu, dalam makalah ini
kami para pemakalah akan menjelaskan mengenai perhitungan faraidh bagi
anak dalam kandungan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah hukum Ar-Radd menurut Fiqih Islam?


2. Bagaimanakah hak waris terhadap anak yang masih dalam kandungan ?
3. Bagaimanakah hak waris terhadap anak hasil Li’an?
3

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui hukum Ar-Radd menurut Fiqih Islam
2. Untuk mengetahui bagaimanakah hak waris terhadap anak yang masih
dalam kandungan.
3. Untuk mengetahui bagaimanakah hak waris terhadap anak hasil li’an
4

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 AR-RADD
2.1.1 Definisi Ar-Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna
berpaling/palingkan'. Seperti terdapat dalam sebuah do’a:
"Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah, palingkanlah/halaulah
tipu daya mereka terhadapku).
Kemudian Ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid (ilmu yang diketahui
dengannya siapa yang berhak mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga
berapa ukuran untuk setiap ahli waris) ialah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh (ahli waris yang dapat
bagian tertentu sebagaimana yang sudah ditentukan dalam al-Quran maupun As-
sunnah/hadits).
Sebagai misal, dalam suatu keadaan dalam pembagian hak waris, para
ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta
warisan itu masih tersisa, sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai
'ashabah (orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal,
contoh : anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung
laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah). Maka
sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh
sesuai dengan bagian mereka masing-masing.
5

2.1.2 Syarat-syarat Ar-Radd


Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat
seperti di bawah ini:
1. Adanya ashhabul furudh
2. Tidak adanya ahli waris 'ashabah
3. Adanya sisa harta waris.
Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd
tidak akan terjadi.
Dalam masalah radd ini, ada beberapa orang diantaranya Ulama
mutaqaddimin yang tidak menyetujui, yaitu Zaid bin Tsabit, Az Zuhry, Maliki,
Syafi’i dan Ibnu Hazm. Alasan mereka ialah bahwa besarnya bagian-bagian para
ahli waris telah ditetapkan secara pasti oleh nash. Adanya radd berarti merubah
ketetapan nash. Oleh karena itu apabila ada kelebihan harta warisan, tidak perlu
dikembalikan lagi kepada ahli waris, tetapi diserahkan ke baitul mal (kas negara)
untuk kebutuhan kaum muslimin.
Namun menurut Imam Syafi’i, jika kas Negara tidak berfungsi, maka sisa-
sisa itu boleh diberikan kepada ashhabul furudh.
Kelompok Utsman bin Affan mengakui adanya radd dalam pembagian
harta peninggalan dan diserahkan kepada semua ahli waris kecuali suami-istri.
Pendapat ini dipegang oleh Imam Hanafi, Ahmad bin Hambal dan fuqaha
mutaakhirin dari madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah.

2.1.3 Ahli Waris yang Berhak Mendapat Ar-Radd


Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami
dan istri. Artinya, suami atau istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat
bagian tambahan dari sisa harta waris yang ada.
Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang:
1. anak perempuan
2. cucu perempuan keturunan anak laki-laki
3. saudara kandung perempuan
4. saudara perempuan seayah
6

5. ibu kandung
6. nenek sahih (ibu dari bapak)
7. saudara perempuan seibu
8. saudara laki-laki seibu
Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul
furudh dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd.
Sebab dalam keadaan bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat
salah satunya --ayah atau kakek-- -maka tidak mungkin ada ar-radd, karena
keduanya akan menerima waris sebagai 'ashabah.

2.1.4 Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd


Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-
radd hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah
karena nasab (karena keturunan), akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena
sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena
kematian, maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd.
Mereka hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing.
Maka apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa
dari harta waris, suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.

2.2 HAK WARIS ANAK DALAM KANDUNGAN (MIRATS AL-HAML)

2.2.1 Pengertian Hamil

Alhamlu (hamil) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari
katahamalat. Dikatakan: "almar'atu haamil ma haamilatun idsaa kaanat hublaa"
(wanita itu hamil apa bila ia sedang mengandung janin). Menurut Mansur Ibn
Yunus Ibn Idris al Bahuti salah seorang ulama mazhab Hambali bahwa secara
bahasa alhamlu dengan difathahkan huruf “ha” kata itu digunakan kepada setiap
apa yang ada di dalam perut yang hamil dan selanjutnya beliau mengatakan bahwa
7

yang dimaksud Miirastu alhaml disini adalah setiap anak yang ada di dalam perut
wanita. Allah berfirman dalam AlQur'an surat alAhqaf (46) 15 Artinya:
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang
ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya
dengan susah payah (pula).
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga
apabila dia Telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya
Tuhanku, tunjukilah Aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang Telah Engkau
berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya Aku dapat berbuat amal yang
saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan)
kepada anak cucuku. Sesungguhnya Aku bertaubat kepada Engkau dan
Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
Sedangkan menurut istilah fuqaha, yaitu janin yang dikandung dalam perut
ibunya, baik laki-laki maupun perempuan. Salah satu syarat yang harus terpenuhi
oleh ahli waris adalah keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan
demikian, bagi janin yang masih di dalam kandungan ibunya belum dapat
ditentukan hak waris yang diterimanya, karena belum dapat diketahui secara pasti
keadaannya, apakah bayi tersebut akan lahir selamat atau tidak, laki-laki atau
perempuan, dan satu atau kembar. Setelah bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup,
maka kita nyatakan bahwa ahli waris dalam keadaan hidup pada saat pewaris wafat;
demikian juga jika ia lahir dalam keadaan mati, maka kita nyatakan bahwa ahli
waris tidak ada ketika pewaris wafat.
Secara ringkas dapat dikatakan, selama janin yang dikandung belum dapat
diketahui dengan pasti keadaannya, maka mustahil bagi kita untuk menentukan
jumlah bagian waris yang harus diterimanya. Karena itu, untuk mengetahui secara
pasti kita harus menunggu setelah bayi itu lahir. Namun demikian, tidak tertutup
kemungkinan kita dihadapkan pada keadaan darurat menyangkut kemaslahatan
sebagian ahli waris yang mengharuskan kita untuk segera membagi harta warisan
dalam bentuk awal. Setelah itu, barulah kita bagikan kepada masing-masing ahli
waris secara lengkap setelah kelahiran bayi. Berkaitan dengan hal ini, para pakar
8

faraid menjelaskan hokum-hukum khusus secara rinci dengan menyertakan


berbagai pertimbangan demi menjaga kemaslahatan ahli waris yang ada.

2.2.2 Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan


Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi tiga
persyaratan:
1. Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan
ibunya ketika muwarist wafat.
2. Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat
dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan.
3. Matinya muwarist.
Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan
hidup. Apabila lahir dalam keadaan hidup, maka dia mewarisi dan dapat diwarisi
oleh orang lain; karena berdasarkan sebuah hadis yang diriwatkan oleh beberapa
ahli hadist, diantaranya:
• Hadis riwayat Abu Daud No 2531 Artinya: Telah menceritakan kepada
kami Husain bin Muadz, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Yazid bin Abdullah
bin Qusaith dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau
bersabda: "Apabila anak yang lahir (dalam keadaan) menangis, maka ia
diwarisi."
• Hadis riwayat Sunan AdDarimi No 2997 Artinya: Telah mengabarkan
kepada kami Yazid bin Harun telah mengabarkan kepada kami Al Asy'ats
dari Abu Az Zubair dari Jabir bin Abdullah ia berkata; Jika seorang terlahir
dalam keadaan menangis, maka ia mendapat warisan dan dishalati.
Istihlal artinya teriyakan atau jeritan bayi yang baru lahir. Cirinya hidup
adalah adanya suara, nafas, bersin atau yang serupa dengan itu. Kata Istihlal artinya
jeritan tangisan bayi, maksudnya ialah bila anak yang lahir itu hidup maka dia diberi
warisan. Tandanya hidup ialah suara, nafas, bersin atau yang serupa itu. Apabila
kandungan itu lahir dalam keadaan mati bukan karena tindak pidana yang dilakukan
oleh ibu terhadapnya, menurut kesepakatan, dia tidak mewarisi dan tidak pula
9

diwarisi. Dan adapun batas waktu keluarnya bayi dari dalam kandungan ialah
maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi yang ada dalam kandungan
itu anak pewaris. Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan
merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad.
Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam
kandungan maksimal empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam
mazhab Imam Ahmad, seperti yang disinyalir para ulama mazhab Hambali.
Persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan nyatanyata
hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru lahir adalah jika
bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau yang semacamnya.
Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakan apa saja dari
bayi tersebut.
Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari
dalam rahim ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga
cukup menunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak seperti
gerakan hewan yang dipotong maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup.
Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
saw: "Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati),
maka hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan
Tirmidzi) Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati,
atau ketika keluar separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar
dalam keadaan hidup tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan
ia dianggap tidak ada. Sedangkan persyaratan ketiga adalah matinya muwarist.
Setelah Muwarist ini mati hubungan dengan muwarist apabila hubungan dengan
muwarist sebagai ayah, maka disyaratkan kawin dengan sah (sesuai dengan syari'at
Islam) dan tidak ada penghalang baik Alhijab bi al washfi dan Alhijab bi alsyakhshi.
10

2.2.3 Keadaan Janin


Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi.
Kelima keadaan tersebut:
1. Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apa pun, baik janin tersebut
berkelamin laki-laki ataupun perempuan.
2. Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki kelamin (laki-laki atau
perempuan), dan bukan sebagai ahli waris dalam keadaan berkelamin ganda
(banci).
3. Sebagai ahli waris dalam segala keadaannya baik sebagai laki-laki maupun
perempuan.
4. Sebagai ahli waris yang tidak berbeda hak warisnya, baik sebagai laki-laki
ataupun perempuan.
5. Sebagai ahli waris tunggal, atau ada ahli waris lain namun ia majhub
(terhalang) hak warisnya karena adanya janin.

Keadaan Pertama
Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada secara
langsung, tanpa harus menunggu kelahiran janin yang ada di dalam kandungan,
disebabkan janin tersebut tidak termasuk ahli waris dalam segala kondisi.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, dan ibu yang
sedang hamil dari ayah tiri pewaris. Berarti bila janin itu lahir ia menjadi
saudara laki-laki seibu pewaris. Dalam keadaan demikian berarti mahjub hak
warisnya oleh adanya ayah pewaris. Karenanya harta waris yang ada hanya
dibagikan kepada istri seperempat (1/4), ibu sepertiga (1/3) dari sisa setelah
diambil hak istri, dan sisanya menjadi bagian ayah sebagai 'ashabah. Pokok
masalahnya dari empat (4).

Keadaan Kedua
Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada
dengan menganggap bahwa janin yang dikandung adalah salah satu dari ahli
11

waris, namun untuk sementara bagiannya dibekukan hingga kelahirannya.


Setelah janin lahir dengan selamat, maka hak warisnya diberikan kepadanya.
Namun, bila lahir dan ternyata bukan termasuk dari ahli waris, maka harta yang
dibekukan tadi dibagikan lagi kepada ahli waris yang ada. Sebagai misal,
seseorang wafat dan meninggalkan istri, paman (saudara ayah), dan ipar
perempuan yang sedang hamil (istri saudara kandung laki-laki), maka
pembagiannya seperti berikut: istri mendapat seperempat (1/4), dan sisanya
yang dua per tiga (2/3) dibekukan hingga janin yang ada di dalam kandungan
itu lahir. Bila yang lahir anak laki-laki, maka dialah yang berhak untuk
mendapatkan sisa harta yang dibekukan tadi. Sebab kedudukannya sebagai
keponakan laki-laki (anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki), oleh
karenanya ia lebih utama disbanding kedudukan paman kandung. Namun,
apabila yang lahir anak perempuan, maka sisa harta waris yang dibekukan itu
menjadi hak paman. Sebab keponakan perempuan (anak perempuan keturunan
saudara laki-laki) termasuk dzawil arham.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, tiga saudara
perempuan seibu, dan istri ayah yang sedang hamil. Pembagiannya seperti
berikut: apabila istri ayah tersebut melahirkan bayi laki-laki, berarti menjadi
saudara laki-laki seayah. Maka dalam keadaan demikian ia tidak berhak
mendapatkan waris, karena tidak ada sisa dari harta waris setelah diambil para
ashhabul furudh yang ada. Namun, bila ternyata bayi tersebut perempuan,
berarti ia menjadi saudara perempuan seayah, maka dalam hal ini ia berhak
mendapat bagian separo (1/2), dan pokok masalahnya dari enam (6) di'aulkan
menjadi sembilan (9).
Setelah ashhabul furudh menerima bagian masing-masing, kita lihat
sisanya yang menjadi bagian bayi yang masih dalam kandungan. Bila yang lahir
bayi perempuan, maka sisa bagian yang dibekukan menjadi bagiannya, namun
bila ternyata laki-laki yang lahir, maka sisa harta waris yang dibekukan tadi
diberikan dan dibagikan kepada ahli waris yang ada, tablenya sebagai berikut:
12

Aw dan fardhnya 6 9 Suami 1/2 3 Ibu 1/6 1 3 sdr. pr. Seibu 1/3 1 Sdr.pr.seayah
(hamil) 1/2 1 Sisanya tiga (3), untuk sementara dibekukan hingga janin telah
dilahirkan.

Keadaan Ketiga
Apabila janin yang ada di dalam kandungan sebagai ahli waris dalam
segala keadaannya hanya saja hak waris yang dimilikinya berbedabeda (bisa
laki-laki dan bias perempuan) maka dalam keadaan demikian hendaknya kita
berikan dua ilustrasi, dan kita bekukan untuk janin dari bagian yang maksimal.
Sebab, boleh jadi, jika bayi itu masuk kategori laki-laki, ia akan lebih banyak
memperoleh bagian dari pada bayi perempuan. Atau terkadang terjadi
sebaliknya. Jadi, hendaknya kita berikan bagian yang lebih banyak dari jumlah
maksimal kedua bagiannya, dan hendaknya kita lakukan pembagian dengan dua
cara dengan memberikan bagian ahli waris yang ada lebih sedikit dari bagian-
bagian masingmasing. Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan istri
yang sedang hamil, ibu, dan ayah. Dalam keadaan demikian, bila janin
dikategorikan sebagai anak laki-laki, berarti kedudukannya sebagai anak laki-
laki pewaris, dan pembagiannya seperti berikut: ibu seperenam (1/6), ayah
seperenam (1/6), dan bagian istri seperdelapan (1/8), dan sisanya merupakan
bagian anak laki-laki sebagai 'ashabah. Agar keadaan ketiga ini lebih jelas maka
perlu saya kemukakan contoh table dalam dua kategori (laki-laki dan
perempuan). Aw dan fardhnya 24 Aw dan fardhnya 24 24 Istri 1/8 3 Istri 1/8 3
3 Ayah 1/6 4 Ayah 1/6 'ashabah 5 4 Ibu 1/6 4 Ibu 1/6 4 4 Janin lk. sbg. 'ashabah
13 Janin pr. 1/2 12 12 Sisanya satu (1), dibekukan.

Keadaan Keempat
Bila bagian janin dalam kandungan tidak berubah baik sebagai laki-laki
maupun perempuan, maka kita sisihkan bagian warisnya, dan kita berikan
bagian para ahli waris yang ada secara sempurna. Sebagai misal, seseorang
wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan
seayah, dan ibu yang hamil dari ayah lain (ayah tiri pewaris). Apabila janin telah
13

keluar dari rahim ibunya, maka bagian warisnya tetap seperenam (1/6), baik ia
laki-laki ataupun perempuan. Sebab kedudukannya sebagai saudara laki-laki
seibu atau saudara perempuan seibu dengan pewaris. Dengan demikian,
kedudukan bayi akan tetap mendapat hak waris seperenam (1/6), dalam kedua
keadaannya, baik sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan. Inilah tabelnya.
6 6 Sdr. kdg. pr. ½ 3 Sdr. kdg. pr. 1/2 3 Sdr. pr. seayah 1/6 1 Sdr. pr. seayah 1/6
1 Ibu (hamil) 1/6 1 Ibu 1 (Janin) sdr. seibu 1/6 1 (Janin) sdr. seibu 1/6 1.

Keadaan Kelima
Apabila tidak ada ahli waris lain selain janin yang di dalam kandungan,
atau ada ahli waris lain akan tetapi mahjub haknya karena adanya janin, maka
dalam keadaan seperti ini kita tangguhkan pembagian hak warisnya hingga tiba
masa kelahiran janin tersebut. Bila janin itu lahir dengan hidup normal, maka
dialah yang akan mengambil hak warisnya, namun jika ia lahir dalam keadaan
mati, maka harta waris yang ada akan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang
berhak untuk menerimanya.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan menantu perempuan
yang sedang hamil (istri dan anak laki-lakinya) dan saudara laki-laki seibu.
Maka janin yang masih dalam kandungan merupakan pokok ahli waris, baik
kelak lahir sebagai laki-laki atau perempuan. Karenanya, akan menggugurkan
hak waris saudara laki-laki pewaris yang seibu tadi. Sebab, bila janin tadi lahir
sebagai laki-laki berarti kedudukannya sebagai cucu laki-laki dari keturunan
anak laki-laki, dengan begitu ia akan mengambil seluruh sisa harta waris yang
ada karena ia sebagai 'ashabah. Dan bila janin tadi lahir sebagai perempuan,
maka ia sebagai cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan akan
mendapat bagian separo (1/2) harta \varis yang ada, dan sisanya akan dibagikan
sebagai tambahan (arradd) bila ternyata tidak ada 'ashabah.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil
dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian istri adalah seperdelapan (1/8), dan
saudara laki-laki tidak mendapat bagian bila janin yang dikandung tadi laki-
laki. Akan tetapi, bila bayi tersebut perempuan maka istri mendapatkan
14

seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan setengah (1/2) bagian, dan sisanya
merupakan bagian saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.

2.3 LI’AN DAN ANAK HASIL LI’AN


2.3.1 Pengertian Li’an
Sesungguhnya ketika dua insan mengikat sebuah tali pernikahan, maka
keduanya telah berjanji agar setia kepada pasangannya di kala senang dan sedih,
lapang dan susah hingga akhir hayat. Namun terkadang setan pandai
menggelincirkan seseorang sehingga orang tersebut merusak ikatan yang telah ia
jalin bersama pasangannya dan melupakan janji setia tersebut.

Kemudian mulailah muncul berbagai macam prahara dalam rumah tangganya


hingga mencapai suatu level dimana kedua belah pihak sudah tidak mungkin
bersatu kembali, bahkan keduanya harus melakukan sumpah di hadapan hakim
bahwa pasangannya telah berzina dengan orang lain. Inilah li’an.

Li’an adalah saling menjauh, yakni suami-istri saling menjauh setelah terjadi
li’an selamanya. Li’an adalah sumpah suami bahwa istrinya telah berzina
(berselingkuh) dengan orang lain dan anak yang dilahirkan istrinya akibat zina (jika
ada) bukanlah anaknya.

Jika istrinya melahirkan seorang anak akibat zina, maka si suami wajib
mengatakan bahwa anak tersebut bukan anaknya karena tidak boleh menisbatkan
anak orang lain kepada dirinya sendiri. Ini adalah perbuatan yang haram dan
terdapat ancaman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang
melakukannya.

Jika amarah sudah di ubun-ubun akibat perselingkuhan, dan ia yakin


istrinya telah berzina, maka boleh bagi suami melakukan li’an di hadapan hakim
atau di hadapan jama’ah di masjid dan menyebutkan sumpah sebagai berikut :
15

‫ش َهد‬ َّ ‫الزنَا ِم َن ف ََلنَةَ َز ْو َجتِ ْي بِ ِه َر َم ْيت فِ ْي َما ال‬,


ْ َ ‫صا ِدقِ ْي َن لَ ِم َن ِإنَّنِي ِباللِ أ‬ ِ
َ َ
‫الولَ َد َهذا أ َّن َو‬
َ ‫الزنَا ِم َن‬ ِ ‫س َو‬ َ ‫)مرات أربع( ِمنِ ْي لَ ْي‬
“Aku bersaksi –demi Allah- sungguh aku benar-benar orang yang jujur dengan
tuduhanku bahwa istriku –fulanah (sebutkan namanya)- telah berzina, dan anak
ini adalah anak zina dan bukan anakku” (sebanyak 4x)

Kemudian ia berkata setelah hakim menasihatinya (semisal dengan


mengingatkan bahwa adzab di dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat) :

‫علَ َّي َو‬


َ ‫الكَا ِذبِ ْي َن ِم َن ك ْنت إِ ْن للاِ لَ ْعنَة‬
“Dan aku berhak mendapat laknat Allah jika aku berdusta”

2.3.2 Definisi Anak Li’an

Dalam kitab Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami disebutkan :


“Anak Li’an adalah anak yang dilahirkan dari hubungan suami -isteri yang
sah, namun sang suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya, dan
qadhi (hakim syar’i) memutuskan bahwa anak itu bukanlah dari nasab sang
suami, setelah suami-isteri itu diambil sumpahnya (li’an).”

Para Ulama sepakat bahwa status hukum anak li`an adalah sama dengan
anak zina. Yaitu bahwa anak hanya bisa dinasabkan kepada ibunya saja. Dasarnya
adalah tindakan Nabi Saw. Ketika menyelesaikan perkara li`an sebagaimana dalam
riwayat berikut:
“Riwayat dari ibnu `Umar r.a bahwa seorang laki-laki telah meli`an
istrinya pada Masa Nabi Saw. Dan ia menafikan anak istrinya tersebut,
maka Nabi Saw. Menceraikan antara keduanya dan mempertemukan
nasab anaknya kepada ibunya.”(Riwayat al-Bukhari dan Abu Daud)
“Rasulullah Saw. menjadikan hak waris anak li`an (mula`ananh) kepada
ibunya DAN AHLI waris ibu sesudahnya.”(Riwayat Abu Daud)
16

Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa status hukum anak li`an
disamakan dengan anak zina. Mereka hanya dapat mewarisi kepada ibu dan
saudara-saudaranya yang seibu saja, tidak bisa mewarisi kepada bapaknya dan ahli
waris lainya, karena tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan bapaknya.

Persoalan yang timbul adalah, bagaimana penyelesaiannya apabila anak


li`an tersebut berkedudukan sebagai al-muwarrits. Para ulama berbeda pendapat
dalam masalah ini. Para sahabat besar seperti `Umar ibn al-khattab, Ali ibn Abi
Thallib dan ibn Mas`ud berpendapat, ibu dari anak zina atau anak li`an sebagai ahli
waris tunggal, sebagai ashab al-furudl dan `ashabah sekaligus. Karena didalam
kenyataannya, sejak li`an itu menjadi, hubungan mereka itu terputus selamanya
(bain), maka praktis ibu bertindak sebagai ibu dan bapak sekaligus.

Fungsi demikian sejalan dengan sabda Nabi Muhammad Saw.:


“Nabi Saw. Bersabda: ”Wanita itu dapat memperoleh tiga macam harta,
harta peninggalan budaknya yang telah dibebaskan, harta peniggalan anak
pungutnya dan harta peninggalan anak li`annya.”(Riwayat Abu Daud).

Sebagai akibat dari li`an tersebut ada dua hal besar yang berkaitan dengan
masalah kewarisan: pertama: putus hubungan kewarisan antara suami-istri dan
kedua: putus hubungan suami yang meli`an dengan anak yang dilahirkan.

Adapun hubungan kewarisan antara laki-laki dengan anak dari istri yang di
li`annya terputus semenjak selesainya li`an yang mengandung maksud menafikan
anak itu; dan tidak dari pemisahan yang dilakukan oleh hakim; oleh karena
hubungan antara anak tersebut dan laki-laki itu dinafikan semenjak laki-laki
tersebut menafikannya dan bukan disebabkan oleh tindakan hakim yang
menceraikan antara suami dan istri

BAB III
17

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
∞ Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga
syarat seperti di bawah ini:
1. Adanya ashhabul furudh
2. Tidak adanya ahli waris 'ashabah
3. Adanya sisa harta waris.
Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus
ar-radd tidak akan terjadi.

∞ Anak dalam kandungan termasuk ahli waris seperti ahli waris lainnya
dengan syarat:
a. Sudah berwujud di dalam rahim ibunya pada saat pewaris (orang yang
mewariskan) meninggal.
b. Dilahirkan dalam keadaan hidup.

Karena anak dalam kandungan belum bisa langsung ditentukan jenis


kelaminnya, maka besar bagian warisan yang akan diberikan kepadanya ada dua
kemungkinan, yaitu berdasarkan anggapan apakah jenis kelaminnya nanti pada saat
dilahirkan laki-laki atau perempuan. Menurut pendapat jumhur ulama, bagian untuk
anak dalam kandungan yang harus ditahan/disimpan dari harta warisan (untuk
kemudian diberikan kepadanya setelah mampu memegang harta) adalah bagian
yang terbesar di antara dua perkiraan laki-laki dan perempuan.
∞ Para Ulama sepakat bahwa status hukum anak li`an adalah sama dengan anak
zina. Yaitu bahwa anak hanya bisa dinasabkan kepada ibunya saja. Dasarnya adalah
tindakan Nabi Saw. Ketika menyelesaikan perkara li`an sebagaimana dalam
riwayat berikut:
“Riwayat dari ibnu `Umar r.a bahwa seorang laki-laki telah meli`an
istrinya pada Masa Nabi Saw. Dan ia menafikan anak istrinya tersebut,
18

maka Nabi Saw. Menceraikan antara keduanya dan mempertemukan


nasab anaknya kepada ibunya.”(Riwayat al-Bukhari dan Abu Daud)
“Rasulullah Saw.menjadikan hak waris anak li`an (mula`ananh) kepada
ibunya DAN AHLI waris ibu sesudahnya.”(Riwayat Abu Daud)

Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa status hukum anak li`an disamakan
dengan anak zina. Mereka hanya dapat mewarisi kepada ibu dan saudara-
saudaranya yang seibu saja, tidak bisa mewarisi kepada bapaknya dan ahli waris
lainya, karna tidak mempunyai hubungan kekerbatan dengan bapaknya.

Anda mungkin juga menyukai