Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“PUTUSNYA PERKAWINAN DAN IMPLIKASINYA”

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah “ Hukum Perkawinan”

Program Studi PPKN

Dosen Pembimbing : Rasyid Ridha, S.HI., M.H

Disusun Oleh :

KELOMPOK IV
1. Andi Angraini Jamal
2. Nur Asita
3. Silvana
4. Tuti Alawia

PROGRAM PENDIDIKAN PPKN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE

2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas rahmat serta
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “PUTUSNYA PERKAWINAN
DAN IMPLIKASINYA” Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dari mata
kuliah Ilmu Faal Olahraga.Disamping itu,makalah ini bertujuan untuk bahan
pengetahuan bagi para pembaca.
Kami berharap juga makalah ini betul-betul dapat memberikan bekal
sebagai calon pendidik. Karena seorang pendidik yang berkualitas sangat
diharapkan memahami dan mengerti tentang materi-materi dalam Pendidikan
Jasmani Kesehatan dan Rekreasi. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah menyelesaikan makalah ini. Makalah ini jauh dari kata sempurna.
Untuk itu, masukan dan saran dari pembaca kami harapkan untuk kesempurnaan
makalah ini. WassalamualaikumWr. Wb.
.
Bone, 13 November 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1

C. Tujuan ................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 3

A. Defenisi Putusnya Perkawinan ............................................................................. 3

B. Dasar Hukum Putusnya Perkawinan..................................................................... 7

C. Klasifikasi Putusnya Perkawinan. ...................................................................... 10

D. Implikasi Putusnya Perkawinan ......................................................................... 12

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 14

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 14

B. Saran ................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 15

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perceraian merupakan suatu permasalahan yang mendapat kajian


mendalam pada fiqih khususnya pada fiqih munakahat. Dalam kajian tersebut
permasalah perceraian mendapat porsi yang cukup besar, sebab selain tentang tata
cara perceraian juga mengatur tentang akibat dari putusnya perkawinan tersebut.
Akibat hukum yang timbul dari perceraian merupakan suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh suami istri yang bersepakat untuk memutuskan ikatan mereka.

Dalam makalah sederhana ini akan dijelaskan secara singkat tentang


putusnya perkawinan menurut perspektif fiqih dan hukum positif yang berlaku di
beberapa negara Islam dan tentunya di Indonesia sendiri. Akan nampak
perbandingan tentang ketentuan perceraian tersebut oleh masing-masing negara,
baik negara yang memberlakukan syari’at Islam maupun negara yang
memberlakukan hukum Islam terkhusus kepada peraturan perkawinan di negara
tersebut.

Semoga makalah sederhana ini dapat menjadi bahan bacaan yang


bermanfaat kepada pembaca makalah ini dan terkhusu kepada penulis makalah
ini. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa Defenisi Dari Putusnya Perkawinan ?


2. Apa Dasar Hukum Putusnya Perkawinan ?
3. Bagaimana Klasifikasi Putusnya Perkawinan ?
4. Bagaimana Implikasi Putusnya Perkawinan ?

1
C. TUJUAN

1. Mengetahui Defenisi Dari Putusnya Perkawinan


2. Mengetahui Dasar Hukum Putusnya Perkawinan
3. Mengetahui Klasifikasi Putusnya Perkawinan
4. Mengetahui Implikasi Putusnya Perkawinan

2
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Putusnya Perkawinan


1. Perceraian dan Pengembangan Makna Perceraian
Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi
antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan
tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal
serumah bersama, karena tidak ada ikatan yang resmi. Secara etimologi perceraian
berasal dari kata “cerai”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “cerai”
merupakan kata kerja yang berarti pisah; putus hubungan sebagai suami isteri;
talak. Sedangkan perceraian berarti perpisahan; perihal bercerai (antara suami
isteri); perpecahan.Menurut Subekti perceraian ialah penghapusan perkawinan
dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Perceraian dalam istilah fiqh juga sering disebut “furqah” yang artinya “bercerai”,
yaitu “lawan dari berkumpul.”

Menurut hukum Islam ada beberapa bentuk perceraian sebagai berikut:

a) Talak
Kata talak berasal dari kata “ithlaq”. Sedangkan secara istilah talak
menurut Sayyid Sabiq adalah “melepaskan ikatan perkawinan”.Menurut al
Jaziry talak adalah:

‫الطالق ازالة النكاح او نقصان حلو بلفظ خمصوص‬


talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi
pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu

Talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah


hilangnya ikatan perkawinan itu isteri tidak lagi halal bagi suaminya, dan
ini terjadi dalam hal talak bai’n, sedangkan arti mengurangi pelepasan
ikatan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari

3
tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak
talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i

Islam menentukan bahwa thalaq merupakan hak sepenuhnya yang berada


ditangan suami.Dengan demikian menurut pandangan fikih klasik, suami
boleh menjatuhkan thalaq kepada isterinya kapan saja dan dimana saja.
Hal ini sesuai denagan Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-
'Arba'ah kecuali al-Nasa'isebagai berikut:

‫عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال ثالث جدىن جد وىزهلن‬

)‫جد النكاح والطالق والرجعة (رواه األربعة إال النسائي وصححو احلاكم‬

"Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga
perkara sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh-
singguh dan main-main menjadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, thalaq,
dan rujuk " (diriwayatkan oleh al-Arba'ah kecuali al-Nasa'I dan di-shahih-
kan oleh Hakim).

Alasan yang menyebabkan suami mempunyai wewenang dalam


menjatuhkan thalaq kepada isterinya adalah karena suami diberi beban
membayar mahar dan menyelenggarakan nafkah isteri dan anak-anaknya.
Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah bekas isterinya selama
ia menjalani masa 'iddah. Disamping itu suami pada umumnya tidak
mudah terpengaruh oleh emosi terhadap masalah yang dihadapinya dan
senantiasa mempertimbangkan segala persoalan melalui pikirannya.
Berbeda dengan wanita yang sangat mudah dipengaruhi emosi dalam
menghadapi berbagai kemelut, termasuk kemelut Rumah Tangga. Oleh
karena itu jika hak thalaq diberikan kepada isteri maka keutuhan rumah
tangga akan sering goyah. Disebabkan karena masalah kecil saja
dapat menyebabkan isteri menjatuhkan thalaq-nya, sesuai dengan tuntutan
emosi mereka.

4
b) Khulu’
Khulu‟ berasal dari kata “khala‟ al-tsaub” yang berarti melepaskan atau
mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah pakaian bagi
laki-laki, dan juga sebaliknya. Khulu‟ adalah salah satu bentuk perceraian
dalam Islam yang berarti menghilangkan atau mengurungkan akad nikah
dengan kesediaan isteri membayar uang „iwadh atau uang pengganti
kepada suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau khulu‟. Bila
terjadi cerai dengan cara khulu‟ maka suami tidak memiliki hak untuk
rujuk kepada isterinya. Perceraian akan terjadi bila isteri telah membayar
sejumlah yang disyaratkan suami.Untuk maksud yang sama dengan kata
khulu‟ itu, ulama menggunakan beberapa kata, yaitu fidyah, shulh,dan
mubaraah. Walaupun dalam makna yang sama, namun dibedakan dari segi
jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan. Apabila ganti rugi untuk
putusnya perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan waktu nikah
disebut khulu‟. Bila ganti rugi adalah separuh dari mahar disebut shulh,
bila ganti rugi itu lebi banyak dari mahar yang diterima disebut fidyah dan
bila isteri bebas dari ganti rugi disebut mubaraah. Perceraian yang
disebabkan khulu‟ adalah merupakan thalaq ba‟in. Maka bila suami telah
melakukan khulu‟terhadap isteri, suami tidak berhak untuk ruju‟ kembali
kepada isteri sekalipun isteri rela menerima kembali uang iwadh yang
telah dibayarkannya. Jika isteri bersedia kembali bekas suaminya tersebut
ruju‟ kepadanya, maka suami harus melakukan akad nikah kembali
dengan melengkapi rukun dan syaratnya.
c) Fasakh
Fasakh menurut bahasa berarti membatalkan. Apabila dihubungkan
dengan perkawinan fasakh berarti membatalkan perkawinan atau
merusakkan perkawinan. Kemudian secara terminologi fasakh bermakna
pembatalan ikatan pernikahann oleh Pengadilan Agama berdasarkan
tuntutan isteri atau suami yang dibenarkan oleh Pengadilan Agama atau
karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.

5
Thalaq adalah hak suami, khulu‟ merupakan hak isteri, sementara fasakh
merupakan hak bagi keduanya. Bila sebab fasakh ada pada isteri, maka
hak fasakh ada pada suami, dan begitu juga sebaliknya. Fasakh biasanya
timbul apabila pihak suami atau isteri merasa dirugikan oleh pasangannya
itu, merasa tidak memperoleh hak-hak sesuai yang ditentukan agama
sebagai seorang suami atau isteri. Akibatnya salah seorang dari keduanya
tidak lagi sanggup melanjutkan perkawinan karena keharmonisan rumah
tangga tidak lagi ada dan tidak mungkin untuk mewujudkan perdamaian
sehingga fasakh ini perlu ditempuh. Pada dasarnya fasakh adalah hak bagi
suami dan juga isteri, namun dalam praktek sehari-hari hak fasakh ini
lebih banyak dimanfaatkan oleh isteri. Barangkali karena suami lebih
banyak menggunakan hak thalaq yang ditentukan agama.
Adapun yang menjadi faktor-faktor penyebab fasakh adalah sebagai
berikut:
1) Syiqaq. Yakni pertengkaran antara suami isteri yang tidak mungkin
didamaikan.
2) Fasakh karena cacat. Cacat di sini adalah cacat yang terdapat pada
diri suami atau isteri, baik cacat jasmani atau rohani. Cacat tersebut
mungkin terjadi sebelum perkawinan, namun tidak diketahui oleh pihak
lain atau cacat yang berlaku setelah terjadi perkawinan, baik ketahuan atau
terjadinya itu setelah suami isteri bergaul. Fasakh karena cacat ini
dilakukan di lakukan di hadapan hakim Pengadilan dan tidak dapat
dilakukan sendiri setelah pihak-pihak mengetahui adanya cacat tersebut.
Hal ini karena cacat itu harus dibuktikan, yang mana hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan.
3) Fasakh karena ketidakmampuan suami memberi nafkah. Fasakh
dalam hal ini terjadi karena suami tidak mampu menunaikan kewajiban
berupa nafkah dalam berupa nafkah dalam bentuk belanja, pakaian, dan
tempat tinggal.

6
4) Fasakh karena melanggar perjanjian dalam perkawinan. Termasuk
karena dalam hal ini adalah perjanjian untuk tidak dimadu dan ta‟liq
thalaq.

Adapun yang dimaksud dengan pengembangan makna perceraian, dalam


hal ini penulis memahami bahwa pengembangan itu terletak pada prosesnya.
Yaitu perceraian harus melalui pengadilan. Hal ini merupakan bentuk dari
pembaharuan hukum keluarga pada abad ke 20. Proses penyesuaian hukum
dilakukan terhadap hukum keluarga ini berbeda dengan proses yang terjadi
sebelumnya dalam bidang lain dari hukum Islam itu sendiri. Pembaharuan
ditandai tidak saja oleh penggantian hukum Islam dengan hukum Barat, tetapi
juga oleh perubahan dalam hukum Islam itu sendiri yang didasarkan atas
penafsiran kembali terhadap tradisi hukum Islam sesuai dengan perkembangan
penalaran dan pengamalannya. Dengan cara inilah hukum keluarga Islam yang
berlaku sejak dari Afrika Utara sampai ke Asia tenggara mengalami perubahan

B. DASAR HUKUM PUTUSNYA PERKAWINAN

Di Indonesia hukum perceraian diatur dalam Undang-undang Nomor 1


Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Khusus tentang putusnya perkawinan,
Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Perkawinan dapat putus
karena: a. Kematian, b. Perceraian, dan c. Atas Keputusan Pengadilan. Sementara
pada pasal 39 disebutkan bahwa : “1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan setelan Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus
ada cukup alasan. Bahwa di antara suami isteri tersebut tidak dapat hidup rukun
sebagai suami isteri. 3. Tatacara Perceraian di depan Sidang Pengadilan diatur
dalam perundang-undangan tersendiri”.

Selanjutnya untuk membedakan perceraian yang tercantum pada huruf b pasal 38


UU No. 1 Tahun 1974 dengan perceraian atas putusan Pengadilan sebagaimana
yang terdapat pada poin c, dijelaskan oleh Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun

7
1975, yakni sebagai berikut : “Peraturan Pemerintah ini menggunakan istilah
“cerai talak” untuk membedakan pengertian perceraian yang dimaksudkan oleh
pasal 38 huruf b dengan pengertian perceraian atas keputusan Pengadilan yang
dimaksud pasal tersebut huruf c. Untuk yang terakhir ini digunakan istilah “cerai
gugatan”, dengan penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut dapat dimaklumi
bahwa perceraian yang disebutkan pada huruf b pasal 38 UU Perkawinan adalah
“cerai talak”, yakni perceraian yang dilakukan atas kehendak suami terhadap
isterinya.

Untuk mendapatkan bukti otentik perceraian thalaq tersebut perlu diajukan


ke Pengadilan sekaligus untuk mengetahui alasan-alasan yang memungkinkan
untuk itu. Sedangkan perceraian atas keputusan Pengadilan sebagaimana huruf c
pasal 38 tersebut maksudnya adalah cerai gugatan, yakni pengadilan menjatuhkan
keputusan cerai terhadap suami isteri yang telah melaksanakan perkawinannya
atas atau berdasarkan gugatan salah satu pihak (suami-isteri).

Dari segi pelaksanaannya untuk masing-masing cerai tersebut sesuai


dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :

a) Cerai Talak
Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang sampai sekarang masih
belum dapat diterima oleh sebahagian umat Islam di Indonesia, adalah
ketentuan yang terdapat pada pasal 115, yaitu: "Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak".
Hal itu disebabkan karena dalam formulasi fiqih yang menjadi rujukan
mayoritas umat Islam di Indonesia, tidak ada pengaturan seperti itu.
Bahkan talak dengan sindiran saja di luar Pengadilan Agama juga
dianggap telah jatuh.
Peraturan perundang-undangan juga mengatur mengenai tata cara
menjatuhkan talak. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tata cara

8
perceraian dapat dilihat dari pasal 14 sampai pasal 18. Sedangkan dalam
KHI dapat dilihat dari pasal 129 sampai pasal 131.
b) Cerai Gugat
Maksud dari “cerai gugat” adalah perceraian dengan keputusan pengadilan
yang disebabkan adanya gugatan terlebih dahulu oleh salah satu pihak
kepada pengadilan. Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa
gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan sebagaimana disebutkan :
“Gugatan perceraian dapat dilakukan oleh seorang suami atau isteri yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami
dan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama
dan kepercayaannya itu selain agama Islam”.Secara terperinci tata cara
gugatan perceraian ini diatur dalam PP. No. 9 Tahun 1975 pasal 20 sampai
dengan pasal 36.
Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanan UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada pasal 19 disebutkan bahwa alasan
yang dapat dipergunakan sebagai alasan perceraian adalah :
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar
kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
6) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.

9
KHI pada pasal 116 juga mengatur bahwa yang dapat menjadi alasan
terjadinya perceraian adalah disebabkan karena :

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar
kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
6) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
7) Suami melanggar ta’lik talak.
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Berdasarkan alasan-alasan perceraian sebagaimana yang telah disebutkan


pada PP No. 9 Tahun 1975, dan juga KHI di atas, maka dapat diamati bahwa
terdapat perbedaan alasan-alasan perceraian yang diatur oleh PP No. 9 Tahun
1975 dan KHI. Perbedaan yang terjadi adalah berupa penambahan alasan
perceraian yang diatur oleh KHI, yaitu disebabkan suami melanggat ta’lik thalaq,
dan terjadinya peralihan agama/murtad.

C. KLASIFIKASI PUTUSNYA PERKAWINAN


1. Jenis-Jenis Perceraian
Perceraian merupakan salah satu mekanisme utama dalam putusnya perkawinan.
Dalam konteks ini, terdapat beberapa jenis perceraian yang dapat diidentifikasi:

10
 Perceraian Damai: Merujuk pada situasi di mana kedua belah pihak
sepakat untuk mengakhiri perkawinan tanpa adanya konflik yang
signifikan. Biasanya, kesepakatan dicapai melalui mediasi atau negosiasi
tanpa melibatkan proses pengadilan yang panjang.
 Perceraian Kontes: Sebaliknya, perceraian kontes terjadi ketika terdapat
ketidaksepakatan antara pasangan. Salah satu pihak atau kedua belah pihak
tidak setuju untuk bercerai, dan masalah ini harus diselesaikan melalui
proses pengadilan. Biasanya, proses ini melibatkan perselisihan terkait
pembagian harta, hak asuh anak, atau kewajiban finansial.
2. Pembubaran Perkawinan
Selain perceraian, terdapat juga pembubaran perkawinan yang terjadi atas alasan
tertentu:
 Alasan Pembubaran Perkawinan: Pembubaran perkawinan bisa
disebabkan oleh faktor-faktor seperti ketidakcocokan yang signifikan
antara pasangan, penipuan yang terungkap setelah perkawinan, atau
pelanggaran syarat-syarat perkawinan yang telah ditetapkan oleh hukum
suatu negara.
 Proses Pembubaran Perkawinan: Proses pembubaran perkawinan dapat
berbeda-beda di setiap yurisdiksi. Ada negara yang menerapkan prosedur
yang cukup sederhana, sementara negara lain memiliki persyaratan yang
lebih kompleks yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dapat
dibubarkan.
3. Kematian Pasangan dan Implikasinya
Kematian salah satu pasangan merupakan cara alami lainnya yang mengakhiri
perkawinan. Implikasi dari kematian pasangan ini bervariasi tergantung pada
regulasi hukum yang berlaku:
 Pengakhiran Otomatis: Secara otomatis, perkawinan dianggap berakhir
ketika salah satu pasangan meninggal dunia. Ini dapat mengubah status
hukum dan kewajiban yang sebelumnya dimiliki oleh pasangan tersebut,
seperti hak waris dan status keuangan.

11
 Pengaturan Hukum: Hukum di banyak yurisdiksi memiliki ketentuan
tentang bagaimana harta milik bersama, hak asuh anak, dan kewajiban
finansial ditangani setelah kematian salah satu pasangan.

D. IMPLIKASI PUTUSNYA PERKAWINAN

1. Dampak Emosional
 Stres dan Kesejahteraan Emosional: Putusnya perkawinan dapat
menyebabkan tingkat stres yang tinggi bagi pasangan yang terlibat. Hal ini
bisa disebabkan oleh perasaan kehilangan, kebingungan, dan perubahan
drastis dalam kehidupan sehari-hari.
 Dampak pada Kesehatan Mental: Pasangan yang mengalami putusnya
perkawinan mungkin mengalami masalah kesehatan mental, seperti
depresi, kecemasan, dan gangguan tidur. Dukungan psikologis dan
emosional sangat penting dalam menghadapi perubahan ini.
2. Implikasi Hukum
 Pembagian Harta dan Kewajiban Finansial: Salah satu implikasi utama
putusnya perkawinan adalah pembagian harta dan kewajiban finansial. Di
beberapa yurisdiksi, harta bersama harus dibagi secara adil antara
pasangan yang bercerai. Selain itu, mungkin ada kewajiban finansial
tertentu, seperti dukungan finansial terhadap pasangan atau anak-anak.
 Hak Asuh Anak: Putusnya perkawinan juga memicu perdebatan terkait
hak asuh anak. Pada umumnya, pengadilan akan mempertimbangkan
kepentingan terbaik anak dalam menentukan hak asuh, termasuk waktu
yang dihabiskan bersama setiap orang tua.
 Proses Hukum yang Panjang: Proses hukum yang terkait dengan
putusnya perkawinan seringkali memakan waktu dan dapat menjadi proses
yang membingungkan serta memakan biaya. Ini meliputi pertemuan di
pengadilan, negosiasi antara pengacara, dan memenuhi persyaratan hukum
tertentu.

12
 Perubahan Status dan Dokumen Hukum: Putusnya perkawinan juga
memicu perubahan dalam status hukum dan dokumen, seperti perubahan
status pernikahan dalam dokumen resmi, seperti sertifikat kelahiran anak
atau dokumen keuangan bersama.
Menangani implikasi putusnya perkawinan memerlukan perhatian khusus
terhadap aspek-emosi dan hukum yang terkait. Dukungan psikologis, konseling,
dan bantuan hukum dapat membantu pasangan yang mengalami putusnya
perkawinan untuk menavigasi perubahan yang terjadi.

13
BAB 3

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Putusnya perkawinan, sebagai peristiwa kompleks dalam kehidupan


manusia, melibatkan sejumlah mekanisme dan implikasi yang luas. Dalam
konteks ini, variabilitas dalam klasifikasi putusnya perkawinan menjadi jelas
dengan adanya perceraian damai yang menunjukkan kesepakatan tanpa konflik
dan perceraian kontes yang melibatkan perselisihan yang memerlukan intervensi
pengadilan. Sementara itu, pembubaran perkawinan atas alasan tertentu dan
kematian pasangan juga menjadi faktor yang memengaruhi status perkawinan.
Implikasi dari putusnya perkawinan mencakup dampak emosional yang signifikan
seperti stres dan kesedihan, bersama dengan kompleksitas hukum terkait
pembagian harta, kewajiban finansial, dan hak asuh anak. Oleh karena itu,
pendekatan yang berempati, holistik, dan komprehensif diperlukan untuk
mengatasi aspek-emotif dan hukum, memastikan dukungan yang tepat bagi
individu dan keluarga yang terlibat dalam proses putusnya perkawinan.

B. SARAN
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan
makalah ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu
penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.

Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
sangat diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus
menghasilkan penelitian dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman al Jaziry, Fiqh ala mazahib al Arba‟ah, (Mesir : Maktabah Al


Hijaiyyah Al Kubra, 1969
Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari‟at Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1996
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fiqh dan Hukum
Positif), Yoqyakarta: UII Pers, 2011
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII, 1980
Atho Muzdhar dan Khoiruddin Nasution (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern , Jakarta : Ciputat Press, 2003
Djubaidah, Pencatan perkawinan & Perkawinan tidak dicatat. Jakarta : Sinar
Grafika. 2010
Muhammad Ibn Isma’il al-Kahlany, Subul al-Salam; Syarh Bulugh al-Maram min
Adillah al-Ahkam, pdf.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Indonesia Kamus Besar Bahasa
Indonesia
Tahir Mahmood, Family Reform in the Muslim World, New Delhi: The Indian law
Institute, 1972
------------------, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: The Indian Law
Institute, 1972
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut: Dar al Fikr, 2007
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Yogyakarta: Liberty,
1982
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT Intermasa, 1989
Sudqi El-Alami, Dawoud The Marriage Contract in Islamic Law in the Syari‟a
and Personal Status Laws of Egypt and Marocoo London: Hartnoll Ltd,
1992

15

Anda mungkin juga menyukai