Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AKAD NIKAH DENGAN MEDIA VIDEO CALL, FAXMILE DAN SMS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Masail Fiqhiyyah Hukum Keluarga

Dosen Pengampu : Dr. H. Hamam, M.H.I

Disusun Oleh Kelompok 6:

 Siti Sofiyatul Qomariyah (S20191097)


 Jean Rico Firmansyah (S20191127)
 M. Rifqi Arifin (S20191114)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH ACHMAD SIDDIQ JEMBER

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami para penyusun haturkan Allah SWT yang semata-mata berkat
rahmat hidayah dan maunah-Nya. Penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan tanpa
menemui hambatan apapun.

Penyusun yakin atas petunjuk-Nya pula sehingga berbagai pihak berkenan


memberikan bantuan kemudahan bagi penyusun. Untuk itu penyusun mengucapkan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang bersangkutan terutama kepada Ibu bapak pengampu
mata kuliah ini yang telah mendampingi kami dalam mengkaji materi ini sehingga dapat
menyusun makalah ini yang berjudul “AKAD NIKAH DENGAN MEDIA VIDEO CALL,
FAXMILE DAN SMS’

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun dan para pembaca pada
umumnya. Dan diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua
tentang pembahasan setiap bab yang akan kita pelajari ini.

Jember, Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................

DAFTAR ISI..........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................
1.2 Rumusan Masalah....................................................................
1.3 Tujuan.......................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Syarat Sahnya Akad Nikah..........................
2.2 Urgensi Akad Nikah.................................................................
2.3 Akad Nikah Melalui Video Call Faxmile dan SMS..............
BAB III PENUTUP
2.4 Kesimpulan...............................................................................
DAFTAR PUSTAKAKA......................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan syarat sahnya akad nikah
2. Apa yang di maksud urgensi akad nikah
3. Bagaimana mengenai akad nikah melalui video call, faxmile dan sms

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan syarat sahnya akad nikah
2. Untuk mengetahui mengenai urgensi akad nikah
3. Untuk mengetahui mengenai akad nikah melalui video call, faxmile dan sms

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Syarat Sahnya Akad Nikah


Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari
pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak
wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang
bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.” Qabul
adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima
nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitabRiyadhus
Shalihin.”1
Syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan
tersebut. Adapun syarat sah dalam pernikahan sebagai berikut:
1. Calon suami
Seorang calon suami yang akan menikah harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a) Bukan mahram dari calon istri
b) Tidak terpaksa (atas kemauan sendiri)
c) Jelas orangnya (bukan banci)
1
Wahyu Wibisiana, Pernikahan Dalam Islam., hlm.187
Al Hamdani, Risalah Nikah Dalam Perkawinan Islam., hlm.67-68

4
d) Tidak sedang ihram haji
2. Calon istri
Bagi calon istri yang akan menikah juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a) Tidak bersuami
b) Bukan mahram
c) Tidak dalam masa iddah
d) Merdeka (atas kemauan sendiri)
e) Jelas orangnya
f) idak sedang ihram haji
3. Wali Untuk menjadi seorang wali dalam sebuah pernikahan, harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a) Laki-laki
b) Dewasa
c) Waras akalnya
d) Tidak dipaksa
e) Adil
f) Tidak sedang ihram haji
4. Ijab kabul
Ijab adalah sesuatu yang diucapkan oleh wali, sedangkan kabul ialah sesuatu yang
diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.
5. Mahar
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai
wanita, baik dalam bentuk barang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Fuqaha’ sependapat bahwa maskawin itu termasuk syarat sahnya nikah dan
tidak boleh diadakan persetujuan untuk meniadakannya.
Sebagaimana firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 4: Yang artinya
berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An Nisa’: 4).
Di dalam KHI Pasal 30 dijelaskan dengan tegas bahwa: “calon mempelai pria
wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan

5
jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”. Yaitu untuk memperoleh kebahagiaan
dan kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan akhirat.

2.2 URGENSI AKAD NIKAH

Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis, dan fon dasi.
Secara terminologi, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir
atau berpendapat.

Syamsul Anwar mengemukan delapan asas yang berkaitan dengan hukum


perikatan Islam, yaitu asas Ibahah, asas kebebasan berakad, asas konsensualisme, asas
janji itu mengikat, asas keseimbangan, asas kemaslahatan, asas amanah, dan asas
keadilan. Adapun asasasas itu adalah sebagai berikut:

a. Asas Ibahah (Mabda’ al-Ibahah)

Asas ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang mua malah secara
umum. Asas ini dirumuskan dalam adiqium “Pada asasnya segala sesuatu itu boleh
dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.” Asas ini merupakan kebalikan dari
asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum Islam, untuk tindakan-
tindakan ibadah berlaku asas bahwa bentukbentuk ibadah yang sah adalah bentuk-
bentuk yang disebutkan dalam dalildalil sya riah. Orang tidak dapat membuatbuat
bentuk baru ibadah yang ti dak pernah ditentukan oleh Nabi Saw. Bentukbentuk baru
ibadah yang dibuat tanpa pernah diajarkan oleh Nabi Saw itu disebut bid’ah dan tidak
sah hukumnya.

b. Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyyah at-Ta’aqud) Menurut


Faturrahman Djamil, bahwa Syariah Islam memberikan kebebasan kepada setiap
orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan
akibat hukumnya adalah ajaran agama.

c. Asas Konsensualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah)

Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu

perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa
perlu dipenuhinya formalitasformalitas tertentu.Dalam Hukum Islam pada umumnya
perjanjianperjanjian itu bersifat konsensual

Syarat dan Rukun Akad (Perjanjian)

6
Rukun dan syarat merupakan hal yang harus terpenuhi dalam suatu perjanjian.
Secara bahasa, rukun adalah “yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
pekerjaan,sedangkan syarat adalah “ketentuan (per aturan, petunjuk) yang harus
diindahkan dan dilakukan.Rukun dan syarat, dalam syariah, samasama menentukan
sah atau tidaknya suatu transaksi. Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam,
didefini sikan, rukun adalah “suatu unsur yang yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya
perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu. Definisi syarat adalah
“sesuatu yang tergantung padanya keber adaan hukum syar’i dan ia berada di luar
hukum itu sendiri.”

a. Rukun Perjanjian

Akad memiliki tiga rukun, yaitu adanya dua orang atau lebih

yang melakukan akad, obyek akad, dan lafal (shighat) akad. 1. Dua Pihak atau
lebih yang Melakukan Akad

Dua orang atau lebih yang melakukan akad ini adalah dua orang atau lebih
yang secara langsung terlibat akad. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki
kelayakan untuk melakukan akad sehingga perjanjian atau akad tersebut dianggap
sah. Kelayakan terwujud dengan beberapa hal berikut:

Pertama, kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila
pihakpihak tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal.
Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah melakukan
perjan jian.

Kedua, bebas memilih. Tidak sah akad yang dilakukan orang di bawah
paksaan, kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang ber utang dan butuh pengalihan
utangnya, atau orang yang bang krut, lalu terpaksa menjual barangnya untuk
menutupi utang nya.

Ketiga, akad itu dapat dianggap berlaku (jadi total) bial tidak memiliki
pengandaian yang disebut khiyar (hak pilih). Seperti khiyar syarath (hak pilih
menetapkan persyaratan), khiyar ar- ru’yah (hak pilih dalam melihat) dan
sejenisnya.40

7
2. Obyek Akad (Transaksi)

Yakni benda yang menjadi obyek akad, seperti barang yang di jual dalam akad
jualbeli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa, yang dihibahkan dalam akad
hibah, yang digadai dalam akad rahn dan lainlain.41

3. Lafal (shighat) Akad

Ijab kabul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan/ kesepakatan dua


pihak yang melakukan kontrak/akad. Menurut Hanafiyah, ijab adalah ungkapan yang
pertama kali dilontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan melakukan akad. Di
mana ia menunjukkan maksud/kehendak dengan penuh kerelaan, baik datangnya dari
pihak penjual atau pembeli dalam jualbeli.

Tanggung Jawab Pihak-pihak dalam Akad (Perjanjian)

Dalam berbagai hukum perjanjian, apabila suatu akad (perjanjian) te lah


memenuhi semua syaratsyaratnya—dan menurut hukum perjan jian Islam apabila
telah memenuhi rukun dan syaratsyaratnya—per janjian tersebut mengikat dan wajib
dipenuhi serta berlaku sebagai hukum. Dengan kata lain perjanjian tersebut
menimbulkan akibat hukum yang wajid dipenuhi oleh pihakpihak terkait.

Dalam Pasal 1338 (1) KUH Perdata ditegaskan, “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi merkea yang membuatnya.”
Sebagai kelanjutan dari asas mengikatnya perjan jian dan wajibnya para pihak
memenuhi perikatanperikatan yang timbul dari perjanjian tersebut, maka salah satu
pihak tidak dapat menarik kembali perjanjiannya “selain dengan sepakat kedua belah
pi hak atau karena alasanalasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu”
(Pasal 1338 ayat (2)).

Dalam hukum perjanjian Islam, seperti halnya dalam hukum lainnya, pada
asasnya, tanggung jawab para pihak akibat adanya suatu akad (perjanjian) hanya
berlaku terhadap para pihak yang membuatnya dan tidak berlaku terhadap pihak lain
di luar mereka. Hal ini ditegaskan dalam kitab Mursyid al-Hairan: Pasal 306 (1):
Akibatakibat hukum akad hanya berlaku terhadap para pihak yang membuatnya, dan
tidak berlaku terhadap pihak lain selain mereka. Pasal 278: Orang balig dan berakal
sehat serta tidak berada di bawah pengampuan dapat membuat akad apa pun secara
sendiri maupun mewakilkannya kepada orang lain; barang siapa membuat akad secara

8
sendiri dan untuk dirinya sendiri, maka dialah, dan bukan orang lain, yang terikat oleh
hakhak dan akibatakibat hukum yan timbul dari akadnya.

Akibatakibat hukum akad hanya berlaku terhadap para pihak yang


membuatnya, dan tidak berlaku terhadap pihak lain selain mereka. Pasal 278: Orang
balig dan berakal sehat serta tidak berada di bawah pengampuan dapat membuat akad
apa pun secara sendiri maupun mewakilkannya kepada orang lain; barang siapa
membuat akad secara sendiri dan untuk dirinya sendiri, maka dialah, dan bukan orang
lain, yang terikat oleh hakhak dan akibatakibat hukum yan timbul dari akadnya.

3.2 Nikah Melakukan Video Call, Faxmile dan SMS

1. Nikah Online

Nikah online adalah suatu bentuk pernikahan yang transaksi ijab kabulnya
dilakukan melalui keadaan konektivitas atau kegiatan yang terhubung dengan suatu
jaringan atau sistem internet (online), jadi antara mempelai lelaki dengan mempelai
perempuan, wali dan saksi itu tidak saling bertemu dan berkumpul dalam satu tempat,
yang ada dan ditampilkan hanyalah bentuk visualisasi dari kedua belah pihak melalui
bantuan alat elektronik seperti teleconference, webcam atau yang lainnya yang masih
berkaitan dengan internet.

Nikah online dalam pengertian umum, ialah pernikahan yang komunikasinya


dilakukan dengan bantuan komputer di kedua tempat, yang masing-masingnya dapat
terhubung kepada file server atau network dan menggunakan media online sebagai
alat bantunya. Media online sendiri ialah sebuah media yang berbasis telekomunikasi
dan multimedia (komputer dan internet), didalamnya terdapat portal, website (situs
web), radio-online, TV-online, pers online, mail-online, dan lain-lain, dengan
karakteristik masing-masing sesuai dengan fasilitas yang memungkinkan user
memanfaatkannya yang tentunya bersumber pada cacha server dan jaringan internet.

Nikah online sendiri jika dibandingkan dengan nikah biasa kalau dari
penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan secara
substansional terhadap ritual pernikahan antara ritual pernikahan via online dengan
ritual pernikahan seperti biasanya. Hal yang membedakan nikah online dengan nikah

9
biasa adalah pada esensi ittihād al-majelis yang erat kaitannya dengan tempat (makan)
pada implementasi atau pelaksanaan akadnya, namun selebihnya semuanya sama.

Kalau dalam pernikahan biasa antara pihak laki-laki dan perempuan dapat
bertemu, bertatap muka dan berbicara secara langsung, begitupun dengan nikah
online. Pada penerapan atau pelaksanaannya nikah online ini menggunakan kekuatan
dari perkembangan teknologi untuk membantu dalam terlaksananya nikah agar dapat
menyampaikan gambar kondisi individu yang sedang melakukan interaksi
(teleconference) sebagaimana mestinya. Teknologi video teleconference lebih
mutakhir dari telepon, karena selain menyampaikan suara, teknologi ini dapat
menampilkan gambar atau citra secara realtime melalui jaringan internet. Dari
penjelasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan
mengenai esensi ittihād al-majelis atau adanya pergeseran kebudayaan dalam hal
melakukan akad. Dimana dalam nikah biasa akad dilakukan dengan muwājahah bil
ma’rūf (berhadap-hadapan secara langsung) pada satu tempat. Namun, untuk nikah
online ini muwājahah bil ma’rūf sama-sama dilakukan, tapi tidak dengan tempatnya,
dimana nikah online dilakukan dengan terpisahnya jarak antara yang melangsungkan
akad.

2. Pengadilan terkait Nikah Jarak Jauh

Dengan melihat apa yang tampak dari permasalah tersebut, dapatlah kita
bandingkan kepada Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/1989
tentang Pengesahan Praktik akad melaui media telepon. Pengadilan Agama Jakarta
Selatan telah memberikan keputusan dengan menetapkan pernikahan yang
dilaksanakan itu sah. Penetapan itu didasarkan kepada mashlahah dharuriyat dalam
rangka menjaga dan memelihara agama dan keturunan yang dianjurkan oleh syariat
islam. Pernikahan telah dilaksanakan sesuai dengan syariat islam, hanya saja ijab
qabulnya dilakukan melalui telepon. Ketika ijab qabul dilaksanakan hadirin dalam
majelis itu semua menyaksikan dan mendengar, sebab suara yang ada di telepon
dibesakan melalui pengeras suara. Putusan ini menuai kontroversi dan perselisihan
pendapat antar ulama mengenai harusnya bersatu majelis bagi ijab kabul. Walaupun
demikian, putusan ini merupakan salah satu sumber hukum atau disebut sebagai
yurisprudensi.

10
Sebagai perbandingan, di Mesir, berdasarkan buku laporan pelatihan hakim
Indonesia gelombang II di Kairo, 2003, pengertian satu majelis tidak harus duduk
dalam satu tempat. Oleh karenanya, ijab kabul melalui telepon dipandang sah bila
dapat dipastikan suara yang didengar adalah suara orang yang melakukan ijab kabul.
Begitupun apabila ijab kabul dilakukan lewat surat elektronik dibacakan oleh
kuasanya yang sah di depan dua orang saksi nikah dan banyak orang.

Dalam perundang-undangan atau hukum positif yang ada di Indonesia, nikah


online ini juga tak pernah disinggung sebelumnya, dan bahkan tidak ada peraturan
yang mengaturnya, sehingga di Indonesia terkait hukum nikah online ini masih
mengalami ke-absolut-an atau kekosongan hukum.

3. Pendapat Ulama’ tentang Ittihad Al-Majlis


 Pendapat Ulama Mazhab Syafi’I Tentang Ittihād al-Majelis
Menurut ulama mazhab Syafi’iyah, salah satu syarat penting dalam suatu
akad pernikahan adalah adanya kesinambungan (Muttaşhil) antara ijab dan qabul.
Oleh karena itu, dalam madzhab yang memegang teguh pada Imam Syafi’i ini,
pengucapan ijab dan kabul dalam satu tempat (makan) dan kurun waktu (zaman)
yang sama adalah suatu keharusan. Hal ini berarti esensi dari pensyaratan akad
ittihad al-majelis adalah menyangkut kesatuan tempat (makan), bukan semata-
mata kesatuan ucapan (kalam) dari kedua belah pihak. Beranjak dari pemahaman
inilah ulama Syafi’iyah menolak dan menganggap tidak sah suatu aqad (ijab
qabul) dengan media tulisan (al-kitābah) yang dilakukan melalui surat, selain
melalui perwakilan.Hal ini didasarkan pada disyaratkan kesegeraan dalam akad.
Artinya, qabul harus dilakukan segera setelah ijab, secara langsung dan tidak
terpisah (oleh perkataan lain). Alasan yang juga ikut mencuat adalah karena ijab
dan qabul harus dilakukan dengan lafadz yang şharih, sedang suatu ucapan yang
termuat dalam redaksi sebuah surat (kitābah) dianggap tidak jelas atau samar
(kināyah). Sementara persoalan nikah tidak diperkenankan dengan sesuatu yang
masih samaratau tidak jelas (kināyah).
 Pendapat Ulama Mazhab Hanafi
Para ulama mazhab Hanafi menginterprestasikan tentang ittihād al-majelis
bersatu majelis pada sebuah akad dalam pernikahan adalah menyangkut
kesinambungan waktu (zaman) diantara ijab dan qabul, bukan menyangkut
kesatuan tempat. Karena ijab dan qabul pada konteks ini harus dilaksanakan

11
dalam kurun waktu yang terdapat dalam satu ritual akad nikah, bukan
dilaksanakan pada dua kurun waktu yang terpisah, dalam artian bahwa ijab
diikrarkan dalam satu ritual, lalu setelah ritual ijab bubar, qabul di ucapkan pula
pada acara selanjutnya. Dalam hal yang disebutkan terakhir tadi, meski dua acara
berkesinambungan secara terpisah bisa jadi dilaksanakan dalam kurun waktu yang
sama, akan tetapi dikarenakan kesinambungan antara ijab dan qabul itu terputus,
maka akad nikah tersebut tidak sah. Meskipun tempatnya bersatu, namun jikalau
dilaksanakan dalam kurun waktu yang tidak sama, dalam dua acara yang terpisah,
maka kesinambungan diantara penerapan ijab dan penerapan qabul sudah tidak
dapat diwujudkan, oleh sebab itu akad nikahnya tidak sah.
Substansi atau esensi dari sebuah persyaratan bersatu majelis menurut
Hanafiyah ialah berkaitan keharusan kesinambungan waktu (zaman), bukan
berkaitan kesatuan tempat (makan) selama belum terjadi hal-hal menolak dan
memalingkan mereka dari majelis akad tersebut. berdasarkan hal itu, menurut
Hanafiyah pengikraran ijab dan qabul lewat perkataan mulut (lisan) bukanlah
salah satunya cara yang harus dijalani dalam pengikraran ijabnya.

BAB III

PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan
Masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait keabsahan dari
nikah online, dikarenakan salah satu syarat dari sah nya ijab qabul yaitu dilakukan
dalam satu majelis (ittihād al-majlis). Penulis berpendapat bahwa nikah online
dengan menggunakan apps itu dianggap satu majelis di cyber space, dimana calon
mempelai, saksi, wali semua hadir pada cyber space tersebut. Jika nikah dengan surat
dan telefon saja dapat diterima maka seharusnya nikah online melalui apps harus lebih
dapat diterima. Urgensi MUI untuk mengeluarkan fatwa terkait nikah online sangat
diperlukan mengingat kondisi pembatasan sosial karena pandemi wabah covid-19
serta untuk mengisi kekosongan hukum yang ada. Justru bukan hanya dikarenakan
adanya pandemi ini saja, bahkan kita harus siap pada era digital untuk menghadapi
industri 4.0. Walaupun telah ada sebelumnya Putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan No. 1751/P/1989 tentang Pengesahan Praktik akad melaui media telepon yang

12
dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, namun masih diperlukan kepastian hukum
yang lebih terperinci.

DAFTAR PUSTAKA

Al Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Cet. 2, (Jakarta: Pustaka Amani,
2002), 67-68.
Wahyu Wibisiana, Pernikahan Dalam Islam, Vol.14, No.187, 2016
Ghufron, Sofiniyah (editor), 2005, Cara Mudah Memahami Akad- akad Syariah, (Jakarta: Renaisan).
Ibn Hibban, 1414/1993, Shahih Ibn Hibban, XI, 340, Hadis No. 4967. (Bairut: Mu’assasah arRaisalah).
Ibn Majah, t.th., Sunan Ibn Majah, II, 737, Hadis no 2185. (Bairut: Dar alFikr).
Ibn Qudamah, 1981, Al-Mugni, V. (Riyad: Maktabat alRiyad al Haditha).

13

Anda mungkin juga menyukai