Kasus himariyah adalah salah satu contoh persoalan waris yang bernama musyarakah,
dimana musyarakah adalah merupakan persoalan yang khusus untuk menyelesaikan
persoalan warisan antara saudara-saudara seibu (baik laki-laki maupun perempuan sama
saja) dengan saudara laki-laki sekandung. Dikarenakan tidak ada kesamaan dalam
melakukan pembagian harta kepada ahli waris timbul karena terdapat benturan antara
prinsip dengan prinsip. Sebenarnya tidak mesti timbul masalah karena pembagian harta
warisan dapat dilaksanakan sesuai dengan pentunjuk dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
namun hasilnya tidak sama atau tidak sesuai dengan anggapan umum yang berlaku
sebelumnya.
Diriwayatkan bahwa masalah musytarakah ini pernah diajukan ke hadapan Umar bin
Khathab r.a.. Umar baru pertama kali menjumpai kasus seperti ini dan memvonis: saudara
kandung tidak mendapat bagian hak waris sedikit pun. Kemudian pada tahun berikutnya,
masalah ini diajukan kembali kepadanya. Ketika ia hendak memvonis seperti tahun lalu,
proteslah salah seorang ahli warisnya: "Wahai Amirul Mukminin, sungguh mustahil bila
ayah kami dianggap keledai (himar) atau batu (hajar) yang terbuang di sungai. Bukankah
kami ini anak dari seorang ibu?" Umar menyimak perkataan orang itu dan berpikir bahwa
apa yang diucapkannya benar dan tepat. Maka ia memvonis dengan memberi hak kepada
mereka (saudara seibu dan saudara sekandung) secara bersamaan dan dibagi sama rata.
Itulah sebabnya kasus seperti ini disebut juga dengan istilah himariyah atau hijariyah.
2. Aul dapat terjadi apabila harta pewaris tidak habis dibagi (kelebihan) atau terdapat
kekurangan dalam pembagian awal (furudhul muqadarah), maka masalah tersebut
dipecahkan dengan cara aul. Atau dengan kata lain aul untuk penyelesaian kekurangan
dalam pembagian harta warisan pewaris.
Kasus Aul pertama terjadi pada masa khalifah ‘Umar ibn Khattab, ketika ia
dihadapkan dengan kasus kewarisan antara suami dan dua saudari perempuan, dan ada
yang mengatakan kasus yang pertama adalah tentang kewarisan suami bersama saudari
kandung dan ibu. Dalam kasus suami bersama dua saudari, menurut ketentuan dasar al-
Quran suami akan mendapatkan ½ dari harta kewarisan jika tidak ada anak (Q.S. al
Nisa’(4): 12). Sementara itu, bagian saudari apabila lebih dari seorang adalah 2/3 (Q.S.
al Nisa’: (4): 176). Kondisi tersebut mengakibatkan apabila bagian mereka dijumlahkan
akan menjadi 7/6, sehingga dapat dikatakan jumlah keseluruhan dari bagian ahli waris
melebihi dari harta waris yang akan dibagikan. Illustrasi dari keadaan diatas adalah
sebagai berikut:
Mereka menetapkan hanya ada dua dasar waris, yaitu karena bagian yang telah
ditentukan di dalam Al- Qur’an (a prescribed share) dan area pertalian keluarga (kinship)
baik melalui garis laki-laki maupun melalui garis perempuan. Selanjutnya ahli waris
tersebut diklarifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Ahli waris yang bagiannya telah ditentukan, yaitu pasangan yang masih hidup dan
ibu.
b. Ahli waris yang bagiannya telah ditentukan, dan bias juga menjadi ashabah,
seperti anak perempuan dan saudara perempuan baik penuh (seayah-seibu) mauun
separo.
Ahli waris karena pertalian keluarga tersebut dibedakan kedalam tiga kelompok
tingkatan, yaitu:
a. Kelompok pertama adalah orang tua (ayah dan atau ibu), anak-anak pewaris atau
keturunannya. Dalam kelompok ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. kriteria prioritas adalah pada kedekatan tingkatan dengan pewaris.
Dzawi Al-furudl akan menerima bagian terlebih dahulu, dan juga menerima
pengembalian, jika tidak ada ahli waris yang lain dalam tingkatan tersebut.
b. Kelompok kedua adalah kakek dan atau nenek dan seterusnya ke atas, dan semua
saudara baik laki-laki maupun perempun dan seterusnya ke bawah
(keturunannya).
c. Paman dan bibi baik dari pihak ayah maupun pihak ibu dan keturunannya masing-
masing, semua ahli waris tiri seibu.
Setiap ahli waaris dalam kelompok 1 menyisihkan semua ahli waris dalam
kelompok 2, semua ahli waris dalam kelompok 2 menyisihkan semua ahli waris dalam
kelompok 3. Sedangkan ahli waris dalam kelompok 1 dan 2, ketentuan yang menyatakan
bahwa yang lebih dekat tingkatannya menyisihkan yang lebih jauh berlaku dalam sub-sub
a dan b dan diantaranya keduanya.
5. Pembagian warisan yang dilakukan dengan cara musyawarah mufakat menurut saya
tidak apa-apa dilakukan.
Diketahui bahwa pembagian harta waris secara Islam itu wajib, namun harta warisan
itu hak, dan hak itu harus diminta dan boleh untuk tidak diminta atau tidak diambil.
Jika seseorang telah bersedia dan rela harta waris tidak dibagi secara fikih maka tidak
apa-apa. Yang terpenting disini adalah kerelaan antar kerabat yang akan mendapat
ahli waris, bahwa harta waris tidak dibagi secara fikih.
6.