Anda di halaman 1dari 5

MUSYARAKAH

A. Definisi Musyarakah
Secara bahasa, musyarakah artinya berserikat, maksudnya adalah serikat antara 2
orang atau lebih dalam sesuatu hal atau urusan. Dalam konteks ini, yang dimaksud
dengan musyarakah adalah apabila di dalam pembagian warisan terdapat suatu
kejadian bahwa saudara-saudara sekandung (tunggal atau jamak) sebagai ahli waris
"ashabah tidak mendapatkan bagian harta sedikitpun, karena telah dihabiskan oleh
ahli waris ashabul furudh yang di antaranya adalah saudara-saudara seibu 1.
Apabila ahli waris terdiri dari suami, ibu, beberapa orang saudara seibu dan
beberapa orang saudara laki-laki kandung, sesuai dengan petunjuk lahir ayat
AlQur'an, maka suami mendapat 1/2 karena pewaris tidak meninggalkan anak; ibu
1/6 karena pewaris meskipun tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan
beberapa orang saudara: saudara seibu menerima 1/3 karena lebih dari satu. Adapun
saudara laki-laki kandung adalah ahli waris ashabah sesuai dengan Sunnah Nabi.
Setelah dijumlahkan furudh yang ada yaitu 1/2 + 1/6 +1/3 = 3/6 + 1/6 + 2/6 = 6/6,
harta habis terbagi dan dengan demikian saudara laki-laki kandung sebagai ashabah
tidak mendapat apa-apa. Penjumlah furudh tidak ada masalah. Sewaktu ternyata
saudara kandung tidak mendapat apa-apa, sedangkan saudara seibu mendapat 1/3
timbul masalah mulai muncul karena kenapa saudara laki-laki kandung yang
dianggap lebih utama dari saudara seibu tidak mendapat bagian, sedangkan saudara
seibu yang dianggap selama ini lebih rendah mendapat bagian 2.

B. Penyelesaian Masalah Musyarakah


Permasalahan mengenai musyarakah sudah dua kali dihadapkan kepada Umar
bin Khattab. Pada mulanya, Umar bin Khattab menyelesaikan masalah tersebut
berdasarkan ketentuan al-Qur'an seperti contoh tersebut. Akan tetapi saudara-
saudara sekandung yang merasa lebih dekat memprotesnya, dan mereka mengeluh
bahwa mereka telah dikeluarkan oleh saudara-saudara yang tidak lengkap, yaitu

1 Akhmad Haries, Hukum Kewarisan Islam Edisi Revisi (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2019).
2 Mardani, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2014).
3
Haries, Hukum Kewarisan Islam Edisi Revisi.
3
saudarasaudara seibu yang dihubungkan hanya dari garis perempuan saja .
Beberapa waktu

kemudian, masalah ini muncul kembali namun ternyata diantara saudara kandung
tersebut terdapat seorang yang mahir berdebat. la berkata kepada Umar: "Ya amira
al-mukminin anggaplah ayah kami itu keledai (himar), bukankah kami dengan
saudara seibu itu sama-sama saudara seibu dengan pewaris?" Argumen ini diterima
oleh Umar yang kemudian menetapkan saudara laki-laki kandung itu bergabung
dengan saudara seibu untuk mendapatkan bagian saudara seibu yang 1/3 itu. Hal itu
dikarenakan dalam kasus ini saudara kandung digabung dengan saudara seibu maka
masalah ini disebut "musyarrikah" atau “musytarakah” dan dapat juga disebut
“himariyah” karena dalam argumen itu ayah disamakan dengan hikar. Dalam
menghadapi kasus ini para ulama saling berbeda pendapat 3.
Dari sinilah maka kasus ini disebut dengan masalah musyarakah. Noel J.
Coulson menyebutnya dengan the donkey case (himariyah). Ada yang menyebutnya
dengan masalah mimbariyah, dan ada juga yang mengatakan masalah hajariyah
untuk mengumpamakan ayah saudara sekandung adalah batu. Langkah Umar
memberi bagian dengan cara berbagi sama (musyarakah) kepada saudara-saudara
sekandung bersama saudara-saudara seibu yang kemudian teori tersebut diikuti oleh
Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Ishaq ibn Rahawaih. Mereka mengemukakan alasan
bahwa bahwa bagian saudara-saudara sekandung itu identik dengan bagian saudara-
saudara seibu, disebabkan adanya persamaan jurusan dan kekerabatan. Oleh karena
itu, tidak logis sekiranya saudara-saudara yang hanya seibu dapat menggugurkan
bagian saudarasaudara sekandung 5.
Namun terdapat Ibnu Qudamah dari golongan Hanbali yang tidak mengamalkan
teori musyarikah memberikan alasan dengan menggunakan firman Allah dalam
surah an- Nisaa'/4 ayat 12 yang disepakati oleh para ulama adalah untuk saudara
seibu saja. Dalam ayat ini ditetapkan furudh saudara seibu yaitu 1/6 jika ia seorang
diri dan 1/3 jika mereka lebih dari seorang. Jika saudara kandung digabung dengan
mereka, maka mereka tidak akan menerima furudh sesuai dengan yang disebut
dalam ayat itu. Di lain pihak saudara kandung telah diatur dengan ayat 176 surah an-
3 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua (Padang: Kencana, 2011).
5
Haries, Hukum Kewarisan Islam Edisi Revisi.
Nisaa'/4, seandainya laki-laki maka ia akan menjadi ashabah. Jika ia digabungkan
dengan

saudara seibu untuk mendapatkan 1/3 maka kedudukannya akan berubah me jadi
dzaul furudh 4.
Seandainya saudara-saudara kandung adalah perempuan tidak akan terjadi beda
pendapat, karena mereka akan menjadi ahli waris menurut furudh yang ditentukan.
Begitu pula kalau saudara-saudara itu adalah seayah saja, ulama sepakat mengatakan
bahwa hak kewarisan mereka gugur karena tidak ada alasan untuk digabungkan
dengan saudara seibu akibat perbedaan hubungan kekeluargaan di antara mereka.
Namun jika memang demikian, maka kasusnya tidak akan disebut dengan masalah
himariyah. Akar permasalahan ini adalah benturan antara prinsip menjalankan faraid
sesuai dengan tuntutan Al-Qur'an dan prinsip saudara kandung harus lebih utama
daripada saudara seibu dalam kewarisan maupun dalam pembagian hak. Tampaknya
anggapan yang terakhir masih dipengaruhi oleh adat jahiliah yang tidak menganggap
saudara seibu yang pertalian kekerabatannya hanya dari seorang perempuan itu
sebagai saudara yang berhak. Mungkin yang diinginkan oleh golongan ini adalah
saudara seibu tidak akan mendapatkan hak kewarisan apa pun sebagaimana yang
berlaku dalam adat jahiliah 5.
Contoh perhitungan Musyarakah 8, yaitu:
Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya teridiri dari suami, ibu, 2 saudara
seibu dan 2 saudara sekandung. Harta warisannya Rp. 720.000.000. Berapa bagian
masingmasing ahli waris?
Suami 1/2 (1/2 x 6 = 3) 3 x 𝑅𝑝. 700.000.000 = Rp. 360.000.000
6

Ibu 1/6 (1/6 x 6 = 1) 1 x 𝑅𝑝. 700.000.000 = Rp. 120.000.000


6

2 sdr seibu 1/3 (1/3 x 6 = 2) 2 x 𝑅𝑝. 700.000.000 = Rp. 240.000.000


6

2 sdr skdg
Masing-masing saudara seibu maupun sekandung menerima bagian:
4 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua (Padang: Kencana, 2011).
5 Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua.
8
Haries, Hukum Kewarisan Islam Edisi Revisi.
1/4 x Rp. 240.000.000 = Rp. 60.000.000

Haries, Hukum Kewarisan Islam Edisi Revisi.


Daftar Pustaka
Haries, Akhmad. Hukum Kewarisan Islam Edisi Revisi. Yogyakarta: Ar Ruzz Media,
2019.
Mardani. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua. Padang: Kencana, 2011.

Anda mungkin juga menyukai