Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FIQH MUNAQAHAT

KAIDAH DAN DASAR-DASAR PERKAWINAN ISLAM

DOSEN PENGAMPUH :Dra.Hj.Eli Siti Zailia, M.Ag

Di susun oleh:

Dimas Erlangga (23021020001)

Farhat Al Ali (23041020007)

M.Irsyad Amrullah (23051020015)

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN FATAH PALEMBANG

2024
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.Alhamdulillahirabbil’aalamiin, Puji syukur kami panjatkan kepada Allah
SWT. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Tanpa karunia-Nya, mustahillah makalah ini dapat
terselesaikan. tim penyusun berhasil menyelesaikan tugas makalah dengan tepat waktu yang
berjudul "kaidah dan dasar-dasar perkawinan islam."

Dalam penyusunan makalah ini, semua isi ditulis berdasarkan buku-buku dan jurnal referensi yang
berkaitan dengan Pancasila dalam Prinsip Kedaulayan Rakyat. Apabila dalam isi makalah ditemukan
kekeliruan atau informasi yang kurang valid, tim penyusun sangat terbuka dengan kritik dan saran
yang membangun untuk diperbaiki selanjutnya.

Akhir kata, tim penyusun makalah mengucapkan terima kasih.

Palembang,11 Februari 2024

Kelompok1
DAFTAR ISI
Kata pengantar....................................................................................................................... i
Daftar isi................................................................................................................................. ii
BAB I Pendahuluan..............................................................................................................
1. Latar belakang............................................................................................................ 1
2. Rumusan masalah...................................................................................................... 1
3. Tujuan pembahasan................................................................................................... 2
BAB II Pembahasan..............................................................................................................
1. Pengertian rukun dan syariat nikah........................................................................... 2
2. Syarat-syarat sah pernikahan..................................................................................... 5
3. Perwakilan dalam nikah............................................................................................. 5
4. Al-Muharramat.......................................................................................................... 6
5. Putus perkawinan dan akibat-akibat nya................................................................... 11
BAB III Penutup.....................................................................................................................
1. Kesimpulan................................................................................................................ 15
2. Saran.......................................................................................................................... 15
3. Daftar pustaka............................................................................................................ 16
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan adalah kenyamanan hakiki bagi pria dan wanita secara bersamaan, di mana seorang
wanita dapat menemukan seorang laki-laki yang bertanggung jawab yang mampu memberinya
nafkah lahir dan batin sehingga ia selalu merasa nyaman bersamanya. Sementara si laki-laki, ia dapat
menemukan dan merasakan istrinya adalah surga hidupnya, seakan-akan istrinya itu adalah bagaikan
genangan air yang tiada habis di tengah-tengah padang pasir yang luas. Pernikahan merupakan suatu
sunnatullah yang berlaku pada setiap makhluk dan secara mutlak terjadi juga pada kehidupan
binatang dan tumbuhan. Allah SWT, tidak menjadikan manusia seperti makhluknya yang lain yang
hidup untuk mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarkis tidak ada
aturan. Akan tetapi kepada manusia, Allah meletakan kaidah-kaidah yang mengatur, menjaga
kehormatan dan kemuliaan manusia. Yakni pernikahan secara syar’i yang menjadikan hubungan
antara pria dan wanita menjadi hubungan yang sakral dan sah, didasari atas kerelaan, adanya serah
terima, serta kelembutan dan kasih sayang antar keduanya. Menikah merupakan
Sunatullah sunnah para rasul dan merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

B.Rumusan Masalah

1.Apa saja dasar-dasar kaidah dalam perkawinan islam ?


2.Bagaimana cara mengiplementasikan dasar-dasar kaidah perkawinan islam ?

3.Apa peran penting dari kaidah dan dasar-dasar perkawinan islam dalam Kehidupan masyarakat?
c.Tujuan Pembahasan
1.untuk mengetahui apa saja kaidah dan dasar dasar perkawinan di dalam Islam

2.untuk mengetahui peranan penting dari kaidah dan dasar-dasar perkawinan islam di dalam

kehidupan masyarkat

3.untuk mengetahui upaya apa saja yang perlu di persiapkan dan di lakukan sebelum menikah ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian, Rukun dan Syariat nikah


Pengertian nikah secara Bahasa berarti mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah
hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syari’at dikenal dengan akad nikah. Sedangkan
secara syari’at berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan
perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh, mencium, memeluk, dan sebagainya, jika
perempuan tersebut bukan termasuk mahrom dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.

Rukun menurut para ulama hanafiah adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu, mejadi
bagian di dalam esensinya. Sedangkan syarat menurut mereka adalah hal yang menentukan
keberadaan sesuatu, dan bukan merupakan bagian di dalam esensinya. Rukun menurut jumhur
ulama adalah hal yang menyebabkan berdiri dan keberaadaan sesuatu. Sesuatu tersebut tidak akan
terwujud melainkan dengannya. Atau dengan kata lain merupakan hal yang harus ada. Dalam
perkataan mereka yang masyhur : rukun adalah hal yang hukum syar’i tidak mungkin ada melainkan
dengannya. Atau hal yang menentukan esensi sesuatu, baik merupakan bagian darinya maupun
bukan. Sedangkan syarat menurut mereka adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu dan
bukan merupakan bagian darinya.

Rukun pernikahan menurut para ulama hanafiah hanya ijab dan qabul saja. Sedangkan menurut
jumhur ulama ada 4, yaitu sighat (ijab dan qabul), istri, suami, dan wali. Suami dan wali dua orang
yang mengucapkan akad. Sedangkan hal yang dijadikan adalah al-istimtaa’(bersenang-senang) yang
merupakan tujuan kedua mempelai dalam melangsungkan pernikahan. Sedangkan mahar bukan
merupakan suatu yang sangat menentukan dalam akad. Mahar hanyalah merupakan syarat seperti
saksi. Itu dengan dalil yang bolehnya menikah dengan cara diwakilkan. Sedangkan saksi adalah
merupakan syarat dalam akad nikah. Dengan demikian, saksi dan mahar dijadikan rukun menurut
istilah yang beredar dikalangan sebagian ahli fiqih.

1. Sighat (Redaksi) Nikah

Bagi yang bisa berbahasa Arab, syighat nikah harus diucapkan secara jelas (sharih), lengkap dengan
ijab dan qabul sebagaimana akad lainnya. Sighat yang diucapkan wali adalah “ aku nikahkan kamu
dengan putriku.” (misalnya) atau “aku nikahkan kamu dengannya.” Sedangkan sighat yang suami
ucapkan adalah ‘aku kawini’, ‘aku nikahi’, atau ‘aku terima nikahnya,’ atau kawinnya.akad nikah tidak
sah kecuali dengan kata ‘ kawinkan,’ atau ‘ nikahkan’1. Nikah adalah bagian dari ibadah karena Nabi
SAW menganjurkannya. Segala bentuk dari ucapan dalam ibadah itu berasal dari tuntunan syara’, dan
dalam masalah nikah , syara’ hanya menuntunkan dua kata, yakni “ kawin” dan “nikah”. Akad
perkawinan yang menggunakan bahasa non – Arab (‘ ajam) hukumnya sah, menurut pendapat yang
ashah, meskipun yang lebih baik adalah menggunakan bahasa Arab. Yang jadi patokan adalah
maknanya. Karena “nikah” bukanlah kata yang mengandung kemu’jizatan maka menggunakan
terjemahan kata itupun sudah cukup. Akan tetapi adapun lafal-lafal ijab dan qabul, diantaranya ada
yang disepakati sah untuk menikah, ada yang disepakati tidak sah, dan ada juga yang masih
diperselisihkan.Seandainya seorang wali berkata, “ saya kawinkan kamu,” lalu si peminang
menjawab, “saya terima,” tanpa tambahan kata lain, menurut mazhab Syafi’i, nikahnya tidak sah.
Sebab, tidak ada pengungkapan salah satu dari kata “nikah” atau “kawin” secara tegas.
Hanya niat dalam hati saja tidak cukup.

Seandainya si peminang berkata “kawinkanlah aku,” lalu wali menjawab, “ saya kawinkan kamu,”
atau si wali berkata, “kawinilah dia”. Lantas si peminang menjawab, “saya kawini dia,”maka dalam
dua kasus ini, hukum akad nikahnya tetap sah. Akad nikah hanya sah jika menggunakan kalimat ijab
(persyaratan menikahkan) yang sempurna (tidak ditaklik atau digantungkan dengan sesuatu).
Misalnya seseorang berkata, “jika fulan pulang haji, aku kawinkan kamu dengan putriku.” Ketentuan
ini sama dengan jual beli dan transaksi lain yang mengandung unsur serah terima. Demikian pula jika
berkata, “saya nikahkan kamu, insyaallah,” dan dia bermaksud menggantungkan pernikahan, tanpa
maksud apa-apa, akadnya tidak sah. Adapun lafal-lafal yang telah di sepakati oleh para ahli fiqih akan

1
Menurut mazhab syafi’i, tidak ada akad yang disyaratkan menggunakan lafazh tertentu selain nikah dan
transaksi salam (pesanan), ini bukan pengulangan pernyataan sebelumnya bahwa akad nikah hanya bisa sah
dengan ijab dan qabul. Mengingat pernyataan pertama adalah tentang syarat shighat, sedang pernyataan ini
mengenai ketentuan syighat.
keabsahannya dalam menikah, seperti lafal aku nikahkan dan aku kawinkan. Itu karena keduanya
telah termaktub didalam teks Al- Qur’an dalam firman Allah SWT yang artinya, “dan kami telah
mengawinkan dia” (Al-ahzab 37).2 sedangkan lafal-lafal yang telah disepakati akan
ketidakabsahannya oleh para ahli fiqih adalah lafal-lafal ysng tidak menunjukan akan pemberian hak
milik sepanjang hidup, seperti membolehkan, meminjamkan, menyewakan, bersenang-senang
sementara, wasiat, menggadaikan, menitipkan dan semisalnya.

Adapun lafal-lafal yang masih dipersilisihkan adalah seperti lafal, menjual, memberi, menjual,
menghadiahkan, sedekah, memberi atau sejenisnya. Yang menunjukan akan pemberian hak milik di
waktu sekarang dan kelanggengan hak milik seumur hidup.
Adapun jika si wali bermaksud mengharap berkat kalimat ‘insyaallah’ tadi, atau karena
keimanannya dia yakin bahwa segala sesuatu itu atas kehendak Allah SWT maka nikahnya sah. Jika
wali mengawinkan dengan syarat khiyar (pilihan), akadnya batal, karena pernikahan merupakan akad
yang bisa batal dengan adanya batasan waktu. Akad nikah juga batal sebab khiyar yang batil, seperti
halnya akad jual beli.

Selain itu, membatasi lamanya perkawinan dengan batasan waktu tertentu, seperti bilangan
bulan, atau batasan yang tidak jelas seperti datangnya seseorang (zaid misalnya), juga tidak sah.
Itulah yang disebut nikah mut’ah, yang dilarang Syariat. Pada awalnya Islam, nikah semacam ini
dibolehkan bagi orang yang amat butuh, sebagaimana hukum makan bangkai, tetapi kemudian
diharamkan pada perang khaibar. Syighat qabul (persyaratan menerima pernikahan atau jawaban
ijab) harus diucapkan dengan segera, yakni peminang berkata, “saya kawini....,” atau, “saya nikahi....,”
atau, “saya terima nikahnya....,” atau, “...kawinnya.” seandainya dia hanya mengucapkan, “saya
terima,” akadnya tidak sah. Jika dia berkata, “kawinkalah saya dengan putrimu, fulanah,” lalu wali
berkata, “saya kawinkan kamu....,” maka akadnya sah. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa syarat shighat nikah itu ada empat.

• Diucapkan dengan sharih (jelas); bagi yang bisa bahasa Arab, akad nikah tidak sah
menggunakan kata kiasan.

• Menggunakan kata, “....kawinkan” atau “...nikahkan.” tidak sah selain menggunakan dua kata
itu.

• Shighat ijab (pernyataan menikahkan) diucapkan secara sempurna, dan shighat qabul
(pernyataan menerima pernikahan) harus disampaikan segera setelah pernyataan ijab. Tidak

2
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 598.
sah menaklik pernikahan dengan syarat sesuatu di masa yang akan datang. Mengakhirkan
qabul (pernyataan penerimaan) berdasarkan ukuran kebiasaan juga tidak sah.
• Nikah harus dinikahkan untuk selamanya. Artinya, tidak sah membatasi pernikahan dengan
batas waktu tertentu.

B.SYARAT-SYARAT SAH PERNIKAHAN

Ada sepuluh syarat yang disyaratkan demi keabsahan sebuah pernikahan, sebagian sudah
menjadi kesepakatan para ulama, dan sebagiannya lagi masih di perselisihkan.

1. Objek cabang
2. Mengekalkan shighat akad
3. Persaksian
4. Ridha dan ikhtiyar (memilih)

5. Menentukan pasangan
6. Tidak sedang ihram haji dan umroh
7. Harus dengan mahar
8. Tidak bersepakat untuk saling merahasiakan
9. Hendaknya salah satu atau keduanya sedang mengidap penyakit yang mengkhawa
tirkan

10. Wali3

C.PERWAKILAN DALAM NIKAH

Jenis Perwakilan

Keberadaan wali adalah syarat sahnya pernikahan, sebagaimana keberadaan saksi, nikah tidak sah
tanpa wali laki-laki, mukallaf, merdeka, muslim, adil, dan berakal sempurna. Namun, perkawinan kafir
dzimmi tidak butuh keislaman wali, dan orang islam tidak bisa menjadi wali baginya, kecuali
pemerintah. Pemerintah boleh menikahkan wanita-wanita kafir dzimmi jika mereka tidak mempunyai
wali senasab, sesuai ketentuan perwalian yang berlaku.

Keberadaan wali adalah syarat sahnya pernikahan, sebagaimana keberadaan saksi, nikah tidak sah
tanpa wali laki-laki, mukallaf, merdeka, muslim, adil, dan berakal sempurna. Namun, perkawinan
kafir dzimmi tidak butuh keislaman wali, dan orang islam tidak bisa menjadi wali baginya, kecuali

3
Wahbah Zuhaili, fiqih islam wa adilatuhu, (Jakarta, 2011), P 67.
pemerintah. Pemerintah boleh menikahkan wanita-wanita kafir dzimmi jika mereka tidak mempunyai
wali senasab, sesuai ketentuan perwalian yang berlaku. Para fuqoha telah bersepakat syarat bagi
sahnya perkawinan adalah dilaksanakannya oleh wali yang memegang hak memeliharanya, baik dia
lakukan sendiri maupun orang lain. Jika terdapat perwalian yang seperti ini, maka sah dan terlaksana
akad perkawinannya. Jika tidak ada maka akadnya batal menurut jumhur, dan menurut madzhab
Hanafi adalah mauqud (terkantung). Jika akad berlangsung dari seseorang laki-laki dengan
pelaksanaan dari dirinya sendiri, maka sah akadnya menurut kesepakatan fuqaha. Asy-Syafi’i berkata,
“Firman Allah SWT, ‘maka jangan kalian halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya,’ (QS.
AL-Baqarah [2]; 232)4 merupakan dalil yang tegas tentang pentingnya wali dalam pernikahan. Jika
tidak demikian, tentu pemboikotan wali tidak ada. artinya. Ini dipertegas lagi dengan sabda Nabi
SAW, ‘tidak ada nikah kecuali dengan wali.

Akan tetapi, seandainya wali dan hakim tidak ada, lalu si wanita dan peminangnya menyerahkan
perwalian kepada seorang pria yang mampu berijtihad untuk menikahkan mereka, perwaliannya sah.
Sebab pria tersebut berposisi sebagai muhakkam, dan muhakkam itu sama dengan hakim. Begitu
pula, seandainya si wanita beserta peminangnya mengangkat sendiri yang adil, menurut pendapat
yang mukhtar, perwalian ini sah, meskipun wali itu tidak bisa berijtihad. Alasannya karena mempelai
dalam kondisi sangat membutuhkan wali. Pengakuan wali tentang pernikahan seseorang wanita
yang ada dibawah perwaliannya bisa diterima dengan hadirnya dua saksi yang adil, meski tidak
sesuai dengan kemauan si wanita yang sudah baligh dan berakal jika: (a) hanya wali itu sendiri yang
mengajukan bukti tertulis saat ikrar, (b) dia wali mujbir, dan (c) calon suami sekufu dengan si wanita.
Sebab, orang yang mempunyai bukti tertulis biasanya juga mempunyai pengakuan. Bila tidak ia hanya
mengajukan bukti tertulis tentang pernikahan saat ikrar karena dia bukan wali mujbir, maka
pengkunnya tidak diterima, sebab dia tidak bisa mengajukan bukti tertulis, kecuali atas izin wanita
tersebut.Menurut qaul jadid asy-syafi’i, pengakuan wanita baligh dan berakal bahwa dia telah kawin
dan laki-laki itu membenarkannya, walaupun keduanya tidak sekufu, pengakuan ini bisa diterima,
meski wali dan kedua saksinya – bila wanita itu menunjuk keduanya – membantah pengakuan
tersebut. Alasannya, akad nikah merupakan hak pasangan suami istri. Jadi, akad itu tetap sah
dengan kesepakatan keduannya, seperti halnya akad lain.5

D. Al-Muharramat (Orang-Orang Yang Tidak Boleh Di Nikahi)

Sebab-sebab tahrim muaqqad (pengharaman selamanya) ada tiga: pertama karena nasab,
kedua haram mushaharah (ikatan perkawinan) dan ketiga karena penyusuan. Pertama:
perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena nasab adalah :

1.Ibu

2.Anak perempuan

3.Saudara perempuan

4
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 46.
5
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 461.
4.Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)

5.Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu) 6.Anak

perempuan saudara laki-laki (keponakan)

7.Anak perempuan saudara perempuan).

Kedua: perempuan-perempuan yang haram diwakin karena mushaharah adalah :


1.Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul ”bercampur” lebih
dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan puterinya, maka sang ibu menjadi haram atau
menantu tersebut.

2. Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu, manakala akad nikah
dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum sempat (mengumpulinya), maka anak perempuan
termasuk halal bagi mantan suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, ”Tetapi kalian
belum bercampur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian campur), maka tidak berdosa kalian
menikahinya.” (An-Nisaa:23).
3.Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar dilangsungkannya
akad nikah.

4.Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi isteri bapak dengan sebab hanya sekedar
terjadinya akad nikah dengannya.

Ketiga: perempuan-perempuan yang haram dikawini karena sepersusuan.6


Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian; saudara perempuan
sepersusuan.” (an-Nisaa’:23).7
Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang menjadi haram karena
kelahiran.” 8

6
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta,2010), P 493.
7
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 105.
8
Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:139 no:5099, Muslim II:1068 no:1444, Tirmidzi II:307 no:1157, ’Aunul Ma’bud
VI:53 no:2041 dan Nasa’i VI:99). Hal.570.
Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung, dan semua orang yang
haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung, haram pula dinikahi bapak
sepersusuan, sehingga anak yang menyusui kepada orang lain haram kawin dengan:

1. Ibu susu (nenek)

2. Ibu Ibu susu (nenek dari pihak Ibu susu)

3. Ibu Bapak susu (kakek)

4. saudara perempuan ibu susu (bibi dari pihak ibu susu)

5. Saudara perempuan bapak susu

6. cucu perempuan dari Ibu susu

7. Saudara perempuan sepersusuan.9

Persusuan Yang Menjadikan Haram


Dari Aisyah r.anha bahwa Rasulullah saw. Bersabda, ”Tidak bisa menjadikan haram, sekali
isapan dan dua kali isapan.” 10

Dari Aisyah r.anha berkata, ”Adalah termasuk ayat Qur’an yang diwahyukan. Sepuluh kali
penyusuan yang tertentu menjadi haram. Kemudian dihapus (ayat) ayat yang menyatakan lima
kali penyusuan tertentu sudah menjadi haram. Kemudian Rasulullah saw wafat, dan ayat

Qur’an itu tetap di baca sebagai bagian dari al-Qur’an.” 11 Dipersyaratkan hendaknya
penyusuan itu berlangsung selama dua tahun, berdasar firman Allah.

‫عة‬
َ ‫ضا‬ ْ َ‫املي ِ َْ َْ ل َم ْن أراد‬
َ ‫أن يت َّم الر‬ ِ ‫رض ْعنَ ْأول َََدَى َُّن َح ْو ََلي ِ َْ َْ َك‬
ِ ‫الوالدَاتُ ي‬
َ ‫َو‬
“Para Ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan.” (QS. al-Baqarah :233)12

9
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 495.
10
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2148, muslim II: 1073 no:1450,Tirmidzi II: 308 no: 1160’Aunul Ma’bud VI: 69 no:
2049, Ibnu Majah I: 624 no:1941, Nassa’i VI:101).
11
(Shahih: Mukhtashar Muslim no:879m Muslim II:1075 no:1452, ’Aunul Ma’bud VI:67 no:2048, Tirmidzi II:308
no:1160, Ibnu Majah II:625 no:1942 sema’na dan Nasa’i VI:100).
12
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 47.
Dari Ummu Salamah r.anha bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Tidak menjadi haram karena
penyusuan, kecuali yang bisa membelah usus-usus di payudara dan ini terjadi sebelum
disapih.”13

Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Sementara Waktu14

1. Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudaraAllah SWT berfirman, ”Dan


menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada mada lampau.” (An-Nisaa’:23).15

2. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari pihak
ibunya.

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Tidak boleh dikumpulkan (dalam
pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah dan tidak (pula) dari ibunya.” 16 3. Isteri
orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.

‫ي َْان ُك ْم‬ ْ ‫اء إ َّل ََ َما َمل َك‬


ْ ‫تأ‬ ِ ‫س‬َ ‫صناتُ ِمنَ الن‬
َ ْ‫… َوال ُمح‬..
”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki.” (An-Nisaa’ :24).17

Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita yang berstatus sebagai isteri orang lain,
terkecuali wanita yang menjadi tawanan perang. Maka ia halal bagi orang yang menawannya setelah
berakhir masa iddahnya meskipun ia masih menjadi isteri orang lain. Hal ini mengacu pada hadits
dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus pasukan negeri Authas. Lalu mereka
berjumlah dengan musunya, lantar mereka memeranginya. Mereka berhasil menaklukkan mereka
dan menangkap sebagian di antara mereka sebagai tawanan. Sebagian dari kalangan sahabat
Rasulullah saw merasa keberatan untuk mencampuri para tawanan wanita itu karena mereka
berstatus isteri orang-orang musyrik. Maka kemudian Allah SWT pada waktu itu menurunkan ayat,

13
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2150 dan Tirmidzi II:311 no:1162).
14
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta,2010), P 498.
15
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 105.
16
(Muttafaqun ’alaih: II:160, Tirmidzi II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621 no:1929 dengan lafadz yang sema’na
dan Nasa’i VI:98).
17
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 106.
”Dan (diharamkan pula kamu mengawini) wanita-wanita bersuami kecuali budak-budak yang kamu
miliki. ’Yaitu mereka halal kamu campuri bila mereka selesai menjalani masa iddahnya.18

4.Wanita yang dijatuhi talak tiga

Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang lain dengan
perkawinan yang sah. Allah SWT berfirman,

ْ ُ‫غ ْي ره‬
‫فإن طلقَ َها فل َََ ُجنا َح‬ َ ‫تَ ََ تَ ْن ِك َح زَ ْو ًجا‬ َّ ‫َِ ََ ُّل ُلو ِم ْن ب ْعدُ َح‬
َ ‫فإن طلقَ َها فل َََ ت‬ْ
‫ب ي ُن هَا لقَ ْوم ي‬ َ ‫أن ي ِقي َما ُحدُودَ الل ِو َو ْتلكَ ُحدُودُ الل ِو ي‬
ْ ‫إن ظنا‬ْ ‫أن ي تَ را َجعَا‬ ْ ‫عل ْي ِه َما‬ َ
َ‫عْل ُمون‬
”Kemudian jika si suami mentalaqnya (ssudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri)
untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum

Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”
(Al-Baqarah :230).19

5. Kawin dengan wanita pezina

Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga tidak halal bagi
seorang perempuan kawian dengan seorang laki-laki pezina, terkecuali masing-masing dari
keduanya tampak jelas sudah melakukan taubat nashuha. Allah menegaskan,

ٍ ََ ‫رك ََة ً َو الزانيةُ َل ي ْن ِك ُحها إ َّل‬


َ ‫زان ْأو ُم ْشركٌ َو ُح‬
‫رم‬ ِ ‫الزاني َل ي ْن ِك ُح إ َّل ََ زانيةً ْأو ُم ْش‬
‫على ا ْل ُم َْ ِمن‬
َ َ‫ذلك‬
“Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini kecuali perempuan berzina atau perempuan musryik;
dan perempuan yang berzina tidak boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina atau laki-laki yang
musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (An-Nuur : 3).20

18
(Shahih: Mukhtashar Muslim no:837, Muslim II:1079 no:1456, Trimidzi IV: 301 no:5005, Nasa’i 54 VI:110 dan
’Aunul Ma’bud VI:190 no:2141).
19
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 46.
20
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 488.
E.PUTUS PERKAWINAN DAN AKIBAT-AKIBATNYA

Talak

Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan alasan bahwa
seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam
mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar
emosi. Dengan pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian akan
lebih kecil, kemungkinannya daripada apabila hak talak diberikan kepada isteri. Di
samping alasan ini, ada alas an lain yang memberikan wewenang/hak talak pada
suami, antara lain:

a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak isteri
waktu dilaksanakan akad nikah.

b. Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan
dianjurkan membayar uang mu’tah (pemberian sukarela dari suami kepada isterinya)
setelah suami mentalak isterinya.

c. Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia


mentalaknya.

d. Perintah-perintah mentalak dalam Al-Quran dan Hadist banyak ditujukan

Khuluk

Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri
dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang
dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan
cerai dengan khuluk itu.

Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk


mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat
mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara
penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya disebut
juga dengan kata “iwald”.

Syiqaq

Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti perselisihan
suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan yang
satu orang dari pihak isteri.

Fasakh

Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu
diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan
Agama.

Taklik Talak

Arti daripada ta’lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta’lik talak ialah
suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah
disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu. Di
Indonesia pembacaan ta’lik talak dilakukan oleh suami setelah akad nikah. Adapun
sighat ta’lik talak yang tercantum dalam buku nikah dari Departemen Agama adalah
sebagai berikut:

Ila’

Arti daripada ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam
kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum
perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya,
waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun diceraikan.
Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak
isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.
Zhihar

Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila’. Arti zhihar ialah
seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung
ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan isterinya.
Masa tenggang serta akibat zhihar sama dengan ila’. Ketentuan mengenai zhihar ini
diatur dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 2-4, yang isinya:

Li’an

Arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan
bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta.
Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri untuk selama-lamanya.

Kematian

Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau isteri.
Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta
peninggalan yang meninggal.

Akibat Perceraian

Hal-hal apa yang perlu dilakukan oleh pihak isteri maupun suami setelah terjadi perceraian
diatur dalam pasal 41 Undang-Undang Perkawinan yang pada dasarnya adalah sebagai
berikut:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anak-anaknya,
sematamata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anakanak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggungjawab pihak bapak,


kecuali dalam kenyataannya bapak dalam keadaan tidak mampu sehingga tidak dapat
melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul
biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari penjelasan bab munakahat diatas maka dapat disimpulkan bahwa Bab
munakahat tidak hanya sekedar membahas perkawinan akan tetapi membahas
tentang rukun-rukun, syarat serta aturan-aturan lain yang berkenaan dengan
pernikahan secara mendetail dan jelas sesuai dengan rujukan Qur’an dan Hadis.

B. SARAN

Marilah kita mengikuti aturan-aturan didalam pernikahan agar kita tidak

terjerumus kedalam perzinahan dan mendapat ridho Allah Swt.

DAFTAR PUSTAKA
Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafi’i. Afifi, Muhammad, Hafiz Abdul,
Penerjemah. Fachruddin, Alif, Solihin, Editor. Jakarta: Almahira.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam 9. Al-Kattanie, AH, dkk, Penerjemah.
Muhajir, Arif, Penyunting. Jakarta: Gema Insani.

Anda mungkin juga menyukai