Disusun untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Hukum Islam
Dosen Pengampu:
Disusun oleh :
0
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami, sehingga makalah yang berjudul “Analisis sidang kasus perceraian
perpindahan agama” dapat kami selesaikan dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam. kami menyadari
bahwasanya makalah ini masih jauh dari sempurna, sehubungan dengan hal ini, kami sangat
menerima kritik dan saran agar dapat menjadikan makalah ini lebih baik dari sebelumnya.
Terima kasih yang sebesar besarnya kami ucapkan kepada Dr. Achmad Husen, M,Pd.
selaku dosen mata kuliah Hukum Islam serta kepada teman teman yang telah membantu dalam
menyelesaikan tugas makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan informasi dan
menambah wawasan serta pengetahuan kepada kita semua.
Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan semua pihak.
Kami segenap penulis menyadari bahwa makalah yang kami buat masih terdapat banyak
kekurangan di dalamnya, sehingga kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang konstruktif demi terciptanya
makalah – makalah lain yang lebih baik lagi.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................3
A. Latar Belakang........................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................4
C. Tujuan Penelitian....................................................................................................................4
A. Kesimpulan.....................................................................................................................14
B. Saran................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................15
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada pasal 2 ayat (1) UUP beserta penjelasannya menunjukkan bahwa di dalam
perkawinan antar agama harus diterapkan hukum agama masing - masing pihak yang melakukan
perkawinan. Akan tetapi apa mungkin dalam suatu peristiwa hukum yakni perkawinan
diterapkan dua aturan yang berlainan, apabila tidak mungkin diterapkan dua macam aturan atau
dua hukum agama yang berlainan dalam perkawinan itu maka hukum agama salah satu yang
dikalahkan. Dengan aturan petunjuk itulah yang menentukan hukum manakah yang berlaku bagi
pihakpihak yang melakukan perkawinan antar agama.
Pada PP No. 9 Tahun 1975 pasal 19, alasan perceraian karena peralihan agama belum
disebut secara jelas, melainkan hakim dalam memutuskan perkara perceraian karena peralihan
agama pada PP No. 9 pasal 19 ini lebih diarahkan dan disandarkan pada ayat 6 yang mengatakan
bahwa: antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi.
Sebagaimana hal ini juga dapat dikaitkan dengan salah satu alasan perceraian yang dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 116 ayat 8 yang menyatakan bahwa: “pindah agama atau
murtad menyebabkan terjadinya ketidakharmonisan dalam keluarga. Jadi, karena pindah agama
dapat menimbulkan kegaduhan dalam rumah tangga dan kericuhan itu tidak dapat diselesaikan,
hakim dengan ini mempertimbangkan dan memutuskan dengan surat cerai, karena tidak mungkin
lagi mempertahankan keutuhan keluarga. Pada hakekatnya cerai adalah karena terhadap kurang
harmonisnya suami istri yang disebabkan oleh banyak faktor yang memicu terjadinya
perselisihan, diantaranya perceraian terjadi karena perselisihan yang berlarut-larut atas dasar
peralihan agama dan tidak terselesaikan.
Perpindahan agama dapat menyebabkan perpecahan dalam keluarga dan berujung pada
perceraian. Selain perpindahan agama d akibat terhadap keadaan anak, nafkah, pendidikan,
pembiayaan, dan sekitar harta kekayaan dalam persekutuan antara suami dan istri. Karena akibat
dari pindah agama tidak hanya dirasakan oleh suami istri, tetapi lebih dirasakan dan
mempengaruhi tumbuh kembang anak. Anak menjadi bingung, bimbang dalam menentukan
agamanya dan dapat menyebabkan depresi pada anak.
3
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan apa itu perkawinan agama
2. Untuk mendeskripsikan apa itu perceraian perpindahan agama
3. Untuk mendeskripsikan apa itu perpindahan agama
4. Untuk menjabarkan kasus perceraian perpindahan agama
5. Untuk mengetahui akibat perceraian perpindahan agama
6. Untuk mengetahui penanggulangan perceraian perpindahan agama
4
BAB II LANDASAN TEORI
A. Perkawinan Beda Agama
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, tidak mengenal lembaga perkawinan
antar agama. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa:” Perkawinan adalah sah apabila dilakukana menurut
hukum masingmasing agama dana kepercayaannya itu”. Kemudian dalam Pasal 8 huruf (f) UU
No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa:” perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang untuk kawin”.
Demikain juga Pasal 57 dalam Undang-Undnag ini mengatur bahwa:” Perkawinan campuran
adalah perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang
berlainan”. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 huruf (f) dan Pasal 57 UU No. 1
Tahun 1974 tersebut, maka perkawinan campuran antar agama “belum diatur dalam Undang-
Undang Perkawinan ini”.
Jika terjadi perkawinan campuran antar agama maka masih berpegang kepada ketentuan
lama yaitu Pasal 6 GHR Staatsblad 1898 No. 158 yang menjadi rujukan dari Pasal 66 UU No. 1
Tahun 1974. Sampai sekarang masih ada kontroversi pemberlakuan Peraturan Perkawinan
Campuran (GHR), KUHPerdata, HOCI terutama perkawinan antar agama. Dalam kasus-kasus
perkawinan antar agama tersebut menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah “sah” apabila telah
menurut ketentuan agama dan kepercayaannya masing-masing sebagaimana ketentuan Pasal 2
ayat (1). Walaupun pasangan tersebut belum mencatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil.
Ditegaskan oleh Bismar Siregar bahwa:” kelalaian memenuhi syarat formal menurut ketentuan-
ketentuan hukum hendaknya jangan meniadakan keabsahan perkawinan itu sendiri. Menurut
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan para ulama berpendapat bahwa apa yang tersebut dalam
Pasal 2 ayat (1) itu perkawinan orang-orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan, “tidak sah”
bila tidak dilakukan menurut ketentuan hukum agama mupun negara. Jadi MUI hanya
memperkenankan perkawinan menurut Hukum Islam.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran (GHR)
menyebutkan bahwa:” perkawinan campuran dalam dilakukan menurut hukum yang berlaku bagi
suami atau kesepakatan kedua calon mempelai. Sehingga atas dasar itu Kantor Catatan Sipil
hanya dapat melayani pembuatan akta pekawinan antar agama, apabila telah ada izin dari
Pengadilan.(Uu, Tahun, & Perkawinan, 2013)
5
B. Perceraian Beda Agama
Istilah “perceraian” yang digunakan dalam Undang-undang perkawinan disebut sebagai
putusnya perkawinan atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan
perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri. Dalam KHI, perkawinan dapat putus
karena; a). Kematian, b). Perceraian, c). Atas keputusan pengadilan. Adapun bentuk-bentuk
perceraian yaitu; talak (cerai talak), khulu’(cerai gugat).
Terkait ketentuan yang termuat dalam Pasal 38 sampai Pasal 41 UndangUndang
Perkawinan dan dalam Pasal 14 sampai Pasal 36 Peraturan Pemeriantah Nomor 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa ada dua
macam perceraian, yaitu cerai talak dan cerai gugat, yaitu :
1) Cerai Talak Cerai talak adalah salah satu bentuk cara yang di benarkan hukum Islam
memutuskan akad nikah antara suami-istri. Istilah cerai talak seperti yang tercantum pada Pasal
14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu seorang suami yang telah
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya mengajukan
surat kepada Pengadilan yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya
disertai alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan
itu.38 Pasal 129 sampai dengan Pasal 131 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa seorang
suami yang akan menjatuhkan talak bagi istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun
tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan
serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Apabila permohonan talak oleh suami
telah disetujui oleh pengadilan Agama dan memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap
maka suami mengucapkan ikrar talak di depan sidang Pengadilan Agama dengan dihadiri istri
atau wakilnya.
2) Cerai Gugat Cerai gugat adalah perceraian atas kehendak seorang isteri terhadap suaminya
dengan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Dalam Undang-Undang perkawinan, Cerai
gugat ini disebut sebagai perceraian dengan suatu gugatan. Hal ini dapat diketahui dari isi Pasal
20 Peraturan Pelaksana Nomor 9 tahun 1975 jo Pasal 63 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan.(Repository, Universitas, & Jember, 2021) Adapun yang dimaksud
perceraian dalam pembahasan ini adalah berakhirnya hubungan perkawinan dari sebuah
hubungan perkawinan beda agama.
6
C. Perpindahan Agama (Murtad)
Murtad adalah suatu kata yang jika terjadi akan mengakibatkan terjadinya putus terhadap
sebuah perkawinan, sebagaimana yang dituangkan dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan maupun di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Murtad adalah orang yang
keluar dari Islam dan pindah ke agama lain atau ke sesuatu yang bukan agama. Dalam
melakukan itu semua ia berakal, bisa membedakan dan sukarela tidak dipaksa. Murtad adalah
orang ragu - ragu yang keluar dari agama Islam kembali kepada kekufuran, atau mengingkari
semua ajaran Islam baik dalam keyakinan, ucapan atau perbuatan. Dapat diartikan apa yang
tersirat dalam hati itu gaib dan tidak dapat diketahui oleh siapa pun kecuali Allah. Maka untuk
mengetahui kekafiran seseorang diperlukan adanya sesuatu yang menunjukan kekafiran sebagai
bukti yang pasti dan tidak dapat ditafsirkan lagi. Dalam masalah ini, Imam Malik berkata: “Jika
keluar dari seseorang yang mempunyai 99 alternatif kekafiran dan satu alternatif keimanan,
maka ia digolongkan sebagai orang yang beriman.”
Pada QS. Al - Maidah/5: 5 yang membolehkan menikahi wanita non muslim (ahli kitab),
maka banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama yaitu: (1) Pendapat yang memperbolehkan
menikahi wanita non muslim/ahli kitab. Dengan alasan sebagai kepala keluarga/pemegang
pimpinan dan kendali dalam keluarga, tentunya si suami adalah sebagai teladan dalam
pembinaan akhlak Islam; (2) Pendapat yang mengharamkan menikahi wanita non muslim,
dengan pandangan bila laki-laki muslim sebagai kepala keluarga lemah dan tidak dapat
memegang kedudukan sebagai pengendali rumah tangga, maka tertentu ia bisa “terpengaruh”
oleh kitabullah. Sehingga menikah dengan kitabiyah itu diharamkan. Selain itu larangan atau
menikahi wanita non muslim itu juga didasari atas QS. al-Baqarah/2: 221, menurut golongan
yang berpendapat ini hendaklah di-itimmah-kan kepada perempuan ahlul kitab yang telah masuk
Islam atau di-ittimah-kan kepada pengertian kebolehan menikahi wanita ahlul kitab adalah masa
(keadaan) di mana perempuan-perempuan Islam sedikit jumlahnya.
Sementara murtad menurut Sunah Rasul tidak didifinisikan secara jelas, namun hal ini
dapat dilihat dari hadis Rasul saw. antara lain hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas ra, beliau
berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “Barang siapa yang mengganti agamanya (murtad), maka
bunuhlah ia”. Serta hadis dari Mu’az bin Jalal ra. tentang seorang lelaki Islam kemudian
beagama yahudi (murtad), saya tidak duduk sehingga ia dibunuh, itu adalah putusan Allah dan
Rasul-Nya, beliau memerintahkan untuk membunuh laki-laki itu, lalu ia dibunuh.
7
BAB III PEMBAHASAN
A. Bentuk Kasus Perceraian Perpindahan Agama
Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, Peradilan Agama telah
menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara Cerai Gugat: Penggugat umur: 45 tahun,
agama Islam, pekerjaan wiraswasta (kontraktor), bertempat tinggal di Jl. Palma Kelurahan Libuo
Kecamatan Dungingi Kota Gorontalo, selanjutnya disebut sebagai Penggugat.
Tergugat umur 30 tahun, agama Kristen Katolik, pekerjaan wiraswasta, bertempat tinggal
Jl. Palma Kel. Libuo Kecamatan Dungingi, Kota Gorontalo, selanjutnya disebut sebagai tergugat.
Pengadilan Agama tersebut telah mempelajari; telah mendengar keterangan penggugat; dan telah
memeriksa bukti surat dan saksi-saksi; terkait duduk perkara dapat dilihat berikut ini:
Menimbang bahwa Penggugat telah mengajukan surat gugatan tanpa tanggal yang
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Gorontalo pada tanggal 20 Juni 2012 daam register
perkara Nomor: 180/Pdt.G/2012/PA.Gtlo dengan beberapa perbaikan telah mengemukakan hal-
hal sebagai berikut:
a. Bahwa penggugat dan tergugat adalah suami istri sah, menikah pada tanggal 13 Juni 2007,
sesuai Kutipan Akta Nikah No. 79/03/VIII/2007 tanggal 1 Agustus 2007 yang dibuat dan ditanda
tangani oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecmatan Dungingi Kota
Gorontalo.
b. Bahwa dari perkawinan penggugat dan tergugat tersebut belum dikaruniai anak.
c. Bahwa setelah menikah, penggugat dan tergugat rukun dan harmonis selama 6 bulan, karena
memasuki bulan ke tujuh usia perkawinan, rumah tangga mulai diwarnai perselisihan dan
pertengkaran.
d. Bahwa penyebab perselihan dan pertengkaran yaitu, karena tergugat sudah kembali lagi ke
agama tergugat sehingga penggugat tidak sudi lagi membina rumah tangga bersama tergugat.
e. Bahwa oleh karena tergugat sudah sering ke Gereja, maka penggugat tidak sudah lagi
berhubungan sebagaimana layaknya suami istri dan karenanya pula antara penggugat dan
tergugat 1 tahun lebih sudah pisah ranjang.
f. Bahwa menyadari sikap dan perbuatan tergugat demikian, maka penggugat tidak redha lagi
bersuamikan tergugat dan jalan terbaik untuk mengakhiri rumah tangga adalah perceraian.
8
Berdasarkan alasan-alasan di atas, penggugat mohon agar Pengadilan Agama Gorontalo
memeriksa dan mengadili perkara ini selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi:
Primair:
(a) Mengabulkan gugatan penggugat.
(b) Menetapkan penggugat dan tergugat putus karena perceraian.
(c) Menetapkan biaya perkara menurut hukum.
Subsidair: Apabila Pengadilan Agama Gorontalo berpendapat lain, maka mohon putusan yang
seadil-adilnya.
Dalam rangka untuk menguatkan gugatannya penggugat mengajukan bukti tertulis bahwa
penggugat dan tergugat adalah suami istri sah, menikah pada tanggal 13 Juni 2007, sesuai
Kutipan Akta Nikah No. 79/03/VIII/2007 tanggal 1 Agustus 2007 yang dibuat dan ditanda
tangani oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecmatan Dungingi Kota
Gorontalo.
Dengan demikian, setelah melalui proses peradilan, maka Pengadilan Agama Gorontalo
memutuskan dengan menjatuhkan talak satu ba’in shugra tergugat kepada penggugat.
pertimbangan hukum yang dilakukan oleh Hakim dalam memutuskan perkara perceraian adalah:
a. Peraturan Pemerintah Pasal 19 huruf (f) Nomor 9 Tahun 1975.
b. Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf (f) dan (h); c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
ayat (1); d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 pasal 89; e. Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 pasal 42 huruf (f); f. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh Hakim dalam menjatuhkan
Putusan. Akan tetapi Hakim dalam memuat dasar dan alasan harus mencantumkan pasal-pasal
peraturan perudang-undang tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang diputus atau
berdasarkan hukum tak tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin hukum. Menurut pasal 178
ayat (1) HIR, Hakim karena jabatannya atau secara exofficio, wajib mencukupkan segala alasan
hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak yang berperkara.
Menurut pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU No.
35 Tahun 1999 dan sekarang dalam pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, hakim berperan dan
bertindak sebagai perumus dan penggali nilai - nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
1. Hakim wajib mengadili seluruh bagian gugatan. Hakim tidak boleh mengabulkan melebihi
tuntutan. Putusan harus diucapkan di muka umum.
2. Memuat secara ringkas dan jelas pokok perkara, jawaban, pertimbangan dan amar putusan.
9
3. Mencantumkan dalil gugatan dengan ringkas dan jelas; dan Mencantumkan jawaban tergugat;.
4. Uraian singkat ringkasan dan lingkup pembuktian. Pertimbangan hukum dan ketentuan
perundang-undangan.
5. Amar putusan; dan Mencantumkan biaya perkara. (Pongoliu, 2015)
10
B. Sebelum menikah, terlebih dahulu emikirkan dampak terhadap anak yang dilahirkan dari
perkawinan beda agama.
Artinya anak yang dilahirkan belum dapat menentukan agama apa yang akan dianutnya.
Namun, ajaran masing-masing agama pada saat kelahiran anak sudah jelas. Menurut tuntunan
ajaran Islam, anak yang baru dilahirkan disunatkan untuk diazankan dan diiqamahkan ayahnya,
selanjutnya dilakukan aqiqah dan pemberian nama yang baik sesuai tuntunan Rasul. Pada agama
Kristen dan Protestan peristiwa kelahiran anak diikuti oleh upacara pembaptisan bayi yang baru
lahir. Bagi pasangan yang berbeda agama tentu akan mengalami kesulitan untuk melakukan
pilihan tuntunan ajaran agama yang mana yang akan diikuti pada saat kelahiran anak mereka.
Mungkin saja pasangan ini melakukan kesepakatan, misalnya anak laki-laki mengikuti agama
ayahnya dan anak perempuan mengikuti agama ibunya, dan dilakukan ritual agama pada anak
menurut kesepakatan tersebut. Tetapi apakah pilihan agama untuk anak mereka dapat
menghindari permasalahan pada anak tersebut di kemudian hari, misalnya dengan masalah wali
pernikahan, waris dan sebagainya. Makanya perlu dihindari semacam ini.
11
berat. Karena untuk pernikahan beda agama adanya restu dari orangtua atau wali menjadi
persyaratan utama. Terutama dalam pandangan Islam, dalam pernikahan harus ada wali nikah.
Selain itu persyaratan tersebut juga akan selalu diminta oleh pendeta atau pastor yang akan
memberikan pemberkatan, juga petugas kantor dinas KSC, dimana pernikahan tersebut akan
dicatatkan. Bahkan, restu orangtua tersebut harus tertulis hitam diatas putih, alias resmi atau
formal bertandatangan diatas matrai.
F. Presepsi Masyarakat
Dalam suatu komunitas dan kehidupan sosial sulit bagi kita untuk menghindari penilaian,
kecaman, kritik, dan penolakan. Dalam konteks Indonesia yang mayoritas menolak pernikahan
beda agama, tentu para pasangan pernikahan beda agama ini akan menghadapi masalah. Pada
awalnya, mereka akan menjadi bahan berita dan bisik- bisik tetangga. Ini membutuhkan mental
dan kesiapan untuk menjawab serta menghadapi dengan extra hati-hati dan lapang dada. Namun,
hal itu biasanya akan dihadapi diawal-awal pernikahan. Paling lama berlangsung dalam hitungan
hari, minggu, dan paling lama sebulan. Orang yang menikah beda agama adalah tidak sah, dan
mereka melakukan hubungan lazimnya suami istri dianggap berbuat zina, sehingga anak yang
dilahirkan adalah anak diluar nikah (anak haram). Dari segi pengalaman ajaran agama, mereka
melaksanakan ibadah keagamaan tidak mendalam, kadang-kadang dalam menjalankan ibadah
12
asal ingat atau mau saja, tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh. meski kehidupan mereka
rukun dan tenang, namun dari segi pengalaman ajaran agama minim. Perkawinan yang bertujuan
membentuk rumahtangga sesuai dengan tuntunan agama dan sebagai ikatan suci seperti ternoda
karena kedua pasangan tidak seagama. Sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga
sakinah, mawaddah, warahmah, tidak dapat tercapai dikarenakan faktor yang membentuknya
tidak terpenuhi
G. Konsultasi
Pasangan yang berlatarbelakang beda agama atau keyakinan segeralah menemukan
seseorang atau lembaga yang mampu memberikan pandangan keagamaan yang mendalam, luwes
melihat permasalahan dan memberikan solusi yang bijak, tepat dan bertanggung jawab secara
keilmuan. Seperti tokoh agama, intelektual, konselor, kyai atau pasangan yang sudah menikah
beda agama atau paling tidak teman dari pelaku nikah beda agama. Selain itu dapat juga
memperolehnya melalui bacaan-bacaan yang ditemukan melalui beragam media (internet,
majalah) dan buku-buku yang membahas tentang hal itu seperti: Fiqih Lintas Agama,Memoar
Cintaku: Pengalaman Empiris Nikah bada Agama, dan Kawin Lintas Agama. Setelah melakukan
konsultasi, pertimbangkanlah semua argumentasi sebagaimana dipandu melalui pertanyaan
tersebut. Renungkan dalam-dalam kesiapan diri untuk melalui hidup dengan pasangan yang
berbeda agama. Pikirkan masak-masak keputusan yang akan diambil. Jangan terburu-buru,
berembuk yang matang dengan kawan sejati dan keluarga anda. Sebab, pernikahan merupakan
wahana komitmen, tanggungjawab, dan wahana masa depan manusia. Pernikahan tidak hanya
urusan kebutuhan seksual, melainkan urusan hati, visi, atau niat luhur maupun komitmen diri
pada nilai-nilai kebaikan. Karena itu, pasangan pernikahan beda agama, sebelum memutuskan
melaksanakan pernikahan hendaknya mengenali permasalahan secara jernih, dewasa, dan penuh
pertimbangan.(Mashuri, 2020)
13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Terjadinya perkawinan beda agama ditimbulkan, karena adanya pengaruh budaya
lingkungan, daya tarik lahiriah, rasa cinta, ekonomi dan hamil di luar nikah. Agar tidak
terjadinya hal seperti itu perlunya turut andil pelaku upaya pencegahan perkawinan beda
agama, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) untuk menyosialisasikan Undang-undang
No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dan
bahwasanya melaksanakan perkawinan di luar aturan hukum, perkawinan tersebut tidak sah
karena melanggar ketentuan aturan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dan tidak ada
celaah untuk melakukan perkawinan beda agama.
Yang dilakukan oleh pelaku pencegahan perkawinan beda agama adalah melakukan
pendekatan intensif melalui tokoh-tokoh agama, dengan melakukan pembinaan agama lewat
komunikasi yang sehat, memberikan gambaran kriteria dalam memilih pasangan sejalan
dengan se-aqidah. Sehingga dalam membangun bahtera kehidupan rumah tangga tanpa
adanya ketimpangan satu dengan yang lainnya dalam membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah dan warahmah.
B. Saran
Solusi dalam penyelesaian problematika pernikahan beda agama, yang pertama yakni
harus tunduk pada undang-undang yang telah ditentukan, baik hukum formil maupun hukum
Islam , menggiatkan ceramah-ceramah di mesjid tentang hukum perkawinan menurut syariat
agama Islam, adanya sanksi yang tegas terhadap pelaku perkawinan beda dan
memaksimalkan peran lembaga keagamaan dan ormas yang mampu memberikan pandangan
keagamaan yang mendalam, terhadap permasalahan dan memberikan solusi yang bijak, dan
tepat terhadap persoalan perkawinan beda agama.
14
DAFTAR PUSTAKA
Mashuri. (2020). Upaya Pencegahan Perkawinan Beda Agama Di Kabupaten Toraja Utara.
Retrieved from http://repository.iainpalopo.ac.id/id/eprint/2695/1/MASHURI.pdf
Pongoliu, H. (2015). Perceraian Akibat Peralihan Agama: Studi Kasus Tentang Putusan Hakim
Pengadilan Agama Gorontalo. Al-Mizan, 11(1), 45–56.
https://doi.org/10.30603/am.v11i1.989
Repository, D., Universitas, R., & Jember, U. (2021). Digital Repository Repository Universitas
Universitas Jember Jember Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas
Jember Jember. Digital Repository Universitas Jember, (September 2019), 2019–2022.
Uu, M., Tahun, N. O. I., & Perkawinan, T. (2013). H.M. Fauzan, Skandal Pernikahan Empat
Hari Bupati Garut Aceng Fikri Perspektif Hukum Perlindungan Anak dan Perempuan ,
Jurnal Varia Peradilan Tahun XXVII No. 326 Januari 2013, hlm. 52. (326).
15