Anda di halaman 1dari 14

MENATA KEUANGAN DAN EKONOMI KELUARGA

Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Manajemen Konflik Keluarga pada Program Studi
Hukum Keluarga Islam (HKI)

OLEH:
KELOMPOK 9 (SEMBILAN)
HERWANSYAH
NIM. 01161179
MEGAWANTI
NIM. 01161140
EVI NOVIANTI
NIM. 01161179

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


IAIN BONE
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah
ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini.
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari
berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama
mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Watampone, Desember 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 1
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Kewajiban dan Hak Nafkah dalam keluarga 3
B. Urgensi Pekerjaan dan Nafkah dalam keluarga 5
C. Menata Penghasilan dan Pengeluaran Keluarga 8
BAB III PENUTUP 10
A. Simpulan 10
B. Saran 10
DAFTAR RUJUKAN 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perlu diketahui bahwa kehidupan rumah tangga tidak lepas dari
permasalahan, baik masalah yang sepele hingga masalah yang membutuhkan
kedewasaan berpikir agar terhindar dari pertengkaran yang berkepanjangan.
Sehingga hal ini membutuhkan saling memahami antar suami istri, perlu
mengetahui hak dan kewajiban suami terhadap isteri atau hak dan kewajiban isteri
terhadap suami.
Perbincangan mengenai hak ataupun kewajiban yang bersifat materi,
seperti nafkah dibahas dalam fiqh sebagai bagian dari kajian fiqh keluarga (al-
ahwal al-syakhshiyah) Al-Qur’an yang tidak memberikan ketentuan yang jelas
dan pasti mengenai berapa besarnya ukuran nafkah seorang suami kepada isteri
baik berupa batas maksimal maupun batas minimal. Tidak adanya ketentuan yang
menjelaskan berapa ukuran nafkah secara pasti, justru menunjukkan betapa
fleksibelnya Islam dalam menetapkan aturan nafkah.
Dewasa ini banyak kasus perceraian yang terjadi di kalangan masyarakat,
apapun alasannya mengapa kalangan masyarakat sering terjadi kasus perceraian,
mungjin mereka belum banyak memahami hak dan kewajiban suami terhadap
istri atau sebaliknya. Maka dipandang perlu untuk kita mengkaji dan membahas
hal tersebut secara mendalam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kewajiban dan Hak Nafkah dalam keluarga?
2. Bagaimana Urgensi Pekerjaan dan Nafkah dalam keluarga?
3. Bagaimana Menata Penghasilan dan Pengeluaran Keluarga?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Kewajiban dan Hak Nafkah dalam keluarga
2. Untuk mengetahui Urgensi Pekerjaan dan Nafkah dalam keluarga
3. Untuk mengetahui Menata Penghasilan dan Pengeluaran Keluarga

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kewajiban dan Hak Nafkah dalam keluarga


Perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syarat menyebabkan
timbulnya hak dan kewajiban. Artinya istri berhak mendapatkan nafkah sesuai
dengan ketentuan ayat dan hadis sebagaimana telah penulis kemukakan
sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa setelah terjadinya akad nikah istri berhak
mendapatkan nafkah. Hanya saja ulama berbeda pendapat ketika membahas
apakah hak nafkah itu diperoleh ketika terjadi akad atau ketika istri telah pindah
ke tempat kediaman suami.1
Sedangkan Syafi’i dalam qaul jadid, Malikiyah dan Hanabilah
mengungkapkan bahwa istri belum mendapatkan hak nafkahnya melainkan
setelah tamkin, seperti istri telah menyerahkan diri kepada suaminya. Sementara
itu sebagian ulama muta’akhirin menyatakan bahwa istri baru berhak
mendapatkan hak nafkah ketika istri telah pindah ke rumah suaminya.
Menurut jumhur ulama suami wajib memberikan nafkah istrinya apabila:
Istri menyerahkan diri kepada suaminya sekalipun belum melakukan senggama;
Istri tersebut orang yang telah dewasa dalam arti telah layak melakukan hubungan
senggama, perkawinan suami istri itu telah memenuhi syarat dan rukun dalam
perkawinan; Tidak hilang hak suami untuk menahan istri disebabkan kesibukan
istri yang dibolehkan agama.
Maliki membedakan syarat wajib nafkah istri setelah dan belum
disenggamai. Syarat nafkah sebelum disenggamai adalah : Mempunyai
kemungkinan untuk disenggamai. Apabila suami mengajak istrinya melakukan
hubungan suami isteri namun istri menolak, maka:
1. Istri tidak layak untuk menerima nafkah.
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana 2006), h. 159

3
2. Istri layak untuk disenggamai. Apabila istri belum layak disenggamai seperti
masih kecil maka ia berhak menerima nafkah.
3. Suami itu seorang laki-laki yang telah baligh. Jika suami belum baligh
sehinggga belum mampu melakukan hubungan suami istri secara sempurna
maka ia tidak wajib membayar nafkah.
4. Salah seorang suami atau istri tidak dalam keadaan sakratul maut ketika akan
diajak bersenggama.
Selanjutnya syarat wajib nafkah bagi istri yang telah disenggamai
adalah pertama : Suami itu mampu. Apabila suami tidak mampu maka selama
ia tidak mampu maka ia tidak wajib membayar nafkah istrinya. Kedua : Istri
tidak menghilangkan hak suami untuk menahan istri dengan alasan kesibukan
istri yang dibolehkan agama.
Para ulama kalangan Hanafiah berpendapat, kewajiban memberi
nafkah ini mulai dibebankan ke pundak suami setelah berlangsungnya akad
nikah yang sah; meskipun sang isteri belum berpindah ke rumah suaminya.
Dasar pendapat mereka, diantara konsekuensi dari akad yang sah, ialah
sang isteri menjadi tawanan bagi suaminya. Dan apabila isteri menolak
berpindah ke rumah suaminya tanpa ada udzur syar’i setelah suaminya
memintanya, maka ia tidak berhak mendapat nafkah dikarenakan isteri telah
berbuat durhaka (nusyuz) kepada suaminya dengan menolak permintaan
suaminya tersebut.
Sedangkan ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah dan
Hanabilah berpendapat, kewajiban nafkah belum jatuh kepada suami hanya
dengan akad nikah semata-mata. Kewajiban itu mulai berawal ketika sang
isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya, atau ketika sang suami
telah mencampurinya, atau ketika sang suami menolak memboyong isterinya
ke rumahnya, padahal sang isteri telah meminta hal itu darinya.
Konsep nafkah dalam rumah tangga prespektif hukum Islam adalah
merupakan kewajiban suami dan menjadi hak istri. Pada dasarnya peran suami

4
istri mesti di bagi bersama, suami sebgai kepala keluarga berada diluar rumah
untuk bekerja demi menafkahi dan menjaga keluarga. Istri sebagai kepala
rumah tangga mengurus berbagai hal di dalam rumah sesuai kebiasaan yang
berlaku. Oleh karena itu suami berkewajiban menafkahi istri dan anak-anak
dengan cara yang baik, dan istri tidak berkewajiban menafkahi rumah tangga
meskipun tergolong orang kaya.

B. Urgensi Pekerjaan dan Nafkah dalam keluarga


Secara umum, isteri memiliki hak nafkah dari suaminya. Namun
terkadang, ada beberapa kondisi yang membuat sang isteri kehilangan haknya
tersebut. Berikut ini adalah penjelasan sebagian kondisi tersebut.2
1. Nafkah Bagi Isteri Yang Bekerja Di Luar Rumah.
Sebagian ulama fiqh kontemporer berpendapat, isteri yang bekerja (di
luar rumah) tetap berhak mendapat nafkah dari suaminya, jika ia bekerja
dengan izin dari suaminya. Namun apabila ia bekerja tanpa mendapat izin dari
suaminya, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah.
Tentang hal ini, ketika menjelasan alasan, mengapa isteri yang bekerja
di luar rumah tidak mendapat nafkah, Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar
berkata,”Pendapat yang benar adalah, wanita yang bekerja tidak berhak
mendapat nafkah. Karena suami mampu mencegahnya dari bekerja dan keluar
dari rumah (dengan mencukupi nafkahnya), dan (menetapnya isteri di rumah
suami) merupakan hak suaminya. Kewajiban suami memberi nafkah kepada
isteri disebabkan karena status isteri yang menjadi tawanan suaminya dan ia
wajib meluangkan waktunya untuk suaminya. Jika sang isteri bekerja (tanpa
izin suaminya) dan mendapatkan uang, maka sebab yang menjadikan suami
wajib memberikan nafkah kepadanya telah gugur.”

2
Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana 2006), Hal. 155

5
2. Nafkah Isteri Yang Durhaka Kepada Suaminya (Nusyuz).
Jika sang isteri berbuat durhaka kepada suaminya, seperti menolak
untuk tidur bersama, keluar dari rumah suami tanpa seizinnya, atau menolak
bepergian bersama suaminya, maka sang isteri tidak berhak mendapat nafkah
serta tempat tinggal. Demikian ini pendapat jumhur Ahli Ilmu, seperti: Asy
Sya’bi, Hammad, Malik, Al Auza’i, Syafi’i, serta Abu Tsaur. Sedangkan Al
Hakam berpendapat, isteri yang nusyuz tetap berhak mendapat nafkah.3
Ibnu Al Mundzir berkata,”Aku tidak mengetahui seorang pun yang
menyelisihi pendapat jumhur ini, kecuali Al Hakam. Sepertinya ia berhujjah
bahwa kedurhakaan seorang isteri tidak menggugurkan haknya untuk
mendapatkan mahar setelah adanya akad, maka demikian pula dalam hal
nafkah.”
Ibnu Abdil Barr mensyaratkan nusyuz yang menggugurkan hak isteri
untuk mendapat nafkah, yaitu bila tidak disertai kehamilan sang isteri. Ia
berkata,”Istri yang durhaka kepada suaminya setelah ia dicampuri, gugurlah
kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepadanya, kecuali jika ia hamil.”
Tentang pernyataan ini, Dr Umar Sulaiman Al Asyqar berkata,”Dan ini adalah
pensyaratan yang shahih, karena nafkah yang diberikan kepada isteri yang
hamil tersebut adalah untuk anaknya. Dan hal itu tidak mungkin tersampaikan
kepada anak, kecuali dengan memberi nafkah kepada isterinya (ibu sang
bayi).”
3. Nafkah Bagi Isteri Yang Dicerai
Berdasarkan kesepakatan para ulama, perlu diperhatikan beberapa
catatan penting menyangkut nafkah isteri yang dicerai. Jika isteri dicerai
sebelum terjadinya persetubuhan, maka sang isteri tidak berhak mendapat
nafkah, karena tidak ada masa iddah baginya, bedasarkan firman Allah Azza
wa Jalla. “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi wanita-

3
Miftah faridl, Rumahku Surgaku, (Jakarta: Gema Insani 2005), h. 113

6
wanita beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu
yang kamu minta untuk menyempurnakannya”. [Al Ahzab : 49].
Wajib atas suami memberikan nafkah kepada isteri yang dithalak raj’i
Ibnu Abdil Barr berkata,”Tidak ada perselisihan diantara ulama, bahwa wanita
yang dithalak raj’i berhak mendapat nafkah dari suaminya, baik mereka dalam
keadaan hamil ataupun tidak; karena mereka masih berstatus sebagai isteri
yang berhak mendapat nafkah, tempat tinggal serta harta warisan selama
mereka dalam masa ‘iddah.”
Wanita hamil yang dithalak ba’in ataupun yang suaminya meninggal, wajib
diberikan nafkah sampai ia melahirkan anaknya, berdasarkan firman Allah
Azza wa Jalla.
“Dan jika mereka (isteri-isteri yang dicerai itu) sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan”. [Ath
Thalaq : 6]. Jadi wanita yang dithalak ba’in dalam keadaan hamil, ia berhak
mendapatkan nafkah karena sebab kehamilannya tersebut, (bukan karena
‘iddahnya) sampai ia melahirkan.
Dan jika sang isteri menyusui anak suaminya tersebut setelah dicerai, maka ia
berhak mendapat upah, berlandaskan firman Allah Azza wa Jalla.
“Maka jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu, maka
berikanlah mereka upahnya, dan musyawarahkanlah segala sesuatu dengan
baik”. [Ath Thalaq : 6] Sebagaimana dikatakan oleh Imam Adh Dhahak,”Jika
sang suami mencerai isterinya, dan ia memiliki anak dari isterinya itu,
kemudian isterinya tersebut menyusui anaknya, maka sang isteri berhak
mendapat nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.”
Adapun jika sang isteri tidak sedang hamil (ketika dithalak ba’in),
maka ia tidak berhak mendapat nafkah dari suaminya.
Berdasarkan hadits dari Fatimah binti Qais, ketika ia diceraikan
suaminya. Kemudian ketika ia meminta nafkah, suaminya menolak

7
memberinya. Akhirnya ia meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang hal ini. Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Tidak ada lagi kewajiban atas suamimu untuk memberimu nafkah dan
tempat tinggal”.

C. Menata Penghasilan dan Pengeluaran Keluarga


Besar kecilnya gaji seringkali berpengaruh terhadap cara mengelola yang
tepat sehingga Anda bisa terhindar dari kondisi defisit keuangan. Apalagi jika gaji
Anda termasuk fixed income alias gaji bulanan tetap dengan kebutuhan hidup
yang seringkali naik turun. Bagi yang bergaji kecil, mereka akan kesulitan
menyimpan uang untuk beberapa hal seperti: dana darurat, biaya kuliah, dana
pensiun, membeli mobil, dan sebagainya. Bahkan tidak jarang ada yang kehabisan
uang pada pertengahan bulan. Hal tersebut mungkin saja terjadi akibat mereka
tidak dapat mengelola gaji bulanan dengan baik untuk memenuhi kebutuhan
keuangan rumah tangga. Setiap keluarga pasti memiliki rencana untuk masa
depannya seperti: liburan, memiliki rumah dan mobil sendiri, hingga biaya kuliah
anak, dan dana pensiun. Rencana tersebut memerlukan uang yang banyak,
sedangkan mencari tambahan penghasilan bukan sesuatu yang mudah. Untuk
itulah Anda membutuhkan beberapa cara untuk mengatur keuangan rumah tangga
dengan gaji kecil agar rencana yang telah disusun tersebut dapat tercapai.4
Pertama, meningkatkan (intensifikasi) produktifitas pendapatan dalam
keluarga. Ini harus dilakukan, karena perkembangan gaya hidup masyarakat
membuat jenis kebutuhan dan biaya hidup juga naik. Sekarang ini untuk
mendapatkan kenyamanan dalam bekerja, kesehatan, kecukupan gizi, dan
pendidikan yang berkualitas untuk putera-putri kita membutuhkan biaya yang
tidak sedikit. Apabila kita ingin terus bertahan dalam kondisi yang demikian, mau
atau tidak harus bisa menjawab semua kebutuhan itu.

4
Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana 2006),h . 157-158

8
Kedua, perlunya kesadaran untuk mengantisipasi kebutuhan tidak terduga
di masa yang akan datang dengan menabung. Dalam persaingan hidup yang super
ketat seperti sekarang ini, setiap keluarga harus memiliki biaya cadangan untuk
menjawab kebutuhan yang tidak terduga. Keluarga yang sehat tentu akan
menyisihkan hasil pendapatannya sebagai jaminan hidup di masa depan.
Ketiga, perlunya skala prioritas dalam menentukan kebutuhan. Banyak
orang yang gagal, karena tidak berhasil memilih mana yang terpenting dan harus
lebih dahulu diselesaikan. Kalau kita gagal menentukan kebutuhan yang paling
urgen agar diatasi lebih dulu, maka hal-hal yang tidak terlalu pengtinglah yang
akan kita penuhi. Akibatnya, kita akan kerepotan dibuatnya.
Keempat, tetap berprasangka baik dan yakin bahwa masa-masa sukses
akan menghampiri kita. Dalam kondisi sulit kita tidak boleh menyerah. Justru kita
harus memanfaatkan kondisi sulit untuk menyuport semangat kita agar mau
keluar dari kondisi sulit. Kita juga harus tenang dan yakin bahwa usaha kita akan
berbuah manis. Dengan sikap itu langkah kita akan tetap tenang, dan dalam
kondisi tenang maka perhitungan kita akan tetap akurat. Dengan ini pula,
kesuksesan akan semakin dekat menghampiri kita.
Apabila empat langkah di atas menjadi prinsip kita dalam membangun
kemandirian ekonomi keluarga, berarti satu keluarga di negara Indonesia telah
hidup dengan sehat dan berdiri di atas sokongan ekonominya sendiri. Dia tidak
menjadi beban orang lain. Bayangkan kalau mayoritas keluarga di Indonesia
mampu menanggung biaya kebutuhan keluarga sehari-hari, tanpa melahirkan
kecurangan dalam menjalani hidup di masyarakat. Tentu ketimpangan-
ketimpangan yang kita saksikan di sekitar kita akan segera hilang.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nafkah adalah pemberian seorang suami kepada istri sebagai pemenuhan
semua kebutuhan dalam kehidupan. Memberi Nafkah kepada istri dan keluarga
hukumnya wajib selama istri masih melakukan kewajibannya sebagai seorang
istri. Nafkah juga wajib diberikan kepada keluarga atau kerabat yang masih
membutuhkan. Seorang suami wajib memberikan nafakah dengan cara yang halal.
Mengenai Ukuran nafkah disesuaikan dengan kebutuhan belanja sehari-hari. Jika
istri sombong dengan fitrahnya, menyimpang dari aturan, berpaling pada jalan,
melampaui suami dalam tujuan kehidupan rumah tangga maka ia tidak
mendapatkan hak nafkah.
Atau ia meninggalkan rumahnya dengan sendirian, mempergunakan
banyak waktunya di luar rumah dengan tanpa izinnya. Karena nafkah merupakan
kewajiban untuk istri dengan usahanya untuk dirinya, kesepakatannya, waktunya,
kesungguhannya dengan ketenangan suami dan kebahagiaannya berupa
pemberian buah-buah kehidupan keluarga.

B. Saran
Alhamdulillah kami panjatkan sebagai implementasi rasa syukur kami atas
selesainya makalah ini. Namun dengan selesainya bukan berarti telah sempurna,
Oleh karena itulah saran serta kritik yang bersifat membangun dari saudara selalu
kami nantikan.untuk dijadikan suatu pertimbangan dalam setiap langkah sihingga
kami terus termotivasi kearah yang lebih baik tentunya dimasa masa yang akan
datang.akhirnya kami ucapkan terima kasih sebanyak banyaknya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat


dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana 2006

Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana 2006

Miftah faridl, Rumahku Surgaku, Jakarta: Gema Insani 2005

11

Anda mungkin juga menyukai