Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS KASUS PERKAWINAN BEDA AGAMA

STUDI KASUS (DEDDY CORBUZIER DAN KALINA


OKTARANI)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Sosiologi Keluarga

Dosen pengampu: Neneng Ratnasari, S.E., S.Pd., M.Si.

Disusun oleh:

Siti Nursanti 33010220062

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Topik Pembahasan ....................................................................................... 2

C. Tujuan Pembahasan...................................................................................... 2

BAB II .................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN .................................................................................................... 3

A. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif ...................................... 3

B. Studi Kasus Perkawinan Beda Agama Deddy Corbuzier dengan Calina di


Tinjau dari Segi Hukum Islam ..................................................................... 6

C. Dampak Yang Timbul Dalam Pernikahan Beda Agama ............................ 10

BAB III ..................................................................................................................11

PENUTUP .............................................................................................................11

A. Kesimpulan .................................................................................................11

B. Saran ............................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 12

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT, yang sudah memberi kita
taufik, hidayah serta inayah-Nya, sehingga pemakalah dapat menyelesaikan tugas
ini untuk menunaikan penugasan mata kuliah Sosiologi Keluarga.

Saat meyusun penugasan ini, banyak rintangan yang pemakalah terima.


Tetapi pemakalah sadar bahwa lancarnya pada penyusunan materi ini dikarenakan
sokongan, dorongan, serta arahan dari berbagai pihak sehingga segala rintangan
tersebut bia kami lewati. Diharapkan bahwa penyusunan makalah ini dapat
memperbanyak wawasan pembaca mengenai “Analisis Perkawinan Beda Agama
Studi Kasus (Deddy Corbuzier dan Kalina Oktarani)” yang kami tampilkan
didasarkan acuan dari berbagai referensi.

Semoga makalah ini bisa dijadikan sebagai sumbangan pemikiran pada


pembaca spesifiknya serta juga para mahasiswa UIN Salatiga. Pemateri menilai
makalah ini masih kurang dan belum lengkap baik dari segi waktu, tenaga dan
kapasitas yang tersedia. Jadi kritik dan saran sangat kami harapkan demi
perbaikan misi kedepannya.

Salatiga, 10 Desember 2023

Penyusun

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, dari segi
suku, agama, dan ras, terdapat berbagai macam masalah yang timbul di
dalamnya. Salah satu masalah yang menjadi sorotan dalam konflik-konflik
yang timbul dalam masyrakat sekarang ini ialah dimana kita sering jumpai
terjadinya perlangsungan pernikahan beda agama. Kontak antar
masyarakat yang berbeda latar belakang ini pada kemudian hari
menimbulkan adanya suatu fenomena dalam masyarakat yaitu berupa
perkawinan campuran. Salah satu perkawinan campuran yang paling
banyak mengundang perdebatan adalah perkawinan campuran antara
pasangan yang memiliki agama yang berbeda.
Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan terjadi suatu
perbedaan prinsipil dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan
menimbulkan berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan dikemudian
hari. Oleh karena itu, kemudian hal itu banyak mendapat tantangan dari
masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di Negara kita serta hukum
agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada saja pihak
yang pro terhadap keberadaan perkawinan beda agama ini.
Di Indonesia banyak sekali kasus perkawinan beda agama. Tidak
hanya kalangan artis, tetapi masyarakat umum pun mengikuti trend
tersebut. Misalnya saja perkawinan beda agama yang pernah dialami
magician Deddy Corbuzier dengan mantan istrinya Calina. Di dalam
makalah ini, kami akan membahas perkawinan beda agama Deddy
Corbuzier dengan Calina dari sudut pandang Hukum Nasional dan Hukum
Islam.

1
B. Topik Pembahasan
1. Bagaimana perkawinan beda agama ditinjau dari segi hukum positif?
2. Bagaimana studi kasus mengenai perkawinan beda agama Deddy
Corbuzier dengan Calina ditinjau dari segi hukum islam?
3. Apa dampak yang timbul dalam perkawinan beda agama itu sendiri?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui perkawinan beda agama ditinjau dari segi hukum positif.
2. Mengupas studi kasus mengenai perkawinan beda agama Deddy
Corbuzier dengan Calina ditinjau dari segi hukum islam.
3. Mengetahui dampak yang timbul dalam perkawinan beda agama.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif


Pernikahan antara dua mempelai yang berbeda bukanlah hal yang
sederhana di Indonesia. Selain harus melewati gesekan sosial dan budaya,
birokrasi yang harus dilewati pun berbelit. Tak heran jika banyak pasangan
dengan perbedaan keyakinan akhirnya memilih menikah di luar negeri.
Pasangan yang memutuskan menikah di luar negeri nantinya akan
mendapatkan akta perkawinan dari negara bersangkutan atau dari perwakilan
Republik Indonesia setempat (KBRI). Sepulangnya ke Indonesia, mereka
dapat mencatatkan perkawinannya di kantor catatan sipil untuk mendapatkan
Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri.
Meski begitu, bukan berarti pernikahan dengan perbedaan agama tak
bisa diwujudkan di dalam negeri. Sejatinya, berdasar putusan Mahkamah
Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 para pasangan beda keyakinan dapat meminta
penetapan pengadilan. Yurisprudensi tersebut menyatakan bahwa kantor
catatan sipil boleh melangsungkan perkawinan beda agama, sebab tugas
kantor catatan sipil adalah mencatat, bukan mengesahkan. Hanya saja, tidak
semua kantor catatan sipil mau menerima pernikahan beda agama. Kantor
catatan sipil yang bersedia menerima pernikahan beda agama pun nantinya
akan mencatat perkawinan tersebut sebagai perkawinan non-Islam. Pasangan
tetap dapat memilih menikah dengan ketentuan agama masing-masing.
Caranya, mencari pemuka agama yang memiliki persepsi berbeda dan
bersedia menikahkan pasangan sesuai ajaran agamanya, misalnya akad nikah
ala Islam dan pemberkatan Kristen.
Namun, cara ini juga tak mudah karena jarang pemuka agama dan
kantor catatan sipil yang mau menikahkan pasangan beda keyakinan.
Akhirnya, jalan terakhir yang sering dipakai pasangan beda agama di
Indonesia untuk melegalkan pernikahannya adalah tunduk sementara pada

3
salah satu hukum agama. Biasanya, masalah yang muncul adalah gesekan
antar-keluarga ihwal keyakinan siapa yang dipakai untuk pengesahan.
Sebagai contoh kasus berdasarkan pengalaman mengurus pernikahan
beda agama dengan cara terakhir ini dialami oleh Mary Anne Ninyo,
perempuan beragama Katolik yang menikah dengan pria Kristen Protestan
pada 11 Februari 2018 lalu di Gereja St. Yosep Matraman, Jaktim. Ia akhirnya
memilih mengalah dan tunduk dengan keyakinan suaminya saat melakukan
pernikahan. Toh ia dan calon suami kala itu masih berada dalam cara ibadah
dan kitab yang sama, pikirnya. Ninyo dan suami juga bersepakat tak akan
mempersoalkan keyakinan yang akan dianut anaknya kelak saat dewasa,
asalkan masih berada di lingkup keyakinan mereka berdua. “Terserah suamiku
mau bawa aku ke mana, asalkan tujuannya baik,” ujarnya. Seperti Ninyo,
Widana Made yang beragama Hindu juga menuturkan pengalamannya
mengurus pernikahan delapan tahun silam dengan seorang perempuan
muslim. Istrinya, Yuliana Prihandari, bersedia menikah dengan cara Hindu dan
melakukan upacara Sudhi Wadani (upacara masuk agama Hindu). Setelah itu,
mereka mengurus administrasi ke Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI).
Berbekal surat dari PHDI inilah Made dan Yuli mendapat akta nikah di kantor
catatan sipil setempat.1
Perkembangan kontemporer manusia dalam meresmikan pasangan
hidup telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan akan tetapi perkembangan jaman menuntun pada permasalahan
baru yaitu perkawinan beda agama. Pembahasan tentang perkawinan beda
agama di Indonesia merupakan suatu yang rumit. Sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan beda
agama termasuk dalam jenis perkawinan campuran. Adapun perkawinan
campuran diantur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898
nomor 158, yang biasanya disingkat dengan GHR. Dalam Pasal 1 GHR ini

1
Padli Yannor, Menelaah Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif, (Pelaihari: JDIH
Kabupaten Tanah Laut, 2019), hlm. 1-5.
https://www.jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/menelaah-perkawinan-beda-agama-
menurut-hukum-positif (diakses pada 10 Desember 2023)

4
disebutkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk perundang-undangan ini mengatur
masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan
antar agama. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: "Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu".
Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar
hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Hal senada diterangkan
beberapa pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut: Pasal 4: "Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan". Pasal 40:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertentu; Karena wanita yang bersangkutan masih
terikat satu perkawinan dengan pria lain; Seorang wanita yang masih berada
dalam masa iddah dengan pria lain; dan seorang wanita yang tidak beragam
Islam. Pasal 44: "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam". Pasal 61: "Tidak sekufu
tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu
karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien"
Berdasarkan penjelasan diatas perkawinan yang dilakukan diwilayah
hukum Indonesia harus dilakukan dengan satu jalur agama artinya perkawinan
beda agama tidak di perbolehkan untuk dilaksanakan dan jika tetap
dipaksakan untuk melangsungkan pernikahan beda agama berarti pernikahan
itu tidak sah dan melanggar undang-undang.

5
Jadi, menurut hukum positif yang berlaku yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawian tidak mengenal perkawinan beda
agama, sehingga pernikahan beda agama belum bisa diresmikan di Indonesia.
Pernikahan pasangan beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama
(KUA) dan pernikahan pasangan beragama selain Islam dicatatkan di Kantor
Catatan Sipil (KCS).

B. Studi Kasus Perkawinan Beda Agama Deddy Corbuzier dengan Calina di


Tinjau dari Segi Hukum Islam
Fenomena praktik perkawinan beda agama sampai sekarang masih
sering dijumpai. Meski hukum positif di Indonesia tidak memberikan ruang
untuk melakukan perkawinan beda agama, namun dalam praktik di
masyarakat terdapat beberapa pasangan yang tetap melangsungkan
perkawinan beda agama. Salah satu kasus yaitu perkawinan dan perceraian
Dedy Corbuzeir dan Kalina. Keduanya menjalani pernikahan dengan dua cara.
Pertama, akad nikah dilakukan sesuai tata cara Islam, agama yang dianut
Kalina. Pernikahan Deddy-Kalina yang dilakukan secara Islam oleh penghulu
pribadi yang dikenal sebagai tokoh dari Yayasan Paramadina. Usai menikah
secara Islam, Deddy dan Kalina menikah secara negara, mencatatnya ke
Kantor Catatan Sipil.2
Namun, keduanya bercerai pada 31 Januari 2013, di Pengadilan Negeri
Jakarta Utara setelah proses perceraian karena sudah tidak ada lagi kecocokan,
sehingga timbul permasalahan bagaimana penyelesaian perceraian perkawinan
beda agama yang perkawinannya difasilitasi paramadina. Berdasarkan hasil
analisis bahwa dalam hal perceraian untuk perkawinan beda agama, peraturan
hukum di Indonesia sudah mengatur bahwa perceraian itu hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan. Dalam kasus perceraian Dedy
Corbuzeir dan Kalina yang menjadi legalitasnya adalah berdasarkan kutipan

2
Citra Marliana Adisca, Penyelesaian Perkawinan Beda Agama Yang Perkawinannya Difasilitasi
Paramadina: Contoh Kasus Perkawinan Deddy Corbuzier dan Kalina, (Skripsi: Universitas
Tarumanegara, 2019), hlm. 23.

6
akta perkawinan yang telah dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil yang
mereka miliki, sebagai bukti bahwa pernikahan mereka sah dan dicatat sesuai
peraturan hukum yang berlaku di Indonesia, jadi jika mereka ingin melakukan
perceraian maka prosedurnya pun sama seperti perkawinan yang sah pada
umumnya, di mana seseorang dapat mengajukan permohonan cerai atau
gugatan cerainya ke Pengadilan Negeri bagi pasangan suami istri yang
memiliki perbedaan agama atau keyakinan di luar Islam dan pengadilan
agama bagi pasangan yang beragama Islam.
Dalam hal sebagaimana Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak menjadi masalah bagi calon mempelai yang beragama sama,
bagaimana jika perkawinan yang dilakukan antara mempelai yang beragama
Islam dengan non Islam. Fakta yang ada selama ini memang ada 3 (tiga) cara
yang ditempuh oleh mereka yang akan melakukan perkawinan beda agama,
yaitu:
1. Salah satu dari pasangan mengikuti keyakinan agama pasangannya dan
menikah menurut agama dari pasangannya tersebut. Ada dua bentuk
perpindahan keyakinan agama yang dilakukan pasangan untuk dapat
melangsungkan perkawinan dengan pasangannya, yaitu:3
a. Perpindahan agama hanya berupa proforma untuk memenuhi
persyaratan agar perkawinannya dapat dilangsungkan dan
dicatatkan secara resmi, namun kemudian setelah perkawinan
tersebut berlangsung yang bersangkutan kembali kepada
keyakinan agamanya semula dan tetap menjalankan aturan
agamanya. Kasus perkawinan beda agama dengan cara seperti
ini banyak terjadi yang menyebabkan timbulnya. gangguan
terhadap kehidupan rumah tangga dan keluarga di kemudian
hari.

3
Abdurrahman, Kompendium Bidang Hukum Perkawinan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2011), hlm. 9.

7
b. Kedua, yang betul-betul secara tulus melakukan peralihan
keyakinan. agamanya dan menjalankan ajarannya untuk
seterusnya dalam kehidupan perkawinan dan keluarga mereka.
Untuk pasangan yang melakukan pilihan kedua ini, mungkin
tidak akan terlalu ada masalah dalam menjalankan kehidupan
perkawinan dan keluarga, terutama yang terkait dengan urusan
agarna.
2. Masing-masing pasangan tetap mempertahankan keyakinan agamanya.
Perkawinan dilangsungkan menurut masing-masing agama, bisa jadi di
pagi hari perkawinan berlangsung menurut keyakinan agama salah satu
pasangan, serta siang atau sore harinya melakukan perkawinan lagi
menurut agama yang lainnya. Perkawinan dengan cara seperti ini juga
banyak dilaksanakan dengan konsekuensi masing-masing pasangan
yang hidup bersama dalam perkawinan tersebut tetap menjalankan
keyakinan agama masing-masing.

Dalam hal cara-cara ditempuh oleh calon mempelai yang berbeda


agama sebagaiamana uraian diatas karena tidak ada aturan secara khusus yang
mengatur secara tegas perkawinan beda agama sehingga mengakibatkan
terjadinya ketidakpastian hukum, sehingga status hukum perkawinan tersebut
menjadi tidak jelas dan dalam kenyataannya apa yang dicita-citakan (das
sollen), terkadang tidak selalu berjalan dengan apa yang terjadi dilapangan
(dassein).

Terdapat berbagai peraturan yang ada pada saat diterapkan ternyata


tidak sesuai dengan ketentuan tersebut. Sebagai contoh di dalam agama Islam
seorang muslim tidak diperbolehkan kawin dengan non muslim, sebagaimana
aturan agama Islam, pada praktik dilapangan masih banyak terjadi perkawinan
beda agama yang dilakukan dengan cara memilih satu agama agar perkawinan
tersebut dapat dilaksanakan secara resmi tetapi setelah menikah mereka
memeluk agama masing-masing. Contoh yang menggambarkan keadaan ini

8
adalah seorang artis Deddy Corbuzier yang beragama Katolik pada Tahun
2005 menikah dengan Kalina yang beragama Islam.

Pengaturan mengenai perkawinan beda agama di berbagai negara


sangat beragam. Di satu sisi ada negara-negara yang membolehkan
perkawinan beda agama, dan di sisi lain terdapat negara yang melarang, baik
secara tegas maupun tidak tegas, adanya perkawinan beda agama. Fenomena
perkawinan antar agama, bukanlah hal baru di Indonesia. Sebelumnya sudah
berderet wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki non-Muslim. Ada
Nuruf Arifin yang kawin dengan Mayong (Katholik). Juga Yuni Shara yang
menikah dengan Henry Siahaan (Kristen), dan masih banyak lagi yang lain.
Tetapi mereka ini kawin di luar negeri atau mengadakan perkawinan secara
Kristen. Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier
dan Kalima pada awal tahun 2005 lalu, di mana Deddy yang Katholik
dinikahkan secara Islam oleh penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh
dari Yayasan Paramadina. Laki-laki yang muslim yang kawin dengan wanita
non muslim, misalnya Jamal Mirdad dan Lidya Kandou.

Sementara seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak membolehkan


adanya perkawinan yang dilakukan jika kedua calon beda agama. Misalnya
menurut agama Kristen perkawinan beda agama itu tidak sah, karena tidak
dilakukan menurut aturan agama Kristen dan tidak sesuai dengan syarat yang
ditentukan dalam perkawinan. Agama Islam melarang keras setiap orang
untuk melaksanakan perkawinan campuran karena tidak sesuai dengan aturan
agama Islam. Dalam pandangan agama Islam, perkawinan yang dilakukan
antara dua orang yang berbeda agarna adalah tidak sah.".4

4
Anggreini Carolina Palandi, Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia, Jurnal Lex
Privatum, (Vol. 1, No. 2), 2013, hlm. 197.

9
C. Dampak Yang Timbul Dalam Pernikahan Beda Agama
Adapun dampak negatif dari prasangka dalam pernikahan beda agama
diantaranya:5
a. Konflik Interpersonal
Konflik ini dapat timbul akibat stereotip dan prasangka yang
diperoleh dari latar belakang budaya dan agama masing-masing
individu. Misalnya, anggapan bahwa pasangan dengan agama yang
berbeda memiliki nilai-nilai yang bertentangan atau bahwa salah satu
agama lebih superior daripada yang lain. Konflik semacam ini dapat
mengarah pada ketidakharmonisan, ketegangan, dan bahkan
perceraian.
b. Dukungan Sosial yang Terbatas
Individu yang terlibat dalam pernikahan beda agama mungkin
dihadapkan pada penolakan atau ketidakpahaman dari lingkungan
sosial mereka. Hal ini dapat menyebabkan isolasi sosial, stres, dan
kesulitan dalam membangun jaringan dukungan yang kuat. Kurangnya
dukungan sosial dapat memberikan dampak negatif terhadap
kestabilan pernikahan dan kebahagiaan pasangan.
c. Pendidikan Anak
Prasangka dan stereotip yang ada dalam masyarakat terhadap
pernikahan beda agama dapat memengaruhi pengasuhan anak dan
membatasi kebebasan individu dalam memilih agama atau keyakinan
yang akan ditanamkan pada anak. Ketegangan dan konflik dalam
hubungan antar pasangan dapat tercermin dalam cara mereka mendidik
anak, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi perkembangan anak
secara emosional dan psikologis.

5
Muhammad Husni Abdullah, Persepsi Masyarakat terhadap Pernikahan Beda Agama: Studi
Tentang Stereotip, Prasangka, dan Dukungan Sosial dalam Konteks Multireligius, (Junal Hukum
Keluarga Islam, 2023), hlm. 6-7.

10
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkawinan beda agama adalah hal yang tidak dapat dibenarkan
berdasarkan Undang-Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum
Islam, dengan pertimbangan dikeluarkannya aturan tersebut adalah untuk
menghindari timbulnya keburukan/kerugian (mafsadat) yang lebih besar
disamping kebaikan/keuntungan (maslahat) yang ditimbulkan. Namun
dengan hadirnya Undang-Undang Administrasi Kependudukan khususnya
dalam Pasal 35 membuka peluang untuk melegalisasi perkawinan beda
agama. Pertentangan hukum diantara dua Undang-Undang ini tentu saja
menimbulkan multi tafsir di kalangan masyarakat, utamanya hakim dalam
menetapkan perkawinan beda agama.
Konsekuensinya dapat ditemui disparitas penetapan hakim,
sebagian menolak namun sebagian juga mengabulkan penetapan
perkawinan beda agama. Apabila hal ini terus dibiarkan maka akan
menimbulkan ketidakpastian hukum dan juga secara umum, pernikahan
beda agama yang melibatkan dua agama berbeda, dengan tidak
menanggalkan agamanya masing-masing maka akan menterlibatkan kedua
keyakinan dalam satu atap rumah tangga tentunya mempengaruhi kondisi
dan suasana harmonisasi dalam keluarga beda agama. Maka sebisa
mungkin dalam hal menjalin pernikahan tersebut perlu komitmen yang
mendalam dalam pelaksanaanya.

B. Saran
Saya selaku penyusun tulisan menyadari bahwa tulisan yang ditulis
masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Dan saya
berharap dan dengan senang hati apabila para pembaca dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki penulisan ini agar
dapat menjadi susunan yang lebih baik lagi dan tentunya agar lebih mudah
untuk digunakan dalam bahan belajar selanjutnya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Adisca, Citra Marliana. 2019. Adisca, Penyelesaian Perkawinan Beda


Agama Yang Perkawinannya Difasilitasi Paramadina: Contoh
Kasus Perkawinan Deddy Corbuzier dan Kalina. Skripsi:
Universitas Tarumanegara.

Abdullah, Muhammad Husni. 2023. Persepsi Masyarakat terhadap


Pernikahan Beda Agama: Studi Tentang Stereotip, Prasangka, dan
Dukungan Sosial dalam Konteks Multireligius. Junal Hukum
Keluarga Islam.
Abdurrahman. 2011. Kompendium Bidang Hukum Perkawinan. Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan
HAM Republik Indonesia.
Palandi, Anggreini Carolina. 2013. Analisa Yuridis Perkawinan Beda
Agama di Indonesia. Jurnal Lex Privatum. Vol. 1. No. 2.
Yannor, Padli. 2019. Menelaah Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum
Positif. Pelaihari: JDIH Kabupaten Tanah Laut.

12

Anda mungkin juga menyukai