Anda di halaman 1dari 49

ANALISIS YURIDIS PENETAPAN HAKIM TERHADAP NIKAH BEDA AGAMA

(Studi Penetapan Nomor: 508/Pdt.P/2022/PN JKT.SEL)

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh:
ELLYSEN KANATA
NIM: 191010250185

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
BANTEN
2022
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................................

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 8
E. Kerangka Teori ........................................................................................ 9
F. Orientasi Penelitian ................................................................................. 15
G. Sistematika Penulisan .............................................................................. 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………............................................... 21

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA ........................................... 21


A. Pengertian Perkawinan Beda Agama ..................................................... 21
B. Perkawinan Beda Agama Dalam Lintas Sejarah ................................... 22
C. Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam ............... 23
D. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan ........................................................................ 24
E. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan ............................................ 28
F. Perkawinan Beda Agama Menurut Hak Asasi Manusia (HAM) .......... 30

BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 32

A. Jenis Peneltian ......................................................................................... 32


B. Spesifikasi Penenlitian ............................................................................. 32
C. Sumber dan Jenis Data ............................................................................ 32

ii
D. Lokasi Penelitian ..................................................................................... 33
E. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 33
F. Teknik Analisis Data ............................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 35

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai mahluk sosial, hidup seorang manusia fitrahnya adalah tidak

terlepas dari manusia yang lain. Kehidupan bersama antara manusia dalam skala kecil

bisa dilihat dari sebuah perkawinan untuk membentuk sebuah keluarga. Keluarga adalah

salah satu bentuk gejala kehidupan manusia yang dibentuk oleh seorang laki-laki dan

perempuan yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.

Perkawinan adalah sebuah kejadian hukum yang penting dalam kehidupan seorang

manusia yang mana mengandung berbagai akibat-akibat hukum. Maka dari itulah hukum-

hukum yang ada memberikan aturan yang detil soal perkawinan tersebut. Perkawinan itu

sendiri merupakan ikatan lahir dan batin antara laki-laki dan seorang perempuan guna

membentuk rumah tangga berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Kemudian, seluruh

negara mempunyai perundang-undangannya sendiri yang mengatur tentang perkawinan

tak terkecuali Indonesia.

Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi petunjuk Allah dalam

rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam

menjalankan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera artinya menciptakan

ketenangan lahir dan bathin disebabkan terpenuhinya kebutuhan hidup lahir dan

bathinnnya, sehingga timbulah

kebahagiaan, kasih sayang antara anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang dalam

1
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hal 10.
1
2

keluarga ini akan dirasakan pula dalam masyarakat atau ummat, sehingga

terbentuklah ummat yang diliputi cinta dan kasih sayang. 2

Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan dan keanekaragaman

kultur terbesar di dunia, hal itu tampak dari luas geografis Indonesia dan juga beragam

etnis, agama dan budaya yang ada di dalamnya.3 Indonesia memiliki beragam suku,

budaya, agama, sehingga budaya nusantara adalah bhinneka tunggal ika yang akan tetap

saling menghargai satu sama lain meskipun berbeda. Oleh karena itu, tidak menutup

kemungkinan akan terjadi perkawinan beda agama mengingat perkawinan tersebut di

Indonesia tidak ada aturan secara jelas yang melarang.

Terkait perkawinan beda agama ada 3 pandangan yang berbeda yakni: 4 pandangan

pertama menyebutkan, bahwasanya perkawinan beda agama tidak sah dengan mengutip

Pasal 2 ayat (1) dan ketentuan.Pasal. 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan (UU

Perkawinan), bahwa perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilarang untuk

dilangsungkan. Pandangan kedua, bahwa sah jika perkawinan beda agama dilangsungkan

berlandaskan perkawinan campuran. Pandangan yang berlandaskan perkawinan campuran

ini berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang tentang Perkawinan yaitu dua orang yang

tunduk pada hukum yang berbeda serta dalam hal ini perkawinan campuran tidak hanya

mengatur tentang adanya perbedaan negara, namun, juga tempat, agama serta suku.

Pandangan ketiga,

yakni bahwa perkawinan beda agama tidak diatur didalam Undang-Undang.

2
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan,(Jakarta : Bulan Bintang 1993), Cet. Ke-3,
hal.14
3
Gina Lestari, “Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia Di Tengah Kehidupan Sara,”
(Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 1 Februari, 2015), hal 31.
4
Kadek Wiwik Indrayanti, Pluralisme Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2018), hal 17.
3

Selain itu, ada pendapat lain yang mengatakan sah perkawinan beda agama

berdasarkan Hak Asasi Manusia yang terkandung dalam Pasal 28 dan 29 Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, karena bagaimanapun setiap orang berhak

untuk memeluk kepercayaan masing-masing dan berhak untuk membentuk keluarga serta

menghasilkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Hukum Negara dan Agama berbeda dalam menanggapi perkawinan beda

agama tersebut dikarenakan perkawinan beda agama adalah praktik perkawinan yang

dilarang bertentangan dengan penetapan hakim yang mengabulkan permohonan

perkawinan beda agama. Berdasarkan ayat Al-Qur‟an yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang

berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih

mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-

benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada oran-gorang kafir

(suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang

kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang

telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar

kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan)

dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang

telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali

mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman).

Demikianlah hukum Allah yang


4

ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (Al-

Mumtahanah, 60 : 10)”5

Pada ayat diatas, perkawinan beda agama dilarang terutama bagi perempuan muslim

menikah dengan laki – laki non muslim. Hal tersebut dikarenakan, tidak mungkin jika

seorang isteri tidak akan jatuh kedalam agama yang dianut oleh suami jika seorang suami

yang memimpin bahtera rumah tangga dan menjadi seseorang yang sangat berpengaruh

dalam membangun pondasi kekeluargaan dengan keimanan adalah seorang non-muslim.

Meskipun agama Islam telah melarang, kenyataan yang terjadi pada praktiknya

masih terdapat perkawinan beda agama dan telah ada pendapat yang menganggap benar

perkawinan terlarang tersebut dengan pandangan hak asasi, oleh karena itu MUI

memberikan Fatwa terkait perkawinan beda agama yang akan digunakan sebagai

pedoman umat Islam dengan ketetapan haram tentang perkawinan tersebut.6

Fenomena perkawinan dengan berbeda agama banyak dijumpai di lingkungan

masyarakat. Hal tersebut menjadi dasar timbulnya permasalahan dalam penerapan prinsip

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU

Prerkawinan), dimana Undang-Undang perkawinan tidak memberikan ruang pengaturan

bagi pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dengan berbeda agamanya.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, maka lembaga

catatan sipil ikut berperan dalam suatu perkawinan, yaitu sebagai lembaga pencatat

perkawinan,

terutama terhadap perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut

5
Departemen Agama RI, Qur‟an Kemenag Microsoft Word, (Jakarta: Kemenag, 2002).
6
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda
Agama, Http://Mui.Or.Id/Wp-Content/Uploads/Files/Fatwa/38.-Perkawinan-BedaAgama.Pdf Diakses 23/11/2022.
5

agamanya selain agama Islam. Kantor Catatan Sipil dalam melaksanakan tugasnya

sebagai instansi pencatat perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan selain

beragama Islam, berhak untuk menolak mencatatkan perkawinan yang tidak dibenarkan

oleh agama yang dianut oleh pasangan yang akan melangsungkan perkawinan.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 secara eksplisit mengatur

tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan

wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Islam

menyatakan sebagai berikut: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria

dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; a. Karena wanita yang bersangkutan

masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. Seorang wanita yang masih berada

dalam masa iddah dengan pria lain; c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam. Pasal

40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki

(muslim) dengan wanita non- muslim (baik Ahl alKitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi

pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang dianutnya

tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Sedangkan Pasal 44 menyatakan

sebagai berikut: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan

seorang pria yang tidak beragama Islam”. Pasal ini secara tegas melarang terjadinya

perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-muslim baik termasuk kategori Ahl al-

Kitab maupun tidak termasuk kategori Ahl al- Kitab.

Namun jika melihat fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, di mana pasangan yang

berbeda agama melangsungkan pernikahan dan masih memegang teguh pada agamanya

masing-masing, maka akan timbul masalah dalam pencatatannya di kantor catatan sipil,

hal ini dikarenakan belum adanya peraturan yang mengatur masalah perkawinan beda

agama.
6

Belum adanya peraturan yang mengatur dalam hal pencatatan perkawinan beda agama

memicu keraguan dalam prosedur dan kewenangan pelaksanaan pencatatan perkawinan

beda agama. Masyarakat memang masih melarang pernikahan beda agama, tetapi

dewasa ini pernikahan beda agama makin marak dilakukan. Kontroversi terjadi ketika

dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

khususnya Pasal 34, 35 dan 36, karena dengan adanya Undang-Undang tersebut sangat

memungkinkan pasangan beda agama dapat dicatatkan perkawinanya asal melalui

penetapan Pengadilan.

Uraian diatas menerangkan bahwa hakikat setiap agama memiliki prinsip

perkawinan yang sama, yakni menikah dengan umat seagama. Namun, bertentangan

dengan pengajuan permohonan perkawinan beda agama dengan ini dikabulkan oleh

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan perkara nomor 508/Pdt.P/2022/PN JKT.SEL.

Permohonan tersebut adalah permohonan perkawinan beda agama yang

diajukan dengan pemohon I beragama Kristen sebagai calon isteri dan pemohon II

beragama Islam sebagai calon suami. Pemohon mengajukan perkawinan beda agama

dikarenakan tidak mungkin melaksanakan perkawinan menurut tata acara masing-masing,

sehingga memerlukan penetapan dari Pengadilan berdasarkan Pasal 35 huruf a UU No. 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana telah diubah oleh UU No.

24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan (UU Administrasi Kependudukan), bahwa perkawinan tersebut harus

mendapatkan penetapan

pengadilan. 7

7
Salinan Penetapan Nomor 508/Pdt.P/2022/PN JKT.SEL, hal 3
7

Masyarakat memang masih melarang pernikahan beda agama, tetapi dewasa

ini pernikahan beda agama makin marak dilakukan. Kontroversi terjadi ketika

dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

khususnya Pasal

34, 35 dan 36, karena dengan adanya UU tersebut sangat memungkinkan pasangan beda

agama dapat dicatatkan perkawinanya asal melalui penetapan Pengadilan. Berdasarkan

latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian tentang ANALISIS YURIDIS PENETAPAN HAKIM

TERHADAP NIKAH BEDA AGAMA (Studi Penetapan Nomor: 508/Pdt.P/2022/PN

JKT.SEL)

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, dapat ditarik suatu rumusan masalah
yaitu:

1. Bagaimana pengaturan perkawinan beda agama di


Indonesia?

2. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan perkawinan

beda agama pada Penetapan Nomor: 508/Pdt.P/2022/PN JKT.SEL?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagi


berikut:

1. Menjelaskan dasar hukum pengaturan perkawinan beda agama yang digunakan


di

Indonesia.

2. Mendiskripsikan dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan

permohonan perkawinan beda agama pada Penetapan Nomor: 508/Pdt.P/2022/PN

JKT.SEL.

D. Manfaat Penelitian
8
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:

1. Manfaat Teoritis
9

a. Dapat dijadikan sebagai masukan bagi ilmu pengetahuan yang berguna

untuk perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan khususnya hukum yang

mengatur tentang perkawinan beda agama.

b. Menambah sumber kepustakaan tentang analisis putusan Pengadilan

meneganai permohonan izin kawin beda agama bagi perpustakaan Universitas

Pamulang.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti diharapkan dapat menambah dasar ilmu pengetahuan

mengenai analisis yuridis putusan Pengadilan perkawinan beda agama yang

ditinjau dari hokum di Indonesia.

b. Bagi Masyarakat Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan

untuk menambah ilmu pengetahuan pembaca atau masyarakat serta dapat

membantu memecahkan masalah mungkin atau sedang dihadapi oleh

masyarakat terutama menyangkut masalah meneganai Pernikahan Beda

Agama.

c. Bagi pemerintah dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

referensi dalam pembuatan sebuah produk hukum yang terkait dengan

kepastian hukum dan dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan izin

penetapan perkawinan beda agama di Pengadilan Negeri.

d. Bagi Hakim sebagai bahan pertimbangan untuk mengabulkan atau

menolak permohonan perkawinan beda agama di Indonesia.

E. Kerangka Teori

Kerangka teori yang dapat digunakan yaitu teori HakAsasi Manusia (HAM) dan Teori

Pluralisme Hukum.

1. Teori Hak Asasi Manusia ( HAM)


1

Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang hidup yang

bukan merupakan pemberian siapa pun juga termasuk Negara. Perkawinan beda agama

diakui di dalam Pasal 16 ayat (1) Deklarasi Universal: “Laki-laki dan perempuan yang

sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak

untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Semua memiliki hak yang sama

dalam soal perkawinan di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian”. 8 Dengan kata

lain, ketentuan ini menjamin hak setiap orang untuk menikah dan membentuk keluarga

walaupun pasangan calon suami dan istri berbeda agama.

Hak untuk melangsungkan perkawinan dijamin dalam Konvenan Internasional

tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan tujuan untuk melindungi hak setiap orang dan

perlindungan keluarga. Hak untuk berkeluarga, beragama dan berkeyakinan adalah

termasuk dalam hak-hak sipil. Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional Hak-

Hak Sipil dan Politik (ICCPR – International Covenant on Civil and Political Rights)

pada tahun 2006 dengan itu Indonesia telah menerima kewajiban untuk melindungi

kebebasan hak-hak sipil dan politik. Ketentuan-ketentuan Konvenan hak sipil dan politik

telah diadopsi ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (1) yang

menegaskan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan

keturunan melalui perkawinan yang sah. Kemudian dikuatkan oleh Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin hak setiap orang untuk

membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan

menjamin hak kebebasan untuk memilih calon suami dan

calon istri termasuk perempuan memiliki hak untuk menikah dengan warga negara asing
dan

8
Adnan Buyung Nasution, Patra M.Zein, Instrumen International Pokok Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2006, hlm.106.
1

bebas untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali

status kewarganegaraannya.

Seiring dengan perkembangan masyarakat, permasalahan yang semakin kompleks.

Berkaitan dengan pelaksanaan, permasalahan yang semakin kompleks. Berkaitan dengan

pelaksanaan, perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda

( perkawinan beda agama), yang masih menimbulkan pendapat pro- kontra dalam hal

pengakuan negara terhadap perkawinan tersebut. Salah satu pendapat mengatakan bahwa

masalah agama merupakan masalah pribadi sendirisendiri7 . Di sisi lain, di dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara, terjadi perubahan yang signifikan, terutama dalam

hal pengakuan hak- hak Asasi Manusia , aspek -aspek dalam HAM terus menjadi sorotan

masyarakat dunia karena semakin timbul kesadaran bahwa muatannya merupakan bagian

inheren dari kehidupan dan jati diri manusia.

Akumulasi dari berbagai Pemikiran dan perkembangan pemikiran HAM dalam

kurun waktu lama, sekurang-kurangnya tercatat 3 ( tiga) hak dasar yang seyogianya

mendapat perlindungan secara sungguhsungguh, yaitu:9

a. Hak kebebasan

Adalah hak yang bersifat melindungi kebebasan dalam kedamaian manusia dalam

kehidupan pribadi. Termasuk di dalamnya antara lain hak atas hidup ,

keutuhan jasmani, kebebasan bergerak , kebebasan dalam memilih jodoh, kebebasan

beragama, perlindungan terhadap hak milik, hak untuk ditahan secara sewenang-

wenang, dan hak atas perlindungan hukum.

b. Hak Demokrasi

9
Lihat https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16329/2/T1_312014128_BAB%20II.pdf
(diakses pada 11/2022)
1

Adalah hak berdasarkan keyakinan atas kedaulatan rakyat. Termasuk di dalamnya

antara lain: kebebasan untuk memilih wakil rakyat, hak untuk menentukan

pemimpin negara, hak mengemukakan pendapat, kebebasan pers, dan hak untuk

berkumpul dan berserikat.

c. Hak sosial

Adalah hak berdasarkan kesadaran bahwa masyarakat dan negara berkewajiban

untuk mengusahakan kesejahteraan pihakpihak dalam masyarakat. Termasuk di

dalamnya antara lain hak atas jaminan sosial, hak atas pekerjaan, hak atas pilihan ,

pekerjaan, hak atas syarat- syarat kerja yang memadai , hak tas upah yang wajar, hak

perlindungan atas pengangguran, hak atas pendidikan dan hak atas kesederajatan

antara pria dan perempuan.

2. Teori Pluralisme Hukum

Pancasila sebagai Falsafah Bangsa dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar

Negara memberi arahan yang mendasar pada bangsa Indonesia untuk menapaki hari ini

dan esok, tentang bagaimana seharusnya hukum dalam pola pikir wawasan nusantara

yang mengatakan, bahwa seluruh kepulauan nusantara merupakan satu kesatuan dan

hanya ada satu hukum yang mengabdi pada kepentingan nasional, dan sistem hukum

nasional Indonesia terbentuk dan terpengaruh oleh tiga sistem hukum, antara lain sistem

hukum Barat, sistem hukum Adat, dan sistem hukum Islam. Ketiga sistem hukum tersebut

hingga sekarang ini masih tetap berlaku di Negara Republik Indonesia yang berpengaruh

terhadap perubahan dalam tata hukum Negara Indonesia, termasuk dalam bidang hukum

Perkawinan. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Tata Hukum Negara Republik

Indonesia, hukum agama menjadi ukuran sahnya suatu Perkawinan. Dengan adanya

kemerdekaan beragama
1

dan pluralitas agama, maka diakui pluralitas hukum dalam bidang perkawinan, termasuk

di dalamnya perkawinan beda agama. Menurut Ichtiyanto, bahwa berdasarkan Pasal II

Aturan Peralihan dalam UUD 1945, pluralitas hukum tersebut berlanjut sampai kini,

sehingga pembinaan hukum nasional Indonesia makin kompleks.

Perbedaan keagamaan, kesukuan, dan geografis di Indonesia menyiratkan

bahwa pluralisme tidak mungkin dihindari. Perbedaan bangsa Indonesia dapat dihilangkan

kecuali perbedaan agama. 10 Pendapat bahwa tidak mungkin ada unifikasi hukum

Perkawinan Indonesia terbukti dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang

perkawinan dengan istilah “Hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu” dan

timbulnya masalah perkawinan dari pasangan yang berbeda agama.

Dalam suatu sistem hukum yang utuh, tuntas, dan lengkap pada masyarakat yang

terdapat pluralitas hukum, harus ada hukum antar Tata hukum untuk mengatur hubungan

hukum antara orang yang tunduk pada sistem hukum yang berlainan. Dalam sistem

hukum yang mengenai pluralitas hukum, perlu di berlakukannya tata hukum Intern dan

ekstern. Tata hukum di bidang hukum perkawinan adalah hukum perkawinan antara

warga negara yang berbeda agamanya. Dalam Perkawinan antara warga negara yang

tunduk pada hukum yang berlainan perlu adanya pilihan hukum (choice of law) sebagai

pangkal tolak penyelesaian benturan hukum ( Conflict of law) antar hukum yang

berlainan. Dalam konteks perkawinan beda agama, untuk sahnya suatu perkawinan,

pelaksanaannya dilakukan menurut salah satu hukum yang dipilih, yaitu hukum sang

suami. Hukum sang suami merupakan pilihan hukum dan titik pertautan dari conflict of

law dalam perkawinan beda agama, sesuai dengan tradisi

bahwa lakilaki sebagai kepala keluarga. Dalam sistem Common law di Inggris dan
Negara-

10
Sukarta, Abdullah (ed.), Kehidupan Agama dalam Negara Pancasila, (Jakarta: Departemen Agama,
1988), hlm. 138.
1

negara yang terpengaruh olehnya, dipedomani Titik pertautan hukum tersebut.

Dalam kaitannya dengan titik laut, ada teori status personal”, yang melihat hukum dalam

kaitannya dengan kewarganegaraan. Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku

bagi seseorang tergantung pada status personal kewarganegaraannya. Banyak negara

mengikuti teori status personal. Hukum Islam mengajarkan laki- laki adalah “penanggung

jawab” dan “pemimpin wanita (istri) sebagaimana yang di sebutkan dalam QS. An-Nisa

ayat 34.11 Jadi, mengandung ajaran teori titik pertautan hukum bahwa yang berlaku adalah

hukum suami.

Terlepas dari adanya perbedaan pendapat tentang perkawinan dengan wanita Ahlul-

kitab menurut Islam, sekarang masih ada atau tidak sebagai mana terdapat AL-Qur’an

surat Al-Maidah (5) ayat (5) yang membolehkan perkawinan laki- laki muslim dengan

wanita Ahlul- kitab dan dengan pengupacaraan perkawinan menurut hukum Islam. Ayat

tersebut pada hakikatnya mengandung asas dan teori titik pertautan hukum dalam

tata hukum menurut hukum Islam. Hukum suami sebagai titik pertautan hukum dalam

perkawinan antara warga negara yang berlainan status hukumnya dilaksanakan berbagai

negara12. Titik pertautan menurut hukum suami ini berlaku dalam perkawinan beda

agama tata hukum intern dan ekstern, atau dalam hukum perdata Internasional di bidang

perkawinan, di mana perkawinan yang terdapat unsur asing di dalamnya. Dalam hal ini ,

Zainal Asikin Kusuma Atmadja menyatakan bahwa Pasal 6 GHR menentukan berlakunya

titik pertautan hukum tersebut.

Dalam hukum nasional yang bersumbar Pancasila dikenal keanekaragaman hukum

yang agama-agama (di Indonesia) memberikan ajaran hukum. Dalam bidang hukum
yang

11
Lihat, QS. An-Nisa, 4 : 34
12
Negara Syria, Libanon, Jordam, Mesir, Maroko, Aljzair, Pakistan, India, Dalam ketentuan tentang
hukum perkawinan islam bagi orang Islam, diperbolehkan perkawinan laki-laki Muslim dengan Wanita
Kitabi yang
dilaksanakan dan diupacarakan menurut hukum Islam (Syari’t).
1

pluralitas karena pengaruh agama, negara bertugas menciptakan norma hukum yang

menjembatani perbedaan untuk bersatu dalam bangsa dan negara. Negara Indonesia

berkewajiban mengatur hubungan antara tata hukum masyarakat bangsanya. Norma

hukum antar tata hukum adalah unsur utama sistem hukum nasional, yang mengaku

i adanya perbedaan tata hukum (intern dan estern). Dalam sistem hukum nasional

Indonesia diperlukan norma hukum antar tata hukum intern bangsa dan negara Indonesia,

di samping adanya norma tata hukum ekstern ( Internasional). Norma tata hukum Intern

merupakan jembatan persatuan masyarakat , bangsa, dan negara Indonesia

Konsep pluralistik hukum dikemukakan sebagai dasar untuk menunjukkan

keberadaan sekaligus menunjukkan adanya interaksi antar sistem-sistem hukum dalam

bermasyarakat dan bernegara seperti di negara Indonesia. Sistem hukum nasional

Indonesia terjadi interaksi antara sistem hukum negara (state law), sisetm hukum rakyat

(folk law), dan sistem hukum agama agama (religious law).

F. Orientasi Peneletian

Orientasi penelitian memilik fungsi sebagai pengukur adanya perbedaan secara

subtansi antara karya tulis penelitian ini dengan yang lainnya. Berikut penelitian yang

tidak jauh berbeda dengan penelitian ini:

1. Skripsi, Azhar Muhammad Hanif, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang,

berjudul “Tinjauan Tentang Perkawinan Beda Agama (Analisis Terhadap Putusan

Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 156/Pdt.P/2010/PN.Ska)”. Metode penelitian

yang digunakan penelitian tersebut dengan menggunakan jenis penelitian yuridis normaif

dan pendekatan doktrinal. Hal tersebut karena untuk mengkaji serta analisis putusan

tersebut. Adapun hasil penelitian adalah alasan hakim mengabulkan permohonan

pernikahan beda
1

agama berlandaskan Undang-undang perkawinan yang memiliki dua penafsiran berbeda.

Pertama, perkawinan beda agama disahkan berlandaskan Pasal 57 tentang perkawinan

campuran yang tunduk pada dua aturan yang berbeda. Kedua, karena ada

kekosongan hukum.

Persamaan pada penelitian ini adalah penetapan hakim sama sama mengabulkan

permohonan perkawinan beda agama, namun perbedaannya adalah pendekatan penelitian

tersebut menggunakan doktrinal sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan kasus

dan konseptual serta pertimbangan hakim yang digunakan berbeda pada penelitian ini.

2. Skripsi, Agus Darmawan, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. Penelitian

tersebut berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hakim Mahkamah

Konstitusi Dalam Putusan MK Nomor 68/PUU-XII/2014 Tentang Pernikahan Beda

Agama”. Adapun metode penelitian pada jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis

normatif. Data yang dipakai berupa bahan hukum primer yakni Putusan MK No.68/PUU-

XII/2014, Al-Qur‟an, Hadits, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang

Adminduk dan Catatan Sipil, KHI serta Yurisprudensi MA. Bahan hukum sekunder

meliputi Tafsir Qur‟an, fatwa MUI, kitab fiqih, fatwa organisasi keagamaan, buku

perkawinan, jurnal konstitusi dan hukum. Bahan hukum tersier meliputi KBBI, kamus

hukum, maktaba syamila, buku metode penelitian, karya tulis, artikel dan koran. Pada

penelitian tersebut pengolahan data dengan menggunakan editing, coding, dan

rekonstruksi data. Setelah itu, data dianalisis dengan deskriptifanalitis dan kualitatif

memakai metode induktif.

Hasil penelitian tesebut secara keseluruhan disimpulkan bahwa pertimbangan

Hakim Mahkamah Konstitusi yang dijadikan landasan dalam hal perkawinan adalah

agama, sedangkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945 adalah
1

landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkawinan harus dilihat dari tiga

aspek, yakni spiritual, sosial dan formal. Hal itu dikarekan untuk keabsahan perkawinan

diperlukan agama, sedangkan keabsahan administratif diperlukan Undang-Undang.

Peneliti menggunakan tiga teori yakni, maslahah mursalah, sa‟du dzariyat, dan paradigma

relasi Agama dan Negara. Setelah mengkaji lebih dalam, bahwa penambahan frasa. dalam

Pasal 2 ayat (1), lebih menimbulkan mafsadat. karena tidak singkron dengan sila pertama

dalam Pancasila yaitu “Ketuhanan. Yang. Maha. Esa”. Oleh karena itu, menurut peneliti

bahwa keputusan Hakim Konstitusi telah singkron berdasarkan Hukum Islam. 13

Persamaan pada penetian ini adalah sama sama membahas tentang Perkawinan Beda

Agama, namun perbedaannya adalah pada penelitian tersebut menggunakan putusan MK

Nomor 68/PUU-XII/2014 tentang Perkawinan Beda Agama, sedangkan penelitian ini

menggunakan penetapan nomor 622/Pdt.P/2018/Pn.Mks tentang Permohonan Perkawinan

Beda Agama di Pengadilan Negeri Makassar. Pada penelitian tersebut tidak diterangkan

peneliti menggunakan pendekatan penelitian, sedangkan penelitian ini menggunakan

pendekatan kasus.

3. Skripsi, Fanny Fadlina, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian tersebut

berjudul “Analisis Yuridis Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama (Studi Kasus

Penetapan Nomor: 14/Pdt.P/2008/PN.Ska Dan Penetapan Nomor:

01/Pdt.P/2009/PN.Ska)”. Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian empiris.

Jenis data yang dipakai yaitu sekunder. Tekhnik yang dipakai yaitu menggunakan metode

wawancara secara langsung dan metode

studi kasus.

13
Agus Darmawan, Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi Dalam
Putusan Mk Nomor 68/Puu-Xii/2014 Tentang Pernikahan Beda Agama, (Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung, 2017).
1

Adapun hasil penelitian tersebut adalah terhadap permohon yang dikabulkan proses

pengajuan permohonan perkawinan beda agama sama dengan gugatan biasa, sedangkan

proses pemeriksaan permohonan tersebut bersifat sepihak karena menyangkut

kepentingan dari pemohon. Alasan hakim mengabulkan untuk mencegah perilaku asusila,

selain itu berdasarkan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, Pasal 28B ayat (1) perubahan kedua

UUD 1945, Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahunn 1974, Pasal 6 ayat (2) stbl 1898 No.

158 dan Pasal

10 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975. Sedangkan alasan hakim menolak adalah berdasarkan

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan

perkawinan yang sah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan. 14

Persamaan penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang isi penetapan terkait

permohonan perkawinan beda agama dan menggunakan pendekatan studi kasus, namun

perbedaannya adalah jenis penelitian ini adalah yuridis normatif dengan

menggunakan penetapan no. 622/Pdt.P/2018/Pn.Mks, sedangan penelitian tersebut adalah

empiris dengan menggunakan penetapan nomor: 14/Pdt.P/2008/Pn.Ska.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penyususnan skripsi ini penulis akan menguraikan pembahasan

permasalahan yang mencakup lima bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN, berisi uraian tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian (manfaat teoritis dan praktis), kerangka

teori,

orientasi penelitian serta sistematika penulisan


skripsi.

14
Fanny Fadlina, Analisis Yuridis Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama ( Studi Kasus
1
Penetapan Nomor : 14 / Pdt . P / 2008 / Pn . Ska Dan Penetapan Nomor : 01 / Pdt . P / 2009 / Pn . Ska ),
(Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010)
2

BAB II BAB II TINJAUAN PUSTAKA, berisi uraian tentang landasan teori

terkait perkawinan beda agama.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN, berisi uraian tentang metode penelitian

yang digunakan penulis.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN, berisi uraian jawab atas masalah

yang dirumuskan di bab pendahuluan dengan jelas, sistematis dan tuntas.

BAB V PENUTUP, berisi simpulan dan saran. Bagian akhir terdiri atas daftar
pustaka.
BAB II TINJAUAN

PUSTAKA

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA

Secara etimologis kawin (nikah) mempunyai beberapa arti, yakni berkumpul, bersatu,

bersetubuh dan akad.15 Didalam kamus besar bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata

“kawin” artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau

bersetubuh. 16 Lafadz nikah merupakan lafadz yang memiliki arti kebolehan untuk

melakukan perbuatan jima’ setelah adanya kata inkah atau tazwij.17 Pada hakikatnya, arti nikah

yaitu saling bersetubuh. Kemudian secara majaz diartikan akad, karena adanya akad maka akan

mengikat yang menimbulkan sebab dan akibat.18

A. Pengertian Perkawinan Beda Agama

Undang-Undang Perkawinan tidak secara pasti merumuskan tentang perkawinan

beda agama, meskipun demikian kita bisa merujuk pada berbagai definisi para sarjana.

Menurut Rusli dan R. Tama, perkawinan antar-agama adalah ikatan lahir batin antara

seorang pria dan wanita yang, karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua

peraturan yang

berlainan tentang syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum

15
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), hal 23.
16
Kemendikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.Ke-3, Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hal
7.
17
Abu Bakar Utsman Bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi Asy-Syafi’i, I’anatut Thalibin Ala Halli
Alfadzi
Fathil Mu’in, Juz 3, Cet.1 (T.T.:Darul Fikr, 1997), 296.
18
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, 23
19
2

agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan

kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.19

Menurut Ketut Mandra dan I. Ketut Artadi, perkawinan antar-agama adalah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan wanita yang masing-masing berbeda agamanya dan

mempertahankan perbedaan agamanya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk

membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa. Kemudian menurut Abdurrahman, perkawinan antar-agama adalah suatu perkawinan

yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang

berbeda satu dengan yang lainnya. 20

Dari pengertian di atas perkawinan beda agama merupakan hubungan dua insan

yang berbeda keyakinan dan diikat dalam satu pertalian yaitu perkawinan. Ada dua unsur

pokok yang harus ada dalam definisi perkawinan beda agama, yaitu keyakinan atau

memeluk agama yang berbeda dan diikat dalam suatu hubungan perkawinan.

B. Perkawinan Beda Agama dalam Lintasan Sejarah

Menurut Muhammad Amin Suma terdapat lima jenis perkawinan yang terjadi

sepanjang sejarah umat manusia yang kisahnya diabadikan dalam Al-Qur’an yaitu: 21

1) Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan kafir. Perkawinan ini

dapat terlihat pada perkawinan Nabi Nuh dan Nabi Luth yang keduanya memiliki

istri kafir,

fasik dan munafik.

19
O.S. Eoh, Perkawinan antar-Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1996),
hal 35.
20
O.S. Eoh, Perkawinan antar-Agama dalam Teori dan Praktek, h., 35
21
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan Qanuniah, (Tangerang :
Lentera Hati, 2015), hal 97.
2

2) Perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki kafir. Contoh

perkawinan seperti ini ialah perkawinan antara Siti Asiyah dengan Fir’aun. Dimana

Fir’aun bukan hanya kafir, melainkan juga orang yang mengaku dirinya Tuhan.

3) Perkawinan antara sesama kafir seperti perkawinan antara Abu Lahab dengan

Istrinya Ummu Jamil dan perkawinan pada umumnya antara laki-laki kafir dengan

perempuan kafir yang sangat lumrah terjadi.

4) Perkawinan antara sesama muslim yang merupakan perkawinan paling ideal

dan paling banyak terjadi. Perkawinan jenis ini adalah contoh perkawinan mayoritas

para Nabi, Wali, orang-orang yang benar (shiddiqin), para pahlawan (syuhada) dan

juga orang-orang saleh.

5) Perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dengan perempuan nonmuslim

seperti perkawinan antara Utsman r.a. dengan Na’ilah binti al-Faradhah al-

Kalbiyyah yang merupakan seorang perempuan Nasrani dan kemudian masuk Islam

di sisi Utsman, perkawinan Hudzaifah r.a. dengan seorang perempuan Yahudi yang

merupakan salah seorang penghuni al-Mada’in. Sedangkan Jabir r.a. pernah ditanya

mengenai pekawinan seorang muslim dengan orang Yahudi dan Nasrani, maka dia

menjawab, “Kami menikah dengan mereka pada zaman invasi kota Kufah bersama

Sa'ad bin Abi Waqqash.”

Praktik perkawinan beda agama yang terjadi dalam beberapa contoh kasus diatas

menjadi perdebatan mengenai hukumnya. Apalagi jika dibenturkan dengan dasar hukum

yang tertuang dalam Al-Qur’an maupun Hadis yang menurut sebagian ulama

mengandung larangan perkawinan beda agama.

C. Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam


2

Mengenai perkawinan beda agama KHI dengan tegas melarangnya. Ketentuan ini

sebagaimana tertulis dalam Pasal 40 yang berbunyi “Dilarang melangsungkan perkawinan

antara seorang pria denagn seorang perempuan karena keadaan tertentu: a) karena

perempuan yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b) seorang

perempuan yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c) seorang perempuan

yang tidak beragama Islam.” Dan Pasal 44 KHI yang berbunyi : “Seorang perempuan

Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama

Islam”.

Dari Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa kesepakatan ulama Indonesia setelah

mengkaji dalam tataran akademis atas berbagai pendapat ulama maupun pertimbangan

dari segi social culture masyarakat Indonesia, perkawinan beda agama dianggap

bertentang dengan dua aspek tersebut sehingga ulama sepakat mengharamkannya.

D. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, hukum perkawinan

Indonesia diatur dalam berbagai aturan yang berlaku sesuai dengan golongan penduduk

sebagai berikut:

1) Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama

apabila mengehendakinya (Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling (IS).

2) Bagi orang-orang Indonesia lainnya berlaku Hukum Adat.

3) Bagi orang Indonesia yang beragama Kristen berlaku Huwelijke Ordonantie (Kristen

Indonesia S. 1933 No. 74).


2

4) Bagi orang Timur Asing. Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina

berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan.

5) Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan Timur

Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka.

6) Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan

yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.22

Apabila terjadi perkawinan antar golongan yang tunduk pada hukum yang berlainan

tersebut yang disebabkan karena perbedaan agamanya, kewarganegaraannya, atau

perbedaan asalnya (keturunannya) maka digunakanlah Peraturan Perkawinan Campuran

yaitu Staatblad 158 tahun 1898 atau Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR).23

Dalam Pasal 7 GHR diatur bahwa perbedaan-perbedaan tersebut bukan menjadi

penghalang terhadap perkawinan. Dapat disimpulkan sebelum lahirnya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun

1974 perkawinan beda agama dianggap sah, karena pola pengaturan Belanda

yang memisahkan antara hukum agama dan hukum negara.24

Secara historis, unifikasi hukum perkawinan Indonesia yang berlaku secara nasional

hampir saja mewarisi ketentuan dalam GHR yang melegalkan perkawinan beda agama

sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 ayat (2) Rancangan Undang-Undang Perkawinan

Tahun 1973 yang berbunyi: “Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara

asal,

tempat asal, agama/kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang

22
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis Dari UU No.1 Tahun 1974 Dan Kompilasi
Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal 55.
23
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia: Pro-Kontra Pembentukannya Hingga
Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hal 79.
24
Alyasa Abubakar, Perkawinan Muslim Dengan Non-Muslim, (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), hal 26.
2

perkawinan.” Pasal ini merupakan konsekuensi dari Pasal sebelumnya yaitu pasal 2 ayat

(1) yang hanya memberikan ruang bagi negara dan tidak melibatkan agama untuk

mengesahkan perkawinan. “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan dihadapan

pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai

tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan Undangundang ini dan/atau ketentuan

hukum perkawinan fihak-fihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan

dengan Undang-Undang ini.”

Namun adanya rumusan tersebut menuai kecaman keras dari kelompok Islam,

karena bagi umat Islam perkawinan bukan hanya sebagai peristiwa perdata yang bersifat

administratif melainkan juga peristiwa agama yang mengharuskan terpenuhinya rukun

dan syarat yang diatur oleh agama. Maka rumusan ini dapat membawa potensi praktik

perkawinan sah oleh hukum sipil, namun tidak sah menurut agama. 25 Oleh karena itu,

negara harus melibatkan agama dalam proses mengesahkan perkawinan termasuk

menghapus rumusan kebolehan perkawinan beda agama apabila agama melarang hal

tersebut.

Setelah mendapatkan banyak kritik dari berbagai kelompok masyarakat melalui

fraksi- fraksi di DPR, pemerintah akhirnya mencabut dan merevisi beberapa rumusan

pasal dalam RUU Perkawinan yang bertentangan dengan hukum agama, dan kemudian

mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang telah disepakati bersama dan

disahkan tanggal

2 Januari 1974. 26

25
Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectual Responses to “New Order” Moderenization in
Indonesia diterjemahkan Ahmadie Thaha, Modernisasi Indonesia : Respon Cendekiawan Muslim (Jakarta :
Lingkaran Studi Indonesia,1987), h. 190.
26
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2005) h. 368
2

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan peranan besar bagi agama dan

kepercayaan masing-masing calon mempelai untuk menentukan sah atau tidaknya

perkawinan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 UU Perkawinan, yaitu “Perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.”

dilanjutkan Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Menurut Mahkamah

Konstitusi Pasal 2 ayat (2) tersebut hanya merupakan kewajiban administratif dan

pencatatan perkawinan bukanlah penentu dari sahnya perkawinan melainkan pemenuhan

syarat dari agama masing-masing pasangan calon mempelailah yang menentukan. 27

Namun masih terdapat celah hukum lain dalam UU Perkawinan yang mengandung

multi tafsir tepatnya pada Pasal 66 yang menyatakan bahwa “Dengan berlakunya UU ini,

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk

Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen

Indonesiers, S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campur (Regeling op de Gemengde

Huwelijk S. 158 tahun 1898), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang

perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”

Dari ketentuan Pasal 66 tersebut, dapat dinyatakan bahwa ketentuan perkawinan

beda agama dalam GHR tidak berlaku lagi, sedangkan perkawinan campur dalam UU

Perkawinan memiliki rumusan yang berbeda. Namun, dari Pasal 66 tersebut, terdapat

beberapa ahli hukum yang mengatakan bahwa terdapat kekosongan hukum tentang

perkawinan campuran

beda agama. UU Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan campuran beda agama,

27
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian UndangUndang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2

sedangkan bunyi pasal 66 menyatakan bahwa peraturan perkawinan lama tidak berlaku

selama telah diatur oleh UU Perkawinan ini dalam Pasal 57 UU Perkawinan, yang tidak

mengatur tentang perkawinan antar agama. 28

E. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006

Tentang Administrasi Kependudukan

Lahirnya Undang – Undang Administrasi Kependudukan yang dilandaskan pada

sebuah kesadaran bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya

berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi

dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami

oleh penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau luar wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia. 29

Hal ini terejawantahkan dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut bahwa

“Setiap Penduduk mempunyai hak untuk memperoleh: a. Dokumen Kependudukan; b.

pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; c.

perlindungan atas Data Pribadi; d. kepastian hukum atas kepemilikan dokumen.”30

Hadirnya undang-undang ini diharapkan mampu untuk mengakomodir seluruh

kepentingan administrasi pendudukan bagi

warga negara Indonesia tanpa adanya diskriminasi termasuk dalam pencatatan


perkawinan.

28
Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia In Right (Jurnal: Agama dan
Hak Azasi Manusia, Vol. 1, Nomor 1. 2011), hal 139.
29
Poin Konsiderans Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124)
30
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124)
2

Dimana dalam Pasal 34 UU tersebut juga mengakomodir perkawinan berbeda

agama yang sebelumnya tidak mempunyai kepastian hukum dan sulit mendapatkan

pengesahan perkawinan oleh negara. “Pencatatan perkawinan sebagai mana dimaksud

dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan.”31

Penjelasan Pasal 35

Huruf a ini menyebutkan, “Yang dimaksud dengan ‘Perkawinan yang ditetapkan


oleh

Pengadilan’ adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama”.

Karena perkawinan beda agama meupakan perkawinan yang tidak memiliki akta

perkawinan maka berlaku Pasal 36 Undang-Undang aquo. “Dalam hal perkawinan tidak

dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah

adan penetapan pengadilan.”

Berdasarkan ketentuan tersebut maka bagi pasangan beda agama yang ingin

mencatatkan perkawinannya harus terlebih dahulu mengajukan permohonan

penetapan perkawinan ke Pengadilan Negeri kemudian baru mencatatkannya ke Kantor

Catatan Sipil. 32

Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Perkawinan bahwa


Kantor

Catatan Sipil dapat melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan apabila

diperintah oleh Pengadilan. 33 Lahirnya kebolehan KCS untuk mencatatkan perkawinan

beda agama juga tidak terlepas dari adanya yurisprudensi Mahkamah Agung dalam

Putusan

Nomor 1400K/PDT/1986 yang memerintahkan Pegawai Pencatat pada Kantor Catatan


Sipil
31
2
Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124)
32
Pasal 69 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata
Cara
Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil.
33
Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1)
2

untuk melangsungkan perkawinan antara pasangan beda agama setelah dipenuhi

syarat- syarat perkawinan menurut Undang-Undang.

Prosedur ini berbeda apabila pasangan beda agama menikah di luar wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia dimana negara tersebut tidak menjadikan persamaan iman

sebagai syarat sah perkawinan, maka pasangan beda agama tidak perlu untuk meminta

penetapan pengadilan, karena berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang Adminstrasi

Kependudukan pasangan yang menikah di luar negeri hanya diminta untuk melaporkan

peristiwa perkawinannya dengan membawa kutipan akta perkawinan.

F. Perkawinan Beda Agama Menurut Hak Asasi Manusia (HAM)

Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan

keturunan melalui perkawinan yang sah.34 Amanat konstitusi ini tertuang dalam Pasal 10

ayat 1 dan 2 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 35 Pasal

10 berbunyi ayat (1) “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan

keturunan melalui perkawinan yang sah” dan ayat (2) “Perkawinan yang sah hanya

dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan,

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Dalam penjelasan Pasal 10 UU ini dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan

perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan

peraturan perundang-undangan. dan yang dimaksud dengan kehendak bebas adalah

34
Pasal 28 B ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
35
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169)
3

kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun

dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon istri. 36

Dari ketentuan hukum di atas dapat disimpulkan bahwa hak memilih pasangan

hidup tidak semerta-merta diberikan hanya kepada setiap orang, melainkan tetap harus

sejalan dengan ketentuan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan termasuk

persyaratan perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan yang mengharuskan setiap perkawinan dilakukan berdasarkan ketentuan

agama dan kepercayaan masing-masing.

Namun, di sisi lain perkawinan yang merupakan salah satu bentuk ibadah dalam

suatu hukum agama dianggap merupakan forum internum yang tidak boleh diintervensi

oleh siapapun termasuk negara. Forum internum mencakup kekebebasan individu untuk

memilih agama dan kepercayaan tertentu yang diyakininya dan untuk menganutnya serta

melaksanakan agamanya dan kepercayaanya di dalam lingkup privat.37

Sebagaimana jaminan beberapa pasal dalam konstitusi yang mengatui tentang

kebebasan beragama. Pasal 28E ayat (1) “Setiap orang berhak memeluk agama dan

beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,

memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali.” Dan ayat (2) “Setiap orang berhak atas

kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan

hati

nuraninya.” Pasal 28 I ayat (1) “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk

36
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169)
37
Alasan Pemohon dalam Uji Materil Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Putusan MK Nomor
68/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3

kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak

untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun.” Pasal 29 ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk

untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.”

Kerancuan ini kemudian dijawab oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya

Nomor 68/PUU-XII/2014 bahwa dalam perkawinan agama menjadi landasan dan negara

mempunyai kepentingan. Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang

menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang

Maha Esa serta turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa

untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia sementara negara

berperan untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan

perkawinan. Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga

harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Oleh karena itu, agama menetapkan legalitas

perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang

dilakukan oleh negara.38

Pembatasan HAM ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945

bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata

untuk

menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk

38
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian UndangUndang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3

memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,

keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” 39

39
Pasal 28 J ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Berdasarkan yang melatar belakangi penelitian ini dan rumusan masalah yang

digunakan, maka penelitian ini dikategorikan pada jenis penelitian yuridis normatif,

dikarenakan penelitian ini berupa kajian kepustakaan (library research), dengan metode

ini untuk melakukan penelitian hukum dengan bahan pustaka terkait.40

Bahan hukum yang digunakan peneliti adalah Penetapan Nomor 508/Pdt.P/2022/PN

JKT.SEL terhadap Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tentang permohonan izin

perkawinan beda agama. Selain itu peneliti mengintegrasikan terhadap pertimbangan

hakim menerima permohonan perkawinan beda agama dengan menggunakan hukum

positif dan hukum Islam.

B. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini menggunakan deskripsi analisi, yaitu metode yang menggambarkan

atau memaparkan suatu fakta yang nyata secara menyeluruh dan disusun secara sistematis.

C. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas:

a. Data Sekunder

1) Bahan hukum primer: bahan hokum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat

yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini

(Penetapan Nomor 508/Pdt.P/2022/PN JKT.SEL tentang Permohonan Izin

Perkawinan

Beda Agama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun

40
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.II, (Jakarta: Kencana, 2011), 90.
32
1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang

Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.

2) Bahan hukum sekunder: yaitu buku-buku maupun tulisan-tulisan ilmiah yang terkait

dengan penelitian ini

3) Bahan hukum tertier: bahan hukum tertier yaitu berupa petunjuk atau penjelasan

mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus,

ensiklopedia, majalah, surat kabar dan sebagainya. 41

b. Data Primer

Data primer, yaitu berupa data hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Negri Jakarta

Selatan terkait Penetapan Nomor 508/Pdt.P/2022/PN JKT.SEL terkait permohonan izin

perkawinan beda agama.

D. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian pada penelitian ini yaitu Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan

E. Teknik Pengumpulan Data

Metode yang dilakukan dalam pengumpulan data untuk penelitian ini adalah
dengan:

1) Cara pengumpulan data sekunder untuk mengumpulkan bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Metode pengumpulan bahan dilakukan

dengan penelitian kepustakaan (library research), studi ini dilakukan dengan jalan

meneliti dokumen-dokumen yang ada dengan cara mengumpulkan data dan informasi

baik yang

berupa buku, kerangka ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan hukum


lainnya
41
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta:
Rajawali
Pers, 2003), hal 37.

33
yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu dengan jalan mencari, mempelajari,

dan mencatat serta menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek

penelitian.

2) Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara. Wawancara yaitu suatu cara

mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada informan, yaitu

orang yang ahli atau berwenang dengan masalah tersebut.

F. Teknik Analisi Data

Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif

analitis, maka analisis data yang dipergunakan adalah analisis secara pendekatan kualitatif

terhadap data sekunder dan data primer. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur

hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentuakn isi atau

makna aturan

hukum.42

42
Philipus M Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatif (Normatif), (Yuridika No. 6 Thun IX,
November- Desember 1994), hal 6.
34
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Adnan Buyung Nasution, Patra M.Zein, (Instrumen International Pokok Hak Asasi
Manusia), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006)
Abu Bakar Utsman Bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi Asy-Syafi’i, I’anatut
Thalibin Ala Halli Alfadzi Fathil Mu’in, Juz 3, Cet.1 (T.T.:Darul Fikr, 1997)
Alyasa Abubakar, Perkawinan Muslim Dengan Non-Muslim, (Aceh: Dinas Syariat
Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008)
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis Dari UU No.1 Tahun 1974
Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004)
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung : PT Citra Aditya Bakti,
2005) Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan,(Jakarta : Bulan
Bintang
1993)
Kadek Wiwik Indrayanti, Pluralisme Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018)
Kemendikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.Ke-3, Edisi Kedua (Jakarta:
Balai
Pustaka, 1994)
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016)
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014)
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah
dan
Qanuniah, (Tangerang : Lentera Hati, 2015)
Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectual Responses to “New Order”
Moderenization in Indonesia diterjemahkan Ahmadie Thaha, Modernisasi Indonesia :
Respon Cendekiawan Muslim (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia,1987)
Negara Syria, Libanon, Jordam, Mesir, Maroko, Aljzair, Pakistan, India, Dalam
ketentuan tentang hukum perkawinan islam bagi orang Islam, diperbolehkan perkawinan
laki-laki Muslim dengan Wanita Kitabi yang dilaksanakan dan diupacarakan menurut
hukum Islam (Syari’t)
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.II, (Jakarta: Kencana, 2011)
35
Philipus M Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatif (Normatif), (Yuridika No. 6
Thun IX, November-Desember 1994)
O.S. Eoh, Perkawinan antar-Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,1996)
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 2003)
Sukarta, Abdullah (ed.), Kehidupan Agama dalam Negara Pancasila, (Jakarta:
Departemen Agama, 1988)
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia: Pro-Kontra
Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013)

Jurnal/Internet:
Gina Lestari, “Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia Di Tengah
Kehidupan Sara,” (Jurnal
Departemen Agama RI, Qur‟an Kemenag Microsoft Word, (Jakarta: Kemenag,
2002) Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia
In Right
(Jurnal: Agama dan Hak Azasi Manusia, Vol. 1, Nomor 1. 2011)
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang
Perkawinan Beda Agama, Http://Mui.Or.Id/Wp-Content/Uploads/Files/Fatwa/38.-
Perkawinan-BedaAgama.Pdf (Diakses 23/11/2022)
Agus Darmawan, Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hakim Mahkamah
Konstitusi Dalam Putusan Mk Nomor 68/Puu-Xii/2014 Tentang Pernikahan Beda Agama,
(Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2017)
Fanny Fadlina, Analisis Yuridis Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama
( Studi Kasus Penetapan Nomor : 14 / Pdt . P / 2008 / Pn . Ska Dan Penetapan Nomor : 01
/ Pdt . P / 2009 / Pn . Ska ), (Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010)
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16329/2/T1_312014128_BAB%20
II.pdf (diakses pada 11/2022)

36
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian
UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Putusan MK Nomor 68/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil
Salinan Penetapan Nomor 508/Pdt.P/2022/PN JKT.SEL tentang Izin Nikah Beda
Agama

37

Anda mungkin juga menyukai