Anda di halaman 1dari 15

NAFAKAH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Tafsir Hukum Keluarga”

Dosen Pengampu:

Dr. Muhammad Solikhudin, M.H.I

Disusun Oleh:

Habibah Salsabila (22301049)

Mochamad dimas syarifullah (22301057)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI

2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas selesainya makalah
berjudul Munasabah Al-Qur'an tepat waktu. Selawat dan salam semoga tetap tercurahkan
kepada Nabi Muhammad saw. beserta para sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman.

Beberapa pihak telah membantu dan mendukung dalam menyusun makalah ini. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan makalah ini. Rasa terima kasih disampaikan pada pihak-pihak berikut
ini.

1. Dr. Muhammad Solikhudin, M.H.I, selaku dosen pengampu mata kuliah Tafsir Hukum
Keluarga yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan sehingga
penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
2. Teman-teman kelompok tiga yang telah membantu menyusun makalah ini.

Makalah ini disusun untuk mendeskripsikan tentang mahar. Penulis berharap agar
makalah ini dapat bermanfaat bagi sejawat dan pembaca. Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa isi makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya
kritik dan saran dari sejawat atau pembaca mengenai isi makalah ini.

Kediri, 31 Oktober 2023

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................iii

1.1 Latar Belakang .......................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................................1

1.3 Tujuan.....................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................................iii

2.1 Pengertian Nafakah…....................................................................................................1

2.2 Syarat dan Hukum Nafakah dalam Islam......................................................................5

2.2 macam-macam nafakah……………………………………………………………….

2.3 Tafsir Ayat.....................................................................................................................1

2.4 Tujuan dan hikmah Nafakah.........................................................................................1

BAB III PENUTUP......................................................................................................................iii

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................8

3.2 Saran..............................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nafkah merupakan hak isteri dan anak-anak untuk mendapatkan makanan, pakaian dan
kediaman, serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan pengobatan, bahkan sekalipun si
isteri adalah seorang wanita yang kaya Nafkah dalam bentuk ini wajib hukumnya
berdasarkan al-Qur'an, al-Sunnah dan ijma' ulama. Bila kedua pasangan itu telah sama-sama
dewasa, hal ini merupakan kewajiban suami untuk memberikan makanan, pakaian dan
kediaman bagi isteri dan anak-anaknya sesuai dengan tingkat kedudukan sosial pasangan
tersebut dan selaras dengan adat kebiasaan masyarakat di tempat tinggal mereka. Sosok
seorang isteri ini bukan seperti isteri yang berlaku di negara-negara barat.

Beberapa alama telah memberikan perincian hal-hal penting yang harus diberikan sebagai
nafkah Hal-hal ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan masa kini agar selaras dengan kaedah
negeri dan standar kehidupan mereka. Merupakan tanggung jawab seorang ayah menafkahi
puteri-puterinya sampai mereka menikah, dan putera-puteranya sampai mereka usia puber.
Begitu pula kewajiban seorang muslim untuk menafkahi orang tuanya serta kakek neneknya
kalau dia mampu melakukan hal itu, Bila memungkinkan dan memiliki harta, maka dia
sepatutnya memperhatikan kebutuhan kerabat

kerabatnya yang miskin. Menurut Mazhab Hanafi, setiap keluarga, sampai pada derajat
tertentu, berhak untuk dinafkahi. Bila dia masih kanak-kanak dan miskin, lemah atau buta
dan melarat, atau dia seorang perempuan yang miskin, juga harus dinafkahi

Bila isteri belum dewasa dia harus dinafkahi oleh ayah dan walinya. Rasulullah SAW.
Menikahi Aisya dua tahun sebelum ia mencapai masa pubernya dan beliau tidak memberikan
nafkah. Tetapi bila si isteri belum puber namun telah berkumpul dengan suaminya menurut
Mazhab Maliki dan suami Syafi'l tidak wajib memberi nafkah. Menurut Hakim Abu Yusuf,
seorang ulama Hanafi, jika si isteri masih kecil dan suami yang memilikinya tinggal di
rumahnya, maka si suami wajib menafkahi, tetapi apabila tidak demikian, maka si suami
tidak wajib melakukannya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian nafakah ?


2. Apa ketentuan dan hukum nafakah dalam islam?
3. apa saja macam-macam nafakah?

4
4. Apa tafsir ayat tentang nafakah?
5. Apa tujuan dan hikmah nafakah?

1.3 Tujuan penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian nafakah


2. Untuk mengetahui ketentuan(syarat) dan hukum nafakah dalam islam
3. untuk mengetahui macam-macam nafakah
4. Untuk mengetahui tafsir ayat tentang nafakah
5. Untuk mengetahui tujuan dan hikmah nafakah

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nafakah

An-Nafaqaat adalah jamak dari kata an-Nafaqah, yang dalam arti bahasa memiliki makna
uang dirham atau yang sejenisnya dari harta benda. Sedangkan ditinjau dari segi syara‟ artinya
memenuhi apa-apa yang ada di bawah tanggungannya dengan baik atau layak, baik itu berupa
makanan, pakaian, tempat tinggal dan yang berhubungan dengannya. Pertama kali yang
diwajibkan kepada manusia adalah memberi nafkah kepada istrinya. Maka, diwajibkan kepada
suami untuk memberi nafkah istrinya baik berupa makanan, pakaian, tempat tinggal atau hal-hal
yang mengandung maslahat lainnya.

Nafkah wajib semata karena adanya akad yang sah, penyerahan diri istri kepada suami,
dan memungkinkannya bersenang-senang. Nafkah juga bisa diartikan mengeluarkan atau
membelanjakan, misalnya bila seseorang itu berkata bahwa dia telah menafkahkan hartanya,
maka berarti bahwa dia telah membelanjakan hartanya.

Menurut fuqaha menentukan nafkah sebagai sesuatu yang diberi atau dibelanjakan oleh
seseorang kepada isterinya, anggota keluarganya, kaum kerabatnya dan juga orang-orang yang
dimilikinya (hamba) yang berada dalam tangunggannya. Jadi maksud nafkah dalam hal ini
adalah penyediaan kebutuhan istri seperti makanan, tempat tinggal, pembantu, dan obat-obatan,
meskipun dia kaya. Nafkah merupakan sesuatu yang wajib. Nafkah menjadi tanggung jawab
suami untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Pemenuhan terhadap nafkah merupakan
bagian dari upaya mempertahankan keutuhan sebuah keluarga. Nafkah menjadi hak dari berbagai
hak istri atas suaminya sejak mendirikan rumah tangga. Kewajiban memberikan nafkah oleh
suami kepada istrinya yang berlaku dalam fiqh didasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara
suami dan istri. Prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari rezeki, rezeki
yang diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya suami berkedudukan
sebagai pemberi nafkah. Sebaliknya istri bukan pencari rezeki dan untuk memenuhi
keperluannya ia berkedudukan sebagai penerima nafkah.

5
Oleh karena itu, kewajiban nafkah tidak relevan dalam komunitas yang mengikuti prinsip
penggabungan harta dalam rumah tangga. Yang termasuk dalam pengertian nafkah menurut yang
disepakati ulama adalah belanja keperluan makan yang mencakup sembilan bahan pokok
pakaian dan perumahan atau dalam bahasa sehari-hari disebut sandang, pangan, dan papan.
Selain tiga hal pokok ini, jadi perbincangan di kalangan ulama. Nafkah merupakan segala
sesuatu yang diperlukan oleh istri, oleh karena itu nafkah juga dapat dibayar dan di tetapkan
secara tahunan, bulanan, mingguan atau harian menurut kemampuan suami dan menurut
kebiasaan dalam masyarakat. Boleh saja seorang suami memberikan nafkah setiap hari dan
memberikan atau membelikan pakaian sekali atau dua kali setahun atau menurut keperluannya
saja.

Selain itu, nafkah boleh ditetapkan dalam bentuk roti, bumbu, dan pakaian yang
bermacam-macam, sebagaimana boleh ditetapkan nilainya dalam bentuk uang agar dengannya
istri dapat membeli apa yang dibutuhkannya. Jika kedua belah pihak (suami-istri) telah sepakat
untuk membayar nafkah tersebut dengan cara mendahulukan atau mengakhirkan penyerahannya
dalam tempo waktu yang telah mereka sepakati, maka dalam hal ini boleh-boleh saja. Karena,
dalam hal ini mereka berdualah yang berhak untuk mengambil keputusan. Sedangkan jika
mereka tidak sependapat, maka nafkah tersebut wajib diberikan setiap hari sejak awal
berkumpulnya mereka. Dan jika keduanya telah sepakat untuk dibayar dengan gandum misalnya,
maka boleh-boleh saja. Sebab, ia membutuhkan tanggung jawab tersebut dan seorang istri tidak
wajib menerimanya kecuali dengan persetujuan dari dirinya sendiri.

A. Macam-macam nafakah

Nafkah secara garis besar bisa dibagi dua, yakni nafkah kepada diri sendiri dan orang
lain.

Sementara itu nafkah kepada orang lain bisa dikembangkan menjadi tiga, yakni kepada
istri, kerabat, dan benda milik. Maka nafkah itu terbagi menjadi empat macam. Penjabarannya
sebagai berikut:

1. Nafkah untuk diri sendiri

Memberi nafkah diri sendiri termasuk yang paling utama. Sebelum memberi nafkah
kepada orang lain, hendaknya seorang memberikan nafkah dahulu kepada dirinya. Hal ini
dijelaskan dalam hadits.

‫ َفِإْن َفَضَل َع ْن ِذ ي َقَر اَبِت َك‬،‫ َفِإْن َفَضَل َع ْن َأْهِلَك َش ْي ٌء َفِلِذ ي َقَر اَبِتَك‬،‫ َفِإْن َفَضَل َش ْي ٌء َفَأِلْهِلَك‬،‫اْبَد ْأ ِبَنْفِس َك َفَتَص َّدْق َع َلْيَها‬
‫َش ْي ٌء َفَهَك َذ ا َو َهَك َذ ا‬

"Gunakanlah ini untuk memenuhi kebutuhanmu dahulu, maka bersedekahlah dengannya


untuk mencukupi kebutuhan dirimu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada keluargamu. Jika

6
masih berlebih, berikanlah kepada kerabatmu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada ini dan
itu." (HR Muslim).

2. Nafkah untuk istri

Para ulama menyebutkan alasan mengapa memberi nafkah kepada orang lain menjadi
wajib karena tiga hal. Yakni zaujiyyah (pernikahan), qarabah (kerabat), dan milkiyyah
(kepemilikan).

Nafkah karena ikatan pernikahan ini adalah pemberian nafkah karena ikatan pernikahan
yang sah. Bukan saja terjadi karena pernikahan yang masih utuh, tetapi juga pernikahan yang
telah putus atau cerai dalam keadaan talak raj'i dan talak ba'in hamil.

‫ٱلِّر َج اُل َقَّٰو ُم وَن َع َلى ٱلِّنَس ٓاِء ِبَم ا َفَّض َل ٱُهَّلل َبْع َض ُهْم َع َلٰى َبْع ٍض َو ِبَم ٓا َأنَفُقو۟ا ِم ْن َأْم َٰو ِلِهْم‬

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS An-Nisaa: 34).

Hukum memberi nafkah dari suami kepada istri adalah wajib. Nafkah istri di sini adalah
kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri
berkonotasi materi.

Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat seksual istri
tidak masuk dalam artian nafkah, meskipun dilakukan suami terhadap istrinya. Kata yang selama
ini digunakan secara tidak tepat untuk maksud ini adalah nafkah batin sedangkan dalam bentuk
materi disebut dengan nafkah lahir.

3. Nafkah untuk kerabat

Hubungan kekerabatan termasuk menjadi salah satu sebab wajibnya memberikan nafkah.
Hanya saja berbeda pendapat terkait kerabat bagian mana yang wajib dinafkahi. Bahkan hampir
tiap mazhab memiliki pandangan sendiri-sendiri dalam masalah ini.

Wahbah az-Zuhaili meringkas pendapat itu sebagai berikut. Kalangan Malikiyyah


berpendapat bahwa kerabat yang berhak mendapatkan nafkah hanya orang tua dan anak.
Syafi'iyyah berpendapat bahwa nafkah diberikan kepada hubungan orang tua dan anak serta cucu
dan kakek (ushul dan furu'). Adapun Hanafiyyah berpendapat yang mendapat nafkah karena
kerabat bukan saja ushul dan furu' akan tetapi juga pada jalur ke samping dan dzawi al-arham.
Sedangkan Hanabilah berpendapat lebih umum lagi asalkan pada jalur nasab.

4. Nafkah Untuk benda milik

Nafkah karena sebab kepemilikan seperti hamba sahaya dan binatang piaraan. Seseorang
yang di zaman dahulu memiliki hamba sahaya atau hari ini memiliki hewan peliharaan, harus

7
menafkahinya dengan memberi makanan dan minuman yang bisa menopang hidupnya. Hikmah
pemberian nafkah kepada budak adalah masalah kasihan terhadap diri budak yang lemah dan
tidak mampu apa-apa, yang tiada daya dan kekuatan dan tiada harta sama sekali.

Telah diketahui dalam agama bahwa hamba sahaya adalah milik tuanya, kalau tuan tidak
wajib memberinya nafkah, niscaya manusia lemah ini akan kelaparan dan telanjang sepanjang
hari. Hal demikian tidak disetujui oleh akal dan tidak ditetapkan agama.Bila seorang tidak mau
memberikan nafkah. Maka hakim boleh memaksa orang tersebut untuk memberikan nafkah
kepada binatang piaraan dan pelayannya

2.2 Syarat dan Hukum nafakah dalam Islam

‫َأْس ِكُنوُهَّن ِم ْن َح ْيُث َس َك ْنُتْم ِم ْن ُو ْج ِد ُك ْم َو اَل ُتَض اُّر وُهَّن ِلُتَض ِّيُقوا َع َلْيِهَّن‬
Artinya, “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu. Janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka,”
(Surat At-Thalaq ayat 6).

‫ِلُيْنِفْق ُذ و َسَعٍة ِم ْن َسَعِتِه َو َم ْن ُقِدَر َع َلْيِه ِر ْز ُقُه َفْلُيْنِفْق ِمَّم ا آَتاُه ُهَّللا اَل ُيَك ِّلُف ُهَّللا َنْفًسا ِإاَّل َم ا آَتاَها‬

Artinya, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.


Orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah
berikan kepadanya,” (Surat At-Thalaq ayat 7).

Nafkah merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang suami kepada
istrinya untuk memenuhi segala kebutuhan yang di perlukan. Suami merupakan pemimpin dalam
keluarga (kepala rumah tangga) yang bertanggung jawab mengenai istrinya. Adapun yang
dimaksud dengan para ibu adalah isteri-isteri, dan para ayah adalah suami-suami. Oleh karena
itu dapat dipahami bahwa para suami mempunyai kewajiban dalam memberikan nafkah kepada
istri-istrinya baik itu berupa makanan dan pakaian, yang dilakukan dengan cara yang baik
(ma‟ruf).

Untuk keperluan keluarga, suami hendaklah memenuhi keperluan isteri tanpa


mementingkan diri sendiri. Suami wajib menyediakan rumah kediaman, pakaian dan makan
minum keluarga. Suami juga hendaklah memberikan uang yang secukupnya kepada isteri supaya
ia boleh membeli keperluan rumah tangga.

Ibnu Qudamah berkata : “Ahli ilmu sepakat wajibnya nafkah istri atas suami jika mereka
telah berusia baligh, kecuali istri yang nusyuz (meninggalkan kewajiban sebagai istri)”.
Sedangkan Ibnu Mundzir dan yang lainnya menyebutkan : “Di dalamnya ada pelajaran, bahwa
wanita yang tertahan dan tercegah beraktivitas dan bekerja, oleh suami wajib memberikan
nafkah padanya.

8
Jadi dapat kita pahami bahwa kewajiban dalam memberikan nafkah kepada istri adalah
suami, serta merupakan sesuatu yang wajib di penuhi oleh suami tersebut dengan beberapa syarat
yaitu :

1. Sahnya akad nikah

Apabila akad tidak sha, tapi batal, maka suami dan istri wajib berpisah demi menghindari
terjadinya kerusakan

2. Penyerahan diri istri kepada suami dan memungkinkannya bersenang-

senang.

Apabila istri tidak menyerahkan dirinya kepada suami, atau memungkian bagi suami untuk
menikmatinya, maka nafkah tidak wajib diberikan kepadanya.

3. Istri tidak menolak untuk berpindah ke tempat mana pun yang dikehendaki oleh suami

4. Keduanya memiliki kemampuan untuk menikmati hubungan suami-istri

5. Keadaan suami dan istri sudah normal secara seksual dan bukan anak di bawah umur

Apabila salah satu dari syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka nafkah tidak wajib untuk
diberikan..

Artinya, ketika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka istri tidak berhak mendapatkan nafkah
dari suami. Begitu pula ketika istri tidak memasrahkan dirinya kepada suami, atau istri tidak
mau diajak berhubungan intim, atau tidak mau diajak pindah rumah yang diinginkan suami tanpa
ada alasan yang kuat, maka gugurlah hak nafkahnya. Sebab, perkara yang menggugurkan itu
datang dari pihak istri.

Bagaimana jika si istri mau memasrahkan diri, namun ia masih di bawah umur dan tidak
mungkin diajak berhubungan badan, maka menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, maka nafkah
untuknya tidak wajib. Diriwayatkan, sewaktu menikah dengan Siti ‘Aisyah, Nabi SAW tidak
memberikan nafkah. Beliau memberinya nafkah ketika sudah bisa diajak tinggal bersama
layaknya suami-istri. Tidak ada pengganti nafkah yang terlewatkan dari Nabi SAW. Meski
demikian, bila suami meridai istri yang masih di bawah umur itu berada di rumahnya dengan
tujuan sebagai teman pendampingnya, maka kondisi itu tetap mewajibkan nafkah.

Lain halnya jika istri dewasa, suami yang masih di bawah umur. Maka dalam kondisi itu,
menurut pendapat sahih, nafkah dari suami tetap wajib. Sebab, tidak ada unsur penggugur nafkah
dari pihak istri.

2.3 Tafsir Ayat

‫َأْسِك ُنوُهَّن ِم ْن َح ْيُث َس َك ْنُتْم ِم ْن ُو ْج ِد ُك ْم َو اَل ُتَض اُّر وُهَّن ِلُتَض ِّيُقوا َع َلْيِهَّن‬

9
Kitab An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi mentafsiri
Surat At-Talaq ayat 6: Allah menganjurkan kepada para suami untuk perhatian dengan istri,
Allah memerintahkan mereka para suami untuk memberikan tempat tinggal selama masa iddah
di rumah-rumah mereka para suami yang para isti tinggal di dalamnya; Menurut kemampuan
suami, dan wajib bagi kalian wahai suami untuk tidak menyempitkan mereka dalam tempat
tinggal dan nafkah, sampai mengharuskan mereka untuk keluar dan meninggalkan hak-hak
mereka, meskipun mereka dalam kondisi hamil, maka para suami mesti menafkahi mereka
dengan nafkah yang patut sampai melahirkan anak mereka, dan jika mereka menyusui anak-anak
mereka, maka kalian para suami harus memberikan upah kepada mereka, dan musyawarakanlah
wahai para suami atas apa yang didasari dengan kebaikan yang tidak berbentuk kemungkaran.
Maka jika ibunya menolak untuk menyusui anaknya, kecuali dengan upah yang besar, maka
wajib bagi kalian wahai para suami untuk mencari perempuan lain yang mau menyusui anak
kalian, begitu juga seandainya mereka menahan untuk tidak menyusui karena sebab ingin upah
yang besar atau yang lainnya, kalian haru memusyawarahkannya, untuk dapat menyusui anak
kalian.

Kitab Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah melarang mengusir wanita-wanita yang


dicerai dari rumah. Dalam ayat ini terdapat perintah untuk menempatkan mereka di tempat-
tempat tinggal (yang layak) dengan cara yang baik, yaitu tempat yang mirip dengan rumah yang
pernah ditinggali sesuai dengan ukuran kondisi suami. “Dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka,” maksudnya jangan menyakiti mereka, baik dengan
perkataan maupun perbuatan ketika kalian menempatkan mereka di rumah yang membuat
mereka jemu sehingga mereka keluar dari rumah sebelum masa iddah selesai, karena dengan
demikian, kalian sama saja dengan mengusir mereka.

Kesimpulannya, tidak boleh mengeluarkan (mengusir) mereka dan mereka juga dilarang
keluar meninggalkan rumah. Allah juga memerintahkan para suami yang menceraikan istrinya
agar menempatkan mereka di rumah dengan cara yang baik dan tidak menimbulkan dampak
mudarat maupun memberatkan. Masalah ini sepenuhnya dikembalikan pada kebiasaan (suatu
masyarakat).

“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka itu nafkahnya hingga mereka bersalin.” Hal itu dikarenakan janin yang ada di
dalam kandungannya, jika yang bersangkutan dicerai ba’in. Dan nafkah berlaku untuknya dan
untuk janinnya jika yang bersangkutan dicerai raj’i. Batas memberikan nafkah adalah
melahirkan.

Jika wanita-wanita yang dicerai telah melahirkan, maka apakah harus menyusui atau
tidak, “kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada

1
0
mereka upahnya,” dengan menyebutkan bilangan nafkah untuk mereka jika memang disebutkan,
dan jika tidak disebutkan, maka disesuaikan dengan upah umum yang berlaku.

“Dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik,” maksudnya,


hendaklah masing-masing dari pasangan suami-istri dan lainnya menyuruh dengan cara yang
baik, yaitu semua hal yang terdapat maslahat dan manfaatnya di dunia dan akhirat. Karena
melalaikan hal ini (yaitu memerintah dengan cara yang baik) berdampak bahaya yang hanya
diketahui oleh Allah. Di samping itu, dalam hal memerintah dengan cara yang baik juga
terkandung prinsip saling membantu dalam kebaikan dan takwa. Sehubungan dengan hal ini,
pasangan suami istri yang berpisah pada masa iddah khususnya bagi yang sudah mempunyai
anak pada umumnya disertai pertengakaran tentang nafkah untuk pihak istri yang dicerai dan
juga nafkah untuk anaknya di samping perceraian yang umumnya terjadi dengan disertai
kebencian. Pertengkaran akan amat dipengaruhi oleh sikap benci masing-masing pihak.

Oleh karena itu, masing-masing dari suami maupun istri diperintahkan untuk saling
bergaul dengan cara yang baik serta menjauhi pertentangan dan perpecahan, Allah memberi
nasihat demikian. “Dan jika kamu menemui kesulitan,” karena kedua suami-istri tidak sepakat
untuk menyusukan anak, “maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya,” yakni
selain istrinya yang dicerai. “maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut.” –Al-Baqarah:233-

Hal ini berlaku jika si anak mau disusui oleh wanita lain. Dan jika si anak hanya mau
disusui oleh ibunya, maka ia mau tidak mau harus menyusuinya. Ia wajib menyusuinya dan
boleh dipaksa jika enggan dan berhak mendapatkan upah umumnya jika kedua belah pihak
(suami istri) tidak sepakat menentukan upah penyusuannya. Ketetapan ini bersumber dari ayat
ini secara kontekstual (makna). Seorang anak ketika masih berada di dalam perut ibunya selama
masa hamil tidak bisa keluar dari perut. Pada masa ini Allah menentukan nafkahnya wajib
ditanggung oleh ayah si anak. Ketika lahir dan bisa mendapatkan makanan dari ibunya (melalui
air susunya) atau dari wanita lain, Allah memberikan dua alternatif; jika si anak hanya mau
menyusu dari air susu ibunya, maka ketentuannya seperti yang berlaku ketika masih hamil dan
ibunya wajib menyusui agar bayinya kuat.

{‫}ِلُيْنِفْق ُذ و َسَعٍة ِم ْن َسَعِتِه َو َم ْن ُقِدَر َع َلْيِه ِر ْز ُقُه َفْلُيْنِفْق ِم َّم ا آَتاه ِلُيْنِفْق ُذ و َسَعٍة ِم ْن َسَعِتِه‬

Kitab tafsir ibn katsir/ syekh Imad ad-Din Abu al-Fida Ismail Ibn Amar Ibn Katsir Ibn
Zara’ Al-Bushra al-Dimasiqy menjelaskan didalam tafsirnya,

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.(Ath-Thalaq: 7)

Artinya, hendaklah orang tua si bayi atau walinya memberi nafkah kepada bayinya sesuai
dengan kemampuannya.

1
1
{‫}َو َم ْن ُقِدَر َع َلْيِه ِر ْز ُقُه َفْلُيْنِفْق ِمَّم ا آَتاُه ُهَّللا اَل ُيَك ِّلُف ُهَّللا َنْفًسا ِإال َم ا آَتاَها‬

Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
(sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. (Ath-Thalaq: 7),Semakna dengan apa yang
disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{‫}اَل ُيَك ِّلُف ُهَّللا َنْفًسا ِإال ُو ْس َعَها‬

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya: (Al-Baqarah: 286)

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan
kepada kami Hakkam, dari Abu Sinan yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab r.a. pernah
bertanya mengenai Abu Ubaidah. Maka dikatakan kepadanya, bahwa sesungguhnya Abu
Ubaidah mengenakan pakaian yang kasar dan memakan makanan yang paling sederhana. Maka
Khalifah Umar r.a. mengirimkan kepadanya seribu dinar, dan mengatakan kepada kurirnya,
"Perhatikanlah apakah yang dilakukan olehnya dengan uang seribu dinar ini jika dia telah
menerimanya." Tidak lama kemudian Abu Ubaidah mengenakan pakaian yang halus dan
memakan makanan yang terbaik, lalu kurir itu kembali kepada Umar r.a. dan menceritakan
kepadanya perubahan tersebut. Maka Umar mengatakan bahwa semoga Allah merahmatinya.
Dia menakwilkan ayat ini, yaitu firman-Nya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. (At-Thalaq: 7) ُ‫اَل ُيَك ِّلُف ُهَّللا َنْفًسا ِإاَّل َم ا آَتاَها‬

2.4 Tujuan dan Hikmah nafakah

Pemberian nafkah berupa sandang,pangan,papan,adapun pemberian tersebut berlangsung


setelah terjadinya akad pernikahan yang sah. Dan tujuan dari pemberian nafkah ialah
pengeluaran seseorang yang menjadi tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok yang
diperlukan oleh diri sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.

Di antara syarat perkawinan adalah untuk mendapatkan ketenangan dalam hidup rumah
tangga, adanya cinta kasih sayang, serta pergaulan yang baik dalam rumah tangga. yang
demikian akan tercapai dengan baik ketika ditunjang dengan tercukupinya kebutuhan hidup yang
pokok bagi kehidupan rumah tangga. kewajiban nafkah adalah agar terciptanya tujuan dari
pernikahan itu. Terpenuhinya kebutuhan yang bersifat materi dan kebutuhan nonmateri, maka
apa yang diharapakan dengan perkawinan tersebut diharapkan akan tercapai dengan izin Allah
SWT bersamaan dengan itu pula tuntutan Allah SWT untuk mendekatkan diri kepadaNya dapat
dilaksanakan.

1
2
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

Demikianlah makalah yang kami buat, semoga bermanfaat dan menambah ilmu
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan kata
dan kalimat yang kurang jelas. Kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah. Sekian dari kami semoga bermanfaat terima kasih.

1
3
1
4
DAFTAR PUSTAKA

https://repository.uin-suska.ac.id/17376/8/8.%20BAB%20III__2018475AH.pdf. Di akses pada 23.45,


tanggal 31 oktober 2023

BAB I PENDAHULUAN Di era globalisasi yang semakin majumenuntut kesiapan ...


http://repository.radenfatah.ac.id/6404/1/BAB%20I%20.pdf. Di akses pada 23.45, tanggal 31 oktober
2023

Sayyid Sabiq; Fiqhus Sunnah, jilid II, halaman 170.Beirut:Darul Fikri,1983.

1
5

Anda mungkin juga menyukai