Anda di halaman 1dari 8

METODE PEMBAGIAN WARISAN MENGENAI KAKEK BERSAMA SAUDARA DAN

PEMBAGIAN WARISAN DENGAN NAMA-NAMA TERTENTU


Tugas ini disusun guna untuk memenuhi kontrak belajar
“FIKIH WARIS DAN HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA”

Dosen Pengampu:
Khairil Umami, S.H.I, M.S,I
HKI F
Disusun oleh:
Khafidul Hanif 101180162
Mohammad Alfin Sahrul Laika 101180170
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Didalam hukum waris Islam ada masalah maslah khusus. Adapun masalah
masalah khusus yang dimaksud adalah persoalan persoalan kewarisan yang
penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan perkataan lain
pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya.
Masalah maslah khusus ini terjadi disebabkan adanya kejanggalan apabila
penyelesaian pembagian harta kewarisan dilakukan atau dibagi secara biasa.
Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan
itu dilakukan secara khusus, dengan kata lain penyelesaiannya khusus ini hanya berlaku
untuk persoalan persoalan yang biasa saja.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pembagian warisan kakek dengan saudara?
2. Bagaimana pembagian waris dengan metode gharawain?
3. Bagaimana pembagian waris dengan musytarakah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kakek Bersama Saudara
Apabila seseorang meninggal dunia sedang ahli warisnya terdapat kakek (ayah dari ayah
dan seterusnya ke atas) dan saudara (saudara sekandung atau seayah). Maka tentang
pembagiannya ada perbedaan pendapat para ulama dan sahabat-sahabat, yaitu:
1. Ibnu Abbas ra., Abu Bakar ra., Aisyah ra., Ibnu Zubair ra., Muadz ra., Hasan al-
Bishri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Daud dan lain-lainnya, berpendapat: kakek
berkedudukan sebagai ayah, oleh karena itu kakek menghalangi saudara, baik
saudara kandung, seayah atau seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
2. Ali bin Abi Thalib ra., Zaid bin Tsabit ra., Ibnu Mas’ud ra., Imam Syafi’i, Malik
dan Ahmad serta Jumhur Ulama berpendapat, bahwa kedudukan saudara-saudara
adalah sama dengan kakek bagi mayat dan karenanya mereka sepakat untuk
memberikan warisan kepada saudara- saudara ketika bersama dengan kakek.
Mereka beralasan: hubungan kekerabatan antara seseorang yang sudah mati dengan
kakek dan saudara adalah melalui ayah. Saudara adalah cabang bahwa bagi ayah (ayah
dari ayah), yang berarti buat dia tidak ada perbedaan tentang jauh dekatnya, bahkan dapat
dikatakan lebih dekat saudara dari pada kakek.
Madzhab ini merupakan madzhab sahih, lebih rajih dan pantas ditonjolkan. Para hakim
agama diberbagai negara islam telah mengambil pendapat ini karena lebih mendekati
keadilan, kuat argumentasinya, dan lebih nyata mewujudkan kemaslahatan umum.
Kakek hanya mewarisi bersama dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan saja,
yaitu tanpa adanya orang lain yang mempunyai bagian, seperti seseorang mati dengan
meninggalkan seorang kakek bersama saudara laki-laki dan saudara perempuan saja.
Disana, tidak ada ahli waris lain yang berhak terhadap bagian ashhab al-furudh, seperti
istri, ibu, anak perempuan dan lain-lainnya. Kakek mewarisi bersama dengan saudara
laki-laki dan saudara perempuan serta orang yang mempunyai bagian (orang yang
menjadi ashhabulfurudh), serta ibu, suami atau istri, Hukum kewarisan kakek pada
kondisi pertama, yaitu kakek mendapat warisan bersama saudara-saudara laki-laki dan
saudara-saudara perempuan saja, tanpa ada orang lain yang mempunyai bagian. Dalam
kondisi demikian, kewarisan kakek dapat memilih salah satu dari dua kemungkinan yang
lebih menguntungkan dan lebih banyak bagiannya, yaitu sebagai berikut:
a. Mendapat sepertiga dari jumlah keseluruhan harta warisan.
Bagian yang lebih menguntungkan dari salah satu dua kemungkinan tersebut, itulah yang
diambil kakek. Apabila muqasamah lebih menguntungkan, kakek mengambil warisannya
dengan jalan muqasamah, dan apabila sepertiga dari seluruh harta pusaka. Demikian
seterusnya.
b. Mendapatkan seperenam
Bagian seperenam untuk kakek . Kakek berbagi dengan saudara-saudara laki-laki selama
haknya seperenam tidak kurang . Jika berkurang maka kakek diberi seperenam. Kalau
kakek bersama dengan dua orang saudara laki-laki sekandung atau tiga, maka berbagi
lebih balk Jika mereka berlima maka berbagi dan seperenam sama raja. Mengenai kasus
kakek, suami, anak perempuan, dan dua orang saudara laki-laki maka ibu mendapatkan
seperenam, suami seperempat, anak perempuan setengah. Maka, sisanya kurang dari
seperenam, kakek diberi bagian seperenam. Asal masalah aul menjadi tiga belas (13).
Dua orang saudara tidak mendapatkan apa-apa.
B. Gharawain
Gharawain adalah masalah ibu yang lebih besar mendapat bagian harta daripada ayah.
Masalah gharawain terjadi dalam dua macam kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri
dari:
1. Suami, ibu dan ayah
2. Istri, ibu dan ayah
Sebagian fuqaha berpendapat bahwa gharrawain berasal dari mashdar garrar (tipuan).
Karena dalam masalah tersebut terjadi penipuan kepada ibu. Sekalipun ibu disebut
mendapatkan 1/3, sebenarnya ibu hanya diberi bagian 1/6 atau 1/4. Penyebutan 1/3 hanya
sebagai penghormatan terhadap Al-Qur'an yang menyebutkan demikian. Kedua masalah
ini sering juga disebut ‘umariyatain, karena yang mula-mula memutuskan cara
penyelesaian kedua kasus ini adalah Khalifah Umar bin Khattab dan diterima oleh
mayoritas sahabat dan diikuti oleh jumhur ulama.
Alasan yang dikemukakan jumhur ulama adalah bahwa ibu dan ayah jika bersama-sama
mewarisi dengan tidak ada ahli waris yang lain, maka ibu menerima bagian 1/3 dan ayah
sebagai ashabah. Karena itu cara demikian wajib diberlakukan manakala terdapat sisa.
Mereka memandang sebagai suatu hal yang menyalahi prinsip apabila bagian yang
diterima ibu lebih besar daripada bagian yang diterima ayah.
Prinsip dasarnya adalah bahwa ibu menerima 1/3 dan ayah 2/3, dengan kata lain bagian
lak-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Keadaan ini tetap berlaku manakala ibu
dan ayah bersama-sama dengan ahli waris suami atau istri. Jadi setelah bagian suami atau
istri diberikan maka ibu menerima 1/3 dan ayah sisanya.
Contoh kasus:
Ahli Waris
Bagian Asal Masalah (6) Suami ½ = 3
Ibu 1/3 =2
Ayah Ashabah = 1 6/6
Cara penyelesaian di atas berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan sunnah tidak ada masalah
dalam penyelesaiannya. Akan tetapi saat dilakukan perbandingan antara bagian yang
diterima ayah dan ibu, dapat dirasakan adanya kejanggalan, yaitu ibu menerima bagian
dua kali lipat dari bagian yang diterima ayah. Padahal ketika ahli warisnya hanya terdiri
dari ibu dan ayah, ibu mendapatkan 1/3 dan ayah sebagai ashabah mendapatkan sisanya
yaitu 2/3, bagian ayah dua kali bagian ibu. Untuk mengatasi masalah ini, Umar
memahami bagian ibu yang 1/3 bukan dari

dari keseluruhan harta, tetapi dari sisa harta setelah diberikan kepada suami. Maka
penyelesaiannya menurut Umar adalah:

Ahli Waris Bagian


Asal Masalah (6)

Suami ½ =3 (sisa 3)

Ibu 1/3 dari sisa1/3x3= 1 Ayah Ashabah =2 6/6


Hasil akhirnya sama dengan saat ahli waris hanya terdiri dari ayah dan ibu, yakni bagian
ayah dua kali bagian ibu. Hanya saja bagian ibu berubah dari 1/3 menjadi 1/6. Alasan
yang dikemukan untuk mentakwil 1/3 bagian ibu menjadi 1/3 sisa adalah untuk
menghindari lebih besarnya hak ibu ketimbang hak ayah.
C. Musytarikah
Masalah musyarrakah (musytarikah) terjadi ketika saudara kandung yang diposisikan
sebagai ashabah tidak mendapatkan warisan karena harta warisan telah habis dibagikan
kepada semua ahli waris dzawil furudh, di antaranya terdapat saudara atau saudari seibu.
Musyarrakah tidak akan terjadi jika masih ada sisa harta yang dapat diberikan pada
ashabah.
Masalah musyarrakah dapat terjadi jika ahli warisnya terdiri dari suami yang
mendapatkan ½ ketika pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu, pemilik bagian 1/6
yaitu ibu atau nenek, dua saudara/i seibu atau lebih yang mendapatkan 1/3, dan saudara
kandung saja atau bersama saudari kandung kandung. Jika sandara/i seibu hanya seorang
tidak terjadi musyarrakah karena masih tersisa 1/6 harta warisan. Jika saudari kandung
sendirian atau lebih tanpa saudara kandung maka akan mendapatkan bagian tertentu yaitu
½ atau 2/3 sehingga masalahnya akan di-’aul-kan. Demikan pula jika kedudukan suami
digantikan isteri tidak akan terjadi musyarrakah karena masih ada ¼ sisa harta.[4]
Contoh kasus: Ahli waris terdiri dari Ahli Waris
Bagian asal Masalah (6) Suami ½ =3
Ibu 1/6 =1
2 saudara seibu 1/3= 2
2 saudara kandung = Ashabah
Dari segi pembagian warisan sebenarnya tidak ada masalah. Masalahnya di sini terdapat
keganjilan. Yaitu 2 saudara seibu yang diikat dengan pewaris hanya melalui satu jalur ibu
mendapatkan warisan sementara saudara kandung yang diikat dengan dua jalur, yakni
jalur ayah dan ibu, tidak mendapatkan warisan. Kasus seperti ini nampaknya tidak terjadi
pada masa Nabi SAW dan Khalifah Abu Bakar, baru terjadi pada masa Khalifah Umar
bin Khattab.
Umar bin Khattab mendapatkan laporan kasus ini dua kali. Pada kasus pertama Umar
menyelesaikan apa adanya seperti ilustrasi di atas. Kemudian masalah itu diajukan
kepadanya sekali lagi. Di antara mereka ada yang pintar berdebat dan berkata: "Amirul
Mukminin, anggaplah ayah kami itu keledai (himar), bukankah kami dengan saudara
seibu berasal dari satu ibu?" Argumen ini diterima oleh Umar kemudian beliau
memutuskan agar semua saudara/i bersekutu mendapatkan 1/3 itu, bagi rata tanpa
mempertimbangkan jenis kelamin. Keputusan Umar ini didukung oleh Zaid bin Tsabit
dan sekelompok sahabat. Pendapat ini diiikuti oleh Mazhab Malikiyah dan Syafi'iyah

c.
BAB III
PENUTUP
1. Apabila seseorang meninggal dunia sedang ahli warisnya terdapat kakek (ayah dari
ayah dan seterusnya ke atas) dan saudara (saudara sekandung atau seayah). Maka tentang
pembagiannya ada perbedaan pendapat para ulama dan sahabat-sahabat, yaitu:
-Ibnu Abbas ra., Abu Bakar ra., Aisyah ra., Ibnu Zubair ra., Muadz ra., Hasan al-Bishri,
Abu Hanifah, Abu Tsaur, Daud dan lain-lainnya, berpendapat: kakek berkedudukan
sebagai ayah, oleh karena itu kakek menghalangi saudara, baik saudara kandung, seayah
atau seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
-Ali bin Abi Thalib ra., Zaid bin Tsabit ra., Ibnu Mas’ud ra., Imam Syafi’i, Malik dan
Ahmad serta Juamhur Ulama berpendapat, bahwa kedudukan saudara-saudara adalah
sama dengan kakek bagi mayat dan karenanya mereka sepakat untuk memberikan
warisan kepada saudara- saudara ketika bersama dengan kakek.
2. Pembagian gharawain dapat menjadi alternatif penyelesaian secara adil karena sesui
dengan ketentuan dalam faraid
3. begitu juga musytarakah dapat menjadi alternatif penyelesaian secara adil karena sesui
dengan ketentuan yang ada dalam faraid.

Anda mungkin juga menyukai