Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

KONSEP NIKAH, TALAQ/CERAI DAN RUJUK

Makalah Ini Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Fiqih

Dosen Pengampu : Miftahul Jannah, M.Pd

Disusun oleh Kelompok 8 :

1. Wahyu Saputra (22020003)

2. Andara Citra Wardani (22020050)

3. Ahmad Ghofirli (22020018)

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)
PRINGSEWU
2024

i
KATA PEGANTAR

Segala puji dan syukur semoga selalu tercurahkan kepada Allah SWT ysng
telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya sehingga kita dapat menyelesaikan
malakah mata kuliah Fiqih ini dengan sebaik-baiknya.

Solawat beriring salam semoga selalu tersanjung agungkan kepada Nabi


agung Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya serta telah membawa kita dari
zaman kegelapan hingga zaman yang terang benderang,

Makalah ini dapat diselesaikan atas izin Allah serta bantuan dan dukungan
dosen serta teman-teman yang memberikan semangat dan motivasi kepada kelompok
kami dan kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari
kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan kami .

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan


bagi para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran sebagai bahan pembelajaran
untuk kami semua. Sekian yang dapat kami sampaikan dan kami mengucapkan
terimakasih.

Pringsewu, 27 Januari 2024

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DEPAN/SAMPUL JUDUL........................................................ i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ........................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah.................................................................... 3
B. Syarat-Syarat dan Rukun Nikah............................................. 4
C. Hal-hal yang Meembatalkan Nikah dalam Islam .................. 6
D. Definisi Talak, Hukum, Rukun dan Jenisnya ........................ 9
E. Rujuk ..................................................................................... 15

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinaan adalah akad yang menghalalkan hubungan laki-laki dengan
perempuan dalam ikatan suami istri. Dalam perkawinan setiap orang ingin
membentuk keluarga bahagia dan utuh sampai akhir hayat tetapi, kadang ada
suatu permasalahan yang membuat pertengkaran bahkan menngambil jalan
perceraian. Allah paling membenci hal tersebut.
Talak ialah melepaskan ikatan nikah dari pihak suami dengan mengucapkan
lafazh yang tertentu, misalnya suami berkata kepada istrinya. Pada dasarnya talak
hukumnya boleh, tetapi sangat dibenci menurut pandangan syara’. Ucapan untuk
mentalak istri ada dua yaitu ucapan sharih, yaitu ucapan yang tegas maksudnya
untuk mentalak, dan ucapan yang kinayah yaitu ucapan yang tidak jelas
maksudnya.
Salah satu jalan untuk kembali yang digunakan seorang suami kepada
mantan istrinya ialah dengan rujuk. Kesempatan itu diberikan kepada setiap
manusia oleh Allah untuk memperbaiki perkawinannya yang sebelumnya kurang
baik. Hal tersebut merupakn salah satu hikmah rujuk.
Rujuk sendiri mempunyai penngertian yang luas yaitu kembalinya seorang
suami kepada istri yang telah ditalak raj’i bukan talak ba’in selama masih dalam
masa iddah. Dari definisi tersebut, terlihat beberapa kata kunci yang menunjukan
hakikat perbuatan rujuk. Seseorang yang ingin melakukuan rujuk harus
memperhatikan hal-hal yang berkaitan mengenai rujuk agar terlaksana dengan
baik. Diantara hal-hal yang berkaitan ialah: tata cara rujuk, hak rujuk, hukum
rujuk serta rukun dan syarat dalam rujuk. Untuk lebih jelas, dimakalah ini akan
dibahas mengenai hal-hal terrsebut.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakng diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Apa pengertian dari nikah?
2. Bagaimana syarat nikah menurut ajaran Islam?
3. Apa saja hal – hal yang dapat membatalkan nikah menurut Islam?
4. Apa pengertian talak/cerai?
5. Apa pengertian rujuk?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian nikah secara jelas;
2. Untuk mengetahui syarat nikah dalam Islam;
3. Untuk mengetahui bahwa adanya hal – hal yang dapat membatalkan nikah
menurut Islam;
4. Untuk mengetahui pengertian dan penjelasan – penjelasan yang berkaitan
dengan talak/cerai
5. Untuk mengetahui definisi rujuk

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah
An-nikah secara bahasa artinya “berkumpul” atau “menyatu”, Sedangkan
secara syari’at artinya ”ikatan (akad) yang menghalalkan pria menggauli
wanita atau sebaliknya, yang sebelumnya dilarang”.
Adapun konsekuensi adalah:
1. Diantara mereka tidak ada batas aurat, Suami sebagai pakaian bagi
istrinya dan sebaliknya
2. Timbulnya kewajiban suami terhadap istridan sebaliknya.
Suami memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan,
dan papan (At-thalaq/65 ayat 6), memperlakukan istri dengan baik (penuh
cinta kasih dan kelembutan), membimbing istri dan anak-anaknya menuju
ridha dan cinta Allah SWT (At-Tahrim/66 ayat 6). Sedangkan kewajiban istri
adalah taat pada perintah suami yang tidak menyalahi aturan agama, menjaga
kehormatan diri, menjaga amanah berupa anak dan harta dan menjadi
penyejuk suami (An-Nisa/4 ayat 34)1.
Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan oleh ulama fiqh tetapi
seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun
redaksionalnya berbeda. Ulama mazhab syafi’I mendefinisikan dengan akad
yang mengandung kebolehan dengan melakukan hubungan suami istri dengan
lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu. Sedangkan ulama mazhab
Hanafi mendefinisikan dengan akad yang memfaedahkan halalnya melakukan
hubungan suami istri antara seseorang lelaki dan seorang wanita selama tidak
ada halangan syara’.
Definisi jumhur ulama menekankan pentingnya menyebutkan lafad yang
dipergunakan akad nikah tersebut, yaitu harus dengan lafal nikah, kawin atau
semakna dengan itu.

1
Tiga Serangkai.Al-Qur’an.Surat An-Nisa/ 34

3
Adapun tujuan dari nikah yang dikutip dari salah satu ayat dan dijadikan
sebagai dasar untuk menjelaskan tujuan nikah dalam Al-Qur’an adalah
artinya:
“dan di antara tanda – tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri – istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepada-Nya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih
sayang…” (Q.S 30:21)
Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan
suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah
tersebut yang bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri
yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing – masing pihak
merasa damai dalam rumah tangganya.
Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga
sakinah, sebagaimana disyaratkan Allah SWT dalam surat ar-Rum (30) ayat
21 di atas. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dala ayat
tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut
Islam, yaitu sakinah (assakinah),mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-
rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai
yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak
menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan
saling toleransi. Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling
mengasihi dan menyayangi (al -mawadah), sehingga rasa tanggung jawab
kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan
bahwa dari as-sakinah dan almawadah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu
keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai
pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anak -anak mereka.
B. Syarat dan Rukun-Rukun Nikah
Syarat sahnya nikah membutuhkan 4 rukun, yaitu :
1. Wali
Wali yaitu ayah kandung wanita atau penerima wasiat atau kerabat
terdekat dan seterusnya sesuai dengan urutan dari ahli waris wanita tersebut,

4
atau orang bijak dari keluarga wanita tersebut atau pemimpin setempat,
karena Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali” (Diriwayatkan semua penulis
Sunan dan di-shahih-kan Al-Hakim dan Ibnu Hibban).
Umar bin Khatab RA berkata “Wanita tidak boleh dinikahi kecuali
dengan izin walinya atau orang bijak dari keluarga wanita atau pemim
Hukum-hukum bagi wali:
a. Layak menjadi wali yaitu, laki-laku, baligh, berakal sempurna
dan orang merdeka (bukan budak).
b. Orang yang hendak menikahi seorang wanita harus meminta
izin kepada walinya.
c. Perwalian wali yang dekat tidak sah dengan keberadaan wali
yang lebih dekat. Jadi tidak sah perwalian saudara seayah
dengan keberadaan saudara kandung.
2. Dua orang saksi
Yang dimaksud dengan dua orang saksi atau lebih dari laki-laki
yang adil dari kaum Muslimin, karena Allah SW berfirman:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kalian”
QS. Ath-Thalaq: 2.
Hukum-hukum bagi dua orang saksi:
a. Harus 2 orang saksi atau lebih
b. Kedua saksi tersebut harus adil
3. Shighat Akad Nikah
Shighat akad ialah ucapan calon suami atau wakilnya pada saat akad
nikah.
4. Mahar
Mahar ialah sesuatu yang diberikan suami kepada istri untuk
menghalalkan menikmatinya dan hukum mahar adalah wajib
berdasarkan firman Allah SWT:
“Dan berikanlah maskawin(mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS Nisa: 4)

5
C. Hal – Hal yang Membatalkan Nikah Dalam Islam
Dalam hukum Islam kita menghenal adanya nikah yang dibatalkan
difasidkan. Batal disini berarti perkawinan yang telah dilakukan itu tidak
terpenuhi atau mengalami rusaknya hukum yang ditetapkan. Yaitu berupa
rukun perkawinan, sehingga yang bersangkutan dalam hal ini wajib
mengulang kembali dan memeuhi persyaratan hukumnya agar terlepas dari
kewajiban hukum yang berlaku atasnya serta mendapatkan pahala dari Allah
S.W.T., jika hal ini tidak dilaksanakan maka perkawinan tersebut dapat
dibatalkan.
Sedang pengertian fasid disini adalah perkawinan yang telah dilasanakan
itu mengalami kerusakan, tidak sah atau cacat karena tidak terpenuhi syarat
dan rukunnya. Jadi pada prinsipnya antara batal dan fasid substansinya yang
terkandung didalamnya adalah sama, yakni tidak sah pernikahannya. Akan
tetapi antara batal dan fasid menurut Abdurrohman al-Jaziry adalah nikah
yang tidak terpenuhi salah satu rukunnya dan nikah fasid adalah nikah yang
tidak memenuhi salah satu syarat dari nikah (kurang), sedangkan hukum
nikah batal danfasid adalah sama yaitu tidak sah keduanya.
Terlepas dari pengertian batal atau fasid sebagaimana yang telah
dipaparkan diatas, maka pada dasarnya ada dua unsur yang mempengaruhi
terjadinya fasid atau batanya perkawinan, dua unsur tersebut adalah syarat
dan rukun.
Syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam pernikahan.
Hanya saja salah satu dari syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi maka
perkawinan tersebut menjadi tidak sah (batal) demi hukum. Syarat sah nikah
adalah dasar dari sahnya nikah bila syarat-syarat tersebut terpenuhi maka
akad nikah itu diakui keberadaannya secara hukum dan berlaku segala akibat
hukum.Adapun rukun nikah adalah hakekat dari perkawinan itu sendiri. Jadi
tanpa adanya salah satu rukunnya maka perkawinan itu tidak mungkin dapat
dilaksanakan. Hal ini berarti jika suatu perkawinan dilakukan tanpa unsur
pokoknya yaitu syarat dan rukun perkawinan, maka akan batal menurut
hukum. Karena rukun merupakan pokok, sedangkan syarat merupakan
pelengkap dari suatu perbuatan hukum. Rukun dan syarat perkawinan telah

6
ditentukan oleh hukum syar’I dimana seorang mukallaf tidak boleh
mengantungkan suatu akad perkawinan kepada rukun dan syarat yang
dikehendakinya sendiri. Karena itulah perkawinan yang syarat nilai dan
tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah
dan rahma, perlu diatur dengan rukun dan syarat tertentu, agar tujuan di
syari’atkan perkawinan tercapai
Banyak pernikahan pada zaman sekarang yang mengalami perceraian
atau kandas di tengah perjalanan. Begitu mudahnya, lisan ini untuk
mengatakan perceraian. Padahal hal ini, sangat dibenci Allah SWT.
Hal yang dapat membatalkan pernikahan di antaranya ialah:
1. Jika si istri gila, menderita penyakit kusta atau sopak.
Hal ini seperti yang pernah dikatakan ‘Umar bin Khattab bahwa,
“Siapa pun wanita yang menikah, sedang dirinya tidak waras atau
mengidap penyakit kusta atau penyakit sopak dan suaminya baru
mengetahui setelah berhubungan badan dengannya, maka
maharnya tetap menjadi milik si istri atas hubungan badan yang
dilakukan. Adapun wali dari istri harus memberikan mahar (yang serupa)
kepada si suami sebagai ganti atas perbuatannya menipu dan
membohonginya.”
2. Jika telah berlangsung akad nikah baru diketahui bahwa wanita yang
dinikahi itu ternyata saudara sepersusuan laki-laki yang menikahinya,
maka pernikahannya tersebut menjadi batal karenannya.
3. Jika yang mengadakan akad nikah bagi calon pengantin masih di bawah
umur (belum dewasa) dan bukan ayah atau kakeknya. Akan tetapi telah
dewasa, maka kedua belah pihak (suami istri) berhak untuk memilih
meneruskan kehidupan perkawinannya maupun mengakhirinya dan
inilah yang disebut dengan khiyarul bulugh.
4. Jika si suami masuk Islam sedangkan istrinya menolak dan tetap menjadi
wanita musyrik, maka akad nikah yang dilakukan pada saat itu batal
karenanya.

7
5. Jika si istri masuk Islam sedangkan suamiya menolak dan tetap menjadi
laki-laki musyrik, maka akad nikah yang dilakukan pada saat itu batal
karenanya.
6. Jika si suami murtad sedangkan istrinya masih tetap muslimah.
7. Jika si istri murtad sedangkan suaminya masih tetap muslim.
8. Jika si istri disetubuhi olah ayah atau kakeknya karena faktor
ketidaksenghajaan maupun dengan maksud menzinahinya.
9. Jika kedua belah pihak saling berli’an.
10. Jika keduanya sama-sama murtad.
Jika salah satu meninggal dunia. Di mana dalam hal ini tidak ada
perbedaan pendapat.
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan terdapat pada pasal 22 menegaskan bahwa “ Perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak tepenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan”. Selain itu terdapat penegasan pada Pasal 71
tentang suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila terdapat adanya :
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa seizin pengadilan agama
b. Perempuan yangt dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
pria lain yang mafqud (hilang tidak diketahui beritanya)
c. Perempunan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain.
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 7 undang-undang No.1 Tahun 1974.
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang
tidak berhak.
f. Perkawianan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Menurut Sayyid Abu Al Hasan pernikahan dapat dibatalkan, Bahwa
untuk sahnya suatu akad disyaratkan adanya kehendak sendiri pada kedua
mempelai, kalau keduanya atau salah satu diantaranya dipaksa, maka akad
itu tidak sah. Tetapi kalau paksaan itu kemudian diikuti dengan kerelaan
dari orang yang di paksa, maka menurut pendapat yang lebih kuat akad
tersebut menjadi sah.

8
Berdasarkan itu, maka kalau pengantin laki-laki dan perempuan
menyatakan dirinya di paksa tetapi mereka berdua bergaul sebagaimana
layaknya suami istri atau duduk bersanding sebagaiamana mestinya dua
orang penganti baru, atau mahar diterima sikap-sikap lain yang menunjukan
kerelaan, maka pernyataan terpaksa itu ditolak dan ucapan-ucapan mereka
tak perlu didebgarkan juga tak perlu diperhatikan bukti-bukti sesudah
adanya petunjuk yang mengisyaratkan kerelaan tersebut.

D. Definisi Talak, Hukum, Rukun, dan Jenisnya.


1. Definisi Talak
‫إن إبليس يضع عرشه على الماء ثم يبعث سراياه فأدناهم منه‬
‫منزلة أعظمهم فتنة يجئ أحدهم فيقول فعلت كذا وكذا فيقول ما‬

‫صنعت شيئا قال ثم يجئ أحدهم فيقول ما تركته حتى فرقت‬

‫بينه وبين امرأته قال فيدنيه منه ويقول نعم أنت‬

Artinya: “Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia


mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah
yang paling besar godaannya. Di antara mereka ada yang melapor, ‘Saya
telah melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melakukan
apa-apa.’ Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang,
sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan
istrinya.’ Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata,
‘Sebaik-baik setan adalah kamu.” (HR. Muslim)
Di atas merupakan hadist Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam yang
sesungguhnya merupakan suatu peringatan tentang buruknya suatu
perceraian. Mengapa? Karena perceraian itu adalah salah satu cita-cita
terbesar dari iblis yang merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling
laknat, dimana dengan adanya perceraian akan dapat menimbulkan berbagai
dampak seperti terputusnya keturunan maupun terputusnya tali silaturahmi.
Selain itu, perceraian juga dapat membuka jalan menuju perzinaan yang
dapat menimbulkan kerusakan dan mendatangkan dosa yang begitu besar.
Oleh karena itu, sebelum menikah akan lebih baik jika memilih calon

9
pendamping hidup sesuai dengan syari’at agama, agar nantinya hal-hal yang
dilarang agama tidak terjadi, seperti perceraian. Terlebih dengan cara yang
Allah ridoi, seperti ta’aruf.
Perceraian atau dalam islam dikenal dengan talak yang dapat diartikan
sebagai terlepasnya ikatan sebuah perkawinan atau juga bisa diartikan
terputusnya hubungan perkawinan antar suami dan istri dalam jangka waktu
tertentu atau untuk selama-lamanya. Mengapa dikatakan dalam jangka waktu
tertentu? Karena dalam Islam diperbolehkan adanya rujuk, dengan beberapa
catatan seperti firman Allah SWT berikut ini:

‫الَّطالُق َم َّرَتاِن َفِإْم َزاٌك ِبَم ْعُروٍف َأْو َتْس ِريٌح ِبِإْح َس اٍن َو ال َيِح ُّل َلُك ْم َأْن َتْأُخ ُذ وا ِم َم ا‬

‫آَتْيُتُم وُهَّن َش ْيئًا ِإّالض َأْن َيَخ اَفا َأَّال ُيِقيَم ا ُح ُد وَد ِهَّللا َفِإْن ِخ ْفُتْم َأَّال ُيِقيَم ا ُح ُد وَد ِهَّللا‬

‫َفال ُجَناَح َع َلْيِهَم ا ِفيَم ا اْفَتَد ْت ِبِه ِتْلَك ُح ُدوُد ِهَّللا َفال َتْعَتُدوَها َو َم ْن َيَتَع َّد ُح ُد وَد ِهَّللا‬

‫َفُأوَلِئَك ُهُم الَّظاِلُم وَن‬

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al- Baqarah ayat 229). Allah SWT
juga berfirman:

‫َفِإَذ ا َبَلْغ َن َأَج َلُهَّن َفَأْمِس ُك وُهَّن ِبَم ْعُروٍف َأْو َفاِرُقوُهَّن ِبَم ْعُروٍف َو َأْش ِهُدوا َذ َو ْي‬

‫َع ْد ٍل ِّم نُك ْم َو َأِقيُم وا الَّشَهاَد َة ِهَّلِل َذ ِلُك ْم ُيوَع ُظ ِبِه َم ن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اآلِخ ِر‬

‫َو َم ن َيَّتِق َهَّللا َيْج َع ل َّلُه َم ْخ َر ًجا‬

10
Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan keluar.” (QS. At- Talaq ayat 2)
Kapankan perceraian atau talak itu dapat dilakukan? Islam telah
mengajarkan bahwasannya talak atau cerai tidak bisa dilakukan kapan saja.
Al- Qur’an dan As- Sunnah telah mengajarkan bahwa talak hendaknya
dilakukan secara pelan-pelan dan memilih waktu yang sesuai.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam talak atau cerai diantaranya :
a. Talak atau cerai tidak boleh dilakukan oleh seorang suami kepada
istrinya pada saat istrinya sedang dalam masa haid, nifas, atau saat istrinya
dalam keadaan suci akan tetapi ia menggaulinya. Jika suami melakukan hal
tersebut maka dianggap telah melakukan talak yang bid’ah dan diharamkan.
Rasulullah Shalallahu Alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang
melakukan perbuatan tanpa dilandasi perintah kami maka itu tertolak (tidak
diterima).”
b. Hendaknya ketika mengucapkan talak, suami dalam keadaan sadar,
karena apabila suami mentalak istrinya dalam keadaan tidak sadar seperti
ketika sedang marah, sehingga karena amarah tersebut dapat menutupi
kesadarannya hingga ia bicaa yang tidak diinginkan, maka talak yang ia
lakukan adalah tidak sah. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam
bersabda :
‫ال طالق وال عتاق في إغالق‬
Artinya “Tidak ada talak dan tidak dianggap kalimat membebaskan
budak, ketika ighlaq.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Hakim)
c. Seorang suami yang mentalak atau menceraikan istrinya
bermaksud untuk benar-benar mencerai atau berpisah dengan istrinya
tersebut, jangan sampai talak yang diucapkan hanya sekedar menakut-nakuti
atau menjadikan talak itu sebagai sumpah. Hal tersebut tidak dibenarkan

11
dalam islam. Ibnu Abbas pernah berkata: “Sesungguhnya talak itu harena
diperlukan.”
2. Hukum Talak
Pada dasarnya perceraian atau talak adalah sesuatu hal yang harus
dihindari dalam sebuah perkawinan. Mengapa? Karena selain merupakan
perbuatan yang amat disenangi oleh iblis, talak juga nantinya dapat berakibat
buruk bagi kehidupan, baik itu bagi pasanagan suami istri yang memutuskan
untuk bercerai, bagi keturunan atau anak-anak mereka, juga bagi anggota
keluarga lainnya.
Kita banyak melihat dampak-dampak dari fenomena tersebut, dimana
banyak anak-anak yang terlantar akibat kurangnya pendidikan dan kasih
sayang dari orang tuanya. Dan hal itu tentu saja menjadi peluang bagi iblis
untuk menjadikan anak-anak tersebut sebagai bala tentaranya.
Jadi sebelum memutuskan untuk bercerai, ada baiknya jika
pasangan suami istri lebih memikirkan bagaimana masa depan anak-
anak mereka nantinya, jangan sampai keinginan iblis untuk menjadikan
mereka sebagai pendukungnya menjadi terkabul.
Adapun hukum dari talak atau cerai ada bermacam-macam,
yaitu :
a. Wajib ; Perceraian atau talak dikatakan wajib apabila :
• Antara suami dan istri tidak dapat didamaikan lagi
• Tidak terjadi kata sepakat oleh dua orang wakil baik dari pihak
suami maupun istri untuk perdamaian rumah tangga yang
hendak bercerai
• Adanya pendapat dari pihak pengadilan yang menyatakan
bahwa perceraian/ talak adalah jalan yang terbaik.
Dan jika dalam keadaan-keadaan tersebut keduanya tidak
diceraikan, maka suami akan berdosa.
b. Haram ; Suatu perceraian/ talak akan menjadi haram hukumnya
apabila :
• Seorang suami menceraikan istrinya ketika si istri sedang dalam
masa haid atau nifas

12
• Seorang suami yang menceraikan istri ketika si istri dalam
keadaan suci yang telah disetubuhi
• Seorang suami yang dalam keadaan sakit lalu ia menceraikan
istrinya dengan tujuan agar sang istri tidak menuntut harta
• Seorang suami yang menceraikan istrinya dengan talak tiga
sekaligus, atau juga bisa dengan mengucapkan talak sat akan
tetapi pengucapannya dilakukan secara berulang-ulang sehingga
mencapai tiga kali atau bahkan lebih.
c. Sunnah ; Perceraian merupakan hal yang disunnahkan, apabila :
• Suami tidak lagi mampu menafkahi istrinya
• Sang istri tidak bisa menjaga martabat dan kehormatan dirinya
d. Makruh ; Perceraian/ talak bisa dianggap sebagai hal yang makruh
apabila seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya yang
baik, memiliki akhlak yang mulia, serta memiliki pengetahuan
agama yang baik.
e. Mubah ; Sedangkan perceraian atau talak bisa dikatakan mubah
hukumnya apabila suami memiliki keinginan/ nafsu yang lemah
atau juga bisa dikarenakan sang istri belum datang haid atau telah
habis masa haidnya.
3. Rukun Perceraian/ Talak
a. Bagi Suami ; Suami yang hendak menceraikan istrinya haruslah :
 Berakal sehat
 Baligh
 Bercerai atas kemauan sendiri atau tanpa adanya paksaan dari
pihak lain
b. Bagi Istri ; Seorang istri yang bisa diceraikan haruslah :
 Memiliki akad nikah yang sah dengan suami
 Suami belum pernah menceraikannya dengan
mengucapkan talak tiga
c. Lafadz Talak ; Talak dianggap sah apabila dalam lafadznya :
 Terdapat kejelasan ucapan yang menyatakan perceraian

13
 Disengaja atau tanpa adanya paksaan dari pihak manapun atas
pengucapan talak tersebut.
4. Jenis – Jenis Talak
a. Dilihat dari sighat (ucapan/ lafadz) talak
Jika ditinjau dari segi ini, talak dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
1) Talak Sharih (Talak langsung)
Ini adalah talak yang diucapkan oleh seorang suami
kepada istrinya dengan lafadz atau ucapan yang jelas dan
terang. Meskipun talak ini diucapkan tanpa adanya niat
ataupun saksi, akan tetapi sang suami tetap dianggap
menjatuhkan talak/ cerai. Hal ini telah ditegaskan dalam Al-
Mausu’ah al-Fiqhiyah :

‫واتفقوا على أن الصريح يقع به الطالق بغير نية‬

Artinya “Para ulama sepakat bahwa talak dengan


lafadz sharih (tegas) statusnya sah, tanpa melihat niat
(pelaku).”
Contoh Lafadz/ ucapan Talak Sharih :
 Aku menceraikanmu
 Engkau aku ceraikan
 Engkau kutalak satu, dan lain sebagainya.

2) Talak Kinayah (Talak Tidak Langsung)


Ini adalah talak yang diucapkan oleh seorang suami
kepada istrinya dengan menggunakan kata-kata yang di
dalamnya mengandung makna perceraian akan tetapi tidak
secara langsung. Seorang suami yang apabila menjatuhkan
talak dengan lafadz talak kinayah sementara tidak ada niat
untuk menceraikan istrinya, maka talak tersebut dianggap tidak
jatuh

14
E. RUJUK
1. Definisi Rujuk
Rujuk merupakan prioritas utama dalam sistem hukum Islam yang
diberikan Allah SWT untuk menyambung kembali tali perkawinan yang
nyaris terputus selama-lamanya. Hal ini diperbolehkan kepada orang lain
setelah berakhirnya masa iddah. Rujuk hanya dilakukan pada talak raj’i,
yaitu talak pertama atau kedua yang dijatuhkan suami kepada istri yang
telah digauli. Oleh sebab itu, rujuk tidak dapat diberikan pada peristiwa
talak yang ketiga (ba’in). Rujuk dilakukan melalui perkataan yang jelas,
bukan perbuatan. Para ulama berbeda pendapat mengenai rujuk yang
dilakukan dengan perbuatan. Menurut Imam Syafi’i, bahwa rujuk tersebut
tidak sah. Sedangkan menurut ulama lainnya mengatakan sah. Rujuk tidak
mudah untuk dilakukan. Sebab rujuk sendiri mempunyai tata caranya dan
ada pasal-pasal yang mengatur bagaimana cara merujuk. Diantara pasal-
pasal tersebut ialah: pasal 167 KHI, 168 KHI dan 169 KHI. Seseoarang
yang melakukan rujuk dengan tujuan tidak baik, maka hukumnya adalah
haram. Sebab hal tersebut merupakan perbuatan yang dzalim.
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam
pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah
dengan istri yang telah dicerai raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan
selama istri dalam masa iddah. Dalam hukum perkawinan islam rujuk
merupakan tindakan hukum yang terpuji.
Dari definisi-definisi tersebut terlihat beberapa kata kunci yang
menunjukan hakikat dari perbuatan yang bernama rujuk itu:
a. kata atau ungkapan “kembali” mengandung arti bahwa diantara
keduanya sebelumnya telah terikat dalam perkawinan, namun ikatan
tersebut telah berakhir dengan perceraian, dan laki-laki yang kembali
kepada orang lain dalam bentuk perkawinan, tidak disebut rujuk dalam
pengertian ini,
b. Ungkapan atau kata “yang telah dicerai raj’i” mengandung arti
bahwa istri yang bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum
putus atau ba’in , hal ini mengandung maksud bahwa kembali kepada istri

15
yang belum dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak raj’i
tidak disebut rujuk dan
c. Ungkapan atau kata “masih dalam masa iddah” mengandung arti
bahwa rujuk itu hanya terjadi selam istri masih berada dalam iddah. Bila
waktu telah habis mantan suami tidak dapat lagi kembali kepada istrinya
dengan nama rujuk, untuk itu suami harus memulai lagi nikah baru dengan
akad baru.
2. Rujuk terhadap Wanita yang Ditalak Ba’in
Menurut Imamiyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah dalam
Mughniyah, berpendapat rujuk terhadap wanita yang ditalak ba’in terbatas
hanya terhadap wanita yang di talak melalui khulu (tebusan), melainkan
dengan syarat sudah dicampuri. Hendaknya talaknya itu bukan merupakan
talak tiga. Para Mazhab tersebut sepakat hukum wanita seperti itu sama
dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawininya kembali
disyaratkan adanya akad, mahar, wali, dan kesediaan si wanita. Dalam hal
ini selesainya iddah tidak dianggap sebagai syarat
Seorang suami yang menceraikan istrinya tiga kali atau lebih, maka
suami tersebut tidak boleh melakukan rujuk kepada istrinya, melainkan
dengan beberapa syarat yaitu: telah selesai masa iddah perempuan tersebut
darinya, perempuan tersebut menikah lagi dengan lelaki lain, telah
bersetubuh dengan lelaki yang telah dikawininya lagi, telah dicerai lelaki
tersebut tiga kali cerai, dan telah selesai masa iddahnya dari lelaki tersebut.
3. Rukun dan Syarat Rujuk
Seseorang yang melakukan rujuk harus memenuhi syarat-syarat dan rukun
dalam rujuk.
a. Rukun Rujuk
Yang termasuk dalam rukun rujuk ialah: keadaan istri disyaratkan sudah
dicampuri oleh suaminya, suami melakukan rujuk atas kehendak sendiri,
rujuk dilakukan dengan sighat (lafal atau perkataan rujuk dari suami) bukan
melalui perbuatan (campur), dan hadirnya saksi. Mengenai saksi para ulama
masih berbeda pendapat, apakah saksi itu merupakan rukun yang wajib atau

16
hanya sunnah. Sebagian mengatakan wajib, sedangkan yang lain
mengatakan hanya sunnah.
Berbeda-beda pula para ulama mengenai rujuk yang dilakukan dengan
perbuatan. Imam Syafi’i berpendapat hal tersebut tidak sah, yang
berlandaskan pada ayat Allah yang menyuruh bahwa rujuk harus dilakukan
dengan dipersaksikan, sedangkan yang dapat dipersaksikan hanya dengan
sighat (perkataan). Akan tetapi menurut kebanyakaan para ulama, rujuk
dengan perbuatan itu sah (boleh). Mereka beralasan kepada firman Allah
swt yang berbunyi: “Dan suami-suami berhak merujukinya.” Dalam ayat
tersebut tidak ditentukan dengan perkataan atau perbuatan. Hukum
mempersaksikan pada ayat tersebut hanya sunnah, bukan wajib.

b. Syarat Rujuk
Syarat dalam rujuk yang telah disepakati para ulama ialah ucapan rujuk
mantan suami dan mantan istri. Syarat-syarat tersebut ialah.
1) Laki-laki yang merujuk, adapun syarat bagi laki-laki yang merujuk
itu adalah sebagai berikut: laki-laki yang merujuk adalah suami bagi
perempuan yang dirujuk yang dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang
sah, dan laki-laki yang merujuk itu mestilah seseorang yang mampu
melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat
akalnya dan bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang yang masih
belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak sah ruju’ yang dilakukannya.
Begitu pula bila rujuk itu dilakukan atas paksaan dari orang lain, tidak sah
rujuknya. Tentang sahnya rujuk orang yang mabuk karena sengaja minum-
minuman yang memabukkan, ulama berbeda pendapat sebagaimana berbeda
pendapat dalam menetapkan sahnya akad yang dilakukan oleh orang mabuk.
2) Perempuan yang dirujuk, adapun syarat sahnya rujuk bagi
perempuan yang dirujuk itu adalah perempuan itu istri yang sah dari laki-
laki yang merujuk, istri itu telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i. Tidak
sah merujuk istri yang masih terikat dalam tali perkawinan atau telah ditalak
namun dalam bentuk talak ba’in, istri itu masih berada dalam iddah talak
raj’i. Laki-laki masih mempunyai hubungan hukum dengan istri yang

17
ditalaknya secara talak raj’i, selama berada dalam iddah. Sehabis iddah itu
putuslah hubungannya sama sekali dan dengan sendirinya tidak lagi boleh
dirujuknya, dan istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu. Tidak
sah rujuk kepada istri yang diceraikannya sebelum istri itu sempat
digaulinya, karena rujuk hanya berlaku bila perempuan itu masih berada
dalam iddah, istri yang dicerai sebelum digauli tidak mempunyai iddah,
sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Menurut Wahbah al Zuhaily dalam Nuruddin dan Tarigan mengatakan
bahwa hal-hal yang tidak termasuk dalam syarat rujuk yaitu:
1) Kerelaan istri, dalam rujuk tidak disyaratkan dalam kerelaan istri,
karena hak rujuk itu adalah hak suami yang tidak tergantung pada izin atau
persetujuan pihak lain,
2) Tidak disyaratkan suami untuk memberi tahu istrinya karena lagi-
lagi rujuk merupakan hak suami, dan
3) Saksi ketika rujuk, saksi tidak diperlukan bagi suami yang akan
kembali kepada istrinya.
Akan tetapi ulam sepakat mengatakan bahwa adanya saksi itu dianjurkan
sekedar untuk berhati-hati belaka.
4. Tata Cara Rujuk
Mengenai tata cara dalam rujuk, ada beberapa pasal yang mengatur tata
cara dalam rujuk. Diantara pasal-pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk
serta tata caranya ialah:
Pasal 167 KHI:
a. Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya
ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang
terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan,
b. Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai
Pencatat Nikah atau Pembantu Pencatat Nikah,
c. Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami
yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum

18
munakahat, apakah rujuk yang dilakukan itu masih dalam talak raj’i, apakah
perempuan yang akan dirujuknya itu adalah istrinya,
d. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang
bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk
dan
e. Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah menasehati
suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan
dengan rujuk.
5. Hukum Rujuk
Adapun hukum rujuk, yaitu :
a. Wajib, terhadap suami yang mentalak salah seorang istrinya sebelum
dia sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak,
b. Haram, apabila rujuknya berniat menyakiti istri,
c. Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya,
d. Mubah, ini adalah hukum rujuk yang asli dan,
e. Sunnah, apabila suami bermaksud untuk memperbaiki istrinya atau
rujuk itu lebih berfaedah bagi keduanya.
6. Hak Rujuk
Hak merujuk bekas suami terhadap bekas istrinya yang ditalak raj’i
diatur berdasarkan Firman Allah surat Al Baqarah ayat 228 yang
menyatakan: “Dan suami-suami berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami itu) menghendaki ishlah (perbaikan)”. Bekas
suami yang merujuk bekas istrinya yang ditalak raj’i mempunyai batasan
bahwa bekas suami itu bermaksud baik dan untuk mengadakan perbaikan.
Tidak dibenarkan bekas suami mempergunakan hak merujuk itu dengan
tujuan yang tidak baik atau berbuat zalim.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Nikah adalah ikatan perkawinan yang suci sesuai syariat islam antara
laki-laki dan perempuan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
biologis sesuai dengan fitrah manusia, tetapi tujuan yang lebih besar adalah
sebagai sarana untuk mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan
kebahagiaan dari Allah Swt. yang sesuai tuntunan Al-Quran dan Al-Hadist.
Hukum menikah ada yang mewajibkan apabila sudah siap baik fisik,
mental, jiwa, raga, dan hartanya. Hukumnya sunah apabila memiliki niat
memelihara diri dari perbuatan dosa. Rukun nikah terdiri dari wali, dua
orang saksi, shigat akad nikah, dan mahar. Apabila dari salah satu rukun
tersebut tidak terpenuhi, maka nikahnya menjadi batal. Adapun sunah-sunah
nikah seperti khutbah, doa, walimahan, pengumuman nikah, dsb menjadi
bagian yang mesti diperhatikan juga, karena melaksanakan sunah berarti
mengikuti Rasulullah Saw.
Nikah yang Allah ridhai adalah nikah yang sesuai tuntunan Al-quran
dan Alhadist, tidak lebih atau pun kurang. InsyaAllah, apabila kita
mengikuti kedua sumber tersebut maka dapat dipastikan keluarga yang
dibangun menjadi keluarga yang islami. Terciptanya kasih sayang dalam
kehangatan dan keharmonisan dalam berkeluaga. Tentunya kata Sakinah,
Mawaddah, Warahmah tidak menjadi sekedar kata maupun doa. Tetapi
benar-benar terimplementasikan dalam kehidupan sehari hari.
Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan, baik ikatan nyata
seperti ikatan kuda atau ikatan tawanan atau pun ikatan ma’nawi seperti
nikah. Talak menurut syara’ ialah melepaskan taali perkawinan dan
mengakhiri tali pernikahan suami istri.
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam
pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah
dengan istri yang telah dicerai raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan

20
selama istri dalam masa iddah. Dalam hukum perkawinan islam rujuk
merupakan tindakan hukum yang terpuji.

21
DAFTAR PUSTAKA

Beni Ahmad Saebani dan Encep Taufiqurrahman. 2015. Pengantar Ilmu


Fiqih.Pustaka:Setia Bandung

Rasjid, Sulaiman. 2009. Fiqih Islam. Sinar Baru Algensindo:Bandung

Sugiono, Edi. 2009. Terjemah/Tafsir Al-Qur‟an. Tiga Serangkai:Surakarta.

22

Anda mungkin juga menyukai