Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Dzwil Arham
“Makalah ini dibuat guna memenuhi nilai pada mata kuliah Fiqh Mawarist II”

Dosen Pengampu : Dr. H Yusuf Somawinata, M, Ag

Disusun Oleh :

Al Fauzi Salam 211110003

Anggriyani Tri Lestari 211110004

Muhamad Farhan Aulia 211110005

Mohamad Rizqi 211110006

UNIVERSITAS SULTAN MAULANNA HASANUDIN BANTEN

FAKULTAS SYARI’AH

2022/2023
Dzawil Arham
A. Pendahuluan
Syari'at Islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta
benda dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik
seseorang atas harta, baik laki-laki atau perempuan melalui jalan syara'. Seperti
perpindahan hak milik laki- laki dan perempuan di waktu masih hidup ataupun
perpindahan harta kepada para ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan
dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima
semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak,
ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah
atau seibu.
Namun seiring berkembangnya zaman, masalah kewarisan dikembangkan secara
kompleks oleh para fuqoha. Dalam kewarisan tersebut mereka mengelompokkan pihak-
pihak dalam hal warisan sebaagai berikut: Ahli waris yang mendapatkan bagian sisa
(Ashabah), Dzawil Arham, Hijab wal Mahjub dan sebagainya.
Rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Dzawil arham?
2. Bagaimana pengelompokan bagian didalam pembahasan Dzawil Arham?
3. Bagaimana pandangan para ulama mengenanai Dzawil Arham?
4. Bagaimana penentuan ditetapkannya putusan Pengadilan Agama mengenai
Kewarisan Dzawil Arham? Dan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui definisi mengenai pewarisan Dzawil Arham!
2. Untuk mengetahui pengelempokan yang terdapat didalam pembahasan Dzawil
Arham!
3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan para ulama mengenai permasalahan
Kewarisan kelompok Dzawil Arham!
4. Untuk mengetahui bagaimana hasil dari putusan Pengadilan Agama tentang
Kewarisan Dzawil Arham!

ii
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dzawil Arham
Dzawil Arham berasal dari dua kata bahasa arab yaitu Dzawu dan Arham. Dzawu
(‫ )ذوو‬yang berati seseorang yang mempunyai hubungan kekerabatan secara mutlak,
sedangkan kata Arham ( ‫ ) األرحام‬berasal dari bentuk jamak (rahmun/rahim) yang berati
tempat pembentukan/penyimpanan janin didalam perut ibu. Sedangkan menurut istilah
dzawil arham memiliki pengertian sebagai golongan keluarga yang tidak termasuk
kepada golongan ashabul furudh dan juga tidak termasuk kepada golongan ashabah.
Dzawil arham secara luas dapat didefinisikan yakni mencakup seluruh keluarga
yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, 1 dengan syarat
mereka tidak memiliki bagian yang telah ditetapkan (al-furudhul muqodarrah) dan
mereka juga bukan termasuk kepada golongan ashabah (‫ )عصبة‬Hal tersebut juga telah
berdasarkan dengan Qs. Al-Anfal:75, yang berbunyi :

ِ‫ّللا‬ ٍ ‫ض ُه ام اَ او ٰلى ِببَ اع‬


ٰ ‫ض فِ اي ِك ٰت‬ َ ‫َواُولُوا ا‬
ُ ‫اْل ار َح ِام بَ اع‬

Artinya: “Orang-orang yang mempunyai pertalian kerabat, sebagian adalah lebih berhak
daripada sebagian dari mereka (yang lain) didalam ketetapan Allah” (QS. Al-Anfal:75).
Jadi dapat kita pahami bahwa dzawil arham merupakan orang-orang yang
mempunyai hubungan kekerabatan dengan si pewaris, selain dari kedua puluh lima orang
ahli waris yang telah ditetapkan bagiannya. Dalam sistem kewarisan Islam, kedudukan
Dzawil Arham ini masih diperselisihkan oleh para ulama, yang mana satu kelompok telah
berpendapat bahwa Dzawil Arham sama sekali tidak bisa menjadi ahli waris, sedangkan
kelompok yang lain berpendapat sebaliknya bahwa kelompok Dzawil Arham masih bisa
menjadi ahli waris dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Adapun syarat-syarat pemberian hak waris kepada golongan Dzawil Arham harus
dipenuhi oleh tiga syarat, sebagaimana berikut :
1. Tidak adanya (shahibul fardh), sebab jika masih adanya golongan shahibul fardh
maka mereka akan mengambil bagiannya bahkan sisanya pun akan mereka ambil,
karena harta tersebut masih menjadi hak dan bagian mereka. Sebagaimana yang

1
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:Gaya Media
Pratama, 2002),hal.79

1
telah kita ketahui bahwa kedudukan ahli waris shahibul fardh lebih diutamakan
bagiannya dibandigkan dengan kedudukannya dzawil arham.
2. Tidak adanya penta’shib (ashabah), sebab jika adanya golongan ashabah maka
mereka akan mengambil seluruh hak waris yang ada bila ternyata tidak adanya
shahibul fardh, akan tetapi bila adanya golongan shahibul fardh, maka golongan
ashabah akan mendapatkan harta sisa dari hasil pembagiannya shahibul fardh.
3. Dan apabila shahibul fardh hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka ia hanya
akan diberikan hak waris secara fardh-nya saja, dan sisanya akan diberikan
kepada golongan Dzawil Arham, sebab kedudukan suami atau istri secara
kewarisan itu berada sesudah kedudukannya Dzawil Arham. Dengan demikian,
sisa bagian harta dari hak waris tersebut akan diberikan kepada golongan Dzawil
Arham.
Apabila golongan dzawil arham (baik laki-laki maupun perempuan) hanya
seorang diri menjadi ahli waris, maka ia akan menerima seluruh harta waris tersebut.
sedangkan jika golongan dzawil arham itu bersama dengan salah seorang suami atau istri,
maka ia hanya akan menerima sisa harta waris tersebut. Dan apabila ia bersamaan dengan
ahli waris yang lain, maka pembagiannya sebagai berikut :
1. Harus mengutamakan dekatnya kekerabatan antar si mayit. Seperti misalnya
seorang pewaris (mayit) meninggalkan ahli waris cucu perempuan dari pancar
perempuan, dengan anak dari cucu perempuan pancar perempuan, maka yang
harus didahulukan adalah cucu perempuan dari pancar perempuan dalam hal
pembagian kewarisan.
2. Apabila terdapat kesamaan kedekatan derajat kekerabatan antar si mayit. Maka
yang harus lebih berhak diutamakan adalah yang paling dekat dengan pewaris
shahibul fardh ataupun ashabah. Seperti misalnya, seseorang pewaris wafat
dengan meninggalkan cucu perempuan dari pancar laki-laki, dengan cucu laki-laki
dari pancar perempuan, maka yang harus lebih didahulukan adalah cucu
perempuan dari pancar laki-laki. Karena, cucu perempuan dari pancar laki-laki
lebih dekat kekerabatannya dengan si mayit lewat jalur ashabul furdh, sedangkan
cucu laki-laki dari pancar perempuan jalur kekerabatannya melalui dzawil arham.

2
3. Apabila ditinjau dari segi derajat dan kekerabatannya sama dengan si pewaris,
maka harus lebih mengutamakan mana yang lebih kuat kedekatan
kekerabatannya. Misalnya, seseorang wafat dengan meninggalkan anak
perempuan dari saudara laki-laki sekandung, dengan anak perempuan dari saudara
laki-laki seayah, maka dalam keadaan seperti ini yang harus lebih diutamakan
adalah anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung. Karena, dalam hal ini
hubungan kekerabatan sekandung lebih kuat dibandingkan dengan hubungan
kekerabat seayah.
4. Apabila dalam suatu keadaan terjadinya persamaan, maka pembagiannya harus
dilakukan secara merata. Artinya, semua ahli waris dari dzawil arham berhak
menerima bagian. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak
perempuan dari anak paman kandung, seorang anak perempuan dari anak paman
yang lain (sekandung), dan seorang anak perempuan dari anak paman kandung
yang lain. Atau dalam arti lain, seorang pewaris ini meninggalkan tiga putri
keturunan anak paman kandung. Maka pembagian harta warisnya harus dibagi
secara merata di antara mereka, karena ketiganya memiliki derajat yang sama dari
segi kekerabatan.
5. Aturan pemberian hak waris terhadap para dzawil arham ialah bagian laki-laki
harus dua kali lipat dari bagian perempuan, sama seperti dalam pembagian para
ashabah untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Sekalipun dzawil arham
tersebut dari keturunan saudara laki-laki ataupun saudara perempuan seibu.

B. Pengemlopokan Dzawil Arham


Secara umum pengelompokan Dzawil Arham telah dikelompokan menjadi empat
kelompok, yaitu :
1. Furu’al-Mayyit (cabang yang meninggal), yaitu semua yang dipertalikan kepada
pewaris melalui perempuan, dan tidak termasuk kepada penerima bagian tetap dan
juga tidak termasuk kepada aṣhabah. Dalam kelompok ini ada dua yang termasuk
didalamnya, yaitu :
a. Cucu dari pancar perempuan dan keturunan di bawahnya. Seperti cucu laki-
laki dari pancar perempuan, cucu perempuan dari pancar perempuan, cicit

3
laki-laki dari cucu perempuan dari pancar perempuan dan seterusnya
kebawah.
b. Cicit dari cucu perempuan dari pancar laki-laki dan keturunan di bawahnya.
Seperti cicit laki-laki dari cucu perempuan dari pancar laki-laki, dan cicit
perempuan dari cucu perempuan dari pancar laki-laki.
2. Usul al-Mayyit (leluhur yang meninggal), yaitu semua yang dipertalian kepadanya
pewaris melalui perempuan, yang tidak termasuk penerima bagian tetap dan
aṣabah. Orang yang termasuk dalam kelompok ini juga ada dua yaitu:
a. Kakek leluhur, yaitu ayah dari ibu, dan usul lainnya yang berada di atas kakek.
Seperti ayah dari ibunya ayah, ayah dari ibunya ibu, dan ayah dari ayahnya
ibu.
b. Nenek leluhur dan usul lainnya yang berada di atas nenek, yaitu yang
berhubungan dengan pewaris. Seperti ibu dari ayahnya ibu.
3. Abawai al-Mayyit (cabang dari ayah atau ibu yang meninggal), merupakan semua
yang dipertalikan kepada ayah dan ibu pewaris, dan tidak termasuk kepada
penerima bagian tetap ataupun aṣabah. Orang yang termasuk dalam kelompok ini
terdiri dari tiga, yaitu:
a. Anak perempuan dari saudara sekandung atau seayah dan seterusnya
kebawah.
b. Anak dari saudara perempuan kandung atau seayah. Seperti anak laki-laki
saudara perempuan sekandung, anak perempuan dari saudara perempuan
sekandung, anak laki-laki dari saudara perempuan seayah dan anak perempuan
dari saudara perempuan seayah, dan seterusnya kebawah.
c. Anak saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan. Seperti anak laki-laki
dari saudara seibu, anak perempuan dari saudara seibu dan seterusnya
kebawah.
4. Furu’ dari kakek dan nenek, merupakan semua yang sudah dipertalikan kepada
kakek dan nenek pewaris, yang mana tidak termasuk kepada bagian penerima
bagian tetap dan aṣabah. Ada enam kelompok yang termasuk kedalam pembagian
ini, yaitu:

4
a. Paman dan bibi pewaris yang seibu dari pihak ayah, serta paman dan bibi
sekandung atau seayah pewaris dari pihak ibu.
b. Anak-anak dari ahli waris yang disebutkan dalam kelompok pertama dan
keturunan yang ada di bawahnya. Seperti anak-anak perempuan paman
kandung, anak-anak perempuan paman seayah, anak-anak perempuan dari
anak laki-laki mereka dan seterusnya kebawah.
c. Paman dan bibi dari ayah pewaris (dari pihak ayah), paman dan bibi dari ayah
pewaris (dari pihak ibu), baik kandung atau salah satunya. Paman dan bibi dari
ibu pewaris (dari pihak ayah), dan paman dan bibi dari ibu pewaris (dari pihak
ibu), yang sekandung atau salah satunya saja.
d. Anak-anak dari ahli waris yang disebutkan dalam kelompok ketiga dan
keturunannya. Seperti anak-anak perempuan paman dari ayah pewaris (dari
pihak ayah) yang sekandung atau seayah saja, cucu perempuan dari anak laki-
laki mereka dan keturunannya.
e. Paman dan bibi dari ayahnya ayah pewaris yang seibu (dari pihak ayah),
paman dan bibi dari ayahnya ibu pewaris (dari pihak ayah), paman dan bibi
dari ayahnya ayah dan ayahnya ibu pewaris (dari pihak ibu) yang sekandung,
seayah atau seibu saja, paman dan bibi dari ibunya ayah pewaris (dari pihak
ayah), paman dan bibi dari ibunya ibu dan ibunya ayah pewaris (dari pihak
ibu) yang sekandung, seayah atau seibu.
f. Anak-anak dari ahli waris yang disebutkan dalam kelompok lima, seperti
anak-anak perempuan paman dari kakek pewaris dari pihak ayah yang
sekandung, atau seayah saja. Anak-anak perempuan dari anak laki-laki mereka
dan keturunan di bawahnya. 2

C. Pendapat Ulama Tentang Pewarisan Dzawil Arham.


Mengenai hak waris Dzawil Arham para fuqaha masih berselisih pendapat,
sebagian dari mereka ada yang berpendapat bahwa dzawil arham sama sekali tidak dapat
menerima warisan, dan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa kelompok dzawil
arham dapat mendapatkan hak kewarisan apabila, tidak adanya golongan ashabul furudh

2
Muhibbussabry, Fikih Mawaris, (Medan: Cv. Pusdikara mitra jaya, 2020), hal.82-84

5
dan ashabah, maka disini posisi dzawil arham dapat mendaptkan hak waris. Perbedaan
dikalangan ulama fiqih tentang status dan kedudukan dzawil arham ini juga sudah terjadi
sejak dikalangan para sahabat Rosulullah Saw., yang mana kalangan ulama fiqih dan para
sahabat tersebut melahirkan dua kelompok pendapat yang berbeda, yaitu3 :
1. Pendapat pertama, bahwa kaum kerabat yang berstatus dan berkedudukan sebagai
dzawil arham tidak memiliki hak atas harta peninggalan si mayit, baik di
sebabkan karena keberadaan ashabul furudh dan ashabah atau tidak adanya
keberadaan shahibul furdh dan ashabah. Pendapat pertama ini juga menyatakan
bahwa jikapun tidak terdapat ashhabul furudh atau ashabah, maka harta
peninggalan si mayit akan diserahkan kepada baitul mal, yang kemudian baitul
mal tersebut akan membagikan harta peninggalan dari si mayit kepada keperluan
umat Islam secara umum. Artinya pendapat pertama memandang baitul mal lebih
berhak dari pada dzawil arham terhadap harta peninggalan si mayit. Diantara
ulama fikih dan sahabat yang berpendapat didalam pendapat pertama ini, adalah
Imam Syafi’i, Imam Malik, Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit.
2. Pendapat yang kedua, bahwa kaum kerabat yang berstatus dan berkedudukan
sebaga dzawil arham masih memiliki hak atas harta peninggalan si mayit. Hak
kewarisan kepada dzawil arham tersebut dengan syarat, selama tidak terdapat
ashhabul furudh, dan ashabah. Jika si mayit meninggalkan harta peninggalan
dengan meninggalkan kerabat yang hanya berstatus dzawil arham, maka dalam
hal ini kerabat yang berstatus dan berkedudukan dzawil arham lebih berhak dari
pada baitul mal dalam memperolah harta peninggalan si mayit. Karena
bagaimanapun tidak dapat dihilangkan kedudukanya, walaupun tidak memiliki
hubungan yang sedekat ashhabul furud dan ashabah. Kerabat yang berstatus dan
berkedudukan sebagai dzawil arham ini juga memiliki hubungan kekeluargaan
dengan mayit, sehingga memberikan kepada meraka lebih utama daripada baitul
mal. Diantara ulama fikih dan sahabat yang berpendapat sebagaimana pendapat

3
Dian Kahirul Umam, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal,23.

6
kedua ini adalah Ahmad bin Hambal, Imam Abu Hanifah, Ali bin Abi Thalib,
Umar bin Khathab dan Ibnu Mas'ud. 4

D. Prinsip Pembagian Warisan Kepada Dzawil Arham.


Adapun cara mengenai prinsip pembagian warisan kepada dzawil arham, itu
terbagi kedalam tiga prinsip tata cara pembagian hak waris kepada kerabat dzawil arham,
sebagaimana berikut :
1. Golongan/Asas Ahlur-Rahmi.
Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat dzawil arham, ahlur-rahmi
mengatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara merata, tanpa
membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki
dengan perempuan. Misalnya, seseorang wafat dengan meninggalkan seorang cucu
perempuan keturunan pancar perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara
perempuan, bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah), bibi dari pihak ibu (saudara
perempuan seibu), dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka
dalam hal ini mereka harus mendapatkan bagian warisan secara rata, tanpa melebihkan
atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada.
Mazhab ini juga dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan, karena orang-
orang yang menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan
ahli waris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta
lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh
ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan. Asas al-rahmi ini dianut
oleh, Hasan bin Muyassar dan Nuh bin Dzirah.
2. Golongan/Asas Ahlut-Tanzil.
Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan
ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka ini tidak
memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih
dekat dari ashhabul furudh dan para ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan
membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat,

4
Abdul Rahim, “PENYELESAIAN KEWARISAN DZAWIL ARHAM DALAM KOMPILASI HUKUM
ISLAM”, Jurnal Syariah dan Hukum, vol, 03, No. 01 UIN Sumatera Utara, 2021, hal,83

7
yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab dari Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan
pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.
Sebagaimana contoh berikut :
a. Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan pancar
perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung, dan
keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini
dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak perempuan, saudara
perempuan sekandung, dan saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu,
pembagiannya harus sebagai berikut:
1) Cucu perempuan keturunan anak perempuan mendapat 1/2 bagian.
2) Keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung mendapatkan
1/2 bagian.
3) Keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah tidak mendapat
bagian karena terhalang oleh keponakan laki-laki keturunan saudara
perempuan sekandung. Sebab keponakan laki-laki keturunan saudara
perempuan sekandung di sini sebagai ashabah, karena itulah ia mendapatkan
sisanya.
Jadi begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat
derajat kekerabatannya kepada si pewaris yang tergolong ashhabul furudh dan ashabah.
Adapun yang dapat dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu'
(sampai sanadnya) kepada Rasulullah Saw. Ketika beliau memberi hak waris kepada
seorang bibi (saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulan saat
itu tidak ada ahli waris lainnya, maka beliau memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua
per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikan kepada bibi (dari pihak ibu). 5 Asas At-
Tanzil ini juga dianut oleh, ‘Alqamah, Al-Sya’by, Masyruq, Abu Nu’aim, Al-Hasan bin
Ziyad, dan para imam madzhab yang empat selain Imam Abu Hanifah.
3. Golongan/Asas Ahlur-Qarabah.
Menurut golongan ini, membagikan hak waris para dzawil arham ditentukan
dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Menurut mereka, hal ini juga
dapat dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para ashabah, berarti yang paling

5
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012) hlm.83.

8
berhak diantara mereka (para ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi
dekat dan kuatnya kekerabatan. Selain itu, pelaksanaannya juga tetap mengikuti kaidah
umum pembagian waris, yakni bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita.
Di samping itu, golongan ketiga ini telah dikelompokan menjadi empat golongan,
yang kemudian masing-masing golongan tersebut mempunyai cabang dan keadaannya
masing-masing. Keempat golongan tersebut adalah :
a. Orang-orang yang bernisbat kepada si pewaris.
b. Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh si pewaris.
c. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orangtua si pewaris.
Adapun yang menganut asas al-qarabah ini, ialah Fuqaha Hanafiyyah, Imam Al-
Baghawy, dan Imam Al-Mutawally.

E. Putusan Pengadilan Agama Terhadap Dzawil Arham.


Didalam kompilasi Hukum Islam di jelaskan bahwa kelompok Dzawil Arham
tidak termasuk kedalam golongan ahli waris, dikarenakan golongan ahli waris menurut
Kompilasi Hukum Islam hanya terdapat tiga golongan ahli waris, yaitu golongan ahli
waris Dzawil Furudh, Ashabah, dan ahli waris pengganti (plasverfulling), yang
sementara diatur didalam perkera penetapan Nomor:014/pdt. Sedangkan menurrut
pengadilan agama terhadap dzawil arham telah diatur didalam dua putusan perkara, yaitu
sebagai berikut:
1. Putusan Nomor:014/Pdt.p/2014/PA-LPK.
Didalam putusan Pengadilan Agam Lubuk Pakam dengan Nomor:
014/Pdt.P/2014/PA-LPK, menetapkan bahwa keponakan kandung dari si mayit
mendapatkan harta warisan dari harta peninggalan si mayit secara penuh. Keputusan
tersebut sudah sesuai dengan keputusan dan pertimbangan hakim dalam menetapkan
bahwa keponakan kandung si mayit merupakan satu-satunya pewaris yang mewarisi harta
si mayit dengan syarat tanpa adanya ahli waris yang menempati posisi ashabah atau
ashabul furudh. Jadi keponakan si mayit merupakan salah seorang yang lebih utama
menerima atas harta peninggalan tersebut dibandingkan dengan orang lain. 6

6 Lihat Putusan Nomor: 014/Pdt.P/2014/PA-LPK


9
2. Putusan Nomor:263/Pdt.G/2009/PTA.sby.
Didalam Pengadilan Tinggi Agama Surabaya pada Putusan Nomor:
263/Pdt.G/2009/PTA.sby, menetapkan bahwa dzawil arham dapat menerima bagian dari
harta peninggalan si mayit. Dengan pertimbangan hakim bahwa tidak adanya orang lain
sebagai kerabat si mayit yang menempati posisi ashabul furudh dan ashabah. Kepada
kerabat yang menempati posisi dzawil arham bagi mereka diberikan bagian sebesar 2/30.
Selain mereka si mayit hanya meninggalkan dua orang anak angkat dan kepadanya
diberikan bagian sebesar 5/30. Dengan adanya keberadaan anak angkat tidak dapat
menjadi penghalang bagi dzawil arham dalam menerima bagian dari harta peninggalan si
mayit dan memberikan seluruh harta warisan kepada anak angkat tidak lebih utama dari
pada memberikan sebagian harta tersebut kepada dzawil arham.7

F. Penyelesaian Kewarisan Terhadap Dzawil Arham Di Indonesia.


Penyelesaian kewarisan di Indonesia sendiri menggunakan konsep ahli waris
pengganti atau aqrabin yang berstatus dzawil arham lebih utama dari pada baitul mal.
Pendapat yang mengatakan bahwa dzawil arham berhak mendapatkan warisan Adalah
Ali, Ibnu Sirrin, Syuraih Al-Qadhi, Ibnu Mas’ud, Atha, Imam Abu hanifah dan Imam
Ahmad bin Hambal. Pendapat tersebut berdasarkan dengan nash Al-qur’an, yang dalam
hal ini dijelaskan oleh Fatcturrahman; kalimat “ba‟duhum biba‟dhin fi kitabillah.”,
memiliki arti “ba’dahum aula bimiratsi ba’dhin fima kataballahu wahakam bihi.”, yakni
sebagian kerabat yang lain menurut ketentuan dan ketetapan Allah. 8 Penjelasan tersebut
bukan memiliki makna bahwa diantara sebagian kerabat lebih utama dari pada sebagian
kerabat yang lain.
Dengan penafsiran tersebut para peneliti berpendapat bahwa hak waris para
kerabat dari si mayit tersebut bersifat mutlak dan umum, bukan hanya terbatas pada ahli
waris ashhabul furudh dan ashabah saja. Namun juga kepada dzawil arham. Oleh
karenanya seseorang/ kerabat yang memiliki menentukan status ahli warisnya hendaknya
mengacu dan berlandaskan kepada suatu ketentuan yang bersifat umum yaitu pada
kalimat al-arham.

7 Lihat Putusan Nomor: 263/Pdt.G/2009/PTA.Sby


8 Suparman Usman, Yusuf Somawinata, Op.cit, hal,83.
10
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dzawil arham secara luas dapat didefinisikan yakni mencakup seluruh keluarga
yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, dengan syarat mereka
tidak memiliki bagian yang telah ditetapkan (al-furudhul muqodarrah) dan mereka juga
bukan termasuk kepada golongan ashabah (‫ )عصبة‬Hal tersebut juga telah berdasarkan
dengan dengan Qs. Al-Anfal:75. Adapun syarat-syarat pemberian hak waris kepada
golongan Dzawil Arham harus dipenuhi oleh tiga syarat :
1. Tidak adanya (shahibul fardh).
2. Tidak adanya penta’shib (ashabah).
3. Dan apabila shahibul fardh hanya terdiri dari suami atau istri saja.
Adapun pengelompokan Dzawil Arham secara umum telah dikelompokan
menjadi empat kelompok, yaitu :
1. Furu’al-Mayyit (cabang yang meninggal).
2. Usul al-Mayyit (leluhur yang meninggal).
3. Abawai al-Mayyit (cabang dari ayah atau ibu yang meninggal).
4. Furu’ dari kakek dan nenek.
Dikalangan ulama fiqih tentang status dan kedudukan dzawil arham ini juga
sudah terjadi sejak dikalangan para sahabat Rosulullah Saw., yang mana kalangan ulama
fiqih dan para sahabat tersebut melahirkan dua kelompok pendapat yang berbeda.
Prinsip Pembagian Warisan Kepada Dzawil Arham terbagi kedalam tiga prinsip
tata cara pembagian hak waris kepada kerabat dzawil arham, yaitu sebagai berikut :
1. Golongan/Asas Ahlur-Rahmi.
2. Golongan/Asas Ahlut-Tanzil
3. Golongan/Asas Ahlur-Qarabah
Putusan Pengadilan Agama Terhadap Dzawil Arham telah diatur didalam dua
putusan perkara,yaitu: Putusan Nomor:014/Pdt.p/2014/PA-LPK dan Putusan Nomor:
263/Pdt.G/2009/PTA.sby.
Penyelesaian Kewarisan di Indonesia sendiri menggunakan konsep ahli waris
pengganti atau aqrabin yang berstatus dzawil arham lebih utama dari pada baitul mal.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahim, 2021, “Penyelesaian Kewarisan Dzawil Arham Dalam Kompilasi Hukum
Islam”, Jurnal Syariah UIN Sumatera utara, vol, 03, No. 01 (Januari-Juni 2021).
Khairul, Dian Umam, Fiqh Mawaris, Bandung : Pustaka Setia, 2006.
Muhibbussabry, Fikih Mawaris, Medan: CV. Pusdikara Mitra Jaya, 2020.
Putusan Nomor: 014/Pdt.P/2014/PA-LPK.
Putusan Nomor: 263/Pdt.G/2009/PTA.Sby.
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris , Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012.
Usman, Suparman dan Somawinata, Yusuf. Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam
Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002.

12

Anda mungkin juga menyukai