Anda di halaman 1dari 6

1.

Kasus himariyah adalah salah satu contoh persoalan waris yang bernama musyarakah,
dimana musyarakah adalah merupakan persoalan yang khusus untuk menyelesaikan
persoalan warisan antara saudara-saudara seibu (baik laki-laki maupun perempuan sama
saja) dengan saudara laki-laki sekandung. Dikarenakan tidak ada kesamaan dalam
melakukan pembagian harta kepada ahli waris timbul karena terdapat benturan antara
prinsip dengan prinsip. Sebenarnya tidak mesti timbul masalah karena pembagian harta
warisan dapat dilaksanakan sesuai dengan pentunjuk dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
namun hasilnya tidak sama atau tidak sesuai dengan anggapan umum yang berlaku
sebelumnya.

Diriwayatkan bahwa masalah musytarakah ini pernah diajukan ke hadapan Umar bin
Khathab r.a.. Umar baru pertama kali menjumpai kasus seperti ini dan memvonis: saudara
kandung tidak mendapat bagian hak waris sedikit pun. Kemudian pada tahun berikutnya,
masalah ini diajukan kembali kepadanya. Ketika ia hendak memvonis seperti tahun lalu,
proteslah salah seorang ahli warisnya: "Wahai Amirul Mukminin, sungguh mustahil bila
ayah kami dianggap keledai (himar) atau batu (hajar) yang terbuang di sungai. Bukankah
kami ini anak dari seorang ibu?" Umar menyimak perkataan orang itu dan berpikir bahwa
apa yang diucapkannya benar dan tepat. Maka ia memvonis dengan memberi hak kepada
mereka (saudara seibu dan saudara sekandung) secara bersamaan dan dibagi sama rata.
Itulah sebabnya kasus seperti ini disebut juga dengan istilah himariyah atau hijariyah.

2. Aul dapat terjadi apabila harta pewaris tidak habis dibagi (kelebihan) atau terdapat
kekurangan dalam pembagian awal (furudhul muqadarah), maka masalah tersebut
dipecahkan dengan cara aul. Atau dengan kata lain aul untuk penyelesaian kekurangan
dalam pembagian harta warisan pewaris.

Kasus Aul pertama terjadi pada masa khalifah ‘Umar ibn Khattab, ketika ia
dihadapkan dengan kasus kewarisan antara suami dan dua saudari perempuan, dan ada
yang mengatakan kasus yang pertama adalah tentang kewarisan suami bersama saudari
kandung dan ibu. Dalam kasus suami bersama dua saudari, menurut ketentuan dasar al-
Quran suami akan mendapatkan ½ dari harta kewarisan jika tidak ada anak (Q.S. al
Nisa’(4): 12). Sementara itu, bagian saudari apabila lebih dari seorang adalah 2/3 (Q.S.
al Nisa’: (4): 176). Kondisi tersebut mengakibatkan apabila bagian mereka dijumlahkan
akan menjadi 7/6, sehingga dapat dikatakan jumlah keseluruhan dari bagian ahli waris
melebihi dari harta waris yang akan dibagikan. Illustrasi dari keadaan diatas adalah
sebagai berikut:

Ahli waris Bagian Ahli waris Asal Masalah 6


Suami 1/2 3/6
2 Saudari 2/3 4/6
Jumlah 7/6
Jika harta yang ditinggalkan semisal adalah Rp 42.000.000,00., maka bagian
suami adalah 3/6 x Rp 42.000.000,00 yaitu Rp 21.000.000,00. Sementara bagian dua
saudari adalah 4/6 x Rp 42.000.000,00 yaitu Rp 28.000.000,00. Jadi terdapat
kekurangan harta sebesar Rp 6.000.000,00. Menghadapi permasalahan tersebut ‘Umar
bin Khattab merasa bimbang mengenai siapa yang didahulukan untuk mendapat bagian
fard (bagian pasti yang sudah ditentukan dalam al-Quran) dan siapa yang harus di
akhirkan dengan mendapat pengurangan bagian fard setelah dikurangi oleh pihak yang
didahulukan. Oleh karena itu, ia tidak berkenan memberikan pendapatnya hingga
kemudian ia mengumpulkan para sahabat yang dianggap mampu untuk
menyeselesaikan permasalahan tersebut untuk bermusyawarah. “Berikanlah aku
petunjuk, sesungguhnya ketika aku mendahulukan suami dan memberikan haknya
secara utuh, maka dua saudari tidak dapat menerima hak mereka secara utuh. Begitu
juga jika aku mendahulukan dua saudari dan memberikan bagian mereka secara utuh,
maka Suami tidak dapat menerima haknya”.

Pada akhirnya setelah bermusyawarah dengan para sahabat, ia mengambil kebijakan


dengan cara ‘aul untuk menyelesaikan kasus tersebut yaitu dengan membebankan
pengurangan bagian kepada ahliwaris secara merata tanpa mendahulukan atau
mengakhirkan salah satu ahli waris untuk menerima pengurangan. Diriwayatkan bahwa
yang memberikan pendapat tentang ‘aul kepada ‘Umar adalah al-‘Abbas ibn Abd al
Muthallib.
3. Prinsip hukum waris Sunni lebih mengutamakan ahli waris dari pihak laki-laki.
Sedangkan prinsip hukum waris Ja’fari tidk memberikan prioritas kepada ahli waris dari
pihak laki-laki dibandingkan ahli waris dari pihak perempuan. Setiap ahli waris berhak
untuk mendapatkan warisan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an.
Prinsip dasar hukum waris Sunni adalah bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tentang waris turun
untuk memperbaharui tanpa menggaggu secara total sistem waris yang ada di Arab Barat,
tempat para ashabah yang berhak mendapatkan waris. Para ahli hukum Sunni membatasi
pengaruh ketentuan-ketentuan spesifik dalam ayat-ayat waris tersebut hanya pada kasus-
kasus tertentu dan tidak menggeneralisasikan sehingga tidak diperoleh ketentuan hukum
earis yang bersifat general. Ayat-ayat waris tersebut hanya diinterpresentasikan secara
simpel sebagai amandemen yang berkaitan dengan kasus-kasus yang bersifat individual.
Mereka hanya merubah dan menambahkaan aturan-aturan tertentu tersebut sesuai dengan
keadaan aupun kasus-kasus tertentu seperti yang dirinci dalam ayat-ayat waris dan
membiarkan prinsip-prinsip waris adat Arab Tribal tetap digunakan sejauh mungkin. Hal
ini telah mengharuskan untuk mempertemukan skema porsi-porsi tertentu ahli waris
dalam Al-Qur’an (dzawi al-furudl) dengan klaim klaim ‘ashabah yang diperlakukan
sebagai ahli waris sisa harta. Akhirnya, ahli waris dari keturunan laki-laki masih tetap
mendominasi dalam sistem waris madzhab Sunni ini. Ada 3 klasifikasi ahlli waris dalam
waris dalam madzhab Sunni, yaitu:
a. Dzawi al- furuzd, yaitu ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu dari harta
warisan.
b. Ashabah, yaituahli waris yang tidak mendapatkan bagian tertentu tetapi mewarisi
sisa harta setekah dibagi kepada dzawi al-furudz. Bila tidak ada dzawi al-furudz,
aka ia berhak mewarisi seluruh harta.
c. Dzawi al-arham, yaitu mereka yang memiliki hubungn darah dengan pewaris,
yang tidak termasuk dalam kelmpok pertama maupun kedua. Para ahli waris
tersebut dalam kausu-kus tetentu dapat berkurang bagiannya atau bahkan tidak
mendapatkan bagian sama skali karena adanya ahli waris ain yang mempunyai
ubungan darah lebih dekat dengan pewaris.
Berbeda halnya dengan madzhab Sunni, madzhab Ja’fari menyakini bahwa skema
waris Al-Qur’an dimaksudkan untuk menghapuskan skema berbasis ashabah. Menurut
mereka sumber Al-Qr’an tidak boleh dianggap sebagai pembahasan sepotong-sepotong
terhadap sistem waris lama yang didasarkan atas garis keturunan laki-laki, melainkan
sebagai landasan mengembangkan sistem waris yang sama sekali baru. Madzhab ini tidak
membedakan antara ahli waris dari keturunan laki-laki (agnates), dengan ahli wari dari
keturunan perepmpuan (cognates). Dengan demikian sanak keluarga dari keturunan laki-
laki tidak mendapatkan prioritas terhadap sanak keluarga lainnya.

Mereka menetapkan hanya ada dua dasar waris, yaitu karena bagian yang telah
ditentukan di dalam Al- Qur’an (a prescribed share) dan area pertalian keluarga (kinship)
baik melalui garis laki-laki maupun melalui garis perempuan. Selanjutnya ahli waris
tersebut diklarifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Ahli waris yang bagiannya telah ditentukan, yaitu pasangan yang masih hidup dan
ibu.
b. Ahli waris yang bagiannya telah ditentukan, dan bias juga menjadi ashabah,
seperti anak perempuan dan saudara perempuan baik penuh (seayah-seibu) mauun
separo.

c. Ahli waris yang selalu mendapatkan sisa, yaitu anak laki-laki.

Ahli waris karena pertalian keluarga tersebut dibedakan kedalam tiga kelompok
tingkatan, yaitu:
a. Kelompok pertama adalah orang tua (ayah dan atau ibu), anak-anak pewaris atau
keturunannya. Dalam kelompok ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. kriteria prioritas adalah pada kedekatan tingkatan dengan pewaris.
Dzawi Al-furudl akan menerima bagian terlebih dahulu, dan juga menerima
pengembalian, jika tidak ada ahli waris yang lain dalam tingkatan tersebut.
b. Kelompok kedua adalah kakek dan atau nenek dan seterusnya ke atas, dan semua
saudara baik laki-laki maupun perempun dan seterusnya ke bawah
(keturunannya).
c. Paman dan bibi baik dari pihak ayah maupun pihak ibu dan keturunannya masing-
masing, semua ahli waris tiri seibu.

Setiap ahli waaris dalam kelompok 1 menyisihkan semua ahli waris dalam
kelompok 2, semua ahli waris dalam kelompok 2 menyisihkan semua ahli waris dalam
kelompok 3. Sedangkan ahli waris dalam kelompok 1 dan 2, ketentuan yang menyatakan
bahwa yang lebih dekat tingkatannya menyisihkan yang lebih jauh berlaku dalam sub-sub
a dan b dan diantaranya keduanya.

4. Perbedaan sistem munasakhah dan penggantian tempat.


Sistem Munasakhah ini ialah pembagian warisan menuru kitab fikih yang dalam
kewarisan terjadi kematian beruntun sebelum warisan dibagikan dan salah satu ahli waris
meninggal dunia sehingga kedudukannya dapat digantikan oleh keturunannya dan dalam
Munasakhah ini memiliki perbedaan pada ahli waris pengganti pada sistem hukum di
indonesia karena dalam sistem ini penggantian tempat itu tidak terjadi melainkan dia
hanya hadir untuk menerima bagian yang memang pada awalnya ialah bagian yang harus
dimiliki pewarisnya.
Sedangkan penggantian tempat atau plaatsvervulling pada Kompilasi Hukum Islam
dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata sendiri yang sama-sama menempatkan diri
sebagai pengganti dari ahli waris yang telah meninggal lebih dahulu, penggantian tempat
ini memiliki kedudukan yang sama dimana anak dari ahli waris yang meninggal lebih
dahulu dapat menjadi pengganti dari orang tua mereka, perbedaan pada Kompilasi Hukum
Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam ahli waris pengganti ini hanya
pada bagian-bagian yang akan diterima pewaris, dimana dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata tidak ada perbedaan yang akan didapatkan oleh ahli waris pengganti
dengan ahli wars yang digantikannya sedangkan pada Kompilasi Hukum Islam bagian
yang diterima oleh ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian yang diterima ahli
waris yang langsung. Juga dalam Kompilasi Hukum Islam, ahli waris tidak dapat menolak
untuk menerima warisan yang menjadi bagiannya sedangkan dalam Hukum Perdata ahli
waris diberi hak untuk menerima atau menolak suatu harta warisan kecuali penolakan
tersebut didasari dengan ketidak inginan untuk menanggung hutang yang ditinggalkan
oleh pewaris.

5. Pembagian warisan yang dilakukan dengan cara musyawarah mufakat menurut saya
tidak apa-apa dilakukan.
Diketahui bahwa pembagian harta waris secara Islam itu wajib, namun harta warisan
itu hak, dan hak itu harus diminta dan boleh untuk tidak diminta atau tidak diambil.
Jika seseorang telah bersedia dan rela harta waris tidak dibagi secara fikih maka tidak
apa-apa. Yang terpenting disini adalah kerelaan antar kerabat yang akan mendapat
ahli waris, bahwa harta waris tidak dibagi secara fikih.

6.

Anda mungkin juga menyukai