Dosen Pengampu
Sirojudin Ahmad, S.Ag, M.H
Disusun oleh:
Farras Kurniasari (101220064)
Friska Saputra Redoansah (101220073)
Bahauddin Ahmad Yusuf (101190196)
FAKULTAS SYARIAH
2024
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah dengan judul PUTUSNYA PERNIKAHAN “FASAKH” dengan
tepat waktu. Dalam menyusun makalah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, sehingga
makalah ini dapat terselesaikan pada waktunya. Kami menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada Bapak Sirojudin Ahmad, S.Ag, M.H selaku dosen mata kuliah Fikih Munakahat II
Institut Agama Islam Negeri Ponorogo serta rekan – rekan anggota kelompok yang ikut bekerja
sama dalam penyelesaian makalah ini.
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, ataupun
ketidaksesuaian materi yang kelompok kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf. Kami
mengharap adanya kritik dan saran yang membangun supaya dapat kami jadikan evaluasi dan
pembelajaran untuk pembuatan makalah yang lebih baik kedepannya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
JUDUL........................................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................1
C. Tujuan...............................................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
A. Pengertian Fasakh...........................................................................................................................3
B. Sebab-sebab fasakh nikah...............................................................................................................3
C. Dalil-Dalil Tentang Fasakh.............................................................................................................6
D. Akibat Hukum Fasakh....................................................................................................................9
E. Fasakh (pembatalan nikah) dalam UU Perkawinan dan kompilasi Hukum Islam..................9
BAB III.....................................................................................................................................................13
KESIMPULAN........................................................................................................................................13
DAFTAR PUSAKA.................................................................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semua makhluk hidup yang ada di dunia diciptakan oleh Allah Swt secara berpasang-
pasangan, ada siang dan malam, ada panas dan hujan, ada matahari ada bumi begitupun
seterusnya. Manusia juga memiliki ruang lingkup salah satunya mengenai hal yang
berhubungan dengan pernikahan yakni mengenai batalnya sebuah pernikahan. Batalnya
sebuah tali ikatan pernikahan bukan hanya melalui jalan cerai saja, akan tetapi ada banyak
jalan yang dapat ditempuh seperti khulu’, fasakh, dan zihar dan pastinya berbeda-beda, baik
caranya, sebab-sebabnya maupun hukum-hukum yang terikat sebagai konsekuensinya.1
B. Rumusan Masalah
Dari topik di atas terdapat rumusan masalah sebagai berikut,
1
Ahmad Sarwat. Ensiklopedia Fikih Indonesia 8: Pernikahan. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2019),
463.
2
Sudarto. BUKU FIKIH MUNAKAHAT. (Yogyakarta: Deepublish, 2021), 121.
1
C. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas terdapat tujuan antara lain:
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fasakh
Fasakh berasal dari bahasa arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti
membatalkan atau juga fasakh berarti mencabut atau menghapuskan atau membatalkan akad
nikah dan melepaskan hubungan yang terjalin antara suami isteri. Menurut (KBBI) Kamus
Besar Bahasa Indonesia, fasakh merupakan hak pembatalan ikatan pernikahan oleh
pengadilan agama berdasarkan dakwaan (tuntutan) istri atau suami yang dapat dibenarkan
oleh Pengadilan Agama, atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum
pernikahan.
Fasakh menurut terminologi adalah نقض<ه: فسخ العقدartinya: menfasakh akad, yang
berarti membatalkan. Fasakh berarti melepaskan ikatan hubungan antara suami istri. Dalam
definisi lain, Abdul Mujib mengartikan fasakh sebagai pembatalan perkawinan oleh istri
karena antara suami istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau si
suami tidak dapat memberi belanja atau nafkah, menganiaya, murtad dan sebagainya.
Menurut Gundur, fasakh adalah membatalkan akad dan menghilangkan ikatan hubungan
yang menjadi konsekuensi dari akad tersebut. Sedangkan menurut istilah, Sayyid Sabiq
mengartikan fasakh adalah membatalkan dan melepaskan hubungan ikatan pertalian antara
suami dan isteri.3
Dari beberapa pengertian tersebut, berarti fasakh adalah salah satu bentuk perpisahan
yang dapat melepaskan atau membatalkan ikatan perkawinan karena adanya hal-hal yang
dirasa berat oleh masing-masing atau salah satu pihak suami isteri yang menjadikan tujuan
pernikahan tidak dapat terwujud.
1. Syarat-syarat maupun rukun yang tidak terpenuhi pada akad nikah, atau terdapat
halangan yang tidak membenarkan terjadinya pernikahan tersebut, antara lain:
3
Arif Jamaluddin Malik dan Brilly El-Rasheed. Hadits-hadits Ahkam Pedoman Keluarga Islam. (Surabaya:
Mandiri Publishing, 2023), 72-73
3
a. Setelah akad nikah ternyata diketahui bahwa isterinya adalah saudara kandung atau
saudara sesusuan pihak suami.
b. Setelah akad nikah ternyata diketahui bahwa laki-laki yang menikahinya adalah ayah
angkatnya, hal ini menyalahi tentang ketentuan wali.
c. Suami istri masa kecil diakadkan oleh selain ayah dan kakeknya, kemudian setelah
dewasa mereka berhak memilih antara melanjutkan aqad nikahnya atau
membatalkannya (khiyar baligh). Jika yang dipilih adalah mengakhiri ikatan suami-
istri maka mengakibatkan perkawinan mereka fasakh (fasakh baligh).4
2. Hal-hal yang datang setelah akad nikah kemudian membatalkan perkawinan, antara lain:
a. Bila diantara suami atau istri murtad dari Islam dan tidak mau kembali sama sekali,
maka akad nikahnya batal (fasakh) disebabkan karena kemurtadan yang terjadi.
b. Jika suami yang tadinya kafir kemudian masuk Islam, namun istri tetap pada
kekafirannya (tetap menjadi musyrik), maka perkawinannya batal (fasakh). Kecuali
istrinya seorang ahli kitab, karena perkawinan dengan ahli kitab diperbolehkan dan
perkawinan tidak batal.
c. Jika diantara suami isteri menemukan adanya cacat (jasmani dan rohani) pada diri
pasangannya, yang tidak dapat dihilangkan atau dapat dihilangkan tapi dalam waktu
yang lama.5
a. Syiqaq
Salah satu bentuk terjadinya fasakh ini adalah adanya pertengkaran antara suami-istri
yang tidak mungkin didamaikan. Bentuk ini disebut syiqaq. Ketentuan tentang syiqaq
terdapat dalam QS. An-Nisa’ ayat 35.
َو ِاْن ِخ ْفُتْم ِش َقاَق َبْيِنِهَم ا َفاْبَعُثْو ا َح َك ًم ا ِّم ْن َاْه ِلٖه َو َح َك ًم ا ِّم ْن َاْه ِلَهۚا ِاْن ُّيِر ْيَدآ ِاْص اَل ًح ا ُّيَو ِّفِق ُهّٰللا َبْيَنُهَم ۗا ِاَّن َهّٰللا َك اَن َعِلْيًم اَخ ِبْيًر ا
Artinya : “Jika kamu (para wali) khawatir terjadi persengketaan di antara keduanya,
utuslah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari
4
Ibid., 121-125
5
Ibid., 74
4
keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud melakukan islah (perdamaian),
niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Mahateliti.’’
Terdapat atsar sahabi ang berasal dari Umar bin Khattab dari Said bin al-Musayyab
yang berbunyi:
قال أيما رجل تزوج امرأة فدخل بها فوج<دها برصاء أو مجنون<ة أو مجون<ة فلها الص<داق بمسيس<ه
إياها
Artinya : “Umar bin Khattab berkata:” Laki-laki mana saja yang mengawini
perempuan dan bergaul dengannya, menemui pada perempuan itu penyakit sopak,
gila atau kusta, maka berikanlah maharnya karena telah bergaul dengannya (artinya
setelah keduannya dipisahkan).”
c. Fasakh karena ketidakmampuan suami memberi nafkah
Suami selama dalam masa perkawinan berkewajiban memberi nafkah untuk istrinya,
baik dalam bentuk sandang, pangan maupun papan. Dalam kehidupan sehari-hari
mungkin saja terjadi suami kehilangan sumber pencahariannya sehingga dia tidak
dapat menjalankan kewajibannya, sehingga kehidupan rumah mulai terancam. Ada
sebuah hadis yang berasal dari Abu Hurairah:
أن النبي صلى هللا عليه وسلم فى الرجل اليجد ما ينفق على إمرأته قال يفرق بينهما
5
Yang dimaksud dengan suami gaib disini adalah suami meninggalkan tempat
tetapnya dan tidak diketahui dimana perginya dan dimana beradanya dalam waktu
yang sudah lama. Gaibnya suami dalam bentuk menyulitkan istrinya. Ada sebuah
pendapat sahabat Ibnu Mas’ud bahwa:
hakim tidak boleh memutuskan perkawinan tersebut. Istri suami ang gaib itu masih
terikat dengan suaminya sampai ada keyakinan tentang kematiannya. (Ibnu hazmin,
315).
e. Fasakh karena melanggar perjanjian dalam perkawinan
Bila terjadi pelanggaran janji, dalam kasus ta’liq thalaq umpamanya suami yang
meninggalkan istrinya selama masa tertentu dan tidak memberi nafkah dalam masa
itu; istri tidak rela dengan kenyataan itu, istri mengajukannya ke pengadilan untuk
memperoleh perceraian dari pengadilan. Inilah salah satu bentuk dari penelesaian
pelanggaran perjanjian dalam perkawinan dalam bentuk fasakh.
Artinya : “Apabila kamu menceraikan istri(-mu), hingga (hampir) berakhir masa idahnya,
tahanlah (rujuk) mereka dengan cara yang patut atau ceraikanlah mereka dengan cara yang
patut (pula). Janganlah kamu menahan (rujuk) mereka untuk memberi kemudaratan sehingga
6
kamu melampaui batas. Siapa yang melakukan demikian, dia sungguh telah menzalimi
dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan ayat-ayat (hukum-hukum) Allah sebagai bahan
ejekan. Ingatlah nikmat Allah kepadamu dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu,
yaitu Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunah), untuk memberi pengajaran kepadamu.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.”
Artinya : " Tidak boleh ada kemudharatan dan tidak boleh saling menimbulkan
Kemudharatan”
الضرر يزال
Berdasarkan Firman Allah, Al Hadits dan kaedah tersebut di atas para fuqaha
menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami isteri terjadi keadaan sifat atau sikap yang
menimbulkan kemudharatan pada salah satu pihak, maka pihak yang menderita mudharat
dapat mengambil prakarsa untuk memutuskan perkawinan, kemudian hakim menfasakhkan
perkawinan atau dasar pengaduan pihak yang menderita tersebut.
Penetapan hak fasakh bagi suami dan istri akibat cacat atau penyakit antara lain
berdasarkan hadis riwayat Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar bin Al-Khathab. Disebutkan, pada
suatu ketika Nabi SAW menikah dengan seorang perempuan dari Bani Ghifar. Ketika
perempuan itu memasuki kamar, Rasulullah SAW melihat bagian lambungnya berwarna
putih.
Sedangkan di dalam hukum Islam, terdapat suatu riwayat dari Aisyah ra, bahwasanya
anak perempuan al-Jaun tatkala dipersatukan dia kepada Rasulullah saw dan ia hampir
7
kepadanya. Ia berkata : “Aku berlindung kepada Allah dari padamu”. Maka Rasulullah
bersabda :
Ada beberapa hadits lain yang dijadikan dasar pijakan bagi hukum fasakh an-nikah
diantaranya adalah:
عن جميل بن زيد بن كعب أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم تزوج إمرأة من بني غفار فلما دخل عليها فوضع ثوبه
{رواه.وقعد على الفراش أبصر بكشجها بياضا فنحاز عن الفراش ثم ق<ال خذى عليك ثيابك ولم يأخذ مما أتاها شيئا
}أحمد
Artinya : Dari jamil bin Zaid bin Ka’ab r.a bahwasannya Rosulullah SAW pernah
menikahi seorang perempuan bani gafar, maka tatkala ia akan bersetubuh dan
perempuan itu telah yang meletakkan kainnya, dan ia duduk di atas pelaminan,
kelihatannya putih (balak) dilambungnya lalu ia berpaling (pergi dari pelaminan
itu) seraya berkata, “ambillah kain engkau, tutupilah badan engkau, dan beliau
telah mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.”
(HR. Ahmad).
أيما رجل تزوج إمرأة وبها جنون أو ج<<ذام: قال عمر بن الخطاب رضي هللا عنه: عن يحي بن سعيد بن مسيب أنه قال
} {رواه مالك.أو برص فمسها فلها صداقها كامال وذلك لزوجها غرم على وليها
Artinya : Dari yahya bin sa’id bin musayyab, ia berkata: umar bin khattab r.a berkata.
Bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, lalu dari diri
perempuan itu terdapat tanda-tanda gila, kusta, atau bulak, lalu disetubuhinya
perempuan itu, maka hak baginya menikahi dengan sempurna (mahar
sempurna). Dan yang demikian itu hak bagi suaminya utang atas walinya.”
(Riwayat Malik).
8
aturan yang telah ditetapkan, secara otomatis batal, sekalipun tidak dibatalkan secara resmi
oleh pihak yang berwenang.
7
Seri Pustaka Yustisia. KOMPILASI HUKUM ISLAM. (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006), 69.
8
Cik Hasan Bisri. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional. (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), 113-114.
9
Sebab-sebab pembatalan nikah diatur dalam KHI pasal 70 menerangkan hal-hal yang
menyebabkan perkawinan batal, yaitu :
PASAL 70
Perkawinan batal apabila:
1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena
sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam
iddah talak raj’i;
2. Seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya;
3. Seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali
bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da
al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan
sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8
Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas.
b. berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
d. berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman
sesusuan.
5. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-
isterinya
PASAL 71
10
5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak
6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan
PASAL 72
1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum
2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai
diri suami atau isteri
3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah menyadari keadaannya dalam jangka
waktu 6 bulan setelah itu masih tetap hidup suami isteri, dan tidak dapat menggunakan
haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur
PASAL 73
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri
2. Suami atau isteri
3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang
4. Pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
tersebut dalam pasal 67
PASAL 74
PASAL 75
1. Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad
11
2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
3. Pihak ketiga sepanjang mereka menerima hak-hak dengan beri’tikad baik, sebelum
keputusan pembatalan perkawinan kekuatan hukum yang tetap
PASAL 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan
orang tuanya. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pembatalan
perkawinan diatur dalam psal 22 sampai pasal 28.
Sedangkan fasakh dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) terdapat pada Pasal 74 ayat (2)
KHI. Disana ditegaskan bahwa batalnya pernikahan dimulai setelah putusan pengadilan
Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dan berlaku sejak saat berlangsungnya
pernikahan. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa, pembatalan perkawinan mempunyai dasar
hukum yang tegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
maupun kompilasi hukum Islam (KHI) bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.dapat dibatalkan. 9
9
Ibid., 77-82.
12
BAB III
KESIMPULAN
Fasakh berasal dari bahasa arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti
membatalkan atau juga fasakh berarti mencabut atau menghapuskan atau membatalkan akad
nikah dan melepaskan hubungan yang terjalin antara suami isteri. Sebab-sebab terjadi fasakh
diantaranya Syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah, siqaq, fasakh karena cacat,
fasakh karena suami atau istri ghaib, fasakh karena tidak bisa menafkahi, fasakh karena
melnggar perjanjian pernikahan.
13
DAFTAR PUSAKA
Hasan Bisri, Cik. (1999). Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasional. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Hazami, Syafi’i. (2010). Taudhihul Adillah (Muamalah, Nikah, Jinayah, Mkanan/Minuman, dan
lain-lain). Jakarta: Kompas Gramedia.
Jamaluddin Malik, Arif dan Brilly El-Rasheed. (2023). Hadits-hadits Ahkam Pedoman Keluarga
Islam. Surabaya: Mandiri Publishing.
Muchtar Kamal. (1993). Asas – Asas Hukum Islam Tentang Perkahwinan. Jakarta : Bulan
Bintang.
Sayyid, Sabiq. (1983). Fiqh As-Sunnah. Cet. IV, Beirut: Daar Al-Fikr.
Mujied M. Abdul. (1994). Kamus Istilah Fiqh. Cet. I, Jakarta: Pustala Firdaus.
14