Anda di halaman 1dari 63

PROPOSAL PENELITIAN

URGENSI PENGATURAN PERKAWINAN BEDA AGAMA


PERSPEKTIF MAQASID SYARIAH JASSER AUDA

Diajukan pada Seminar Proposal Tesis


Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris
Samarinda

Oleh:
FATHUL AZIS
NIM: 2120400027

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
2023
DAFTAR ISI

A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................7

C. Tujuan Penelitian....................................................................................................7

D. Signifikansi Penelitian............................................................................................8

E. Penegasan Istilah....................................................................................................8

F. Kajian Pustaka......................................................................................................10

G. Landasan Teori.....................................................................................................38

H. Metode Penelitian.................................................................................................53

I. Sistematika Penulisan...........................................................................................56

DAFTAR PUSTAKA
A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan komponen penting dalam kehidupan manusia. Hal ini


karena perkawinan mer upakan langkah awal untuk memulai sebuah keluarga,
yang merupakan unit sosial terkecil. Selain itu, pernikahan bersifat universal
karena dipraktikkan di semua tingkatan sosial, terlepas dari batasan tertentu.1

Karena mengacu pada sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai cita hukum (Rechtsidee) Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka
perkawinan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan aspek spiritual atau
keagamaan. Hal ini berimplikasi pada pentingnya aspek ruhani atau batin dalam
sebuah pernikahan selain aspek jasmani atau lahiriah. Dengan demikian, ada tiga
aspek mendasar dalam perkawinan di Indonesia: aspek hukum (formal), aspek
agama (batin/spiritual), dan aspek sosial.2

Aspek yuridis perkawinan terlihat pada fungsi perkawinan sebagai ikatan


lahir atau formal yang menimbulkan hubungan hukum antara suami dan istri.3
Sebagai ikatan lahir, perkawinan dapat pula dipandang sebagai hubungan hukum
antara seorang wanita dan seorang pria untuk hidup bersama sebagai suami istri.4
Hubungan hukum ini memberikan hak kewajiban hukum bagi suami dan
istri dalam perkawinan, serta berimplikasi pula pada hak dan kewajiban hukum
antara suami-istri dengan anak yang lahir dari perkawinan tersebut, maupun hak
dan kewajiban terhadap pihak ketiga dalam kaitannya dengan perkawinan itu.
Perkawinan juga memiliki aspek sosial, yakni sebagai hubungan mengikat suami
dan istri baik antara diri mereka sendiri maupun dalam hubungannya di
masyarakat, mengingat peran perkawinan untuk membentuk keluarga dan juga

1
Santoso, “Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam, dan Hukum Adat”,
Yudisia, Vol.7, No.2 (Desember 2016), 414.
2
Sri Wahyuni, “Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia”, In Right: Jurnal Agama
dan Hak Azazi Manusia, Vol.1, No.1 (2011), 134.
3
Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama...., 134.
4
Akhmad Munawar, “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia”, Al’ Adl,
Vol.7, No.13, (Juni 2015), 22.

1
menjadi bagian dari masyarakat. Sementara itu sebagaimana telah disinggung di
muka, aspek religius terlihat jelas dari penggunaan term “Ketuhanan Yang Maha
Esa” dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan. Pasal itu juga menyebut secara
eksplisit bahwa di samping sebagai ikatan lahir, perkawinan juga merupakan
ikatan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Dengan
demikian, bukan merupakan sebuah perkawinan yang kekal dan bahagia apabila
ikatan batin tersebut tidak dapat terpenuhi di samping ikatan lahir/formal.5
Membentuk keluarga dengan melangsungkan perkawinan merupakan hak
setiap orang yang sudah dewasa. Indonesia merupakan negara multi agama yang
terdiri dari agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha serta Kong Hu
Cu. Dalam Undang-undang Perkawinan pada Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa
“perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”.6 Hal tersebut menjadi permasalahan jika
perkawinan yang akan dilangsungkan adalah perkawinan beda agama.
Perkawinan beda agama merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria
dan wanita yang berbeda agama maupun Negara menyebabkan bersatunya dua
peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan sesuai
hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan membentuk keluarga bahagia
dan kekal berdasarkan Tuhan yang Maha Esa.7
Pengaturan mengenai perkawinan beda agama tidak diatur secara kongkrit
pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan maupun peraturan lainnya. Pada perkembangannya, peluang untuk
menikah beda agama sudah terdapat celah yakni dengan cara mengajukan
permohonan perkawinan beda agama ke pengadilan negeri. Tujuan diajukannya
permohonan tersebut adalah agar Pengadilan mengeluarkan suatu Penetapan.

5
Tengku Erwinsyahbana, “Sistem Hukum Perkawinan pada Negara Hukum Berdasarkan
Pancasila”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.3, No.2 (2012), 5.
6
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1).
7
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, (Bandung: Penerbit Pionir
Jaya, 2000), 16.

2
Setiap agama memiliki pengaturannya masing-masing terhadap perkawinan beda
agama. Sebagai contoh, agama Islam pada dasarnya melarang adanya pernikahan
beda agama.8
Penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan tersebut sebagai bentuk
dispensasi dari pengadilan negeri agar perkawinan beda agama tersebut diizinkan
secara hukum. Penetapan tersebut menyatakan diberikannya izin kepada Pemohon
untuk melangsungkan Perkawinan Beda Agama serta memerintahkan pegawai
kantor Catatan Sipil untuk melakukan Pencatatan terhadap Perkawinan Beda
Agama tersebut kedalam Register Pencatatan Perkawinan.
Pencatatan perkawinan tersebut penting untuk dilaksanakan mengingat pada
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan disebutkan bahwa “ tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.9
Pencatatan perkawinan tidak menjadi dasar untuk menentukan sah atau tidaknya
suatu perkawinan. Penentuan keabsahan suatu perkawinan menjadi domain aturan
yang digariskan masing-masing agama dan aliran kepercayaan yang dianut calon
mempelai.10 Cara lain yang sering ditempuh pelaku perkawinan adalah dengan
melakukan perkawinan dua kali dengan ketentuan agama masing-masing pihak,
namun cara tersebut akan menjadi permasalahan karena perkawinan manakah
yang dianggap sah. Selanjutnya adalah dengan cara salah satu pihak berpura-pura
pindah agama untuk sementara, padahal hal ini sebenarnya dilarang oleh Agama
manapun. Dan yang terakhir adalah dengan cara melangsungkan pernikahan di
luar negeri seperti yang banyak dilakukan oleh artis-artis di Indonesia, namun cara
ini dianggap sebagai dilakukannya penyelundupan hukum. Banyaknya peristiwa
perkawinan beda agama di Indonesia menimbulkan konsekuensi dibutuhkannya

8
Ahmadi Hasuddin, dkk, “Pernikahan Beda Agama Ditinjau dari Perspektif Islam dan HAM”,
Khazanah, Vol.6, No.1 (Juni 2018), 104.
9
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (2).
10
Marwin, “Pencatatan Perkawinan dan Syarat Sah Perkawinan dalam Tatanan Konstitusi”,
Jurnal ASAS, Vol.6, No.2, Juli 2014, 105.

3
pengaturan akan hal tersebut agar tidak terus- menerus menyebabkan kekosongan
maupun bias hukum.
Salah satu contoh Penetapan Pengadilan Negeri mengenai permohonan izin
perkawinan beda agama seperti yang ditemukan pada Pengadilan Negeri Bandung
sesuai dengan contoh penetapan permohonan izin perkawinan beda agama pada
Putusan Nomor 959/Pdt.P/2020/PN. Bdg. Dalam Putusan tersebut Majelis Hakim
menjatuhkan Putusan dengan mengabulkan permohonan Para Pemohon dan
memberikan ijin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan Perkawinan Beda
Agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bandung,
memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus
untuk mengirim salinan penetapan ini kepada Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kota Bandung, dan memerintahkan kepada Pegawai Kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bandung untuk melakukan pencatatan
tentang Perkawinan Beda Agama Para Pemohon tersebut di atas ke dalam Register
Pencatatan Perkawinan.11
Selain itu Penetapan Pengadilan Negeri mengenai permohonan izin
perkawinan beda agama seperti pada Putusan Nomor 495/Pdt.P/2021/PN.Bdg.
Dalam Putusan tersebut Majelis Hakim menjatuhkan Putusan dengan
mengabulkan permohonan Pemohon tersebut dan memberikan ijin kepada
Pemohon I (Risky Yanuari Putra) dan Pemohon II (Yenny Lestari) untuk
mencatatkan perkawinan beda agama tersebut di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Bandung, serta memerintahkan kepada Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bandung untuk melakukan pencatatan
perkawinan beda agama Pemohon I (Risky Yanuari Putra) dan Pemohon II (Yenny
Lestari) tersebut ke dalam Register Perkawinan yang tersedia.12
Isu yang sering digaungkan untuk mendiskreditkan Islam adalah perkawinan
beda agama yang dilarang. Sebenarnya, al-Qur’an membuka area perdebatan

11
Salinan Putusan Nomor 959/Pdt.P/2020/PN. Bdg.
12
Salinan Putusan Nomor 495/Pdt.P/2021/PN.Bdg.

4
terkait persoalan ini, sebab ada sejumlah ayat yang terlihat kontradiktif. 13
Munculnya kontradiksi ayat tersebut, seharusnya dapat dipahami dalam cara
pandang yang multidimensional. Di samping itu juga, pelarangan atas perkawinan
beda agama, dianggap berlawanan dengan konsensus internasional yang tercermin
dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia.14
Kesenjangan tidak sampai di situ saja. Berbagai aturan fikih di atas diadopsi
ke dalam regulasi yang sah berbentuk undang-undang, di antaranya Undang-
Undang nomor 1 tahun 1974, Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI). Salah satu aturan
perundangan-undangan ini menetapkan kriteria laki-laki bagi saksi perkawinan.15
KHI juga menutup kemungkinan terjadinya perkawinan beda agama.16
Sementara itu, agama-agama lain yang diakui di Indonesia memiliki
ketentuan berbeda-beda terkait perkawinan beda agama ini. Berdasarkan
kesepakatan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) dan Gereja Kristen Indonesia
(GKI), agama Kristen membolehkan perkawinan antara pemeluk agama Kristen
dengan pemeluk agama lain, dengan syarat mereka harus menikah di gereja dan
anak yang lahir dari perkawinan itu harus dididik menurut ajaran agama Kristen.
Sementara itu, agama Katolik melarang praktik perkawinan beda agama.17
Adanya perkawinan antar agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil
dalam perkawinan sehingga dikhawatirkan akan timbul masalah-masalah yang
sulit diselesaikan di kemudian hari, misalnya mengenai hak dan kewajiban suami
istri, kewarisan dan pemeliharaan anak. Namun jika orang tuanya saja memiliki
prinsip dan keyakinan yang berbeda, bagaimana cara orang tua tersebut mendidik
dasar keagamaan kepada si anak tersebut. Selain itu, masalah yang akan timbul
yaitu jika pasangan beda agama tersebut bercerai pengadilan mana yang akan
13
Surat al-Baqarah/2: 221: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik”.
14
Pasal 16 dalam Universal Declaration of Human Rights.
15
Pasal 25 Kompilasi Hukum Islam.
16
Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam.
17
Kaharuddin dan Syafruddin, “Pernikahan Beda Agama dan Dampak terhadap Pendidikan
Agama Anak”, Sangaji: Jurnal Pemikiran Syariah dan Hukum, Vol.4, No.1 (Maret 2020), 64.

5
menangani kasus perceraian tersebut selain itu jika salah satu dari pasangan beda
agama tersebut ada yang meninggal dunia bagaimana dengan masalah kewarisan.
Dari masalah kewarisan tersebut akan timbul apakah seorang anak yang lahir dari
perkawinan beda agama berhak mewaris dari ayah atau ibu yang berbeda agama
dengan si anak tersebut. Oleh karena perkawinan beda agama hanya akan
menimbulkan masalah-masalah, maka banyak pihak yang menentang perkawinan
beda agama. Pada dasarnya, Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang
dimiliki manusia berdasarkan martabatnya sebagai manusia, bukan diberikan oleh
hukum positif yang berlaku serta sifatnya tidak dapat dihilangkan oleh sesama
manusia.18
Menyoroti adanya urgensi pengaturan perkawinan beda agama, dalam
pemikiran Jasser Auda diawali dengan adanya kritik terhadap Usul Fikih yaitu
pertama, Usul al-Fikih terkesan tekstual dan mengabaikan tujuan teks, kedua,
Klasifikasi sebagian teori usul al-Fikih mengiring pada logika biner dan
dikotomis, ketiga. Analisa usul al-fikih bersifat reduksionis dan atomistik, selain
itu Jasser Auda pun mengkritik Maqāsid klasik yang terjebak pada kemaslahatan
individu sehingga tidak mampu menjawab permasalahan dunia yang terjadi, maka
oleh Jasser Auda cakupan dan dimensi teori Maqāsid klasik diperluas agar dapat
menjawab tantangan-tantangan zaman kekinian. Jasser Auda menjadikan teori
sistem sebagai pendekatan dalam hukum Islam, dan membangun seperangkat
kategori dengan menggunakan 6 (enam) fitur sistem yaitu sifat kognitif (cognitive
nature), saling keterkaitan (interrelated), keutuhan (wholeness), keterbukaan
(openess), multi-dimensionalitas (multi-dimentionality) dan kebermaknaan
(purposefulness). Keenam fitur ini sangat erat berkaitan, saling menembus dan
berhubungan antar satu dengan lainnya, sehingga membentuk keutuhan berfikir.

18
Amran Suadi, Filsafat Hukum: Refleksi Filsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia, dan Etika,
(Jakarta: Penerbit Kencana, 2019), 165.

6
Namun titik ukur yang bisa menjangkau semua fitur yang lain adalah
kebermaksudan (Maqāsid).19
Keunggulan pemikiran Jasser Auda dalam konteks Maqāsid al-sharīah
adalah ditawarkannya teori “human development” sebagai target utama. Inilah
yang membedakan dari pemikiran lainnya. Perbedaan penafsiran dari teks-teks
keagamaan yang seharusnya menjadi bahan bertoleransi ini oleh sebagian pihak
tidak diterima sehingga menjadi pemicu terjadinya perpecahan antar sesama
pemeluk beragama.
Berdasarkan fenomena dan kasus yang telah penulis paparkan diatas, maka
penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang “Urgensi Pengaturan
Perkawinan Beda Agama Perspektif Maqasid Syari'iyah Jasser Auda”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam


penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana urgensi pengaturan perkawinan beda agama berdasarkan hukum
positif di Indonesia?
2. Bagaimana tinjauan Maqasid Syari'iyah Jasser Auda terkait fenomena
perkawinan beda agama di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini yaitu


antara lain:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis urgensi pengaturan perkawinan beda
agama berdasarkan hukum positif di Indonesia.

19
Rahman, F. S. “Analisis Maqashid Syari‟ah Jasser Auda Terhadap Izin Perkawinan Dan
Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil”. Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Dan Keagamaan, 7(1). 2018.

7
2. Untuk menganalisis dan mengkaji tinjauan Maqasid Syari'iyah Jasser Auda
terkait fenomena perkawinan beda agama di Indonesia.

D. Signifikansi Penelitian

Merujuk pada rumusan masalah yang akan diteliti sebagaimana disebutkan


di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan signifikansi penelitian baik
secara teoritis dan secara praktis sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Menambah wawasan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai pandangan
praktisi dan akademisi hukum Islam tentang urgensi pengaturan perkawinan
beda agama perspektif maqasid syari'iyah jasser auda. Selain itu penelitian
ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan sumbangan pemikiran dalam
memperkaya khazanah literatur kesyariahan pada perpustakaan Universitas
Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda.
2. Secara Praktis
a. Bagi para ulama, praktisi hukum, dan masyarakat umum
Sebagai bahan pemikiran dan masukan kepada para ulama, praktisi hukum
dan masyarakat umum dalam memahami pandangan praktisi dan
akademisi hukum Islam tentang urgensi pengaturan perkawinan beda
agama perspektif Maqasid Syari'iyah Jasser Auda.
b. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini dapat dijadikan acuan atau referensi pembanding jika
peneliti ingin melakukan penelitian yang hampir sama dengan penelitian
ini yakni mengenai urgensi pengaturan perkawinan beda agama perspektif
Maqasid Syari'iyah Jasser Auda.

E. Penegasan Istilah

1. Urgensi

8
Urgensi jika dilihat dari bahasa Latin “urgere” yaitu (kata kerja) yang berarti
mendorong. Jika dilihat dari bahasa Inggris bernama “urgent” (kata sifat) dan
dalam bahasa Indonesia “urgensi” (kata benda). Istilah urgensi merujuk pada
sesuatu yang mendorong kita, yang memaksa kita untuk diselesaikan.Dengan
demikian mengandaikan ada suatu masalah dan harus segera ditindaklanjuti. 20
Urgensi yaitu kata dasar dari “urgen” mendapat akhiran “i” yang berarti
sesuatu yang jadi bagian atau yang memegang pimpinan yang terutama atau
unsur yang penting.21
2. Perkawinan
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Perkawinan Beda Agama
Eoh merumuskan perkawinan beda agama sebagai suatu perkawinan yang
dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang
berbeda satu dengan yang lainnya.22 Dari rumusan pengertian tersebut dapat
ketahui bahwa yang dimaksud perkawinan beda agama adalah perkawinan
antara dua orang yang berbeda agama dan masing-masing tetap
mempertahankan agama yang dianutnya.
4. Maqasid Syari'iyah Jasser Auda
Kata ‘maqasid’ ialah bentuk jamak dari “maqsid” yang artinya tujuan,
sasaran, hal yang diminati, atau tujuan akhir. Istilah tersebut dapat disamakan
dengan istilah “ends” dalam bahasa Inggris, “telos” dalam bahasa Yunani,

20
Astia Pamungkas, Pengertian Esensi dan Urgensi, artikel, diakses pada tanggal 10 Februari
2023.
21
Abdurrahman Saleh dan Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif
Islam, (Jakarta : Kencana, 2004), 89.
22
O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1998), 35.

9
“finalite” dalam bahasa Perancis, dan ‘zweck’ dalam bahasa Jerman. 23
Menurut Jasser Auda, al-Maqasid adalah cabang ilmu keislaman yang
menjawab segenap pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan diwakili oleh sebuah
kata yang tampak sederhana, yaitu “mengapa”, yakni menjelaskan hikmah di
balik aturan Syariat Islam.24

F. Kajian Pustaka

Penelitian Terdahulu
1. Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu

No. Nama Judul Hasil Penelitian Persamaan


Peneliti Penelitian dan Perbedaan

1. Hawa’ Implikasi Hasil penelitian Persamaan


Hidayatul H, Larangan menunjukan penelitian
Ahmad Pernikahan bahwa terdapat terdahulu
Faisol, ST. Tunagrahita beberapa faktor dengan
Sariroh25 Berat yang menjadi penelitian
Perspektif pelarangan bagi sekarang yaitu
Maqosid tunagrahita yang sama-sama
Syariah Jaser dengan status menggunakan
Auda berat, pelarangan perspektif
ini dikarenakan Maqosid
dikhawatirkan Syariah Jaser
akan Auda.

23
Jasser ’Auda, Al-Maqasid Untuk Pemula, Terj. ’Ali ’Abdelmon’im, 1st ed. (Yogyakarta:
SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, 2013), 139.
24
Jasser ’Auda, Al-Maqasid..., 139.
25
Hawa’ Hidayatul H, Ahmad Faisol, ST. Sariroh, “Implikasi Larangan Pernikahan Tunagrahita
Berat Perspektif Maqosid Syariah Jaser Auda”, Ijlil: Indonesian Journal Of Law And Islamic Law
Volume 2 Nomor 2 Juli-Desember, 2020.

10
menyusahkan Sedangkan
bagi orang lain, perbedaannya
sehingga akan pada penelitian
sulit untuk terdahulu
menciptakan mengkaji
pernikahan tentang
dengan tujuan Implikasi
nya, terlebih Larangan
akan di Pernikahan
khawatirkan Tunagrahita
akan menjadi sedangkan pada
dampak buruk penelitian yang
baru bagi anak penulis teliti
nya yang akan mengkaji
terlahir seperti tentang urgensi
orang tuanya. pernikahan beda
Akan tetapi akan agama.
menjadi
maslahat jika
dilihat dari segi
permasalahan
nya dan terlebih
dilarang.
Sehingga
penerapan
hukum islam
dari Jaser Auda
yang

11
menggunakan 6
komponen yakni
dengan analisis
cognitive nature
(watak kognisi),
wholeness
(keseluruhan),
openness
(keterbukaan),
interleted
hierarchy, multi
dimentionality
dan
pusposefulness.
Menggunakan
maqadis shariah
dari Jasser Auda
yang
menjelaskan
bahwa larangan
menikah bagi
tunagrahita berat
ini tidak hanya
karna
memberikan
perlindungan
untuk
penyandang

12
tersebut akan
tetapi lebih luas
untuk
masyarakat
secara umumnya
yang
memberikan
pertimbangan
untuk tujuan,
fungsi, maslahat
juga mudaratnya.

2. M. Arif Tinjauan Hasil Persamaan


Hakim, M. A. Batas Usia menunjukkan penelitian
Arifin26 Perkawinan bahwa adanya terdahulu
Pasal 1 Ayat hukum yang dengan
1 Undang- positif yakni penelitian
Undang dengan sekarang yaitu
Nomor 16 pemenuhan hak- sama-sama
Tahun 2019 hak anak yakni menggunakan
Perubahan pada anak perspektif Jaser
Atas Pasal 7 perempuan, Auda.
Ayat 1 karna akan Perbedaannya
Undang- meningkatkan pada penelitian
Undang pemahaman terdahulu
Nomor 1 pada pendidikan mengkaji
Tahun 1974 yang penting, tentang batas

26
M. Arif Hakim , M. A. Arifin, “Tinjauan Batas Usia Perkawinan Pasal 1 Ayat 1 Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Perspektif Teori Sistem Jasser Auda”, Mizan: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 11, Nomor 1, Juni 2022

13
Perspektif meningkatkan usia
Teori Sistem pemahaman perkawinan,
Jasser Auda pada ideal nya sedangkan pada
usia pernikahan, penelitian yang
serta wali atau penulis teliti
orang tua yang mengkaji
mendapatkan tentang urgensi
pengetahuan pernikahan beda
penting nya agama.
mengetahui
terkait dengan
usia perkawinan
anak nya untuk
kemudian
menikahkan
anak sesuai
dengan
ketentuan umur.
Usia yang pas
menjadi solusi
dalam
mencapainya
keluarga yang
baik. Syarat –
syarat dari
ketentuan
tersebut yang
dijalankan bagi

14
hubungan suami
istri untuk
menjaga
keturunan agar
menjadi sehat
tidak hanya
sekedar
memperoleh
keturunan saja
tapi harus
dididik dan urus
agar menjadi
sehat berkualitas
sehingga
menjadi keluarga
yang sakinah,
mawaddah
warahmah, serta
menjaga
keberagaman
dalam
berkeluarga dan
dapat mengatur
aspek ekonomi
pada keluarga
yang kemudian
menjadikan
peningkatan

15
dalam
perkembangan
masyarakat.

3. Muhammad Analisis Hasil penelitian Persamaan


Ali Maqasid menunjukkan penelitian
Murtadlo27 Syariah bahwa pada terdahulu
Jasser Auda Counter Legal dengan
Terhadap Draft Kompilasi penelitian
Counter Hukum Islam sekarang yaitu
Legal Draft yang kemudian sama-sama
Kompilasi dapat disingkah menganalisis
Hukum Islam CLD-KHI yang tentang
didalam nya Maqasid
memiliki bentuk Syariah Jasser
pasal, oleh Auda.
karena itu pada Perbedaannya
proses pada penelitian
merumuskan terdahulu
dengan melewati mengkaji
langkah yang tentang Legal
secara Draft Kompilasi
procedural Hukum Islam,
dengan tahapan sedangkan
yang sistematis penelitian yang
serta beberapa penulis teliti
pihak yang mengkaji

27
Muhammad Ali Murtadlo, “Analisis Maqasid Syariah Jasser Auda Terhadap Counter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam”, e-Journal Al-Syakhsiyyah Journal of Law and Family Studies,
Vol. 3 No. 2 (2021)

16
berkompeten tentang urgensi
akan terlibat. pernikahan beda
Dalam agama.
perumusan
hukum pada
keluarga islam
yang dilakukan
oleh CLD-KHI
ini dengan
metode istinbath,
metode ini
memiliki
pertentangan
dengann konsep
dari maqasid
Jasser Auda.
Akan tetapi KHI
dalam penerapan
nya terhalang
dari faktor
politik hal ini
dikarenakan
adanya pasal
yang
kontrooversial
dalam kehidupan
saat ini.

4. Ahmadi Perkawinan Menurut temuan Persamaan

17
Hasanuddin Beda Agama penelitian, 1) penelitian
Dardiri Ditinjau dari pernikahan beda terdahulu
Marzha Pandangan agama dalam dengan
Tweedo dan Islam dan pandangan islam penelitian
Muhammad Hak Asasi dilarang, akan sekarang yaitu
Irham Manusia tetapi terdapat sama-sama
Roihan28 hal hal yang mengambil
dapat topik penelitian
dikecualikan tentang
yakni pernikan perkawinan
beda agama yang beda agama.
mana laki-laki Perbedaannya
ialah seorang pada penelitian
mukmin dan terdahulu
perempuan menganalisis
adalah ahli, pada tentang
ulama memiliki perkawinan
pendapat yang beda agama
berbeda pada dalam
pasangan ini pandangan
yakni dalam islam dan hak
kaidah “ushul asasi manusia,
fiqh “idza sedangkan
ijtama’a baina al dalam
halal wal haram penelitian yang
ghuliba al penulis teliti
haram” dapat mengkaji

28
Ahmadi Hasanuddin Dardiri Marzha Tweedo, Muhammad Irham Roihan, “Pernikahan
Beda Agama ditinjau dari Perspektif Islam dan HAM”, Khazanah, Vol. 6 No.1 Juni 2013.

18
dijadikan solusi tentang
dari perkawinan
permasalahan beda agama
tersebut yakni dalam
pada pandangan
pengambilan Maqasid
hukum nya Syariah Jasser
dalam bentuk Auda.
ihtiyaat yakni
hati-hati untuk
melakukan dan
melaksanakan
Syariah dalam
islam. 2) Hak
kodrat yang
diberikan Allah
pada manusia
atau hambanya
ialah HAM,
sehingga tidak
akan rasional
ketika hak ini
akan
menyimpang
pada aturan dan
kebijakan yang
telah Allah
berikan. Sama

19
hal nya dengan
islam, adanya
aturan dari Allah
maka HAM
tidak
diperbolehkan
untuk
bertentangan
dengan ajaran
Nya. Pemberian
saran dalam
hukum islam
dengan maksud
mencapai
maqoosid
syari'ah yang
meliputi hifd ad-
din, hifd an-nafs,
hifd alaql, dan
hifd an-nafs dan
hifd al-maal. Hal
– hal tersebut
dalam aspek
islam harus
diperhatikan,
sama hal nya
dengan hukum
perkawinan beda

20
agama ini harus
berdasarkan
pada aspek
tersebut yakni
pada maqoosid
syari'ah dengan
memperhatikan
dampak yang
terjadi dalam
pernikahan
terlebih pada
anak, status anak
dan juga harta
wanisan untuk
anak. Dalam
kenyataan nya
dalam kasus
sehingga penulis
memberikan
saran yakni
melalui kaidah
ushul dalam
pengambilan
hukumnya
kaidah dalam
"idza ijtama'a
baina al halal
wal haram

21
ghuliba al
haram" berbeda
dan mungkin
dapat menjadi
penengah pada
sebuah
kumpulan
hukum dengan
menghalalkan
juga
mengharamkan
sesuatu dalam
sebuah tindakan,
sehingga
haruslah hati-
hati saat
memutuskan
sebuah hukum
hal ini jika dapat
terjadi akan
menjadikan
islam yang aman
dalam segala
aturan yang
Allah SWT
tetapkan.

5. Sindy Tinjauan Hasil penelitian Persamaan


Cantonia dan Yuridis menunjukkan penelitian

22
Ilyas Abdul Perkawinan yakni Indonesia terdahulu
Majid29 Beda Agama sebagai negara dengan
di Indonesia yang majemuk penelitian
dalam dengan sekarang yaitu
Perspektif mempunyai sama-sama
Undang- banyak mengambil
undang kepercayaan atau topik penelitian
Perkawinan agama sehingga tentang
dan Hak akan lebih sulit perkawinan
Asasi untuk dapat beda agama.
Manusia menerapkan Perbedaannya
perkawinan pada penelitian
dengan beda terdahulu
agama. Hal ini menganalisis
pun dikarenakan tentang
kebijakan perkawinan
perundang – beda agama
undangan tidak menurut UU
dapat Perkawinan dan
memberikan hak asasi
aturan yang manusia,
eksplisit terkait sedangkan
perkawinan beda dalam
agama ini, hal ini penelitian yang
menjadikan penulis teliti
munculnya dua mengkaji

29
Sindy Cantonia & Ilyas Abdul Majid dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap
Perkawinan Beda Agama di Indonesia dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan Hak Asasi
Manusia”, Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.6 (Juni 2021).

23
penafsiran: yakni tentang
penafsiran yang perkawinan
pertama dilarang beda agama
dikarenakan dalam
akan menjadi pandangan
tidak sah karna Maqasid
tidak memenuhi Syariah Jasser.
aturan atau
syarat yang ada,
penafsiran kedua
yakni
diperbolehkan
dikarenakan
tidak adanya
aturan yang kuat
dan mengikat
terkait dengan
pernikahan beda
agama. HAM
internasional
dalam istrument
nya dan
kebijakan
undang – undang
indonesia
menjelaskan
bahwa setiap
orang

24
mempunyai hak
untuk menikah
dan berkeluarga
sehingga
pernikahan beda
agama menjadi
sulit dilakukan
jika melihat
bahwa tidak
adanya aturan
yang
menerangkan
akan menjadikan
pelanggaran
HAM.

6. Made Prilita Pengaturan Hasil penelitian Persamaan


Saraswati Perkawinan menunjukkan penelitian
Putri Beda Agama yakni pada terdahulu
Indrawan dan di Indonesia permasalahan dengan
I Gede perkawinan penelitian
Artha30 diantara orang sekarang yaitu
yang memiliki sama-sama
perbedaan dalam mengambil
agamanya yang topik penelitian
tetap pada tentang
pendirian perkawinan

Made Prilita Saraswati Putri Indrawan & I Gede Artha, “Pengaturan Perkawinan Beda
30

Agama di Indonesia”. Jurnal Program Kekhususan Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas
Udayana.

25
kepercayaan atau beda agama.
agamanya Perbedaannya
masing – masing pada penelitian
tidak ingin terdahulu
mengikuti agama menganalisis
pasangan nya tentang
sehingga dapat pengaturan
patuh pada satu perkawinan
kenyakinan yang beda agama di
sama dan hukum Indonesia,
yang sama, hal sedangkan pada
ini belum adanya penelitian yang
pengkajian yang penulis teliti
khusus dalam sekarang
peraturan di mengkaji
Indonesia yang tentang urgensi
menjadikan tidak perkawinan
adanya beda agama
ketentuan boleh dalam
atau tidaknya. pandangan
Sehingga adanya Maqasid
upaya dalam Syariah Jasser
mengisi Jauda.
kekosongan pada
Pasal 35 huruf a
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun
2006 tentang

26
Administrasi
Kependudukan.

7. Shofiatul Urgensi Hasil penelitian Persamaan


Jannah, Nur Pencatatan menunjukkan penelitian
Syam, Pernikahan bahwa salah satu terdahulu
Sudirman Dalam prinsip dengan
Hasan31 Perspektif perundang- penelitian
Hukum Islam undangan sekarang yaitu
dan Hukum perkawinan sama-sama
Positif di nasional yang mengambil
Indonesia didasarkan pada topik penelitian
Undang-Undang tentang urgensi
Nomor 1 Tahun perkawinan.
1974 tentang Perbedaannya
Perkawinan dalam
adalah bahwa penelitian
perkawinan terdahulu
harus dicatatkan. menganalisis
Peraturan tentang urgensi
perundang- pencatatan
undangan yang perkawinan,
berlaku di sedangkan
Indonesia saat dalam
ini memberikan penelitian yang
bobot yang penulis teliti
sangat besar menganalisis

31
Shofiatul Jannah, Nur Syam, Sudirman Hasan, “Urgensi Pencatatan Pernikahan Dalam
Presfektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia”. Jurnal Penelitian Dan Pemikiran
Keislaman, Juli. Vol.8. No.2. 2021.

27
terhadap akta tentang urgensi
pencatatan perkawinan
perkawinan beda agama.
dalam menilai
keabsahan suatu
perkawinan. Hal
ini mengandung
arti bahwa selain
harus berpegang
pada hukum dan
kepercayaan
masing-masing
keyakinan, hal
ini juga
merupakan
syarat yang
harus dipenuhi
agar suatu
perkawinan
dapat diakui oleh
hukum. Dengan
demikian,
sebagai akibat
dari peraturan
perundang-
undangan yang
berlaku di
Indonesia ini,

28
maka pencatatan
perkawinan
merupakan suatu
keharusan yang
perlu dilakukan.
Perkawinan yang
tidak dicatatkan
tidak
mempunyai
kekuatan hukum
positif, tetapi
perkawinan
demikian diakui
sah apabila
dilaksanakan
sesuai dengan
ketentuan ajaran
agama masing-
masing calon
pengantin. Di
sisi lain,
perkawinan
semacam itu
memiliki akibat
bagi suami, istri,
dan anak-anak
yang tidak
mendapatkan

29
perlindungan
hukum apa pun
di Indonesia atas
hak-hak mereka.

8. Fatahullah, Problematika Hasil temuan Persamaan


Israfil, Sri Keabsahan dalam studi ini penelitian
Hariati32 Perkawinan ialah adanya pro terdahulu
Beda Agama dan kontra dengan
Yang terkait dengan penelitian
Dilakukan Di keabsahan dalam sekarang yaitu
Luar Wilayah perkawinan yang sama-sama
Hukum dilakukan di luar mengambil
Indonesia wilayah topik penelitian
Indonesia tentang
dikarenakan perkawinan
adanya beberapa beda agama.
undang – undang Perbedaannya
yang dalam
memberikan penelitian
aturan terkait terdahulu lebih
dengan sah atau fokus
tidak nya menganalisis
pernikahannya. tentang
keabsahan
perkawinan
beda agama,

32
Fatahullah, Israfil, Sri Hariati, “Problematika Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang
Dilakukan Di Luar Wilayah Hukum Indonesia”. Jurnal Kompilasi Hukum, Volume Volume 5 No. 1,
Juni 2020.

30
sedangkan
dalam
penelitian yang
penulis teliti
menganalisis
tentang urgensi
perkawinan
beda agama.

9. Imam Wahyu Pengaturan Hasil temuan ini Persamaan


Jati33 Perkawinan menjelaskan penelitian
Beda Agama yakni dikatakan terdahulu
di Indonesia sah dalam dengan
pernikahan nya penelitian
apabila sah sekarang yaitu
menurut agama sama-sama
dan kepercayaan mengambil
masing – masing topik penelitian
agama sehingga tentang
dalam negara perkawinan
Indonesia ini ada beda agama.
beberapa agama Perbedaannya
yang dalam
memperbolehkan penelitian
dan ada juga terdahulu lebih
yang tidak fokus
memperbolehkan menganalisis
penikahan beda tentang
33
Imam Wahyu Jati, “Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia”, Aainul Haq:
Jurnal Hukum Keluarga Islam , Volume 2, Edisi I, Juni 2022.

31
agama. Selain ke pengaturan
absahan nya perkawinan
perkawinan beda agama di
dalam prinsip Indonesia,
nya harus dicatat sedangkan
karna merupakan dalam
salah satu prinsip penelitian yang
dalam penulis teliti
perkawinan menganalisis
dalam hukum tentang urgensi
yang positif, perkawinan
karna dalam beda agama
proses menggunakan
pencatatan nya perspektif
inilah akan Maqasid
diakui bentuk Syariah Jasser
hak dan Jauda.
kewajiban nya di
mata hukum.
Pencatatan
hukum
perkawianan
dalam islam
dilakukan di
Kantor Urusan
Agama dan yang
bukan Islam
dilakukan di

32
Kantor Catatan
Sipil bagi yang
melaksanakan
perkawinan beda
agama bisa
mengajukan nya
pada pengadilan
negeri dan
kemudian
Kantor Catatan
Sipil.

10. Aulil Amri34 Perkawinan Temuan Persamaan


Beda Agama penelitian penelitian
Menurut menunjukkan terdahulu
Hukum bahwa dengan
Positif dan perkawinan beda penelitian
Hukum Islam agama bukanlah sekarang yaitu
konsep baru sama-sama
dalam budaya mengambil
multicultural topik penelitian
Indonesia. tentang
Perkawinan ini perkawinan
telah terjadi beda agama.
dalam Perbedaannya
masyarakat dan dalam
telah penelitian
berlangsung terdahulu lebih
34
Aulil Amri, “Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam”. Media
Syari’ah, Vol. 22, No. 1, 2020.

33
cukup lama. fokus
Meskipun menganalisis
demikian, bukan tentang
berarti subjek pengaturan
perkawinan beda perkawinan
agama tidak beda agama di
menjadi Indonesia,
masalah, karna sedangkan
bahkan dalam
cenderung selalu penelitian yang
menimbulkan penulis teliti
kontroversi di menganalisis
kalangan tentang urgensi
masyarakat. Ada perkawinan
anggapan luas beda agama
bahwa masalah menggunakan
muncul dari UU perspektif
No. 1 Tahun Maqasid
1974, yang tidak Syariah Jasser
memberikan Jauda.
akomodir dalam
persoalan
perkawinan
berbeda agama.
Masalah
signifikan yang
muncul akhir-
akhir ini adalah

34
banyaknya orang
yang beriman
akan tetapi
belum memeluk
agama islam.
Selain
banyaknya
pandangan yang
dipegang oleh
para fuqaha
terhadap
perkawinan beda
agama ini. Jika
seorang musyrik
dapat
menunjukkan
bahwa mereka
memiliki iman
dalam agama
mereka, maka
diperbolehkan
bagi seorang
Muslim untuk
menikahi. Hal
ini adalah prinsip
utama Islam.
Selain itu, KHI
yang didirikan

35
berdasarkan
Keputusan
Presiden tahun
1991 tidak lagi
memiliki
kekuatan hukum
dalam hirarki
undang-undang,
dan UU
Perkawinan
tidak secara
tegas mengatur
larangan
perkawinan beda
agama, juga
tidak memiliki
kekuatan hukum
dalam sistem
hukum saat ini.
Salah satu cara
yang digunakan
dalam dakwah,
atau menyeru
individu ke jalan
yang benar
sesuai dengan
ajaran yang
bersumber dari

36
Al-Qur'an dan
Hadits. Dengan
kemungkinan-
kemungkinan
seperti itu,
dimaksudkan
agar calon yang
beriman
mendapatkan
arahan dan
pelajaran dari
pasangannya
yang beragama
Islam melalui
lembaga
perkawinan.
Seseorang dapat
memperoleh
pemahaman
yang baik
tentang Islam
dengan melalui
proses yang
disebut
pendekatan
emosional, dan
ini dapat
menyebabkan

37
seseorang
menjadi mualaf
dan memahami
Islam secara
utuh di masa
depan.

G. Landasan Teori

a. Urgensi
1) Pengertian Urgensi
Urgensi jika dilihat dari bahasa Latin “urgere” yaitu (kata kerja)
yang berarti mendorong. Jika dilihat dari bahasa Inggris bernama
“urgent” (kata sifat) dan dalam bahasa Indonesia “urgensi” (kata
benda). Istilah urgensi merujuk pada sesuatu yang mendorong kita,
yang memaksa kita untuk diselesaikan.Dengan demikian
mengandaikan ada suatu masalah dan harus segera ditindaklanjuti.
Urgensi yaitu kata dasar dari “urgen” mendapat akhiran “i” yang
berarti sesuatu yang jadi bagian atau yang memegang pimpinan yang
terutama atau unsur yang penting.35
b. Perkawinan
1) Pengertian Perkawinan
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.36

35
Abdurrahman Saleh dan Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam
Perspektif Islam, (Jakarta : Kencana, 2004), 89.
36
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1.

38
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dinyatakan bahwa Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan
Pancasila, yang sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa,
maka antara perkawinan dengan agama mempunyai hubungan yang
sangat erat, karena perkawinan bukan saja mempunyai unsur jasmani
tetapi juga mempunyai unsur rokhani yang memegang peranan
penting.37
Pasal 2 dan 3 KHI merumuskan: Perkawinan menurut hukum
islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan
galidan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah
ibadah. Kalau kita bandingkan mengenai Undang-Undang Perkawinan
dengan KHI mengenai pengertian perkawinan tidak ada yang prinsip
di antara keduanya.38
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah:
Melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara
seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin
antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua
belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagian hidup berkeluarga
yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang
diridhoi Allah.39
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dan wanita dengan suatu aqad dan atau
perjanjian untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak.
2) Tujuan Perkawinan

37
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974..., Pasal 1.
38
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2 dan 3.
39
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang Undang Perkawinan, (Yogyakarta,
Liberty, 1982), 8.

39
Adapun tujuan perkawinan yaitu:40
a. Mendapatkan anak keturunan yang sah untuk melanjutkan generasi
yang akan datang;
b. Mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan
rasa kasih sayang.
Asas dan prinsip perkawinan yang dianut oleh UU Perkawinan
dan terdapat dalam penjelasan UU Perkawinan, yaitu:41
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal
b. Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
c. Undang-Undang ini menganut asas monogami, hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari
yang bersangkutan mengizinkannya seorang suami dapat
beristeri lebih dari seorang.
d. Calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk
melangsungkan perkawinan.
e. Mempersukar perceraian. Perceraian harus ada alasan-alasan
tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kewajiban suami.
3) Syarat-Syarat Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan
bahwa:42

40
Tihami, Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat (Kajian Fiqih Nikah Lengkap), (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), 15.
41
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
42
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1)

40
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Dalam penjelasan Pasal 2 menentukan bahwa:


“Dengan perumusan Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan
yang dilakukan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan
yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-undang ini.”

Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan dinyatakan:


“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku”.43

Sah tidaknya suatu perkawinan menurut UU Perkawinan diukur


dengan ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing
orang yang melangsungkan perkawinan. Suatu perkawinan adalah sah
apabila dilakukan dengan memenuhi semua syarat hukum agama dan
kepercayaannya itu. Pencatatan perkawinan hanyalah merupakan
tindakan administratif belaka, bukan menentukan sah tidaknya
perkawinan.
Apabila suatu perkawinan dilakukan tidak menurut hukum
agama dan kepercayaannya masing-masing atau ada salah satu
larangan perkawinan yang dilarang maka perkawinan tersebut tidak

43
Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, Pasal 2.

41
sah. Persyaratan perkawinan secara limitatif diatur dalam Pasal 6
sampai dengan Pasal 12 UU Perkawinan, yang meliputi persyaratan
materiil maupun persyaratan formil.
Syarat Materiil Perkawinan adalah syarat yang mengenai atau
berkaitan dengan diri pribadi seseorang yang akan melangsungkan
perkawinan yang harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan
perkawinannya atau disebut juga syarat subjektif.44
Syarat materiil dibedakan menjadi dua bagian yaitu:
a) Syarat materiil umum; artinya syarat yang mengenai diri
pribadi seseorang yang akan melangsungkan perkawinan yang
harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat melangsungkan
perkawinan. Syarat materiil umum disebut juga dengan istilah
syarat materiil absolute pelangsungan perkawinan, karena tidak
terpenuhinya syarat tersebut menyebabkan calon suami isteri
tersebut tidak dapat melangsungkan perkawinan.
b) Syarat materiil khusus; adalah syarat mengenai diri pribadi
seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinan dan berlaku
untuk perkawinan tertentu. Syarat materiil khusus disebut juga
dengan istilah syarat relatif untuk melangsungkan perkawinan
yang berupa untuk meminta izin kepada orang-orang tertentu
yang harus dimintai izin dalam melangsungkan perkawinan dan
larangan-larangan tertentu untuk melangsungkan perkawinan.45
Adapun syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan tata
cara atau prosedur pelangsungan perkawinan, baik syarat yang
mendahului maupun syarat yang menyertai pelangsungan perkawinan.
Syarat formil disebut juga syarat objektif.46

44
Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, (Jakarta: Rizkita, 2002), 12
45
Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan..., 21.
46
Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan..., 21.

42
c. Perkawinan Beda Agama
1) Pengertian Perkawinan Beda Agama
Dalam undang-undang perkawinan, disebutkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami isteri. Menurut Sri Wayuni sebagaimana mengutip
pendapat dari Wantjik Saleh, dengan ikatan lahir batin dimaksudkan
bahwa perkawinan tersebut tidak hanya cukup dengan adanya ikatan
lahir atau ikatan batin saja, tetapi juga harus mencakup keduanya.
Suatu ikatan lahir dapat dilihat, dari adanya suatu hubungan hukum
antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama, sebagai suami
istri, yang dapat disebut juga ikatan formal. Hubungan formal ini
mengikat bagi dirinya, maupun bagi orang lain atau masyarakat.47
Sebaliknya, ‘ikatan bathin’ merupakan hubungan yang tidak
formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat, tapi harus ada karena
tanpa adanya ikatan bathin, ikatan lahir akan menjadi rapuh. Tentang
perkawinan beda agama Sri Wahyuni berpendapat bahwa belum
terdapat sebuah peraturan yang mengatur maupun melarang
perkawinan beda agama. Karena apabila larangan tersebut diadakan,
maka akan berbenturan dengan asas kebebasan beragama dan
kebebasan untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah.
Maka, perkawinan beda agama di Indonesia masih mengalami sebuah
kekosongan hukum.48
Pada masyarakat umum, banyak yang menyebutkan perkawinan
beda agama dengan sebutan perkawinan campuran, namun ada
masyarakat yang menyebutkan bahwa perkawinan beda agama

47
Sri Wahyuni, “Sejarah Undang-Undang Perkawinan”, dalam http:/ /kumham jogja.info
/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/386- pembentukan-undang-undang-nomor-1- tahun-1974-
tentang-perkawinan diakses pada tanggal 10 Februari 2023.
48
Sri Wahyuni, Sejarah Undang-Undang Perkawinan....,

43
tersebut bukan bagian atau tidak sama dengan perkawinan campuan,
melainkan istilah perkawinan beda agama tersebut berdiri sendiri.
Istilah perkawinan campuran yang sering muncul dalam
masyarakat ialah perkawinan campuran yang disebabkan karena
perbedaan suku, atau karena perbedaan agama antara kedua orang
yang akan melakukan perkawinan. Misalnya perbedaan adat, yaitu
perkawinan antara orang suku Jawa dengan orang suku Batak, orang
suku Minangkabau dengan orang suku Sunda, dan sebagainya.
Sedangkan perkawinan beda agama yaitu antara laki-laki atau
perempuan beragama Kristen dengan laki-laki atau perempuan yang
beragama Islam, dan lain sebagainya.49
Sedangkan dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Dengan demikian berdasarkan undang-undang ini, perkawinan antar
agama tidak termasuk perkawinan campuran melainkan memiliki
pengertian tersendiri.50
Eoh merumuskan perkawinan beda agama sebagai suatu
perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama
dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. 51 Dari
rumusan pengertian tersebut dapat ketahui bahwa yang dimaksud
perkawinan beda agama adalah perkawinan antara dua orang yang
berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang
dianutnya.

49
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju,1990), 13-14.
50
Arso Sostroatmojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 84.
51
O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama..., 35.

44
Pengertian mengenai perkawinan campuran dalam sistem ini di
atur dalam KUHPerdata (Burgerlijk wetboek) yang pengaturannya di
peruntukkan bagi golongan eropah, golongan Timur Asing-Cina dan
untuk sebagian golongan Timur Asing bukan Cina, serta untuk
sebagian atau seluruh orang-orang lain yang tunduk pada
KUHPerdata. Peraturan tersebut tetap berlaku bagi orang yang
termasuk golonganyang disebutkan tidak merubah hukum perdata
yang berlaku bagi mereka.52
Menurut R Subekti, pasal 26 KUHPerdata tersebut hendak
menyatakan bahwa suatu perkawinan yang sah hanya perkawinan
yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh KUHPerdata dan
bahwa syarat-syarat dan peraturan agama dikesampingkan, hal ini juga
dapat diartikan bahwa perkawinan itu hanya ditinjau sebagai suatu
lembaga hukum dan tidak bergantung pada pandangan-pandangan
keagaman dari pasangan calon suami dan istri.53
Namun demikian sebagaimana yang terdapat dalam KUHPerdata
bahwa Indonesia mengakui adanya perkawinanan campuran yang
dilakukan diluar Indonesia dan dilakukan menurut hukum yang
berlaku dimana pasangan tersebut melangsungkan perkawinannya,
selama perkawinan tersebut telah mengikuti ketentuan yang diatur
dalam undang-undang dan kemudian di catatkan di Indonesia paling
lama setahun setelah perkawinan dilaksanakan. Perkawinan campuran
yang akan dilakukan oleh pasangan yang berbeda kewarganegaran
dapat dilangsungkan selama persyaratan telah dipenuhi seperti yang
diatur dalam KUHPerdata karena perkawinan merupakan salah satu
hak asasi manusia sehingga tidak satupun aturan yang dapat

52
Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Ghlmia
Indonesia, 1982), 69.
53
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga,
(Bandung: Alumni, 1985), 13.

45
menghalangi sepanjang persyaratan dan ketentuan telah dipenuhi
termasuk juga yang paling mendasar yaitu bahwa perkawinan
didasarkan pada kerelaan masing-masing pihak untuk menjadi suami
istri, untuk saling menerima dan saling melengkapi satu sama lainnya,
tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga karena jika tanpa adanya
persetujuan keduabelah pihak maka dapat dijadikan alasan pembatalan
perkawinan, tidak terkecuali terhadap pelaku dari perkawinan
campuran.
2) Nikah Beda Agama dalam Hukum Indonesia
Perkawinan Beda Agama menurut pemahaman para ahli dan
praktisi hukum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 secara garis
besar dapat dijumpai tiga pandangan:
Pertama, perkawinan beda agama tidak dapat dibenarkan dan
merupakan pelanggaran terhadap UUP Pasal 2 ayat (1) Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, dan Pasal 8 huruf (f) bahwa
perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan,
yang oleh agamanya atau peraturan lain yan berlaku, dilarang kawin.
Maka dengan pasal ini, perkawinan beda agama dianggap tidak sah
dan batal demi hukum.
Kedua, perkawinan beda agama adalah diperbolehkan, sah dan
dapat dilangsunkan karena telah tercakup dalam perkawinan
campuran, sebagaiman termaktub dalam Pasal 57 UUP, yaitu dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Menurut
pandangan kedua ini, pasal tersebut tidak saja mengatur perkawinan
antara dua orang yang memiliki kewarganegaran yang berbeda, akan
tetapi juga mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda
agama. Menurutnya, pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara yang
diatur oleh Pasal 6 PPC: (1) Perkawinan campur dilangsungkan

46
menurut hukum yang berlaku untuk suami, kecuali izin dari kedua
belah pihak bakal mempelai, yang seharusnya ada, dengan merujuk
pada Pasal 66 UUP.
Ketiga, UUP tidak mengatur masalah perkawinan antar agama.
Oleh karena itu, apabila merujuk Pasal 66 UUP yang menekankan
bahwa peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan,
sejauh telah diatur dalam unadang-undang ini, maka dinyatakan tidak
berlaku lagi. Namun karena UUP belum mengaturnya, maka peraturan
peraturan lama dapat diberlakukan kembali, sehingga masalah
perkawinan beda agama harus berpedoman kepada peraturan
pekawinan campur (PPC).54
Di samping ketiga pendapat tersebut, ada kelompok yang
berpandangan bahwa UUP perlu disempurnakan, mengingat adanya
kekosongan hukum tentang perkawinan beda agama. Argumentasi
yang dibangun kelompok tersebut didasarkan pada empat hal, yaitu:
a) UUP tidak mengatur perkawinan beda agama;
b) masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural, sehingga
perkawinan beda agama tidak dapat dihindarkan;
c) persoalan agama adalah bagian dari hak asasi seseorang, dan
d) kekosongan hukum dalam bidang perkawinan tidak dapat
dibiarkan begitu saja, sebab akan mendorong terjadinya
perzinahan terselubung melalui pintu kumpul kebo.
Di sisi lain, mayoritas masyarakat Muslim di Indonesia
berpandangan bahwa UUP tidak perlu disempurnakan dengan
mencantumkan hukum perkawinan beda agama dalam undang-undang
tersebut, sebab menurut mereka, Undang-undang No. 1 Tahun 1974
telah mengatur hukum perkawinan beda agama secara jelas dan tegas.

54
Abdul Halim Berkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman
yang Terus Berkembang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 147-148.

47
Ungkapan ini ada benarnya, karena umat Islam sebagai penduduk
mayoritas di Indonesia merasa diuntungkan oleh Pasal 2 ayat (1) UUP
tersebut, karena dengan pasal tersebut tertutuplah kemungkinan untuk
melakukan perkawinan secara “sekuler”, dan tertutup pula
kemungkinan seorang wanita muslimah untuk menikah dengan laki-
laki non muslim, demikian halnya perkawinan seorang laki-laki
muslim dengan perempuan musyrik, karena pernikahan tersebut
dilarang (dianggap tidak sah) menurut hukum Islam Sebenarnya,
dengan adanya larangan untuk melangsungkan pernikahan beda agama
tersebut, merupakan masalah penting bagi umat Islam karena
peraturan perkawinan peninggalan Belanda (PPC) mengizinkan
penduduk Indonesia untuk melakuan perkawinan beda agama.55
Adapun perkawinan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam
secara ekspilisit dapat dilihat dari ketentuan empat pasal.
1) Pada Pasal 40 KHI, dinyatakan: Dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu:
a) Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain.
b) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah
dengan pria lain.
c) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.56
2) Pasal 44 KHI:
”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam.”57

55
Abdul Halim Berkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam..., 150.
56
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1992), 32.
57
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum..., 33.

48
Perbedaan agama dalam KHI dipandang sebagai penghalang
bagi laki-laki dan perempuan yang hendak melangsungkan suatu
pernikahan. Yang artinya bahwa orang Islam laki-laki maupun
perempuan tidak diperbolehkan untuk menikah dengan laki-laki atau
perempuan non- muslim.58
d. Maqasid Syari'iyah Jassir Auda
Jasser Auda adalah seorang cendekiawan Muslim kontemporer
yang memberikan warna baru dalam perkembangan hukum Islam,
khususnya dalam hal ini mengenai konsep maqashid al-Syariah.
Pemikiran Jasser Auda dalam mengkaji ulang maqashid al-syariah sebagai
filsafat hukum Islam ini dilatarbelakangi oleh anggapannya terhadap
maqashid al-syariah klasik sebagaimana telah dicetuskan oleh para ulama
terdahulu seperti as-Syatibi dan lain sebagainya sudah tidak relevan lagi
jika diterapkan dengan kondisi umat manusia saat ini, dikarenakan zaman
semakin lama semakin berkembang. Sehingga perlu adanya reorientasi
atau revisi terhadap maqashid al-syariah klasik tersebut.
Adapun alasan ketidakrelevanan maqashid al-syariah klasik
tersebut, menurut Jasser Auda dapat dilihat dari beberapa aspek
diantaranya adalah sebagai berikut:59
1) Ruang lingkup maqashid klasik adalah keseluruhan hukum Islam,
namun mereka gagal memasukkan tujuan khusus untuk keputusan
tunggal
2) Maqashid klasik cenderung lebih bersifat individu (kehidupan harga
diri dan harta individu) daripada keluarga, masyarakat, maupun
manusia secara umum (bermasyarakat, harga diri bangsa, ataupun
kekayaan dan ekonomi nasional).

58
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum...,34.
59
Auda, Jasser, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach, (digital
book), London: the International Institut of Islamic Thougth, 2007.

49
3) Maqashid klasik pada teori dasar keniscayaan, tidak memuat nilainilai
paling dasar yang diakui secara universal seperti keadilan dan
kebebasan.
4) Maqashid klasik telah disimpulkan dari tradisi dan literatur pemikiran
madzhab hukum Islam, bukan dari teks-teks suci (AlQuran dan
Hadits).
Menurut Auda, maqashid al-syariah klasik yang lebih bersifat
individual yakni perlindungan dan pelestarian itu harus direorientasikan
(direvisi) menjadi maqashid yang lebih bersifat nilai universal, lebih
bersifat kemasyarakatan dan kemanusiaan (hak asasi manusia dan
kebebasan).60 Dikarenakan teori hukum Islam klasik sebagaimana
dirumuskan oleh para ulama klasik oleh Jasser Auda dianggap sudah tidak
relevan lagi dengan perkembangan zaman, maka menurut Jasser Auda
perlu mengembangkan teori hukum Islam (maqashid al-syariah) yang
relevan dan mampu mengikuti perkembangan zaman. Hal ini ditujukan
supaya nantinya produk hukum Islam (syari‟at) yang berlandaskan pada
maqashid al-syariah ini akan selalu relevan sampai kapanpun dan
dimanapun sebagaimana sifat dari sumber hukum Islam itu sendiri yakni
al-Qur‟an. 61
Auda mengemukakan ada enam fitur; kognisi (cognition),
komprehensivitas (wholeness), keterbukaan (openness), interko nektifitas
(interconnectedness), multidimensi (multidimensi onality), merujuk tujuan
utama atau kebermaksudan (purposefulness). Dengan demikian, produk
teoretis atas olahan keenam fitur di atas, pesan yang hendak ditegaskan
adalah bahwa apa saja bentuk metode validitas dari ijtihad, ditentukan
berlandaskan kepada tingkat implementasi maqashid al-syariah.

60
Auda, Jasser, Maqasid al-Shariah..., 248
61
Siti Mutholingah & Muh. Rodhi Zamzani, “Relevansi Pemikiran Maqashid al-Syariah Jasser
Auda terhadap Sistem Pendidikan Islam Multidisipliner,” Ta, limuna 7, No. 2, 2018, 92.

50
Produk praktisnya adalah hukum Islam yang kompatibel dengan
nilai keadilan, tindakan moral, kemurahan hati, koeksistensi sosial, dan
pembangunan manusia itu sendiri. Basis sistem yang dibangun Auda
tentang maqashid al-syariah adalah keadilan, cinta kasih, kebijaksanaan,
dan kebaikan yang menjurus kepada kesejahteraan dunia dan akhirat.62
Sedangkan esensi hukum Islam adalah alat penggeraknya untuk keadilan,
produktivitas, pembangunan, perikemanusiaan, spiritual, kebersihan,
persatuan, keramahan, dan masyarakat demokratis. Masalahnya adalah
realitas muslim sekarang, menurut analisis Audah, belum mampu
mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan, sehingga yang menjadi
tantangan adalah bagaimana cara hukum Islam memainkan peranannya
dalam menyelesaikan problem ini?.63
Auda mendudukkan maqashid sebagai pembaharuan Islami
kontemporer, model-model pengembangan maqa>s}iduntuk agenda tajdid
tampak dalam bukunya maqashid al-syariah.: Dalil li al-Mubtadi’in.
Antara lain, maqashid al-syariah sebagai landasan pembangunan dan hak
asasi manusia, maqashid sebagai landasan ijtihad kontemporer, maqashid
sebagai alat pembeda antara sarana (wasa’il) dan tujuan (ghayah),
maqashid untuk interpretasi tematik al-Qur‘an dan Hadis, maqashid
sebagai dasar pembukaan sarana maupun pemblokiran sarana, maqashid
sebagai dasar untuk menduniakan atau meuniversalkan syariah, maqashid
sebagai landasan bersama antar antar mazhab Islam, dan maqashid
sebagai dasar dialog lintas iman. Masih dalam bukunya yang sama, dalam
sub pembahasan terakhir Auda mengaplikasikan bagaimana maqashid
diterapkan sebagai dasar menjawab aneka pertanyaan atau tanya-jawab.64

62
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah Penj. Rosidin dan ‘Ali>
‘Abd el-Mun‘im, (Bandung: Mizan, 2015), 21-22
63
Jasser Auda, Membumikan Hukum...,22-23.
64
Jaser ‘Awdah,, Maqas}id al-Shari‘ah: Dalil li al-Mubtadi’in, (Beirut: Maktab al-Tawzi‘
fial-‘A, 2011.Cet. I), 53-117

51
Urgensi Pengaturan Perkawinan Beda
Agama Perspektif Maqasid Syari'iyah
Jassir Auda

1. Bagaimana urgensi pengaturan


perkawinan beda agama
berdasarkan hukum positif di
Indonesia? Teori Maqasid Syari'iyah
2. Bagaimana tinjauan maqasid jassir Jaseir Auda
auda terkait fenomena perkawinan
beda agama di Indonesia?

Hasil Analisis dan


Pembahasan

Gambar 1.1
Kerangka Pikir

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

52
Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsepsi legis
positivis. Konsep legis positivisi memandang hukum identik dengan norma-
norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang
berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri,
bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata serta
melanggar norma-norma lain bukan sebagai hukum.65 Menurut Peter Mahmud
Marzuki, penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan
suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum
guna menjawab isu hukum yang dihadapi.66
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti memutuskan menggunakan
metode penelitian hukum normatif untuk meneliti dan menulis pembahasan
penelitian ini sebagai metode penelitian hukum. Penelitian yuridis normatif,
yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah
atau norma-norma dalam hukum positif.67
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum menurut
Peter Mahmud Marzuki adalah pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komperatif (comparative approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).68 Pendekatan yang penulis gunakan adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach), yang dilakukan dengan
menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu hukum yang sedang dibahas dan pendekatan konseptual (conceptual
approach) yang mengkaji teori yang dijadikan analisis pada pembahasan.

65
Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian dan Jurimetri, (Jakarta: Penerbit Ghalia
Indonesia, 1990), 13.
66
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007), 35.
67
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum..., 36.
68
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum..., 93.

53
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Sumber penelitian yang akan digunakan di dalam penelitian ini meliputi
bahan-bahan hukum sekunder dan bahan-bahan hukum primer, yaitu :
a. Bahan hukum Primer adalah bahan hukum yang bersifat autoratif artinya
mempunyai otoritas69 yang digunakan sebagai data penunjang bagi penulis
untuk penulisan dalam penelitian ini, yang berasal dari:
1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
3) Kompilasi Hukum Islam.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang dipergunakan dalam menjawab
permasalahan yang ada dalam penelitian ini melalui studi kepustakaan,
yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terdiri
dari literatur-literatur, buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang diperoleh dengan cara
studi dokumen, mempelajari permasalahan dari buku-buku, literatur,
makalah dan kamus hukum dan bahan-bahan lainnya yang berkaitan
dengan materi ditambah lagi dengan kegiatan pencarian data
menggunakan internet.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk memperoleh
bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang
mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penelitian ini adalah studi
dokumen (studi kepustakaan). Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan
bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan
mempergunakan content analisys.70
5. Teknik Analisis Bahan Hukum

69
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum..., 141.
70
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum..., 21.

54
Analisis data yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder yang
diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam
penelitin ini. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika
deduktif atau pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif yaitu
menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi
kesimpulan yang lebih khusus. Dalam penelitian ini, setelah bahan hukum
terkumpul maka bahan hukum tersebut dianalisis untuk mendapatkan
konklusi, bentuk dalam teknik analisis bahan hukum adalah Content Analysis.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa dalam penelitian normatif
tidak diperlukan data lapangan untuk kemudian dilakukan analisis terhadap
sesuatu yang ada di balik data tersebut. Dalam analisis bahan hukum jenis ini
dokumen atau arsip yang dianalisis disebut dengan istilah “teks”. Content
analysis menunjukkan pada metode analisis yang integratif dan secara
konseptual cenderung diarahkan untuk menemukan, mengidentifikasi,
mengolah, dan menganalisis bahan hukum untuk memahami makna,
sgnifikansi, dan relevansinya.71

I. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan laporan penelitian ini, penulis membagi menjadi 5 (lima)


bagian utama dengan tujuan agar penelitian ini memiliki susunan penelitian yang
runtut dan sistematis sehingga dapat mempermudah dalam mengetahui dan
memahami hubungan antara bab satu dengan bab lainnya sebagai suatu rangkaian
penelitian, di mana masing-masing bab akan digolongkan kembali dalam suatu sub
bab-sub bab tertentu.
BAB I PENDAHULUAN

71
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke arah Ragam
Varian Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 203.

55
Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
signifikansi penelitian, penegasan istilah dan sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini dikemukakan dengan jelas, ringkas dan padat tentang hasil
kajian kepustakaan tentang sumber hukum atau teori hukum terkait dengan
masalah yang akan diteliti. Bab ini berisi penelitian terdahulu, telaah kepustakaan,
dan kerangka pikir.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, pendekatan
penelitian, tempat dan waktu penelitian, data dan sumber data, teknik
pengumpulan data, teknik analisis data, dan uji keabsahan data.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menganalisis dan menjawab rumusan masalah yang dijabarkan
dalam Bab I, dalam menganalisis dan menjawab rumusan masalah mengenai
bagaimana urgensi pengaturan perkawinan beda agama berdasarkan hukum positif
di Indonesia, apakah implikasi hukum adanya kekosongan pada pengaturan
perkawinan beda agama, dan bagaimana tinjauan Maqasid Syari'iyah Jasser Auda
terkait fenomena perkawinan beda agama di Indonesia.
BAB V PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan yang merupakan jawaban dari masalah yang
diajukan penulis, implikasi penelitian, saran dan rekomendasi.

56
57
DAFTAR PUSTAKA

Amri, Aulil, “Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam”.
Media Syari’ah, Vol. 22, No. 1, 2020.
Auda, Jasser,  Al-Maqasid Untuk Pemula, Terj. ’Ali ’Abdelmon’im, 1st ed.
Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, 2013.
Auda, Jasser, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems
Approach, (digital book), London: the International Institut of Islamic
Thougth, 2007.
Auda, Jasser, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah Penj. Rosidin
dan ‘Ali> ‘Abd el-Mun‘im, Bandung: Mizan, 2015.
Awdah, Jaser, Maqas}id al-Shari‘ah: Dalil li al-Mubtadi’in, Beirut: Maktab al-
Tawzi‘ fial-‘A, 2011.Cet. I.
Berkatullah, Abdul Halim & Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan
Zaman yang Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke arah
Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Cantonia, Sindy & Ilyas Abdul Majid dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap
Perkawinan Beda Agama di Indonesia dalam Perspektif Undang-Undang
Perkawinan dan Hak Asasi Manusia”, Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex
Generalis. Vol.2. No.6 (Juni 2021).
Dardiri, Ahmadi Hasanuddin, Marzha Tweedo, Muhammad Irham Roihan,
“Pernikahan Beda Agama ditinjau dari Perspektif Islam dan HAM”,
Khazanah, Vol. 6 No.1 Juni 2013.
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Dirjen
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1992.
Eoh, O.S, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
Erwinsyahbana, Tengku, “Sistem Hukum Perkawinan pada Negara Hukum
Berdasarkan Pancasila”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.3, No.2 (2012), p.5.
F. S. Rahman, “Analisis Maqashid Syari‟ah Jasser Auda Terhadap Izin Perkawinan
Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil”. Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Dan
Keagamaan, 7(1). 2018.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju,1990.
Hakim, M. Arif, M. A. Arifin, “Tinjauan Batas Usia Perkawinan Pasal 1 Ayat 1
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Pasal 7 Ayat 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Perspektif Teori Sistem Jasser
Auda”, Mizan: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 11, Nomor 1, Juni 2022.
Hasuddin, Ahmadi, dkk, “Pernikahan Beda Agama Ditinjau dari Perspektif Islam dan
HAM”, Khazanah, Vol.6, No.1 (Juni 2018), p.104.
Hidayatul H, Hawa’, Ahmad Faisol, ST. Sariroh, “Implikasi Larangan Pernikahan
Tunagrahita Berat Perspektif Maqosid Syariah Jaser Auda”, Ijlil: Indonesian
Journal Of Law And Islamic Law Volume 2 Nomor 2 Juli-Desember, 2020.
Jannah, Shofiatul, Nur Syam, Sudirman Hasan, “Urgensi Pencatatan Pernikahan
Dalam Presfektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia”. Jurnal
Penelitian Dan Pemikiran Keislaman, Juli. Vol.8. No.2. 2021.
Jati, Imam Wahyu, “Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia”, Aainul Haq:
Jurnal Hukum Keluarga Islam , Volume 2, Edisi I, Juni 2022.
Kaharuddin & Syafruddin, “Pernikahan Beda Agama dan Dampak terhadap
Pendidikan Agama Anak”, Sangaji: Jurnal Pemikiran Syariah dan Hukum,
Vol.4, No.1 (Maret 2020), p.64
Marwin, “Pencatatan Perkawinan dan Syarat Sah Perkawinan dalam Tatanan
Konstitusi”, Jurnal ASAS, Vol.6, No.2, Juli 2014, 105.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007.
Munawar, Akhmad, “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif yang Berlaku di
Indonesia”, Al’ Adl, Vol.7, No.13, (Juni 2015), p.22
Murtadlo, Muhammad Ali, “Analisis Maqasid Syariah Jasser Auda Terhadap Counter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam”, e-Journal Al-Syakhsiyyah Journal of
Law and Family Studies, Vol. 3 No. 2, 2021.
Mutholingah, & Muh. Rodhi Zamzani, “Relevansi Pemikiran Maqashid al-Syariah
Jasser Auda terhadap Sistem Pendidikan Islam Multidisipliner,” Ta, limuna
7, No. 2, 2018, 92.
Pamungkas, Astia, Pengertian Esensi dan Urgensi, artikel.
Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo & Asis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum
Keluarga, Bandung: Alumni, 1985.
Putusan Nomor 959/Pdt.P/2020/PN. Bdg.
Putusan Nomor 495/Pdt.P/2021/PN.Bdg.
Rusli & R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Bandung: Penerbit
Pionir Jaya, 2000
Saleh, Abdurrahman & Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam
Perspektif Islam, Jakarta : Kencana, 2004.
Santoso, “Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam,
dan Hukum Adat”, Yudisia, Vol.7, No.2 (Desember 2016), p.414.
Soemitro, Ronny Hantijo, Metode Penelitian dan Jurimetri, Jakarta: Penerbit Ghalia
Indonesia, 1990.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang Undang Perkawinan, Yogyakarta,
Liberty, 1982.
Sostroatmojo, Arso, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Sri Hariati, Fatahullah, Israfil, “Problematika Keabsahan Perkawinan Beda Agama
Yang Dilakukan Di Luar Wilayah Hukum Indonesia”. Jurnal Kompilasi
Hukum, Volume Volume 5 No. 1, Juni 2020.
Suadi, Amran, Filsafat Hukum: Refleksi Filsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia, dan
Etika, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2019), 165.
Suwondo, Nani, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat,
Jakarta: Ghlmia Indonesia, 1982.
Tihami, Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat (Kajian Fiqih Nikah Lengkap), Jakarta:
Rajawali Pers, 2014.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Wahyono, Darmabrata, & Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, Jakarta: Rizkita, 2002.
Wahyuni, Sri, “Sejarah Undang-Undang Perkawinan”, dalam http:/ /kumham
jogja.info /karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/386- pembentukan-undang-
unda ng-nomor-1- tahun-1974-tentang-perkawinan.
Wahyuni, Sri, “Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia”, In
Right: Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol.1, No.1 (2011), p.134.

Anda mungkin juga menyukai