Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

AKIBAT PUTUSAN PERNIKAHAN:

MUT’AH, PEMBAGIAN HARTA GONO GINI, HADHANAH DAN


RUJU’

Disusun oleh :

Serlyta Indriyanti (2102056112)

Maliki Alfajr Davin Chandra Saputra (2102056114)

Dosen Pengampu :

Bu Latifah Munawarah, LC.,M.A.

PRODI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

1
2021/2022

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan karunia-
Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah Fiqh Munakahat dan
Mawaris tepat waktu. Tidak lupa selawat serta salam tercurah kepada Rasulullah SAW yang
syafaatnya kita nantikan kelak.

Penulisan makalah berjudul “Akibat Putusan Pernikahan: Mut’ah, Pembagian Harta Gono
Gini, Hadhanah dan Ruju’” dapat diselesaikan karena bantuan banyak pihak. Kami berharap
makalah ini dapat menambah wawasan kita tentang akibat putusan pernikahan. Selain itu,
kami juga berharap agar pembaca mendapatkan sudut pandang baru setelah membaca
makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih memerlukan penyempurnaan, terutama pada bagian isi.
Kami menerima segala bentuk kritik dan saran pembaca demi penyempurnaan makalah.
Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami memohon maaf.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Semarang,05 April 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................6
PEMBAHASAN........................................................................................................................6
2.1 Akibat Putusan Perkawinan.........................................................................................6
2.1.1Mut’ah.........................................................................................................................7
2.1.2 Pembagian Harta Gono Gini......................................................................................8
2.1.3 Hadhanah.................................................................................................................10
2.1.4 Ruju’........................................................................................................................11
BAB III.....................................................................................................................................14
PENUTUP................................................................................................................................14
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................15

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkawinan adalah ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera
bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab. Sesuai dengan rumusan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan :“Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” .

Perkawinan menurut ajaran Agama Islam memiliki nilai ibadah, Pasal 2 Kompilasi Hukum
Islam menegaskan “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah”. Perceraian sebaiknya dihindari karena merupakan hal yang dibenci Allah SWT.Sabda
Rasulullah SAW dalam hadits-nya juga menguatkan hal tersebut. Hadits tersebut berbunyi : “Demi
Allah, diantara perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah Thalaq dan Allah menjatuhkan
laknatnya kepada laki-laki dan perempuan yang banyak mempergunakan jalan perceraian guna
memenuhi nafsu birahinya”.1

Semua rumah tangga sebenarnya menginginkan terciptanya rumah tangga yang bahagia,
sejahtera lahir dan batin serta memperoleh keselamatan hidup dunia maupun akhirat nantinya. Namun
dalam sebuah keluarga akan selalu muncul permasalahan yang bisa menggoyahkan persatuan yang
dibina, bahkan keutuhan yang kuat bisa terancam dan berakibat kepada perceraian.

Perselisihan-perselisihan yang terjadi sedapat mungkin diselesaikan secara baik-baik.


Perselisihan yang menjurus kearah perceraian harus dihindari karena pada prinsipnya Undang-
Undang Perkawinan di Indonesia menganut ketentuan mempersulit terjadinya perceraian. Kalaupun
terjadi perceraian, hal tersebut merupakan jalan akhir yang akan di tempuh apabila memang
perkawinan tersebut tidak dapat dipertahankan lagi.

1
Zainudin Ali, 2007. Hukum Perdata Islam. Jakarta : Sinar Grafika, hal 102

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa akibat dari putusnya perkawinan tersebut?
2. Apa yang dimaksud dengan Mut’ah, Hadhanah dan Ruju’?
3. Bagaimana pembagian harta gono gini bagi pasangan suami istri yang
bercerai?

1.3 Tujuan Penelitian


Dalam penelitian ini manfaat yang diharapkan bukan hanya bagi peneliti secara pribadi, akan
tetapi juga diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan data, maupun
pengetahuan yang berkaitan dengan materi penelitian ini.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Akibat Putusan Perkawinan


Menurut Hukum Islam setelah terjadinya suatu perceraian, akan menimbulkan akibat hukum
tertentu, menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 156, akibat putusnya perkawinan karena perceraian
ialah:

1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila
ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh wanita-wanita dalam garis lurus
dari ibu, ayah, wanitawanita dalam garis Iurus ke atas dari ayah, saudara perempuan dari anak yang
bersangkutan, wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu, wanita-wanita kerabat
sedarah menurut garis samping dari ayah, anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk
mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

2) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan
rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula.

3) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri
(21 tahun).

4) Apabila terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama
memberikan putusannya.

6) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya
untuk pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak turut padanya.

Adapun di dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, bilamana perkawinan putus karena talak, maka
bekas suami wajib :

a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas
istri sudah tersebut qobla al dukhul

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah ke bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah
dijatuhi talak ba‟in atau nisyuz dalam keadaan tidak hamil

6
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila qobla al dukhul d.
Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anak yang belum mencapai umur 21 tahun. 2

2.1.1Mut’ah
Kata mut’ah dalam bahasa arab berasal dari mata’a, yanta’u, mat’an wa mut’atan kesenangan atau
kenikmatan. Nikah mut’ah adalah nikah atau perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan wanita
dengan akad dan jangka waktu tertentu. Menurut jumhur Ulama fiqh, yang dimaksud dengan “akad
dan jangka waktu tertentu” dalam nikah mut’ah adalah akad yang tidak diikat oleh kehendak bersama
yang berdasarkan cinta kasih untuk hidup berumah tangga selama-lamanya sebagai suami isteri. Akad
seperti ini hanya berdasarkan kebutuhan biologis dalam waktu tertentu. Dalam akad ini disebutkan
pula jumlah atau jenis mahar, sesuai kesepakatan kedua belah pihak, demikian pula dengan
pembatasan waktu.

Ada pula Ulama fikih yang medifinisikan dengan “akad seorang laki-laki kepada wanita tertentu,
seperti sehari seminggu atau sebulan’. Al Jaziri (ahli fikih perbadingan mazhab) mendifinisikannya
dengan “nikah yang dikaitkan dengan pembatasan waktu tertentu”. difinisi lain yang hampir sama
juga dikemukakan oleh ulama mazhab Maliki dan Syafi’i yang pada dasarnya menunjukkan adanya
pembatasan waktu tertentu, pembatasan waktu tersebut diungkapkan pada saat akad berlangsung.

Menurut Ulama mazhab Syafi’i, mazhab Hambali dan mazhab Maliki, nikah mut’ah disebut juga
nikah mu’aqqat (nikah yang dibatasi waktunya). Akan tetapi ulama mazhab Hanafi, ada perbedaan
antara nikah mut’ah dan nikah mu’aqqat, akad nikah mut’ah menggunakan kata mut’ah, seperti
“mata’ tuki bin nafsi” (aku menikahi engkau dengan nikah mut’ah), sedangkan pada nikah mu’aqqat
tidak demikian. Istilah lain dari nikah mut’ah adalah nikah munqati’ (nikah yang terputus).

Beberapa hadist Nabi SAW memperbolehkan para sahabat melakukan nikah mut’ah. Diantaranya
adalah hadist yang diriwayatkan dari Saburah Al Juhari :”Bahwa ia (Saburah Al Juhari) ikut
berperang bersama Rasulullah SAW pada saat penaklukan kota Mekah, Nabi SAW memberikan izin
kepada meraka (yang ikut berperang) melakukan nikah mut’ah (HR. Muslim).

Ulama sepakat bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan dan menjadi salah satu bentuk perkawinan
pada periode awal pembinaan hukum Islam. Meraka berpendapat bahwa nikah mut’ah diperbolehkan
karena pada saat itu umat Islam jumlahnya sedikit dan keadaan ekonomi terbatas, sedangkan
tenaganya dikonsenterasikan untuk menghadapi musuh Islam. Keadaan seperti ini tidak
memungkinkan mereka bisa hidup berkeluarga sebagai layaknya suami isteri dan membina anak-anak
mereka sebagaimana dikehendaki dalam sebuah perkawinan.

Ulama fikih kemudian berselisih pendapat dalam dua hal pokok :

2
Op cit, hal 57

7
Pertama : apakah nikah mut’ah itu diperbolehkan untuk seterusnya atau ada larangan yang berlaku
untuk selamanya.

Kedua : ulama yang memandang nikah mut’ah itu dilarang untuk selamanya berbeda pendapat tentang
kapan larangan itu disampaikan Rasulluh SAW.

Mengenai persoalan pertama menurut ulama mazhab yang empat(Hanafi, Maliki, Syafi’I dan
Hambali) serta Jumhur Shahabat dan Tabi’in, kecuali beberapa orang saja, nikah mut’ah untuk
selanjutnya dilarang. Ada beberapa hal yang menjadi dasar larangan itu :

- Pertama, hanya Rasulullah SAW dalam beberapa hadist menurut Ibnu Rusyd, larangan tersebut
diketahui secara mutawatir, (diketahui secara luas oleh orang banyak dan diterima dari orang banyak
pula, sehingga mustahil diantara mereka terjadi kesepakatan untuk berdusta). Seluruh hadist dalah
shahih. Diantaranya adalah hadist riwayat Ibnu Majah yang artinya : “Bahwa Rasulullah SAW
mengharamkan mut’ah”, lalu sabdanya “Wahai sekalian manusia, aku telah membolehkan kalian
melakukan nikah mut’ah; ketahuilah ! sekarang Allah SWT telah mengharamkannya sampai hari
kiamat nanti”. Ibnu Umar pernah berkata: “Rasulullah SAW pernah membolehkan mut’ah tiga kali,
setelah itu ia mengharamkannya: Demi Allah! Aku tidak mengetahui seorangpun yang melakukan
mut’ah, kecuali dirajamnya dengan batu”.

- Kedua, sebagaian ulama berpendapat bahwa keharaman nikah mut’ah dalam Syari’at Islam sudah
merupakan hasil ijmak.

- Ketiga, dilihat dari tujuan nikah mut’ah hanya untuk memenuhi kebutuhan syahwat, bukan untuk
kesejahteraan dan kelangsungan keturunan, sebagaimana diharapkan dari perkawinan. Oleh karena
itu, al Baihaki (ahli hadist terkemuka) menyatakan bahwa diantara ulama ada yang menyebut nikah
mut’ah itu sebagai perbuatan zina. Beberapa ulama lainnya dikalangan sahabat dan tabiin, antara lain
Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, memandang sebaliknya, yakni nikah mut’ah masih boleh dilakukan, hal
ini didasarkan pada surat An Nisa’ (4) Ayat 24 yang artinya : “Maka isteri-isteri yang telah kamu
campuri (nikmati) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban.” Dalam salah satu Qiraatnya mereka menambahkan kalimat “Ila ajalim musamma
(sampai batas waktu tertentu), sehingga ayat tersebut dapat dijadikan acuan hukum dalam
meperbolehkan nikah mut’ah.

2.1.2 Pembagian Harta Gono Gini


Dalam buku “Harta benda perkawinan” yang ditulis Sonny Dewi Judiasih.
menyampaikan bahwa, dalam pasal 1 kompilasi hukum islam atau yang lebih kita kenal
dengan istilah KHI menyebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah
adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami-istri selama dalam

8
ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut Harta Gonogini tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun, (Sonny Dewi Judiasih; 17;2015).
Harta Gonogini dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta masing-
masing suami dan istri. Terhadap harta masing-masing tersebut, KHI menyatakan bahwa
tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Harta istri tetap
menjadi hak istri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri. Demikian pula harta suami tetap
menjadi hak suami dan dikuasai sepenuhnya oleh suami.
Didalam Undang-undang perkawinan dan kompilasi hukum islam, tentu banyak hal
yang mengulas tentang pembagian Harta Gonogini. Dikarenakan ini menjadi sebuah refrensi
dalam membangun sebuah rumah tangga, tetapi adapula beberapa persoalan ketika terjadinya
sebuah perceraian. Ini terkadang menjadi sebuah problem dalam penyelesaian
permasalahannya. KHI di dalam pasal 87 ayat (1) menyatakan bahwa; harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan
lain dalam sepanjang perkawinan. Dan ini sejalan juga dengan pasal 87 ayat (2) menyatakan
bahwa; suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas
harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh atau lainnya.
Ketika terjadi perselisihan antara suami dan istri tentang keberadaan Harta Gonogini,
maka penyelesaian perselisihan itu diajukan ke pengadilan agama. Adapun beberapa
perselisihan yang sering menjadi polemik dalam penyelesaiannya adalah harta yang berwujud
dan harta yang tak berwujud. Ini terkadang menjadi berdebatan yang sangat panjang,
sehingga kedua belah pihak antara keluarga suami dan keluarga istri memunculkan konflik
yang sangat besar. Undang-undang perkawinan (UUP) dalam pasal 91 ayat (2) kompilasi
hukum islam KHI menentukan bahwa; harta benda yang berwujud dapat meliputi benda tidak
bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
Berdasarkan pasal ini tentang status pembagian Harta Gonogini maka suami atau istri
mempunyai kebebasan untuk melakukan tindakan hukum apapun terhadap harta bawaannya
sepanjang tidak melanggar ketentuan agama, hukum dan kesusilaan. Perbuatan hukum yang
dimaksud pasal di atas adalah perbuatan hukum yang mempunyai klausula yang halal seperti
menghibahkan, menghadiahkan, mensadakahkan harta milik pribadinya, sebagaimana bunyi
pasal 87 ayat (2) kompilasi hukum islam tersebut. Sedangkan yang dimaksud oleh kalimat ”
atau lainnya” dalam pasal 87 ayat (2) kompilasi hukum islam tersebut termasuk menjual,
mengadaikan, mengagunkan ke bank dan menghasiatkan harta bawaan. Namun demikian,
meskipun pasal tersebut memberi kebebesan dan hak sepenuhnya kepada suami atau istri

9
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bawaannya masing-masing, tetapi hukum
tidak membenarkan melakukan perbuatan hukum yang mempunyai klausula yang tidak halal,
seperti misalnya menjual atau mengadaikan harta bawaan dengan tujuan sebagai modal untuk
berjudi, menggunakannya secara berfoya-foya yang mengarah kepada tindakan mubadzir.

Dengan demikian, seorang suami yang akan melakukan tindakan hukum seperti menjual
atau mengibahakan harta bawaannya kepada orang lain tidak diperlukan persetujuan dari
istrinya. Demikian juga halnya seorang istri tidak perlu minta persetujuan dari suaminya
untuk menjual harta benda yang bersatatus sebagai harta bawaannya jika sebelumnya tidak
diperjanjikan dalam suatu perjanjian kawin bahwa mereka akan mencampurkan harta
bawaan mereka menjadi satu kesatuan bulat.

2.1.3 Hadhanah
Pemeliharaan anak juga disebut pengasuhan anak dalam Islam dinamakan hadhanah. Secara
etimologi hadhanah berarti disamping atau berada di bawah ketiak. 3 Hadhanah berasal dari kata
hadhana-yahdhunu-hadhanatun yang berarti mengasuh atau memeluk anak. 4 Kamal Muhtar memberi
pengertian hadhanah, menurut bahasa, hadhanah berasal dari kata ”al-hidlnu” yang berarti ”rusuk”.
Kemudian perkataan hadhanah dipakai sebagai istilah dengan arti ”pendidikan anak” karena seorang
ibu yang mengasuh atau menggendong anaknya sering meletakkannya pada sebelah rusuknya. 5

Secara etimologi kata hadhanah berarti ”al-jamb” yang berarti di samping atau berada di bawah
ketiak.6 Atau bisa juga diartikan meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau
meletakkan sesuatu pada pangkuan. 7 Maksudnya adalah merawat, mendidik seseorang yang belum
mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tida bisa mengerjakan keperluan
sendiri.8

Bila terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian, baik ibu maupun bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi kepentingan si anak. 9
apabila perceraian terjadi antara suami istri yang telah berketurunan, yang berhak mengasuh anak
pada dasarnya adalah istri, ibu anak-anak.10

Ibu lebih berhak merawat anak dasarnya Al-Baqarah 233, dan Kandungan Hadits Riwayat
Abu Daud di atas:
3
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoepe, 1999), hal. 415
4
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 2000), hal. 104
5
Kamal Muhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang), hal.129
6
Ibnu Manzhur, Lisan al-Araby (Mesir: Dar al-Maarif, tth) hal.911
7
Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: kencana, 2004), hal. 166
8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 326
9
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam…., hal. 295.
10
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam disertai Perbandingan dengan Undang-Undang Perkawinan
No.1 Tahun 1974, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1989 ), hal. 91

10
1. Ibu lebih berhak mengasuh anaknya selama anak berada dalam tahap kebutuhan asuhan dan selama
ibu belum kawin lagi. Jika ibu kawin lagi, maka tidak ada hak untuk mengasuh anak lagi.

2. Ibu yang kawin lagi masih berhak mengasuh anaknya tanpa perselisihan ulama.

Dalam kandungan hadits yang disahihkan oleh Tirmidzi (Bulughul Maram 1189) memiliki
kandungan: 1. Anak yang sudah tidak memerlukan pemeliharaan dan asuhan berhak memilih, ikut
ibunya atau ayahnya.

2. Jika anak tidak menentukan pilihan, Ibnul Qayyim berpendapat, bahwa yang diserahi anak adalah
orang tua yang paling maslahat bagi anak.

3. Menurut segolongan ulama batas umur anak tersebut ialah 7 tahun.

Tidak berbeda dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pasal 104 (1) Kompilasi
Hukum Islam disebutkan dengan jelas bahwa: ”semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan
kepada ayahnya, apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada
orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya”. Lebih lanjut dijelaskan
dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, dalam hal terjadinya perceraian bahwa: ”Pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan yang sudah
mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya dengan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya”.

2.1.4 Ruju’
Ruju’ berasal dari bahsa Arab raja’a-yarji’u-ruju’an, 11 bentuk masdhar artinya kembali. Istilah ini
kemudian dibakukan dalam hukum perkawinan di Indonesia. Dalam pengertian istilah ruju’ adalah
kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai raj’i, dan dilaksanakan
selama istri masih dalam masa iddah.12

Kembalinya suami kepada istri hal ini mengandung arti bahwa adiantara keduanya sebelumnya
telah terikat dalam tali perkawinan, namun ikatan tersebut adalah berakhir dengan perceraian. Yang
telah ditalak dalam bentuk raj’i mengandung arti bahwa istri yang bercerai dengan suaminya itu
dalam bentuk yang belum putus atau ba’in. Hal ini mengandung maksud bahwa kembali kepada istri
yang belum dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk raj’i, tidak disebut ruju’. Masih dalam
masa iddah mengandung arti bahwa ruju’ itu terjadi selama istri masih berada dalam iddah. Bila
waktu iddah telah habis, suami tidak dapat lagi kembali kepada istrinya dengan nama ruju’. Untuk
maksud itu suami harus memulai lagi nikah baru dengan akad baru. 13

11
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta :PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyah, 2010), hlm. 138.
12
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Cet 4, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 320
13
Amir Syarifuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU
No 1/1974 sampai KHI, hlm. 337-338.

11
Imam Syafi‟i14 berkata : “talak hamba itu dua kali”. Bila ia mentalak satu hamba maka itu seperti
orang merdeka yang mentalak istri merdeka satu kali talak, atau dua kali talak, dan ia memiliki
ruju‟nya sesudah satu kali talak sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki merdeka dalam meruju‟ki
istrinya sesudah selesai talak satu atau talak dua. Bila telah selesai iddah maka tidak ada lagi jalan
bagi suami atas istrinya kecuali dengan pernikahan baru, karena Allah Azza wa Jalla ketika
menjadikan ruju’ bagi laki-laki atas wanita di dalam iddah, lalu Allah menjelaskan bahwa tiada ruju’
atas wanita setelah selesai iddah.

1. Hukum Ruju’
1) Hukum ruju’ pada talak raj’i

Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak meruju‟ istri pada talak raj’i,
selama isteri masih berada dalam masa iddah tanpa mempertimbangkan persetujuan isteri. Fuqaha
juga sependapat bahwa syarat talak raj’i ini harus terjadi setelah dukhul (bersetubuh) dan ruju’ dapat
terjadi dengan kata-kata dan saksi.15

2) Hukum ruju’ pada talak ba’in

Talak ba’in yaitu talak yang menyebabkan seorang suami tidak mempunyai hak untuk
meruju‟ istrinya lagi.16 Ruju’ terhadap wanita yang ditalak ba’in terbatas hanya terhadap wanita yang
ditalak melalui khulu’, dengan terbusan, dengan syarat dicampuri dan hendaknya talaknya tersebut
bukan talak tiga. Ulama empat madzhab sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita
lain (bukan istri) yang untuk mengawininya kembali disyaratkan adanya akad, mahar, wali, kesediaan
si wanita. Hanya saja dalam hal ini selesainya iddah tidak dianggap sebagai syarat. 17

Hukum ruju’ setelah talak tersebut sama dengan nikah baru. Mazhab empat sepakat bahwa
hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawinkannya kembali
disyaratkan adanya akad. Talak ba‟in dibagi menjadi dua, yaitu talak ba‟in sugra dan talak ba‟in
qubra.

1. Talak Ba’in Sugra Talak ba’in sugra adalah talak yang tidak boleh diruju‟ kembali, tetapi boleh
akad nikah baru dengan suaminya selama istrinya belum kawin dengan laki-laki lain. Oleh sebab itu,
suami tidak halal bersenang-senang dengan perempuan tersebut jika salah satu mati sebelum atau
sesudahmasa iddahnya, maka yang lain tidak memperoleh warisannya. Misalnya, mentalak istri
sebelum disetubuhi setelah akad nikah dan talak dengan tebusan oleh istri kepada suaminya (khulu’). 18
14
Abi Abdullah Muhammad bin Idris As-Syafi‟i, Al-Umm, Terjemahan oleh Ismail Yakub Jilid 8, (Malaysia :
Victory Agencie,2000), hlm. 431.
15
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, diterjemahkan oleh Imam Ghazali Sa‟id, Bidayatul
Mujtahud, Analisa Fiqih Para Mujtahid, (Jakarta : Pustaka Amani, 2007), hlm. 592
16
Abu Bakr Jabir Al-Jaza‟iri, Pedoman Hidup Muslim, (Jakarta : PT . Pustaka Litera Antarnusa, 2003), hlm. 723.
17
Abdul Rahman Ghozali, Op. Cit., hlm. 292
18
Ali Imran, Fiqih II Munakahat, Mawaris, Jinayah dan Siyasah, (Bandung : CitaPustaka Media Printis, 2011),
hlm. 27.

12
2. Talak Bain Karena Talak Tiga Kali Mengenai istri yang ditalak tiga kali, para ulama mengatakan
bahwa ia tidak halal lagi bagi suaminya yang pertama, kecuali sesudah digauli oleh suami kedua,
berdasarkan hadits Rifa‟ah yang artinya :

“Dari urwah dari Aisyah ra. berkata :”bekas istri Rifa’ah datang kepada Rasulullah saw. dan berkata :
“ Sesungguhnya Rifa’ah telah menceraikan aku dengan talak tiga, setelah itu aku menikah dengan
dengan Abdur Rahman ibnu Zubair, tetapi hidup bersamanya hanya seperti bersama seujung kain(dia
impoten)”karena mendengar itu, maka tertawalah Rasulullah saw dan beliau berkata “ agaknya kamu
ingin kembali pada Rifa’ah sebelum Abdur Rahman merasakan manisnya senggama denganmu dan
sebelum kamu merasakan manisnya senggama dengannya” (HR. An-Nasai). 19

BAB III

PENUTUP

19
Ustadz Bey Arifin, Yunus Ali Al-Muhdhor, Terjemahan Sunan An Nasa’iy, (Semarang : CV. Asy Syifa, 1992),
hlm. 562.

13
3.1 Kesimpulan
Dalam makalah diatas dapat di simpulkan bahwa:

1. Putusnya perkawinan merupakan istilah hukum yang sering digunakan dalam Undang-
Undang Perkawinan untuk menjelaskan berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang selama hidup menjadi sepasang suami istri. Atau yang
biasa disebut di dalam kehidupan sehari-hari adalah perceraian.
2. Nikah mut’ah adalah nikah atau perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan wanita
dengan akad dan jangka waktu tertentu. Menurut jumhur Ulama fiqh, yang dimaksud dengan
“akad dan jangka waktu tertentu” dalam nikah mut’ah adalah akad yang tidak diikat oleh
kehendak bersama yang berdasarkan cinta kasih untuk hidup berumah tangga selama-lamanya
sebagai suami isteri. Akad seperti ini hanya berdasarkan kebutuhan biologis dalam waktu
tertentu.
3. Tentang status pembagian Harta Gonogini suami atau istri mempunyai kebebasan
untuk melakukan tindakan hukum apapun terhadap harta bawaannya sepanjang tidak
mengandung klausula yang melanggar ketentuan agama, hukum dan kesusilaan.
Perbuatan hukum yang dimaksud pasal di atas adalah perbuatan hukum yang
mempunyai klausula yang halal seperti menghibahkan, menghadiahkan,
mensadakahkan harta milik pribadinya, sebagaimana bunyi pasal 87 ayat (2)
kompilasi hukum islam.
4. Bila terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian, baik ibu maupun bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi kepentingan si
anak. apabila perceraian terjadi antara suami istri yang telah berketurunan, yang berhak
mengasuh anak pada dasarnya adalah istri, ibu anak-anak.
5. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 165 “Ruju’ yang dilakukan tanpa persetujuan istri,
dapat dinyatakan tidak sah dengan Putusan Pengadilan Agama “ Persetujuan istri merupakan
hak yang mutlak. Pendapat Syafi’i bahwa persetujuan istri dalam ruju’ itu tidak diperlukan
karena itu menjadi hak mutlak bagi seorang suami.

DAFTAR PUSTAKA

14
Ricky Dwiyandi, A. Y. (2017). STATUS HUKUM HARTA BERSAMA AKIBAT PUTUSNYA
PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN. Jurnal Ilmiah Hukum Kenotarian, 170-179.
Wijayanti, W. (2013). Kedudukan Istri dalam Pembagian Harta Bersama Akibat Putusnya Perkawinan
Karena Perceraian Terkait Kerahasiaan Bank. Jurnal Konsitusi, 709-731.
Zulkilfil, S. (2019). Putus Perkawinan Akibat Suami Menikah Tanpa Izin Dari Istri. Jurnal Hukum
Kaidah: Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat, 13-27.
Abdurrahman, Kompilasai Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : CV. Akademika Pressindo, 1992.
al-‘Adzim Abd, al-Ghundur Ahmad, Hukum-Hukum dari Al-Qur’an dan Hadis Secara Etimologi,
Sosial dan Syari’at, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003.
Effendi, Satria. 2004. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta: Prenada Media
Abdul, Kadir Muhammad. 1990. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta : Citra Aditya Bakti. ,
2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana.
Abdul, Manan. 2008. Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta : Kencana Pradana
Kartini.
Ahmad, Rofiq. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Cet 3. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Basyir Azhar Ahmad, 2000. Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press;

15

Anda mungkin juga menyukai