Disusun Oleh :
KELOMPOK IV
1. Andi Angraini Jamal
2. Nur Asita
3. Silvana
4. Tuti Alawia
2023/2024
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas rahmat serta
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “PUTUSNYA PERKAWINAN
DAN IMPLIKASINYA” Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dari mata
kuliah Ilmu Faal Olahraga.Disamping itu,makalah ini bertujuan untuk bahan
pengetahuan bagi para pembaca.
Kami berharap juga makalah ini betul-betul dapat memberikan bekal
sebagai calon pendidik. Karena seorang pendidik yang berkualitas sangat
diharapkan memahami dan mengerti tentang materi-materi dalam Pendidikan
Jasmani Kesehatan dan Rekreasi. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah menyelesaikan makalah ini. Makalah ini jauh dari kata sempurna.
Untuk itu, masukan dan saran dari pembaca kami harapkan untuk kesempurnaan
makalah ini. WassalamualaikumWr. Wb.
.
Bone, 13 November 2023
Penyusun
i
DAFTAR ISI
C. Tujuan ................................................................................................................... 2
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 14
B. Saran ................................................................................................................... 14
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
1
C. TUJUAN
2
BAB 2
PEMBAHASAN
a) Talak
Kata talak berasal dari kata “ithlaq”. Sedangkan secara istilah talak
menurut Sayyid Sabiq adalah “melepaskan ikatan perkawinan”.Menurut al
Jaziry talak adalah:
3
tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak
talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i
عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال ثالث جدىن جد وىزهلن
)جد النكاح والطالق والرجعة (رواه األربعة إال النسائي وصححو احلاكم
"Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga
perkara sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh-
singguh dan main-main menjadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, thalaq,
dan rujuk " (diriwayatkan oleh al-Arba'ah kecuali al-Nasa'I dan di-shahih-
kan oleh Hakim).
4
b) Khulu’
Khulu‟ berasal dari kata “khala‟ al-tsaub” yang berarti melepaskan atau
mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah pakaian bagi
laki-laki, dan juga sebaliknya. Khulu‟ adalah salah satu bentuk perceraian
dalam Islam yang berarti menghilangkan atau mengurungkan akad nikah
dengan kesediaan isteri membayar uang „iwadh atau uang pengganti
kepada suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau khulu‟. Bila
terjadi cerai dengan cara khulu‟ maka suami tidak memiliki hak untuk
rujuk kepada isterinya. Perceraian akan terjadi bila isteri telah membayar
sejumlah yang disyaratkan suami.Untuk maksud yang sama dengan kata
khulu‟ itu, ulama menggunakan beberapa kata, yaitu fidyah, shulh,dan
mubaraah. Walaupun dalam makna yang sama, namun dibedakan dari segi
jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan. Apabila ganti rugi untuk
putusnya perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan waktu nikah
disebut khulu‟. Bila ganti rugi adalah separuh dari mahar disebut shulh,
bila ganti rugi itu lebi banyak dari mahar yang diterima disebut fidyah dan
bila isteri bebas dari ganti rugi disebut mubaraah. Perceraian yang
disebabkan khulu‟ adalah merupakan thalaq ba‟in. Maka bila suami telah
melakukan khulu‟terhadap isteri, suami tidak berhak untuk ruju‟ kembali
kepada isteri sekalipun isteri rela menerima kembali uang iwadh yang
telah dibayarkannya. Jika isteri bersedia kembali bekas suaminya tersebut
ruju‟ kepadanya, maka suami harus melakukan akad nikah kembali
dengan melengkapi rukun dan syaratnya.
c) Fasakh
Fasakh menurut bahasa berarti membatalkan. Apabila dihubungkan
dengan perkawinan fasakh berarti membatalkan perkawinan atau
merusakkan perkawinan. Kemudian secara terminologi fasakh bermakna
pembatalan ikatan pernikahann oleh Pengadilan Agama berdasarkan
tuntutan isteri atau suami yang dibenarkan oleh Pengadilan Agama atau
karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.
5
Thalaq adalah hak suami, khulu‟ merupakan hak isteri, sementara fasakh
merupakan hak bagi keduanya. Bila sebab fasakh ada pada isteri, maka
hak fasakh ada pada suami, dan begitu juga sebaliknya. Fasakh biasanya
timbul apabila pihak suami atau isteri merasa dirugikan oleh pasangannya
itu, merasa tidak memperoleh hak-hak sesuai yang ditentukan agama
sebagai seorang suami atau isteri. Akibatnya salah seorang dari keduanya
tidak lagi sanggup melanjutkan perkawinan karena keharmonisan rumah
tangga tidak lagi ada dan tidak mungkin untuk mewujudkan perdamaian
sehingga fasakh ini perlu ditempuh. Pada dasarnya fasakh adalah hak bagi
suami dan juga isteri, namun dalam praktek sehari-hari hak fasakh ini
lebih banyak dimanfaatkan oleh isteri. Barangkali karena suami lebih
banyak menggunakan hak thalaq yang ditentukan agama.
Adapun yang menjadi faktor-faktor penyebab fasakh adalah sebagai
berikut:
1) Syiqaq. Yakni pertengkaran antara suami isteri yang tidak mungkin
didamaikan.
2) Fasakh karena cacat. Cacat di sini adalah cacat yang terdapat pada
diri suami atau isteri, baik cacat jasmani atau rohani. Cacat tersebut
mungkin terjadi sebelum perkawinan, namun tidak diketahui oleh pihak
lain atau cacat yang berlaku setelah terjadi perkawinan, baik ketahuan atau
terjadinya itu setelah suami isteri bergaul. Fasakh karena cacat ini
dilakukan di lakukan di hadapan hakim Pengadilan dan tidak dapat
dilakukan sendiri setelah pihak-pihak mengetahui adanya cacat tersebut.
Hal ini karena cacat itu harus dibuktikan, yang mana hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan.
3) Fasakh karena ketidakmampuan suami memberi nafkah. Fasakh
dalam hal ini terjadi karena suami tidak mampu menunaikan kewajiban
berupa nafkah dalam berupa nafkah dalam bentuk belanja, pakaian, dan
tempat tinggal.
6
4) Fasakh karena melanggar perjanjian dalam perkawinan. Termasuk
karena dalam hal ini adalah perjanjian untuk tidak dimadu dan ta‟liq
thalaq.
7
1975, yakni sebagai berikut : “Peraturan Pemerintah ini menggunakan istilah
“cerai talak” untuk membedakan pengertian perceraian yang dimaksudkan oleh
pasal 38 huruf b dengan pengertian perceraian atas keputusan Pengadilan yang
dimaksud pasal tersebut huruf c. Untuk yang terakhir ini digunakan istilah “cerai
gugatan”, dengan penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut dapat dimaklumi
bahwa perceraian yang disebutkan pada huruf b pasal 38 UU Perkawinan adalah
“cerai talak”, yakni perceraian yang dilakukan atas kehendak suami terhadap
isterinya.
a) Cerai Talak
Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang sampai sekarang masih
belum dapat diterima oleh sebahagian umat Islam di Indonesia, adalah
ketentuan yang terdapat pada pasal 115, yaitu: "Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak".
Hal itu disebabkan karena dalam formulasi fiqih yang menjadi rujukan
mayoritas umat Islam di Indonesia, tidak ada pengaturan seperti itu.
Bahkan talak dengan sindiran saja di luar Pengadilan Agama juga
dianggap telah jatuh.
Peraturan perundang-undangan juga mengatur mengenai tata cara
menjatuhkan talak. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tata cara
8
perceraian dapat dilihat dari pasal 14 sampai pasal 18. Sedangkan dalam
KHI dapat dilihat dari pasal 129 sampai pasal 131.
b) Cerai Gugat
Maksud dari “cerai gugat” adalah perceraian dengan keputusan pengadilan
yang disebabkan adanya gugatan terlebih dahulu oleh salah satu pihak
kepada pengadilan. Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa
gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan sebagaimana disebutkan :
“Gugatan perceraian dapat dilakukan oleh seorang suami atau isteri yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami
dan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama
dan kepercayaannya itu selain agama Islam”.Secara terperinci tata cara
gugatan perceraian ini diatur dalam PP. No. 9 Tahun 1975 pasal 20 sampai
dengan pasal 36.
Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanan UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada pasal 19 disebutkan bahwa alasan
yang dapat dipergunakan sebagai alasan perceraian adalah :
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar
kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
6) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
9
KHI pada pasal 116 juga mengatur bahwa yang dapat menjadi alasan
terjadinya perceraian adalah disebabkan karena :
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar
kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
6) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
7) Suami melanggar ta’lik talak.
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
10
Perceraian Damai: Merujuk pada situasi di mana kedua belah pihak
sepakat untuk mengakhiri perkawinan tanpa adanya konflik yang
signifikan. Biasanya, kesepakatan dicapai melalui mediasi atau negosiasi
tanpa melibatkan proses pengadilan yang panjang.
Perceraian Kontes: Sebaliknya, perceraian kontes terjadi ketika terdapat
ketidaksepakatan antara pasangan. Salah satu pihak atau kedua belah pihak
tidak setuju untuk bercerai, dan masalah ini harus diselesaikan melalui
proses pengadilan. Biasanya, proses ini melibatkan perselisihan terkait
pembagian harta, hak asuh anak, atau kewajiban finansial.
2. Pembubaran Perkawinan
Selain perceraian, terdapat juga pembubaran perkawinan yang terjadi atas alasan
tertentu:
Alasan Pembubaran Perkawinan: Pembubaran perkawinan bisa
disebabkan oleh faktor-faktor seperti ketidakcocokan yang signifikan
antara pasangan, penipuan yang terungkap setelah perkawinan, atau
pelanggaran syarat-syarat perkawinan yang telah ditetapkan oleh hukum
suatu negara.
Proses Pembubaran Perkawinan: Proses pembubaran perkawinan dapat
berbeda-beda di setiap yurisdiksi. Ada negara yang menerapkan prosedur
yang cukup sederhana, sementara negara lain memiliki persyaratan yang
lebih kompleks yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dapat
dibubarkan.
3. Kematian Pasangan dan Implikasinya
Kematian salah satu pasangan merupakan cara alami lainnya yang mengakhiri
perkawinan. Implikasi dari kematian pasangan ini bervariasi tergantung pada
regulasi hukum yang berlaku:
Pengakhiran Otomatis: Secara otomatis, perkawinan dianggap berakhir
ketika salah satu pasangan meninggal dunia. Ini dapat mengubah status
hukum dan kewajiban yang sebelumnya dimiliki oleh pasangan tersebut,
seperti hak waris dan status keuangan.
11
Pengaturan Hukum: Hukum di banyak yurisdiksi memiliki ketentuan
tentang bagaimana harta milik bersama, hak asuh anak, dan kewajiban
finansial ditangani setelah kematian salah satu pasangan.
1. Dampak Emosional
Stres dan Kesejahteraan Emosional: Putusnya perkawinan dapat
menyebabkan tingkat stres yang tinggi bagi pasangan yang terlibat. Hal ini
bisa disebabkan oleh perasaan kehilangan, kebingungan, dan perubahan
drastis dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak pada Kesehatan Mental: Pasangan yang mengalami putusnya
perkawinan mungkin mengalami masalah kesehatan mental, seperti
depresi, kecemasan, dan gangguan tidur. Dukungan psikologis dan
emosional sangat penting dalam menghadapi perubahan ini.
2. Implikasi Hukum
Pembagian Harta dan Kewajiban Finansial: Salah satu implikasi utama
putusnya perkawinan adalah pembagian harta dan kewajiban finansial. Di
beberapa yurisdiksi, harta bersama harus dibagi secara adil antara
pasangan yang bercerai. Selain itu, mungkin ada kewajiban finansial
tertentu, seperti dukungan finansial terhadap pasangan atau anak-anak.
Hak Asuh Anak: Putusnya perkawinan juga memicu perdebatan terkait
hak asuh anak. Pada umumnya, pengadilan akan mempertimbangkan
kepentingan terbaik anak dalam menentukan hak asuh, termasuk waktu
yang dihabiskan bersama setiap orang tua.
Proses Hukum yang Panjang: Proses hukum yang terkait dengan
putusnya perkawinan seringkali memakan waktu dan dapat menjadi proses
yang membingungkan serta memakan biaya. Ini meliputi pertemuan di
pengadilan, negosiasi antara pengacara, dan memenuhi persyaratan hukum
tertentu.
12
Perubahan Status dan Dokumen Hukum: Putusnya perkawinan juga
memicu perubahan dalam status hukum dan dokumen, seperti perubahan
status pernikahan dalam dokumen resmi, seperti sertifikat kelahiran anak
atau dokumen keuangan bersama.
Menangani implikasi putusnya perkawinan memerlukan perhatian khusus
terhadap aspek-emosi dan hukum yang terkait. Dukungan psikologis, konseling,
dan bantuan hukum dapat membantu pasangan yang mengalami putusnya
perkawinan untuk menavigasi perubahan yang terjadi.
13
BAB 3
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan
makalah ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu
penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
sangat diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus
menghasilkan penelitian dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.
14
DAFTAR PUSTAKA
15