Anda di halaman 1dari 12

Mawali dan Wasiat Wajibah di Negara-Negara Islam

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Hukum Keluarga di Negara-Negara Islam

Dosen Pengampu : Dr. Achmad Arief Budiman, M.Ag.

Disusun Oleh :

Zulfikar Husni Maulana (1602016080)


Nur Azizah (1602016082)
Nadya Falahatul Aulia (1602016083)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam permasalahan di dunia ini, ada beberapa permasalahan dan perbedaan
pendapat tentang bagaimana membagi warisan kepada ahli waris, dan siapa saja yang
berhak menjadi ahli waris, terlebih bagaimana konsep ahli waris pengganti itu sendiri.
Sehingga mengakibatkan salah kaprah, dan salah perhitungan dalam
penyerahan harta warisan kepada ahli waris pengganti. Padahal dalam pasal 185 KHI
sudah jelas diterangkan bagaimana kedudukan dan bagian untuk ahli waris pengganti
itu sendiri dan dalam pasal sebelum-sebelumnya telah diterangkan bagaimana ahli
waris mendapatkan bagiannya.
Oleh sebab itu dalam permasalahan kali ini yang menjadi latar belakang
masalah adalah bagaimana bahagian untuk ahli waris pengganti itu sendiri, dan
bagaimana ahli waris pengganti dapat mendapatkan harta warisan, dan pembagian
serta siapa saja ahli waris pengganti itu yang menjadi pokok permasalahan. Sebab
permasalah di atas sering kali di salah gunakan oleh masyarakat sehingga menjadikan
masyarakat Indonesia main hakim sendiri dalam membagikan harta warisan. Dengan
alasan pewaris sudah tidak mempunyai anak keturunan sehingga banyak nenek-nenek
yang dulu punya anak, menjadi terlantar di pinggiran kota, dan bertempat tinggal di
gunung yang tak berpenghuni. Sehingga seolah mereka tidak memiliki sanak saudara
sama sekali, dan tidak ada yang mau mengurusinya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep mawali atau pengganti kedudukan ahli waris?
2. Bagaimana konsep wasiat wajibah di negara-negara islam?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mawali (Ahli Waris Pengganti)


1. Pengertian Ahli Waris Pengganti
Secara istilah ahli waris pengganti dikenal dengan bahasa Arab yaitu Mawali
yang artinya ahli waris pengganti. Yang dimaksud ialah ahli waris yang
menggantikan seseorang yang memperoleh bagian waris yang menggantikan
seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang
digantikan itu.
Sebabnya ialah karena orang yang digantikan itu adalah orang yang
seharusnya menerima warisan kalau dia masih hidup, tetapi dalam kasus
bersangkutan dia telah meninggal lebih dahulu dari si pewaris. Orang yang
digantikan ini hendaklah merupakan penghubung antara dia yang menggantikan ini
dengan pewaris yang meninggalkan harta peninggalan. Mereka yang menjadi mawali
ini ialah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris atau keturunan orang
yang mengadakan semacam perjanjian mewaris (bentuknya dapat saja dalam bentuk
warisan) dengan pewaris.
Pengertian ahli waris pengganti di dalam hukum waris Islam tidak sama
dengan ahli waris pengganti dalam hukum waris adat atau hukum waris barat (B.W.),
yang pada pokoknya hanya memandang ahli waris pengganti adalah keturunan dari
ahli waris yang digantikan kedudukannya. Pengertian ahli waris pengganti di dalam
hukum waris Islam adalah ahli waris yang haknya terbuka sebagai akibat ketiadaan
ahli waris tertentu.1
2. Siapa Saja Ahli Waris Pengganti Itu
Mengacu Kepada pengertian leluhur dan keturunan maka dapat dibedakan ahli
waris kedalam dua kelompok, yaitu ahli waris utama pengganti dan ahli waris
pengganti. Ahli waris utama pengganti terdiri dari Neneh, kakek, cucu perempuan,
dan cucu laki-laki. Sedangkan ahli waris pengganti terdiri dari saudara sekandung /
sebapak dan saudara seibu.2
a) Kakek

1
Ash Shabuni, Muhamamd Ali, 1995, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: gema Insani.
2
Thalib Sajuti, 2004, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet. 8, Jakarta: Sinar Grafka

2
Kakek (ayahnya ayah), adalah seorang yang ditinggal mati oleh cucunya, baik
cucu itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang yang berhak mendapatkan
warisan. Syaratnya adalah ayah anak itu sudah meninggal dunia saat si cucu
meninggal dunia. Bila ayah si cucu masih hidup, maka kakek terhijab, sehingga
kita tidak berbicara tentang warisan buat kakek.
1) Bagian
Seorang kakek punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak
warisnya.ü 1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki
Dalilnya adalah firman Allah :
‫س مِم َّا َتَر َك ِإن َكا َن لَهُ َولَ ٌد‬ ُّ ‫اح ٍد ِّمْن ُه َما‬
ُ ‫الس ُد‬
ِ ‫وَألبوي ِه لِ ُك ِّل و‬
َ ْ ََ َ
Artinya: “Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai
anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
ü 1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak punya fara' waris
laki-laki
ü Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris
2) Nenek
Yang dimaksud dengan nenek disini adalah ibu dari ayahnya almarhum. Dalam
hal ini nenek hanya punya satu kemungkinan dalam mendapat bagian warisnya,
yaitu 1/6. Syaratnya, almarhum tidak punya ibu dan ayah. Dalilnya sama
seperti kakek. Namun nenek tidak menghijab siapapun.
3) Cucu Laki-Laki dan cucu perempuan.
Cucu yang dimaksud adalah anak laki-laki dari anak laki-laki.
Sedangkan cucu dari anak perempuan tidak termasuk ahli waris. Keberadaan
cucu ini baru berarti manakala almarhum tidak punya anak laki-laki saat
meningal dunia. Sebaliknya, bila almarhum punya anak laki-laki, meski
posisinya bukan ayah dari cucu, misalnya sebagai paman, maka cucu tidak
mendapatkan hak waris, karena terhijab olehnya.
Bagian yang menjadi hak seorang cucu mirip yang diterima seorang
anak laki-laki. Karena kedudukannya memang sebagai pengganti anak laki-
laki. Asabah (sisa harta) bila ada ahli waris lain yang telah mengambil bagian
masing-masing, dengan ketentuan cucu laki-laki mendapat 2 kali bagian cucu
perempuan.

3
Contoh yang sederhana adalah seorang laki-laki wafat meninggalkan
ahli waris : cucu laki-laki dan anak perempuan. Maka hak cucu laki-laki
adalah sisa harta yang telah diambil terlebih dahulu oleh anak perempuan.
Anak perempuan tunggal adalah ashabul furudh yang jatahnya sudah
ditetapkan.
Dalam hal ini anak perempuan mendapat 1/2. Berarti sisanya adalah
1/2 bagian. Maka bagian yang didapat oleh cucu laki-laki adalah 7/8.
Apabila almarhum juga meninggalkan cucu perempuan, maka dia juga
mendapat sisa sebagaimana halnya cucu laki-laki, yaitu jumlah sisa itu dibagi
rata di antara para cucu, dengan ketentuan bahwa cucu perempuan hanya
mendapat setengah dari apa yang didapat cucu laki-laki. Atau dengan kata
lain, yang diterima cucu laki-laki 2 kali lipat lebih besar dari anak perempuan.

Maka pembagiannya sebagai berikut :

Ahli Waris Bagian

Anak Perempuan 1/2 3/6

Cucu Laki-Laki 2/6

Cucu Perempuan Sisa = 1/2 1/6

4) Ahli Waris Pengganti Saudara seayah-ibu (‫)أخ شقيق‬


Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja lebih muda
(adik). Yang penting, hubungan antara dirinya dengan almarhum adalah
bahwa mereka punya ayah dan ibu yang sama. Kita menghindari penggunaan
istilah saudara sekandung, karena konotasinya bisa keliru. Lebih pastinya kita
gunakan istilah saudara seayah dan seibu.
Saudara seayah seibu mendapat waris dari almarhum dengan cara
ashabah, yaitu sisa harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu
kepada ahli waris secara fardh. Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab
oleh orang-orang yang menghijabnya. Dalam hal ini almarhum tidak
meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek. Saat itulah saudara seayah seibu
baru mendapat jatah warisan.

4
Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya : istri dan
saudara laki-laki seayah seibu. Maka pembagiannya warisannya adalah istri
mendapat 1/4 dan saudara mendapatkan sisanya, yaitu 3/4 bagian.
Apabila saudara laki-laki juga punya saudara perempuan yang sama-
sama seayah dan seibu, maka bagian yang diterimanya harus 2 kali lipat lebih
besar.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara laki-laki dan
saudara wanita. Maka pembagian warisannya adalah istri mendapat 1/4,
sisanya yang 3/4 itu dibagi dua dengan saudarinya, saudara mendapatkan 2/4
dan saudarinya mendapat 1/4.
B. Wasiat Wajibah di Negara-Negara Islam

1. Indonesia
Salah satu hukum materil peradilan agama di Indonesia yang dijadikan rujukan
oleh para hakim adalah kompilasi hukum islam walaupun berlakunya hanya melalui
intruksi presiden Republik Indonesia nomer 1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991. 3 Pada
kompilasi hukum islam di Indonesia, masalah tentang wasiat wajibah terdapat
didalam salah satu pasal pada bab II, yang mengatur tentang warisan.
Di Indonesia,wasiat wajibah tidak diperuntukan bagi cucu-cucu, yang orang
tuanya meninggal terlebih dahulu dari pada si pewaris. Wasiat wajibah dalam hukum
Indonesia hanya diperuntukan bagi anak angkat dan ahli waris non-muslim.
a. Wasiat wajibah bagi anak angkat
Secara umum orang memahami bahwa pengangkatan anak adalah adopsi.
Adopsi adalah pengambilan anak orang lain secara sah untuk menjadi anak
sendiri. Akan tetapi, Didalam kompilasi hukum islam pasal 171 huruf h,
disebutkan; ‘’anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari
orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan’’4
Salah satu materi kompilasi hukum islam adalah tentang pemberian wasiat
wajibah kepada anak angkat dan orang tua angkat yang telah disebutkan didalam
pasal 209. Hal ini merupakan terobosan baru dalam hukum islam yang tidak di
temukan dalam kitab-kitab klasik bahkan undang-undang Mesir, Syiria, Maroko

3
Kementrian Republik Indonesia, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontenporer di Indonesia, cetakan
pertama, puslitbang kehidupan dan keagamaan Kementrian Agama RI, Jjakarta, 2012, Hlm. 279
4
Kompilasi hukum islam

5
dan Tunisia tidak menyatakan wasiat wajibah kepada anak angkat dan orang tua
angkat.5Dimana pada pasal 209 tersebut menyebutkan dalam ayat 1 ‘’Harta
peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal
193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima
wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak
angkatnya.” Dan ayat 2 “ Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya6”.
Ada bunyi pasal 209 ayat 1 dan ayat 2 kompilasi hukum islam tersebut
menghendaki wasiat wajibah hanya diberikan kepada seseorang yang terikat
hubungan sebagai anak angkat dan orang tua angkat. Apa sebabnya kompilasi
hukum islam hanya memperuntukan wasiat wajibah diberikan kepada orang yang
terikat hubungan sebagai anak angkat atau orang tua angkat. Hal ini disebabkan
karena berdasarkan aturan ini, orang tua angkat dan anak angkat tidak saling
mewarisi, karena dia bukan ahli waris.7
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Ahzab ayat 4 dan 5.
‫ما جعل هللا لرجول من قبلين في جوفه وما جعل أزواجكم الالئي تظاهرون منهن أمهاتكم وما جعل أدعياءكم أبناءكم ذالكم‬
‫قولكم بأفواهكم وهللا يقول الحق وهو يهدي السبيل‬.
‫أدعوهم ألبائهم هو أقسط عند هللا فإن لم تعلموا أباءهم فإخوانكم في الدين ومواليكم وليس عليكم جناح فيما أخطأتم به ولكن‬
‫ما تعمدت قلوبكم وكان هللا غفورا رحيما‬
Artinya :
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar [1198] itu sebagai
ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah
mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.
5
Kementrian Republik Indonesia, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontenporer di Indonesia, cetakan
pertama, puslitbang Kehidupan dan Keagamaan Kementrian Agama RI, jakarta 2012, hlm. 279
6
Kompilasi Hukum Islam
7
M. Anshar mk, Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktik, cetakan 1, Yogyakarta : Pustaka pelajar,
2013. Hlm. 91

6
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa status anak angkat dalam kewarisan tetap
dengan bernasab kepada orang tua kandungnya, oleh sebab itu anak angkat tersebut
memiliki hubungan kewarisan dengan orang tua kandungnya pula.
Menurut pasal 209 dalam kompilasi hukum islam tersebut disebutkan, bahwa
terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah, begitu
juga sebaliknya. Kalimat ini menghendaki setiap anak angkat hendaklah berwasiat
kepada orang tua angkatnya ketika ia hendak meninggal dunia, tetapi jika anak tidak
sempat atau lupa menulis wasiat kepada orang tua angkatnya ketika akan meninggal
dunia, maka hukum menganggap seolah-olah dan harus dianggap bahwa ia telah
berwasiat kepada orang tua angkatnya8,Begitu pula orang tua angkat hendak lah
berwasiat kepada anak angkatnya, karena itu menurut pasal 209 tersebut terhadap
orang tua/anak angkat itu diberi wasiat wajibah, maksimal 1/3 dari harta untuk
diserahkan kepada orang tua/atau anak angkatnya. Dengan demikian sebelum harta
warisan difaidhkan kepada para ahli waris yang berhak menerima warisan, wasiat
wajibah harus ditunaikan terlebih dahulu.
b. Wasiat wajibah bagi ahli waris non muslim.
Sudah menjadi kesepakatan sebagian ulama bahwa perbedaan agama antara
muslim dan non muslim merupakan salah satu faktor terhalangnya untuk
mendapatkan warisan. Begitu juga hubungan nasab merupakan salah satu faktor
penghalang untuk dapat mewarisi. Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama
yang menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dangan orang yang
mewariskan. Demikian juga murtad mempunyai kedudukan yang sama, yaitu tidak
mewarisi harta peninggalan keluarganya. Orang yang murtad tersebut berarti telah
melakukan tindakan kejahatan terbesar dan telah memutuskan shilah syari’ah. Oleh
karena itu para fuqaha telah sepakat bahwa orang murtad tidak berhak menerima harta
warisan dari kerabatnya.9 Hal tersebut dapat dilihat dalam salah satu kitab fiqh yang
artinya; ‘’telah sepakat para ulama fuqaha bahwa ada tiga hal yang dapat

8
Ibid, hal 92
9
Kementrian Republik Indonesia, problematika Hukum kewarisan Islam Kontenporer di Indonesia, cetakan
pertama, puslitbang kehidupan dan keagamaan Kementrian Agama RI, Jjakarta: 2012, hlm. 281

7
menghalangi untuk mewarisi, yaitu; perbudakan, pembunuhan dan perbedaan
agama’.
Para ulama mendasarkan prinsip-prinsip ini kepada hadis rasulullah SAW.
Dari Usmah bin Zaid;
‫ال يرث المسليم الكافر وال يرث الكافر المسلم‬
Artinya; ‘’seseorang muslim tidak mewaris terhadap orang kafir, dan orang
kafir tidak mewaris terhadap orang muslim’’ . HR. Bukhari dan Muslim10.

Dari hadis ini dapat ditarik garis hukum, bahwa ahli waris muslim tidak dapat
mewarisi harta warisan pewaris yang non muslim, dan non muslim tidak dapat
mewarisi harta warisan pewaris yang muslim.
Dalam kompilasi hukum islam yang telah disepakati oleh hakim-hakim
Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah sebagai hukum terapan pada pengadilan
agama dan mahkamah syar’iyah, tidak menyebutkan secara tegas bahwa perbedaan
agama itu sebagai sebab untuk tidak saling mewarisi. Tatapi pada pasal 171 huruf b;
‘’ Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli
waris dan hartapeninggalan’’. Dan hutuf c; ‘’ Ahli waris adalah orang yang pada
saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi
ahli waris’’11[14], kompilasi hukum islam menyebutkan bahwa baik pewaris maupun
ahli waris harus sama-sama beragama islam. Dari ketentuan pasal tersebut dapat
dipahami bahwa apabila salah satunya ridak beragama islam maka kedua-duanya
tidak dapat saling mewarisi
2. Mesir
Beberapa Negara Islam di dunia telah memberlakukan lembaga wasiat
wajibah, dan Negara pertama yang memasukkan wasiat wajibah kedalam perundang-
undangan resmi mereka adalah Mesir.
Melalui Undang-undang Nomor 71 tahun 1946 memberlakukan wasiat
wajibah terhadap cucu dan/ atau ibunya telah meninggal dunia lebih dahulu dari
pewaris. Mesir menganut madhab ulama yang berpendapat bahwa cucu tidak
10
M. Anshar mk, Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktik, cetakan 1,Yogyakarta : pustaka pelajar,
2013. Hlm. 94

11

8
mendapat warisan jika bersamanya ada anak laki-laki, dan kedudukan cucu disini
adalah sebagai dzawil arham. Oleh karena cucu tidak menerima warisan, maka untuk
mengatasi penderitaan cucu dan supaya ia memperoleh harta peninggalan kakeknya,
maka ditempuhlah jalan wasiat wajibah12dengan syarat tidak boleh melebihi 1/3 harta
pusaka. Jika kakek tidak berbuat demikian, Mahkamah akan bertindak seolah-olah
kakek bertindak demikian. Inilah yang disebut dengan istilah Wasiyyatul Wajibiyyah
dan mempunyai keutamaan ( prioritas ) dari wasiat yang lain.
Dengan tindakan tersebut, Mesir memperkenalkan suatu prinsip baru yang
penting di dalam hukum waris Islam mengenai hak cucu atas harta kakeknya.
Menurut artikel 76 sampai 79 dari Law of Bequest Mesir 1946 wajib wasiat dapat
dilakukan terhadap keturunan yang langsung ( “ lineal descendants “ ) bagaimanapun
rendah menurunnya dari anak seorang laki-laki maupun anak perempuan yang
meninggal lebih dahulu dari si pewaris. Wasiat yang wajib itu dibagi-bagikan
diantara para cucunya menurut prinsip umum, yaitu dua bagian kepada laki-laki dan
satu bagian kepada perempuan.13
3. Suri’ah
Di Suriah hal kewarisan dikodifikasikan dalam Undang-undang Suriah ( “
Syirian Law of Personal Status 1953 “, Books IV dan V ) wasiat wajibah
diberlakukan bagi keturunan langsung melalui garis anak laki-laki yang meninggal
lebih dahulu dari pewaris ( ayahnya ), dan tidak berlaku bagi keturunan langsung
melalui anak perempuan14.
4. Marokko
Di Marokko hal kewarisan dikodifikasikan dalam undang-undang Marokko ( “
Moroccan Code of Personal Status 1958 “, Books IV dan V ), yaitu peraturan-
peraturan yang terdapat dalam madzhab Maliki. Prinsip wajib wasiat yang berasal
dari undang-undang wasiat Mesir 1946, juga dipergunakan di Marokko dengan
beberapa perubahan. Menurut undang-undang Marokko wajib wasiat dapat dilakukan
oleh anak-anak bagaimanapun rendah menurunnya, tetapi hanya dari anak laki-laki
yang mati lebih dahulu dari si mati. Lihat “ Moroccan Code of Personal Status, 1958,
12
M. Anshar mk, Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktik, cetakan 1, Yogyakarta : pustaka pelajar,
2013. Hlm. 87
13
Dr. H.Abdullah Siddiq S.H., Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia Islam, Jakarta :
Wijaya Jakarta,1984, hlm. 18
14
M. Anshar mk, Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktik, cetakan 1, Yogyakarta : pustaka pelajar,
2013. Hlm.88

9
articles 266-269, supra, Appendicesto chapter VI dan VIII “. 15Melalui Undang-
undang ini, Marokko memberlakukan wasiat wajibah seperti di syuriah16.

Kesimpulan

Dari penjelasan diatasditerangkan bahwa ahli waris terbagi menjadi dua macam:

1. Ahli waris utama pengganti dan

2. Ahli waris pengganti.

Syarat utama seorang ahli waris pengganti supaya dapat mnedapatkan warisan
adalah, dengan menggantikan ahli waris sebelumnya yang telah meninggal. Dan
meninggalnya ahli waris adalah hal pokok dalam pembagian harta ahli waris
pengganti.

Perbedaan penerapan wasiat wajibah antara pendapat jumhur ulama dan


undang-undang wasiat wajibah pada negara islam yang memberlakukan wasiat
wajibah serta ketentuan wasiat wajibah menurut fersi kompilasi hukum islam adalah
pada penerima wasiat wajibah tersebut. Dalam pendapat ulama, penerim wasiat
wajibah adalah orang yang mempunyai hubungan darah denga si pewaris, sedangkan
dalam perundang-undangan yang dibuat diberbagai negara islam, wasiat wajibah
hanya terbatas bagi cucu (dan keturunan yang lebih rendah) yang kematian ayah.
Sedangkan di Indonesia penerima wasiat wajibah adalah anak angkat atau orang tua
angkat yang belum tentu mempunyai hubungan darah dengan pewaris dan diberikan
non-muslim.

Daftar Pustaka

15
Dr. H.Abdullah Siddiq S.H., Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia Islam,
Jakarta : Wijaya Jakarta,1984, hlm. 21
16
M. Anshar mk, Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktik, cetakan 1, Yogyakarta : pustaka
pelajar, 2013. Hlm.88

10
M. Anshar, 2003, Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktik, cet.1, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

Kementrian Republik Indonesia, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporen di


Indonesia, 2012, cet.1, Puslitbang Kehidupan dan Keagamaan Kementrian Agama RI,
Jakarta.

Kompilasi Hukum Islam

Siddiq, Abdullah, 1984, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia Islam,
Jakarta: Wijaya Jakarta

Ash Shabuni, Muhamamd Ali, 1995, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: gema Insani.

Thalib Sajuti, 2004, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet. 8, Jakarta: Sinar Grafka

11

Anda mungkin juga menyukai