Anda di halaman 1dari 15

KAIDAH PEMBATALAN PERNIKAHAN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qawa’id Fiqiyah

Dosen Pengampu :

Dr. Sahmiar Pulungan, M.Ag

Disusun Oleh : Kelompok 10

Wiranu Abdi Nata 0201192106

AHWAL SYAKSIYAH

SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR

‫بِ ۡس ِم ٱهَّلل ِ ٱلر َّۡح ٰ َم ِن ٱل َّر ِح ِيم‬

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Swt yang telah memberikan segala
nikmatnya, baik itu nikmat kesehatan, iman dan islam, terutama nikmat kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Dan juga atas pertolongan dan
hidayahnya jugalah kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul Kaidah Fiqih
Tentang pembatalan Pernikahan.

Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan ‘alam saiidina
mustofa Muhammad Saw, Semoga dengan mengikuti tunjuk ajar beliau, menghidupkan
sunnah-sunnahnya, menjadikan beliau sebagai idola dalam kehidupan kita dan tentunya
memperbanyak sholawat kepada beliau, semoga kita mendapatkan syafa’atnya di hari akhir
kelak, Aaamiin.

Pada kesempatan ini tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada Dr. Sahmiar
Pulungan, M.Ag yang memberikan tugas kepada kami, guna agar mahasiswa menambah
wawasan dengan banyak membaca dari berbagai sumber.

Kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun pada makalah
kami, agar makalah ini dapat menjadi literasi yang menamabah ilmu. Akhirnya harapan kami,
semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.

Medan, 20 November 2021

Kelompok 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah....................................................................................1


B. Rumusan Masalah..............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................2

A. Pengertian kebatalan dan pembatalan................................................................2


B. Pembatalan Pernikahan menurut fiqih...............................................................3
C. Pembatalan pernikahan menurut uu nomor 1 tahun 1974.................................5
D. Pembatalan pernikahan menurut khi.................................................................6
E. Akibat hukum pembatalan pernikahan..............................................................7

BAB III PENUTUP......................................................................................................8

A. Kesimpulan........................................................................................................8
B. Saran..................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


......................................................Kaidah fiqih pernikahan adalah kaidah-kaidah yang membah
pernikahan. Dalam peng-aplikasian kaidah fiqih pernikahan sama saja halnya
ketika kita juga mengamalkan apa yang diperintahkan oleh Allah swt dan
Rasulullah saw melalui Al-Qur’an dan Hadist nya. Karna pada dasarnya kaidah
tersebut juga berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist. Dan apa-apa saja kaidah
pernikahan dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan, berikut pemakalah
jelaskan dibawah ini.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut..
1. Apakah pengertian kebatalan dan pembatalan ?
2. Bagaimana Kaidah-Kaidah Fiqih pembatalan Pernikahan ?
3. Bagaimana pembatalan pernikahan menurut uu no.1 tahun 1974 ?
4. Bagaimana pembatalan pernikahan menurut khi ?
5. Bagaiman akibat hukum pembatalan pernikahan?

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas dapat diambil tujuan penulisan sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengertian kebatalan dan pembatalan.
2. Untuk mengetahui kaidah – kaidah fiqih dalam pembatalan pernikahan.
3. Untuk memngetahui pembatalan pernikahan menutut uu no.1 tahun 1974.
4. Untuk mengetahui pemabatalan pernikahan menurut khi.
5. Untuk mengetahui akibat hukum pembatalan pernikahan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian kebatalan dan pembatalan

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan berbagai arti kata “batal”.


Diantaranya ialah bermakna tidak berlaku atau tidak sah. Seperti dalam
kalimat: “perjanjian itu dinyatakan batal”. Membatalkan artinya menyatakan batal
(tidak sah), seperti dalam kalimat: “mereka membatalkan perjanjian yang pernah
disetujui bersama. Oleh Karena itu, Pembatalan adalah proses, cara, perbuatan
membatalkan.

Batal berasal dari bahasa Arab bathala-yabthulu-bathlan wa buthuulan wa


buthlaanan. Artinya, hilang, rusak dan rugi. Seperti dalam kalimat: “dzahaba
dhiya’an wa khusran”. Batal juga berarti kebalikan dari benar (al-bathilu naqidhu al-
haq). Makna lainnya ialah: “laa yakuunu shahihan biashlihi wa maa ya’tadii bihi wa
laa yufidu syaian”.

Sedangkan menurut ushuliyyun (para ahli ilmu ushul fikih), batal ialah suatu keadaan
yang tidak sah. Sehingga manfaat yang dituju atau yang diinginkan tidak tercapai.
Faidah yang hendak dicapai tersebut seperti peralihan hak milik. Batal terbagi atas
dua maksud. Bila mengenai ibadah artinya tidak memadai dan belum melepaskan
tanggung jawab serta belum menggugurkan kewajiban. Sedangkan dalam muamalah,
artinya tidak tercapai manfaat yang diharapkan darinya secara hukum.

Dalam khazanah hukum Indonesia, Habieb Adjie mengutip Herlien


Budiono menyebutkan bahwa:

Manakala undang-undang hendak menyatakan tidak adanya akibat hukum, maka


dinyatakan dengan istilah sederhana “batal”, tetapi adakalanya menggunakan
istilah ‘batal dan tidak berhargalah’ (Pasal 879 KUHPerdata) atau ‘tidak
mempunyai kekuatan’ (Pasal 1335 KUHPerdata). Penggunaan istilah-istilah tersebut
cukup membingungkan karena adakalanya istilah yang sama hendak digunakan
untuk pengertian yang berbeda untuk ‘batal demi hukum’ atau ‘dapat dibatalkan’.
Pada pasal 1446 KUHPerdata dan seterusnya untuk menyatakan batalnya suatu
perbuatan hukum, kita temukan istilah ‘batal demi hukum’, ‘membatalkan’ (Pasal

2
1449 KUHPerdata), ‘menuntut pembatalan’ (Pasal 1450 KUHPerdata), ‘pernyataan
batal’ (Pasal1451-1452 KUHPerdata), ‘gugur” (Pasal 1545 KUHPerdata), dan
‘gugur demi hukum’ (Pasal 1553 KUHPerdata).

Dalam hukum perjanjian, batal demi hukum (nietig) merupakan istilah untuk
perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif (hal tertentu dan kausa yang halal).
Sedangkan dapat dibatalkan dimaksudkan untuk perjanjian yang tidak memenuhi
syarat subjektif (kesepakatan dan kecakapan). Berbeda dengan keadaan yang dapat
dibatalkan, keadaan batal demi hukum tidak memerlukan permintaan dari para pihak.
Walaupun begitu, menurut R. Subekti, jika suatu perjanjian sudah tidak memenuhi
syarat objektif, namun ada yang menggugat, maka hakim diwajibkan karena
jabatannya, menyatakan tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.

Mengutip pendapat Marjanne Termorshuizen dan A van den End,  M. Yahya


Harahap, menerangkan bahwa istilah batal demi hukum berasal dari van rechtswege
nietig (nietigheid ex tunc atau legally void, null and void, void by operation of law,
void ipso jure), yang artinya adalah sesuatu hal yang tidak sah sejak semula. Berbeda
halnya dengan dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable), sesuatu tersebut dapat
dinyatakan tidak sah, dapat juga sebaliknya. Persetujuan atau hal, keadaan dan produk
itu dianggap tetap berlaku sah sampai ada putusan hakim yang menyatakan tidak sah.

Perbedaan antara kebatalan dan pembatalan terletak pada ada atau tidaknya
permintaan suatu pihak. Menurut Wirjono Prodjodikoro, dari berbagai pasal dalam
BW, terdapat dua jenis batal: pembatalan mutlak (absolutenietigheid) dan pembatalan
tak mutlak (relatief). Yang pertama, perjanjian harus dianggap batal sejak semula dan
terhadap siapapun juga meskipun tidak diminta oleh suatu pihak, sedangkan yang
kedua, pembatalan terjadi bila diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku
terhadap orang tertentu. 1

Tan Thong Kie menjelaskan bahwa Kebatalan (nietigheid) disebut juga batal


absolut atau batal demi undang-undang, sedangkan Pembatalan (vernietiging) dapat
menyebabkan suatu akibat yang dapat membatalkan atas permintaan pihak. Lebih

1
H. A Djazuli, Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah Yang Praktis, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2006), h. 93

3
lanjut dijelaskan bahwa terdapat tiga perbedaan antara keduanya. Pertama, batal
absolut tidak dapat dikuatkan, sedangkan yang batal relatif dapat dibatalkan. Kedua,
tindakan yang batal absolut tidak menjadi suatu alasan atau dasar (titel) untuk
memperoleh kadaluarsa, sedangkan batal relatif sebaliknya. Ketiga, hakim karena
jabatannya tidak memperhatikan tindakan yang batal demi undang-undang, ia hanya
memerhatikan kebatalan relatif apabila ada suatu pihak yang mengajukan permintaan
untuk itu.

Artikel ini berpegang pada pendapat Wirjono Prodjodikoro dan Tan Thong Kie,
bahwa kebatalan merujuk kepada maksud batal demi hukum,
sedangkan pembatalan untuk yang dapat dibatalkan.

B. Pembatalan pernikahan menurut fiqh


Dalam hukum Islam hanya dikenal perkawinan yang sah dan tidak sah.
Perkawinan yang tidak sah dianggap perkawinan itu tidak pernah ada, sedangkan
yang sah hanya mungkin putus karena kematian, talak, khulu’, pelanggaran taklik
talak, dan fasakh. Istilah fasakh secara bahasa, menurut pendapat Ibnu Mundzir dalam
Lisanul arab menyatakan pembatalan perkawinan dengan istilah fasakh yang berarti
batal atau bubar.2 Sedang secara istilah pembatalan perkawinan atau fasakh adalah
lepas atau batalnya ikatan perkawinan antara suami dan istri, adakalanya disebabkan
hal-hal yang mendatang yang menyebabkan aqad nikah tersebut tidak dapat
dilanjutkan. Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah
dilangsungkan aqad nikah. 3
Di dalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya
sama yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Al-Jaziry menyatakan bahwa nikah fasid
adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan
nikah al-batil adalah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hukum nikah fasid dan batil
adalah tidak sah. Dalam terminologi UU Perkawinan, baik nikah fasid dan maupun
nikah batil dapat digunakan untuk pembatalan dan bukan pada pencegahan.4

2
Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fiqh Praktis (Menurut Al-Qur’an -Sunnah Dan Pendapat Para Ulama)
(Bandung: Mizan, 2002), h. 218.
3
Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 37.
4
Martiman P, HukumPerkawinan Indonesia, (Jakarta: Center Publishing, 2002), h. 25

4
Sebab-Sebab Pembatalan Perkawinan Dalam hukum Islam pembatalan
perkawinan dapat terjadi karena dua hal, yaitu: pertama, terdapat hal-hal yang
membatalkan aqad nikah yang dilaksanakan. Para imam madzhab yakni, Imam asy
syafi’i, Hanafi dan Hanbali, sepakat bahwa jika terjadi perkawinan dengan perempuan
(mahram) yang disebut dalam al-qur’an, maka hukumnya adalah haram dan
perkawinan itu harus difasakh, dan menunjukkan larangan abadi untuk orang-orang
yang dinikahi, Maka ketika hal-hal tersebut diketahui, aqad tersebut dinyatakan rusak
seketika itu juga tanpa memerlukan adanya keputusan pengadilan.15 Kedua, terdapat
hal baru yang dialami sesudah aqad nikah terjadi dan hubungan perkawinan
sementara berlangsung. Seperti dalam hal perkawinan dilakukan dengan modus
penipuan, yakni suami yang semula beragama non Islam kemudian masuk Islam
hanya untuk menikahi wanita Muslimah (secara formalitas), dan setelah pernikahan
terjadi suami kembali pada agama semula, maka perkawinan yang demikian dapat
dilakukan pembatalan. Para Imam Madzhab menambahkan beberapa alasan yang
menjadi bolehnya pembatalan perkawinan tersebut diantaranya: Dalam madzhab
Hanafi dan Maliki memperbolehkan pembatalan perkawinan dengan sebab: karena
murtadnya kedua suami istri tersebut; perceraian disebabkan rusaknya perkawinan itu;
bubar dikarenakan tiadanya kesamaan status (kufu). Begitu juga dalam madzhab asy
syafi’i dan hambali memperbolehkan pembatalan perkawinan dengan tambahan
sebab: karena cacatnya seseorang dari pasangan tersebut; disebabkan berbagai
kesulitan suami (I’sar); dan tiada kesamaan status atau (tidak sekufu).5
C. Pembatalan pernikahan menurut uu nomor 1 tahun 1974

Persamaan pembatalan nikah dan perceraian adalah hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan) menyatakan batalnya perkawinan dimulai setelah kekuatan putusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum tetap. Lalu Pasal 39 UU Perkawinan menegaskan perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua pihak. Sementara perbedaan keduanya, salah satunya adalah soal siapa
pihak yang berhak menjadi pemohon. Dalam perceraian, permohonan dilakukan oleh salah
satu pihak, suami atau istri. Sedangkan pembatalan, selain dapat dilakukan oleh suami atau
istri, juga bisa diajukan oleh pihak lain seperti orang tua pasangan.,
 
Perbedaan lain adalah mengenai akibat hukum. Pada perceraian, sangat mungkin terjadi
sengketa mengenai gono-gini karena memang pernikahan sebelumnya tetap diakui.

5
Abdullah Nashih Ulwan, Adab Al-Khitbah Wa Al-Zafaf (Etika Memilih Jodoh) Terj. Abdul Halim Hamid,
(Jakarta: Cahaya Press, Tth), h. 72.

5
Sementara pada pembatalan nikah, pernikahan dianggap tidak pernah ada sejak awal.
Sehingga sulit bagi salah satu pihak menuntut harta gono-gini.6
 
Perbedaan lain adalah mengenai alasan-alasan pembatalan dan perceraian perkawinan yang
akan diuraikan di bawah ini.
 
Alasan Perkawinan Batal dan Dapat Dibatalkan
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui terlebih dahulu apa saja yang dapat
membuat perkawinan batal atau dapat dibatalkan, yaitu antara lain:
1.    Perkawinan batal apabila:
a.    suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah
karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu diantaranya itu
dalam iddah talak raj'i.
b.    seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li'annya
c.    seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya,
kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian
bercerai lagi ba'da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
d.    perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah
semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan
menurut pasal 8 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yaitu :
1.    berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas
2.    berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu dengan
saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya
3.    berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah
tiri
4.    berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan saudara
sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
e.    istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-
istrinya.
2.    Perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.    seorang suami melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama;
b.    perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria
lain yang mafqud;
c.    perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
d.    perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974;
e.    perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak;
f.     perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
 
Suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan jika perkawinan
dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. Apabila ancaman telah berhenti
dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan
tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
 
Alasan Perceraian
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.    salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
6
Henny Wiludjeng, Hukum Perkawinan Dalam Agama-Agama, (Jakarta: Atma Jaya, 2020), h. 127

6
b.    salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c.    salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
d.    salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak yang lain.
e.    salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f.     antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g.    suami melanggar taklik-talak.
h.    peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah
tangga.7
 
 
 
Melihat pada uraian mengenai alasan pembatalan perkawinan dan perceraian di atas, jelas
bahwa paksaan menikah dapat menjadi alasan untuk dilakukannya pembatalan perkawinan.
 
Sebagai contoh, dalam Putusan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor:
1175/Pdt.G/2011/PA.Wsb., Pemohon mengajukan permohonan pembatalan nikah karena
pernikahan antara Pemohon dan Termohon terjadi karena dijodohkan oleh orangtua Pemohon
dan dipaksa untuk segera menikah. Pemohon menyebutkan bahwa ia tidak mengenal
Termohon secara baik sehingga Pemohon tidak mencintai Termohon. Pemohon mau menikah
dengan Termohon karena rasa takut dan ingin mengabdi kepada orangtua Pemohon. Setelah
menikah Pemohon dan Termohon tinggal bersama di rumah orangtua Termohon selama 2
minggu, kemudian pisah sampai sekarang (saat permohonan ini) sudah 1 tahun. Atas
permohonan tersebut, Hakim memutuskan mengabulkan permohonan Pemohon dan
membatalkan pernikahan Pemohon dan Termohon.
 
Contoh lain adalah Putusan Pengadilan Agama Arga Makmur Nomor
0116/Pdt.G/2014/PA.AGM, dimana Pemohon mengajukan permohonan pembatalan nikah
karena pernikahan tersebut terlaksana atas paksaan dan ancaman dari pihak keluarga
Termohon, yang mana pihak keluarga Termohon mengancam akan melaporkan Pemohon ke
pihak kepolisian atas tuduhan bahwa Pemohon telah melakukan hubungan sebagaimana
layaknya suami isteri terhadap Termohon, padahal tuduhan tersebut tidak pernah Pemohon
lakukan. Akan tetapi, berdasarkan keterangan saksi-saksi yang ada, tidak ada paksaan,
sehingga Hakim memutuskan tidak menolak permohonan Pemohon.
 
Akan tetapi, pada praktiknya, paksaan untuk menikah bisa menjadi salah satu alasan
perceraian. Seperti pada Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor
1679/Pdt.G/2012/PA.Bjn mengenai perkara permohonan ijin cerai talak. Pada awalnya antara
Pemohon dan Termohon tidak pernah saling mengenal, tidak pernah saling bertemu, tidak
pernah saling menyukai karena sebelum Akad Nikah Pemohon masih berada di Pondok
Pesantren. Termohon mempunyai penyakit keterbelakangan mental yang seharusnya tidak
dapat dinikahi oleh Pemohon karena sewaktu-waktu dapat membahayakan jiwa Pemohon itu
sendiri dan keluarganya. Pada saat Akad Nikah, Termohon sudah hamil 6 bulan yang bukan
hasil hubungan suami istri antara Pemohon dan Termohon tetapi hasil perbuatan/zina dengan

7
Undang Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004), h. 241

7
pria-pria lain. Pemohon bersedia menikahi Termohon karena di bawah tekanan sehingga
terpaksa Pemohon menyetujuinya, tanpa memberi waktu kepada Pemohon untuk berpikir.
 
Pernikahan yang didasarkan pada paksaan orang lain itu berujung pada rumah tangga
Pemohon dan Termohon sudah tidak dapat dirukunkan dan para pihak tidak keberatan apabila
keduanya bercerai. Hakim pada akhirnya memutuskan mengabulkan permohonan Pemohon
dan memberi ijin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak 1 ba’in sughro terhadap di
hadapan Sidang Pengadilan Agama Bojonegoro.
 
Ini berarti, jika menikah karena paksaan pada umumnya para pihak akan mengajukan
permohonan pembatalan nikah. Jika yang diajukan adalah permohonan perceraian, maka
biasanya paksaan hanya menjadi salah satu alasan yang membuat hubungan suami istri tidak
rukun.

D. Pembatalan pernikahan menurut khi


Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak diberikan secara rinci mengenai
pembatalan perkawinan, akan tetapi dari penjelasan-penjelasan yang terdapat dalam Bab XI
pasal 70 KHI, dapat disimpulkan bahwa pembatalan perkawinan adalah batalnya suatu
perkawinan yang penyebab batalnya baru diketahui atau baru terjadi setelah perkawinan
tersebut sah diakui menurut hukum agama Islam maupun oleh hukum Negara Indonesia.

Pasal 27 Undang-undang Perkawinan (UU Perkawinan) Juncto Pasal 72 Kompilasi


Hukum Islam mengatur bahwa:
1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
mengenai diri suami atau istri.
3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya
dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami
istri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan
pembatalan, maka haknya gugur.

Menurut Kompilasi Hukum Islam di dalam Bab XI Pasal 70 perkawinan dinyatakan


batal (batal demi hukum) apabila: Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak
melakukan aqad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari
keempat istrinya itu dalam masa iddah talak raj’i Seseorang menikahi bekas istrinya yang
telah dili’annya; Seseorang menikahi bekas istri yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya,
kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah lagi dengan pria lain kemudian bercerai lagi

8
Ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddah; Perkawinan dilakukan antara dua
orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang
menghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No 1 tahun 1974.

E. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan


Pembatalan perkawinan sebagai salah satu upaya pemutusan hubungan perkawinan
adalah menjadi wewenang dan tanggung jawab badan peradilan, mengingat akibat
yang ditimbulkan tidak hanya menyangkut suami istri saja. Gugatan pembatalan
perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat perkawinan itu
dahulunya dilangsungkan, atau ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
suami istri yang bersangkutan, atau ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
kediaman salah seorang dari suami istri tersebut.20 Batalnya suatu perkawinan
dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku
sejak saat berlangsungnya perkawinan. Adapun Akibat hukum pembatalan
perkawinan, yaitu:
a) Terhadap Anak Akibat hukum pembatalan perkawinan dalam UU Perkawinan No 1
Tahun 1974 pasal 28 sebagai berikut: Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah
keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap berlaku sejak
berlangsungnya perkawinan; Keputusan tidak berlaku surut terhadap; Anak-anak yang
lahir dari perkawinan tersebut; suami dan istri yang bertindak dengan iktikad baik
kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya
perkawinan lain yang dahulu; Orang-prang ketiga lainnya termasuk a dan b sepanjang
mereka memperoleh hak hak dengan iktikad baik sebelum keputusan pembatalan
mempunyai hukum tetap pembatalan mempunyai hukum tetap.21 Dalam Pasal 28
ayat (2) Wibowo Reksopradoto memberikan ulasan sebagai berikut: Keputusan tidak
berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.22 Anak-
anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah dibatalkan tidak berlaku surut,
sehingga dengan demikian anak-anak ini dianggap sah, meskipun salah seorang atau
kedua orang tuanya beritikad buruk.
b) Terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan Sebelum membicarakan harta
kekayaan suami istri dalam perkawinan, terlebih dahulu harus dilihat mengenai
kedudukan harta orang Islam secara umum. Dalam bidang harta kekayaan seseorang
dan cara penyatuan atau penggabungan harta tersebut dengan harta orang lain dikenal

9
dengan nama syirkah atau syarikah. Dari asal-usulnya harta suami istri itu dapat
digolongkan pada tiga golongan.
c) Terhadap Pihak Ketiga Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan
pembatalan dengan mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap pihak ketiga yang
beriktikad baik pembatalan perkawinan tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku
surut, jadi segala perbuatan perdata atau perikatan yang diperbuat suami istri sebelum
pembatalan perkawinan tetap berlaku, dan ini harus dilaksanakan oleh suami istri
tersebut.8

BAB III

8
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Penerbit UI, 2004 ), h.83.

10
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam hukum Islam pembatalan perkawinan dapat terjadi karena dua hal,
yaitu: terdapat hal-hal yang membatalkan aqad nikah yang dilaksanakan; Serta,
terdapat hal baru yang dialami sesudah aqad nikah terjadi dan hubungan perkawinan
sementara berlangsung.
Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah
dilangsungkan aqad nikah. Dalam BAB VI pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa batalnya
suatu pernikahan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan agama Sedangkan pada UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 22 dinyatakan dengan tegas bahwa
perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Konsekuensi hukum dari pembatalan perkawinan yaitu: berakibat terhadap
anak; terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan; terhadap pihak ketiga.
B. Saran

Sebagai seorang manusia tentulah mempunyai kelebihan dan kekurangan.oleh


sebab itu, dalam memandang segala sesuatu penulis sarankan agar dengan hati yang
jernih sehingga mudah bagi kita menerima kebenaran, karena segala sesuatu
mempunyai manfaat. Dan juga, makalah ini masih jauh dari kata sempurna seperti
kata pepatah tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu penulis masih memerlukan
banyak masukan yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

11
A, Djazuli, Kaidah-Kaidah  Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah  -masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2010

Al-Habsyi, Muhammad Baqir, Fiqh Praktis Menurut Al-Qur’an -Sunnah Dan Pendapat Para
Ulama, Bandung: Mizan, 2002.

P, Martiman , HukumPerkawinan Indonesia, Jakarta: Center Publishing, 2002

Thalib, sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Penerbit UI, 2004

Ulwan, Abdullah Nashih, Adab Al-Khitbah Wa Al-Zafaf Etika Memilih Jodoh Terj. Abdul
Halim Hamid, Jakarta: Cahaya Press,

Undang Undang Perkawinan, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004

Wiludjeng henny, Hukum Perkawinan Dalam Agama-Agama, Jakarta: Atma Jaya, 2020

Zainuddin ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2007

12

Anda mungkin juga menyukai