Anda di halaman 1dari 16

NAFKAH KEPADA ISTRI, ANAK, ORANG TUA DAN KERABAT

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata kuliah Studi Ilmu Fikih

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Suharto, S.H., M.A.

Disusun Oleh
Muhammad Fuad Mubarok (2274130010)

PROGRAM MAGISTER HUKUM KELUARGA ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
2022 M/1444 H
DAFTAR ISI

Daftar Isi...................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 3
C. Tujuan.............................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Nafkah................................................................................ 5
B. Nafkah Kepada Istri......................................................................... 5
C. Nafkah Kepada Anak....................................................................... 6
D. Nafkah Kepada Orang Tua.............................................................. 7
E. Nafkah Kepada Kerabat................................................................... 9

BAB III KESIMPULAN

A. Kesimpulan...................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Nafkah adalah pemberian dari suami yang diberikan kepada istri setelah
adanya suatu akad pernikahan. Nafkah wajib karena adanya akad yang sah,
penyerahan diri istri kepada suami, dan memungkinkan untuk terjadinya
bersenang-senang. Syari’at mewajibkan nafkah atas suami kepada istrinya.
Nafkah hanya diwajibkan atas suami karena tuntutan akad nikah dan karena
keberlangsungan bersenang-senang sebagaimana istri wajib taat kepada suami,
selalu menyertainya, mengatur rumah tangga, mendidik anak-anaknya. Ia
tertahan untuk melaksanakan haknya, “Setiap orang yang tertahan untuk hak
orang lain dan manfaatnya, maka nafkahnya atas orang yang menahan
karenanya”.1
Yang dimaksud dengan nafkah di sini adalah seluruh kebutuhan dan
keperluan istri yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan,
pakaian, rumah, dan sebagainya.2 Banyaknya nafkah yang diberikan adalah
sesuai dengan kebutuhan yang secukupnya dan sesuai dengan kemampuan
suami. Sebagaimana Firman Allah:
‫لِيُ ْنفِ ْق ُذوْ َس َع ٍة ِّم ْن َس َعتِ ٖ ۗه‬
“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut
kemampuannya” (Q.S. at-Talaq [8]: 7).

Nafkah merupakan hak isteri dan anak-anak untuk mendapatkan makanan,


pakaian dan kediaman, serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan
pengobatan, bahkan sekalipun si isteri adalah seorang wanita yang kaya.
Nafkah dalam bentuk ini wajib hukumnya berdasarkan al-Qur’an, al-Sunnah
dan ijma’ ulama. Bila kedua pasangan itu telah sama-sama dewasa, hal ini
merupakan kewajiban suami untuk memberikan makanan, pakaian dan
kediaman bagi isteri dan anak-anaknya sesuai dengan tingkat kedudukan
sosial pasangan tersebut dan selaras dengan adat kebiasaan masyarakat di

1
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), 212- 213.
2
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2012), 421.

1
tempat tinggal mereka. Sosok seorang isteri ini bukan seperti isteri yang
berlaku di negara-negara barat.3
Beberapa ulama telah memberikan perincian hal-hal penting yang harus
diberikan sebagai nafkah.Hal-hal ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan
masa kini agar selaras dengan kaedah negeri dan standar kehidupan mereka.
Merupakan tanggung jawab seorang ayah menafkahi puteri-puterinya sampai
mereka menikah, dan putera-puteranya sampai mereka usia puber. Begitu pula
kewajiban seorang muslim untuk menafkahi orang tuanya serta kakek
neneknya kalau dia mampu melakukan hal itu. Bila memungkinkan dan
memiliki harta, maka dia sepatutnya memperhatikan kebutuhan kerabat-
kerabatnya yang miskin. Menurut Mazhab Hanafi, setiap keluarga, sampai
pada derajat tertentu, berhak untuk dinafkahi. Bila dia masih kanak-kanak dan
miskin, lemah atau buta dan melarat, atau dia seorang perempuan yang
miskin, juga harus dinafkahi.4
Bila isteri belum dewasa dia harus dinafkahi oleh ayah dan walinya.
Rasulullah SAW. Menikahi ‘Aisyah dua tahun sebelum ia mencapai masa
pubernya dan beliau tidak memberinya nafkah. Tetapi bila si isteri belum
puber namun telah berkumpul dengan suaminya menurut Mazhab Maliki dan
Syiafi’i suami tidak wajib memberinya nafkah. Menurut Hakim Abu Yusuf,
seorang ulama Hanafi, kalau si isteri masih kecil dan suami menerimanya
tinggal di rumahnya, maka si suami wajib menafkahi, tetapi apabila tidak
demikian, maka si suami tidak wajib melakukannya. Imam Abu Hanifah dan
muridnya, Imam Muhammad, sepakat dengan pendapat Mazhab Maliki dan
Syiafi’I, Menurut Mazhab Maliki dan Syiafi’i, jika suami menolak atau
mengabaikan pemberian nafkah selama dua tahun, si isteri berhak menuntut
cerai. Tetapi berbeda dengan Mazhab Hanafi, ketidakmampuan ataupun
pengabaian nafkah ini bukan merupakan alasan yang cukup untuk bercerai.
Seorang isteri berhak menuntut suaminya agar mengajaknya bepergian atau
memberi nafkah selama ia ditinggalkan, sejumlah uang belanja sebelum ia
pergi atau memberi kuasa kepada seseorang untuk menafkahi isterinya. Biaya

3
Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), 267.
4
Ibid, 268.

2
hidup itu diberikan dalam jangka waktu yang sama seperti kebiasaan suami
membayarnya.5
Suami wajib menyediakan kebutuhan bagi keluarganya. Apabila ia tak
cukup mampu membelanjai keluarganya atau jika pendapatannya terlalu
rendah untuk memenuhi standar hidup yang layak, isteri berkeinginan, maka
keduanya boleh bekerja untuk menambah penghasilan. Bila si isteri tidak
bekerja, maka urusan rumah tangga adalah tugas utamanya. Seperti mengurus
anak dan keluarga, serta semua pekerjaan rumah yang diperlukan untuk
memelihara kebersihan dan kenyamanan lingkungan hidup. Nabi saw.
bersabda: “kebersihan adalalah sebagian dari iman”. Dalam islam citra
keibuan sangat dijunjung tinggi dan merupakan ibadah terbesar kedua kepada
Allah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 80 dijelaskan kewajiban suami
terhadap isteri sebagai berikut:
1. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami isteri bersama.
2. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama
dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannnya, suami menanggung:
a. Nafkah, kiswa dan tempat kediaman bagi isteri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri
dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a
dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
6. Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

5
Ibid.

3
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila isteri
nusyuz.6
Kewajiban utama suami adalah kepala rumah tangga yang wajib
mengayomi, melindungi, memberikan makan dan minum, pakaian, tempat
tinggal, dan memperlakukan (menggauli) dengan baik. “kewajiban seorang
suami terhadap isterinya ialah sang suami harus memberi makan kepadanya
jika ia makan, dan memberi pakaian kepadanya jika ia berpakaian, dan tidak
boleh memukul mukanya dan tidak boleh memperolok-olok atau mencaci
maki atau menghinanya, dan juga (seorang suami) tidak boleh
meninggalkannya kecuali dalam tempat tidur (ketika isteri) membangkang
atau terjadi suatu keributan dalam rumah tangga.”.7

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah
1. Apa pengertian nafkah?
2. Bagaimana tinjauan teologis dan filosofis terhadap pemberian nafkah
terhadap istri, anak, orang tua, dan kerabat?
3. Apa dampak pemberian nafkah tersebut?

C. TUJUAN
Untuk mengkaji secara teologis dan filosofis tentang hal-hal yang
berkaitan mengenai pemberian nafkah terhadap istri, anak, orang tua dan
kerabat serta dampaknya dari pemberian nafkah tersebut.

6
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 162.
7
Armaidi Tanjung, Free Sex No! Nikah Yes!, (Jakarta: Amzah, 2007), 235.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nafkah
Secara etimologis, nafkah berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata
‫ إنفاق‬- ‫ ینفق‬- ‫أنفق‬, yang berarti ‫ إخراج‬yakni mengeluarkan. Kata infaq ini tidak
digunakan kecuali dalam hal kebaikan.8 Sedangkan secara terminologis nafkah
adalah segala bentuk perbelanjaan manusia terhadap dirinya dan keluarganya
dari makanan, pakaian dan tempat tinggal.9 Bentuk jamak dari kata nafkah
adalah nafaqaat yang secara bahasa artinya sesuatu yang diinfakkan atau
dikeluarkan oleh seseorang untuk keperluan keluarganya.10
Nafkah adalah uang belanja dan sejenisnya, biaya untuk memenuhi
kebutuhan orang yang harus dipenuhi kebutuhannya, baik makanan, pakaian,
tempat tinggal dan sejenisnya.11 Akan tetapi pada umumnya nafkah itu
hanyalah makanan. Termasuk dalam arti makanan adalah roti, lauk, dan
minuman. Sedangkan, dalam hal pakaian ketentuannya bisa dipakai untuk
menutupi aurat, sedangkan tempat tinggal termasuk di dalamnya rumah,
perhiasan, minyak, alat pembersih, perabot rumah tangga, dan lain-lain sesuai
adat dan kebiasaan umum.
Uang belanja yang diperlukan guna memelihara kehidupan orang yang
memerlukannya. Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, nafkah adalah
pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang
baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.12
Adapun menurut ahli fiqih pengertian nafkah adalah sebagai berikut
1. Menurut Abd al-Rahman al-Jaziri sebagai berikut
‫وة‬jj‫بز وادم وكس‬jj‫ة من خ‬jj‫ة من تجب علیھ نفق‬jj‫خص مؤن‬jj‫راج الش‬jj‫اء فھي اخ‬jj‫طالح الفقھ‬jj‫ا في اص‬jj‫ام‬
‫ومسكن وما یتبع ذالك من ثمن ماء ودھن ومصباح ونحو ذلك مما یأتي‬

8
Abu Bakr, I’natuth Thalibin, Juz IV, (Surabaya: PT Irama Minasari, 1356 H), 60.
9
Ahmad al-Shawiy, Al-Shawi Ala Tafsir al-Jalalain, (Mesir: Dar al-Fikr, 1993), 151.
10
Wahbah az -Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid X, (Beirut: Darul Fikr, 2007), 94.
11
Abdullah bin Abdurrahman Al Basam, Syarah Bulughul Maram, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007), 35.
12
Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV, (Jakarta: PT. IchtiarBaru Van
Hoeve, 1997), 1281.

5
Artinya :“Nafkah menurut istilah ahli fiqh yaitu pengeluaran seseorang
atas sesuatu sebagai uang belanja terhadap orang yang wajib dinafkahinya,
terdiri dari roti, lauk-pauk, pakaian, tempat tinggal dan apa yang
mengikutinya dari harga air, minyak dan sebagainya”13
2. Menurut al-Shon’ani
‫رب‬jj‫ام والش‬jj‫یره من الطع‬jj‫و او غ‬jj‫اجھ ھ‬jj‫ا یحت‬jj‫ان فیھ‬jj‫دل لھ األنس‬jj‫يءالذي یب‬jj‫ا الش‬jj‫ة والمردبھ‬jj‫النفق‬
‫وغیرھما‬
Artinya : “Nafkah adalah segala sesuatu yang dapat menutupi kebutuhan
manusia untuk dirinya atau ditambah orang lain yang mencakup makanan
dan minuman”.14

Nafkah ada dua macam yaitu:


1. Nafkah yang wajib dikeluarkan oleh seseorang untuk dirinya sendiri jika
memang mampu. Nafkah ini harus didahulukan daripada nafkah untuk
orang lain karena Rasulullah Saw bersabda :
‫ك‬ َ ِ‫ض َل ع َْن َأ ْھل‬
َ ِ‫ك َش ْي ٌء فَلِ ِذي قَ َرابَت‬ َ َ‫ك فَِإ ْن ف‬ َ َ‫َص َّد ْق َعلَ ْیھَا فَِإ ْن ف‬
َ ِ‫ض َل َش ْي ٌء فَِأل َ ْھل‬ َ ‫ابْدْأ بِنَ ْف ِس‬
َ ‫ك فَت‬
Artinya :“Mulailah menafkahi dirimu sendiri, jika tersisa, maka untuk
anggota keluargamu. Jika tersisa, maka untuk kerabat dekatmu.” ( HR.
Muslim 886).15
2. Nafkah yang wajib atas diri seseorang untuk orang lain. Sebab-sebab yang
menjadikan nafkah ini wajib ada tiga, yaitu sebab nikah, hubungan
kekerabatan, dan hak kepemilikan.16

Wahbah az-Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah adalah mencukupi


kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan
tempat tinggal. Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku
menurut keadaaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah, dan
sebagainya. Banyak nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mencukupi
13
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Fiqh `ala Madzhab al-Arba`ah, Juz IV, (Beirut: t.tp., 1969 ),
485.
14
Muhammad bin Ismail al-Asqala’ni, Subul al-Salam, Juz III, (Semarang: Maktabah Toha
Putra, t.th.), 218.
15
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 628-
629.
16
Ibid, 95.

6
keperluan dan kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan orang
yang berkewajiban menurut kebiasaan masing-masing tempat. Keterangan
atau alasannya adalah sebuah hadits, berkaitan dengan keadaan istri Abu
Sufyan.
ِ ْ‫ك بِ ْال َم ْعرُو‬
‫ف‬ ِ ‫ی ْكفِ ْی‬
ِ ‫ك َو َولَ َد‬ َ ‫ُخ ِذيْ َما‬
Artinya :”Ambillah dari hartanya apa yang mencukupimu dan anak-
anakmu dengan cara yang baik.17

Pemberian nafkah terdiri dari beberapa macam:


1. Nafkah terhadap para istri
2. Nafkah terhadap para kerabat
3. Nafkah terhadap hamba sahaya dan hewan

B. Dasar Hukum Nafkah


1. Surat Al-Baqarah ayat 233

‫هٗ ِر ْزقُه َُّن‬jjَ‫وْ ِد ل‬jjُ‫ا َعةَ ۗ َو َعلَى ْال َموْ ل‬jj‫َّض‬ َ ‫ا ِملَي ِْن لِ َم ْن اَ َرا َد اَ ْن ُّيتِ َّم الر‬jj‫ وْ لَ ْي ِن َك‬jj‫ ْعنَ اَوْ اَل َده َُّن َح‬jj‫ض‬ ِ ْ‫ت يُر‬ ُ ‫د‬jjٰ ِ‫ َو ْال ٰول‬ 
‫ث‬
ِ ‫ار‬ ِ ‫ضاۤ َّر َوالِ َدةٌ ۢبِ َولَ ِدهَا َواَل َموْ لُوْ ٌد لَّهٗ بِ َولَ ِد ٖه َو َعلَى ْال َو‬ َ ُ‫فۗ اَل تُ َكلَّفُ نَ ْفسٌ اِاَّل ُو ْس َعهَا ۚ اَل ت‬ ِ ْ‫َو ِك ْس َوتُه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬
‫ع ُْٓوا‬j‫ض‬ َ jَ‫ا ُو ٍر فَاَل جُ ن‬j‫ا َوت ََش‬jj‫اض ِّم ْنهُ َم‬
ِ ْ‫ا ۗ َواِ ْن اَ َر ْدتُّ ْم اَ ْن تَ ْستَر‬jj‫اح َعلَ ْي ِه َم‬j ٍ ‫ َر‬jَ‫ااًل ع َْن ت‬j‫ص‬ َ ِ‫ا ِ ْن اَ َرادَا ف‬jَ‫ك ۚ ف‬ َ jِ‫ ُل ٰذل‬j‫ِم ْث‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ َ‫فۗ َواتَّقُوا َ َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَ َّن َ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ ب‬
‫ص ْي ٌر‬ ِ ْ‫اَوْ اَل َد ُك ْم فَاَل جُ نَا َح َعلَ ْي ُك ْم اِ َذا َسلَّ ْمتُ ْم َّمٓا ٰاتَ ْيتُ ْم بِ ْال َم ْعرُو‬
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh,
bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah
menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang
tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya.
Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin
menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu
kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran
dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 233).

2. Surat At-Talaq ayat 6-7

17
Faisal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Bustanul Ahbar Mukhtashar Nail al Authar, Jilid IV,
( Jakarta : Pustaka Azzam, 2006 ), 688.

7
‫ا َ ْنفِقُوْ ا َعلَ ْي ِه َّن‬j َ‫ت َح ْم ٍل ف‬ ٰ ُ‫ضيِّقُوْ ا َعلَ ْي ِه َّنۗ َواِ ْن ُك َّن ا‬
ِ ‫ول‬ َ ُ‫ْث َس َك ْنتُ ْم ِّم ْن ُّوجْ ِد ُك ْم َواَل ت‬
َ ُ‫ض ۤارُّ وْ ه َُّن لِت‬ ُ ‫اَ ْس ِكنُوْ ه َُّن ِم ْن َحي‬
‫ ُع‬jj‫ض‬ ِ ْ‫فۚ َواِ ْن تَ َعا َسرْ تُ ْم فَ َستُر‬ ٍ ْ‫ض ْعنَ لَ ُك ْم فَ ٰاتُوْ ه َُّن اُجُوْ َره َّ ُۚن َوْأتَ ِمرُوْ ا بَ ْينَ ُك ْم بِ َم ْعرُو‬ َ ْ‫ض ْعنَ َح ْملَه َُّنۚ فَا ِ ْن اَر‬َ َ‫َح ٰتّى ي‬
‫ٓا‬j‫) لِيُ ْنفِ ْق ُذوْ َس َع ٍة ِّم ْن َس َعتِ ٖهۗ َو َم ْن قُ ِد َر َعلَ ْي ِه ِر ْزقُهٗ فَ ْليُ ْنفِ ْق ِم َّمٓا ٰا ٰتىهُ هّٰللا ُ ۗ اَل يُ َكلِّفُ هّٰللا ُ نَ ْفسًا اِاَّل َم‬6( ‫ى‬ ۗ ‫لَهٗ ٓ اُ ْخ ٰر‬
‫هّٰللا‬
)7(ࣖ ‫ْر يُّ ْسرًا‬ ٍ ‫ٰا ٰتىهَاۗ َسيَجْ َع ُل ُ بَ ْع َد ُعس‬
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak)
itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka
melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka
berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara
kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang
yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan
orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang
melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan setelah kesempitan” (QS. At-Talaq [65]: 6-7).

C. Bentuk-bentuk Nafkah
Nafkah secara umum kita kenal adalah harta yang berupa makanan
pakaian, dan tempat tinggal yang diberikan kepada orang yang wajib
diberinya. Adapun bentuk-bentuk nafkah menurut siapa yang wajib
mengeluarkannya dan siapa yang menerimanya terbagai kepada lima orang,
yaitu:18
1. Nafkah Istri
Adapun orang yang wajib memberinya nafkah adalah suaminya, baik
istri yang hakiki seperti istri yang masih dalam perlindunggan suaminya
(tidak ditalak) ataupun istri yang secara hukum seperti wanita yang ditalak
raj’i sebelum masa iddahnya habis
Kewajiban suami untuk memberi nafkah istri menurut yang ma’ruf
(patut). Adapun dinamakan patut disini adalah apa yang biasa dimakan
oleh penduduk negeri dimana ia tinggal, baik berupa gandum, jagung,

18
Abu Bakar Jabi al-Jaza’iru, Minhajul Muslimin, (Jakarta: Darul Haq, 2006), 556.

8
beras dan lainnya. Suami tidak dibebani untuk memberi nafkah selian
makan pokok yang umum selain di negeri is tinggal. Sedangkan paian dan
lauk pauk disesuaikan pula.
Nafkah terhadap seorang istri diberhentikan, jika ia membangkang,
atau tidak mengizinkan suami menggaulinya. Hal itu karena nafkah adalah
konpensasi menikmatinya, sehingga jika seorang suami tidak diizinkan
menikati istrinya maka nafkahnya secara otomatis dihentikan.
Adapun ketentuan nafkah yang di berikan suami terhadap isteri para
ahli fiqh berbeda pendapat yaitu:
a. Imam Hambali dan Maliki mengatakan, bahwa apabila keadaan suami
isteri berbeda yang satu kaya dan satunya miskin maka besar nafkah
adalah tengah tengah dari antar dua hal itu.
b. Imam Syafi’I berpendapat bahwa nafkah diukur berdasarkan keadaan
suami tanpa melihat keadaan isteri.
c. Dikalangan Hanafi terdapat dua pendapat. Pertama, diperhitungkan
berdasarkan kondisi Suami-isteri, dan kedua berdasarkan suami saja
2. Nafkah wanita yang ditalah ba’in sejak masa iddahnya jika hamil
Orang yang wajib memberinya nafkah adalah suami yang
mentalaknya. Nafkah wanita yang ditalak dalam keadaan hami ini
dihentikan jika ia telah melahirkan bayinya, tetapi jika ia menyusui
anaknya, maka ia berhak mendapatkan upah atas penyusuannya.
Sebagaimana firman Allah Swt. Dalam surat at-Tlaq ayat 6:
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-
anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika
kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak
itu) untuknya.” (QS. At-Thalaq: 6)
3. Nafkah kedua orang tua

9
Yang wajib memberikan nafkah adalah anaknya. Nafkah orang tua
diberhentikan, jika ia telah kaya, atau anak yang menfkahinya jatuh
miskin, sehingga ia tidak mempunyai sisa uang dari makan sehari-harinya,
karena Allah tidak membebeni seseorang kecuali dengan apa yang Allah
karuaniakan kepadanya.
4. Nafkah anak
Yang wajib memberikannya nafkah adalah bapaknya, kewajiban
nafkah ada pada bapak bukan pada ibunya, baik ibunya teah bersuami
ataupun telah ditalak. Dengan demikian, diketahui bahwa pemberian
nafkah tidak seperti hukum warisan, karena sesungguhnya ibu termasuuk
ahli waris, keajiban untuk membri nafkah dan penyususn dibebankan
kepada bapak bukan kepada ibunya.
Nafkah anak laki-laki dihentikan jika ia telah baligh dan nafkah
terhadap anak perempuan dihentikan jika ia telah menikah. Tetapi
dikecualikan bagi anak laki-laki yang telah baligh, jika ia menderita sakit
atau gila, maka nafkah terhadapnya tetap masih menjadi tanggungan orang
tuanya (bapaknya).

10
D. Kadar Nafkah
Tidak terdapat suatu nash-pun yang menerangkan ukuran minimum
atau maksimum tentang nafkah yang harus diberikan suami kepada isteri
maupun anaknya. Al-Qu’an dan al-Hadits hanya menerangkan secara
umum saja, yaitu orang yang kaya memberikan nafkah sesuai dengan
kekayaannya, dan orang yang miskin memberikan nafkah sesuai dengan
kemampuannya.
Sebagaimana firman Allah dalam Al Quran Surat at-Thalaq ayat 7:
‫ِل ُي ْن ِف ْق ُذ ْو َس َع ٍة ِّم ْن َس َع ِت ٖ ۗه َو َم ْن قُ ِد َر عَلَ ْي ِه ِر ْزقُ ٗه فَلْ ُي ْن ِف ْق ِم َّمٓا ٰا ٰتى ُه اهّٰلل ُ ۗ اَل‬
 ۗ‫يُلَك ِ ّ ُف اهّٰلل ُ ن َ ْف ًسا ِااَّل َمٓا ٰا ٰتهىَا‬
“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah
menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang
diberikan Allah kepadanya” (Q.S. at-Talaq: 7)
Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan
berdasarkan ketentuan syarak, tetapi berdasarkan keadaan masing-masing
suami isteri, dan ini akan berbeda-beda berdasarkan perbedaan tempat,
waktu, dan keadaan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Hanifah.19
Syafi’i berpendapat bahwa nafkah itu ditentukan besarnya. Atas
orang kaya dua mud (1 mud = ± 1,5 kg), atas orang yang sedang satu
setengah mud, dan orang yang miskin satu mud. Silang pendapat ini
disebabkan ketidakjelasan nafkah dalam hal ini, antara disamakan dengan
pemberian makan dalam kafarat atau dengan pemberian pakaian.
Demikian itu karena fuqaha sependapat bahwa pemberian pakaian itu tidak
ada batasnya, sedang pemberian makanan itu ada batasnya.20

19
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 519.
20
Ibid.

11
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa nafkah adalah semua
kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaaan dan tempat, seperti
makanan, pakaian, rumah, dan sebagainya. Nafkah adakalanya kepada istri,
kepada anak, kepada orangtua, dan kepada kerabat. Dan kadar nafkah yang
diberikan tidak ada ketentuan khusus jumlhnya. Karena dalam surat at-Talaq
ayat 7 dijelaskan bahwa pemberian nafkah adalah sesuai kemampuan.

12
DAFTAR RUJUKAN

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka Azzam.


2007.
al-Asqala’ni, Muhammad bin Ismail. Subul al-Salam. Juz III. Semarang:
Maktabah Toha Putra. t.th..
Al-Basam, Abdullah bin Abdurrahman. Syarah Bulughul Maram. Jakarta:
Pustaka Azzam. 2007.
al-Jaza’iri, Abu Bakar Jabi. Minhajul Muslimin. Jakarta: Darul Haq. 2006.
Al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab Fiqh `ala Madzhab al-Arba`ah. Juz IV. Beirut:
t.tp., 1969.
al-Shawiy, Ahmad. Al-Shawi Ala Tafsir al-Jalalain. Mesir: Dar al-Fikr. 1993.
az -Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jilid X. Beirut: Darul Fikr.
2007.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah. 2009.
Bakr, Abu. I’natuth Thalibin. Juz IV. Surabaya: PT Irama Minasari. 1356 H.
Dahlan, Abdul Aziz dkk. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid IV. Jakarta: PT.
IchtiarBaru Van Hoeve. 1997.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
I, Rahman. Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2002.
Mubarak, Faisal bin Abdul Aziz Alu. Bustanul Ahbar Mukhtashar Nail al
Authar. Jilid IV. Jakarta : Pustaka Azzam. 2006.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam.Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo. 2012.
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid. Jilid 2. Jakarta: Pustaka Amani. 2007.
Tanjung, Armaidi. Free Sex No! Nikah Yes!. Jakarta: Amzah. 2007.

Anda mungkin juga menyukai