PROPOSAL SKRIPSI
Oleh:
ELLYSEN KANATA
NIM: 191010250185
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
BANTEN
2022
DAFTAR ISI
ii
D. Lokasi Penelitian ..................................................................................... 33
E. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 33
F. Teknik Analisis Data ............................................................................... 34
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai mahluk sosial, hidup seorang manusia fitrahnya adalah tidak
terlepas dari manusia yang lain. Kehidupan bersama antara manusia dalam skala kecil
bisa dilihat dari sebuah perkawinan untuk membentuk sebuah keluarga. Keluarga adalah
salah satu bentuk gejala kehidupan manusia yang dibentuk oleh seorang laki-laki dan
Perkawinan adalah sebuah kejadian hukum yang penting dalam kehidupan seorang
manusia yang mana mengandung berbagai akibat-akibat hukum. Maka dari itulah hukum-
hukum yang ada memberikan aturan yang detil soal perkawinan tersebut. Perkawinan itu
sendiri merupakan ikatan lahir dan batin antara laki-laki dan seorang perempuan guna
membentuk rumah tangga berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Kemudian, seluruh
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi petunjuk Allah dalam
rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam
ketenangan lahir dan bathin disebabkan terpenuhinya kebutuhan hidup lahir dan
kebahagiaan, kasih sayang antara anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang dalam
1
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hal 10.
1
2
keluarga ini akan dirasakan pula dalam masyarakat atau ummat, sehingga
kultur terbesar di dunia, hal itu tampak dari luas geografis Indonesia dan juga beragam
etnis, agama dan budaya yang ada di dalamnya.3 Indonesia memiliki beragam suku,
budaya, agama, sehingga budaya nusantara adalah bhinneka tunggal ika yang akan tetap
saling menghargai satu sama lain meskipun berbeda. Oleh karena itu, tidak menutup
Terkait perkawinan beda agama ada 3 pandangan yang berbeda yakni: 4 pandangan
pertama menyebutkan, bahwasanya perkawinan beda agama tidak sah dengan mengutip
Perkawinan), bahwa perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilarang untuk
dilangsungkan. Pandangan kedua, bahwa sah jika perkawinan beda agama dilangsungkan
ini berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang tentang Perkawinan yaitu dua orang yang
tunduk pada hukum yang berbeda serta dalam hal ini perkawinan campuran tidak hanya
mengatur tentang adanya perbedaan negara, namun, juga tempat, agama serta suku.
Pandangan ketiga,
2
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan,(Jakarta : Bulan Bintang 1993), Cet. Ke-3,
hal.14
3
Gina Lestari, “Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia Di Tengah Kehidupan Sara,”
(Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 1 Februari, 2015), hal 31.
4
Kadek Wiwik Indrayanti, Pluralisme Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2018), hal 17.
3
Selain itu, ada pendapat lain yang mengatakan sah perkawinan beda agama
berdasarkan Hak Asasi Manusia yang terkandung dalam Pasal 28 dan 29 Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, karena bagaimanapun setiap orang berhak
untuk memeluk kepercayaan masing-masing dan berhak untuk membentuk keluarga serta
agama tersebut dikarenakan perkawinan beda agama adalah praktik perkawinan yang
berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-
benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada oran-gorang kafir
(suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang
kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang
telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang
telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali
mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman).
Mumtahanah, 60 : 10)”5
Pada ayat diatas, perkawinan beda agama dilarang terutama bagi perempuan muslim
menikah dengan laki – laki non muslim. Hal tersebut dikarenakan, tidak mungkin jika
seorang isteri tidak akan jatuh kedalam agama yang dianut oleh suami jika seorang suami
yang memimpin bahtera rumah tangga dan menjadi seseorang yang sangat berpengaruh
Meskipun agama Islam telah melarang, kenyataan yang terjadi pada praktiknya
masih terdapat perkawinan beda agama dan telah ada pendapat yang menganggap benar
perkawinan terlarang tersebut dengan pandangan hak asasi, oleh karena itu MUI
memberikan Fatwa terkait perkawinan beda agama yang akan digunakan sebagai
masyarakat. Hal tersebut menjadi dasar timbulnya permasalahan dalam penerapan prinsip
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, maka lembaga
catatan sipil ikut berperan dalam suatu perkawinan, yaitu sebagai lembaga pencatat
perkawinan,
5
Departemen Agama RI, Qur‟an Kemenag Microsoft Word, (Jakarta: Kemenag, 2002).
6
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda
Agama, Http://Mui.Or.Id/Wp-Content/Uploads/Files/Fatwa/38.-Perkawinan-BedaAgama.Pdf Diakses 23/11/2022.
5
agamanya selain agama Islam. Kantor Catatan Sipil dalam melaksanakan tugasnya
sebagai instansi pencatat perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan selain
beragama Islam, berhak untuk menolak mencatatkan perkawinan yang tidak dibenarkan
oleh agama yang dianut oleh pasangan yang akan melangsungkan perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 secara eksplisit mengatur
tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan
wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Islam
dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; a. Karena wanita yang bersangkutan
masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. Seorang wanita yang masih berada
dalam masa iddah dengan pria lain; c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam. Pasal
(muslim) dengan wanita non- muslim (baik Ahl alKitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi
pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang dianutnya
tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Sedangkan Pasal 44 menyatakan
seorang pria yang tidak beragama Islam”. Pasal ini secara tegas melarang terjadinya
perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-muslim baik termasuk kategori Ahl al-
Namun jika melihat fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, di mana pasangan yang
berbeda agama melangsungkan pernikahan dan masih memegang teguh pada agamanya
masing-masing, maka akan timbul masalah dalam pencatatannya di kantor catatan sipil,
hal ini dikarenakan belum adanya peraturan yang mengatur masalah perkawinan beda
agama.
6
Belum adanya peraturan yang mengatur dalam hal pencatatan perkawinan beda agama
beda agama. Masyarakat memang masih melarang pernikahan beda agama, tetapi
dewasa ini pernikahan beda agama makin marak dilakukan. Kontroversi terjadi ketika
khususnya Pasal 34, 35 dan 36, karena dengan adanya Undang-Undang tersebut sangat
penetapan Pengadilan.
perkawinan yang sama, yakni menikah dengan umat seagama. Namun, bertentangan
dengan pengajuan permohonan perkawinan beda agama dengan ini dikabulkan oleh
diajukan dengan pemohon I beragama Kristen sebagai calon isteri dan pemohon II
beragama Islam sebagai calon suami. Pemohon mengajukan perkawinan beda agama
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana telah diubah oleh UU No.
24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
mendapatkan penetapan
pengadilan. 7
7
Salinan Penetapan Nomor 508/Pdt.P/2022/PN JKT.SEL, hal 3
7
ini pernikahan beda agama makin marak dilakukan. Kontroversi terjadi ketika
khususnya Pasal
34, 35 dan 36, karena dengan adanya UU tersebut sangat memungkinkan pasangan beda
latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk
JKT.SEL)
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, dapat ditarik suatu rumusan masalah
yaitu:
C. Tujuan Penelitian
Indonesia.
JKT.SEL.
D. Manfaat Penelitian
8
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
9
Pamulang.
2. Manfaat Praktis
Agama.
E. Kerangka Teori
Kerangka teori yang dapat digunakan yaitu teori HakAsasi Manusia (HAM) dan Teori
Pluralisme Hukum.
Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang hidup yang
bukan merupakan pemberian siapa pun juga termasuk Negara. Perkawinan beda agama
diakui di dalam Pasal 16 ayat (1) Deklarasi Universal: “Laki-laki dan perempuan yang
sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak
untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Semua memiliki hak yang sama
dalam soal perkawinan di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian”. 8 Dengan kata
lain, ketentuan ini menjamin hak setiap orang untuk menikah dan membentuk keluarga
tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan tujuan untuk melindungi hak setiap orang dan
termasuk dalam hak-hak sipil. Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional Hak-
Hak Sipil dan Politik (ICCPR – International Covenant on Civil and Political Rights)
pada tahun 2006 dengan itu Indonesia telah menerima kewajiban untuk melindungi
kebebasan hak-hak sipil dan politik. Ketentuan-ketentuan Konvenan hak sipil dan politik
telah diadopsi ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (1) yang
keturunan melalui perkawinan yang sah. Kemudian dikuatkan oleh Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin hak setiap orang untuk
membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan
calon istri termasuk perempuan memiliki hak untuk menikah dengan warga negara asing
dan
8
Adnan Buyung Nasution, Patra M.Zein, Instrumen International Pokok Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2006, hlm.106.
1
status kewarganegaraannya.
pelaksanaan, perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda
( perkawinan beda agama), yang masih menimbulkan pendapat pro- kontra dalam hal
pengakuan negara terhadap perkawinan tersebut. Salah satu pendapat mengatakan bahwa
kehidupan berbangsa dan bernegara, terjadi perubahan yang signifikan, terutama dalam
hal pengakuan hak- hak Asasi Manusia , aspek -aspek dalam HAM terus menjadi sorotan
masyarakat dunia karena semakin timbul kesadaran bahwa muatannya merupakan bagian
kurun waktu lama, sekurang-kurangnya tercatat 3 ( tiga) hak dasar yang seyogianya
a. Hak kebebasan
Adalah hak yang bersifat melindungi kebebasan dalam kedamaian manusia dalam
beragama, perlindungan terhadap hak milik, hak untuk ditahan secara sewenang-
b. Hak Demokrasi
9
Lihat https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16329/2/T1_312014128_BAB%20II.pdf
(diakses pada 11/2022)
1
antara lain: kebebasan untuk memilih wakil rakyat, hak untuk menentukan
pemimpin negara, hak mengemukakan pendapat, kebebasan pers, dan hak untuk
c. Hak sosial
dalamnya antara lain hak atas jaminan sosial, hak atas pekerjaan, hak atas pilihan ,
pekerjaan, hak atas syarat- syarat kerja yang memadai , hak tas upah yang wajar, hak
perlindungan atas pengangguran, hak atas pendidikan dan hak atas kesederajatan
Pancasila sebagai Falsafah Bangsa dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar
Negara memberi arahan yang mendasar pada bangsa Indonesia untuk menapaki hari ini
dan esok, tentang bagaimana seharusnya hukum dalam pola pikir wawasan nusantara
yang mengatakan, bahwa seluruh kepulauan nusantara merupakan satu kesatuan dan
hanya ada satu hukum yang mengabdi pada kepentingan nasional, dan sistem hukum
nasional Indonesia terbentuk dan terpengaruh oleh tiga sistem hukum, antara lain sistem
hukum Barat, sistem hukum Adat, dan sistem hukum Islam. Ketiga sistem hukum tersebut
hingga sekarang ini masih tetap berlaku di Negara Republik Indonesia yang berpengaruh
terhadap perubahan dalam tata hukum Negara Indonesia, termasuk dalam bidang hukum
Indonesia, hukum agama menjadi ukuran sahnya suatu Perkawinan. Dengan adanya
kemerdekaan beragama
1
dan pluralitas agama, maka diakui pluralitas hukum dalam bidang perkawinan, termasuk
Aturan Peralihan dalam UUD 1945, pluralitas hukum tersebut berlanjut sampai kini,
bahwa pluralisme tidak mungkin dihindari. Perbedaan bangsa Indonesia dapat dihilangkan
kecuali perbedaan agama. 10 Pendapat bahwa tidak mungkin ada unifikasi hukum
perkawinan dengan istilah “Hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu” dan
Dalam suatu sistem hukum yang utuh, tuntas, dan lengkap pada masyarakat yang
terdapat pluralitas hukum, harus ada hukum antar Tata hukum untuk mengatur hubungan
hukum antara orang yang tunduk pada sistem hukum yang berlainan. Dalam sistem
hukum yang mengenai pluralitas hukum, perlu di berlakukannya tata hukum Intern dan
ekstern. Tata hukum di bidang hukum perkawinan adalah hukum perkawinan antara
warga negara yang berbeda agamanya. Dalam Perkawinan antara warga negara yang
tunduk pada hukum yang berlainan perlu adanya pilihan hukum (choice of law) sebagai
pangkal tolak penyelesaian benturan hukum ( Conflict of law) antar hukum yang
berlainan. Dalam konteks perkawinan beda agama, untuk sahnya suatu perkawinan,
pelaksanaannya dilakukan menurut salah satu hukum yang dipilih, yaitu hukum sang
suami. Hukum sang suami merupakan pilihan hukum dan titik pertautan dari conflict of
bahwa lakilaki sebagai kepala keluarga. Dalam sistem Common law di Inggris dan
Negara-
10
Sukarta, Abdullah (ed.), Kehidupan Agama dalam Negara Pancasila, (Jakarta: Departemen Agama,
1988), hlm. 138.
1
Dalam kaitannya dengan titik laut, ada teori status personal”, yang melihat hukum dalam
kaitannya dengan kewarganegaraan. Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku
mengikuti teori status personal. Hukum Islam mengajarkan laki- laki adalah “penanggung
jawab” dan “pemimpin wanita (istri) sebagaimana yang di sebutkan dalam QS. An-Nisa
ayat 34.11 Jadi, mengandung ajaran teori titik pertautan hukum bahwa yang berlaku adalah
hukum suami.
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat tentang perkawinan dengan wanita Ahlul-
kitab menurut Islam, sekarang masih ada atau tidak sebagai mana terdapat AL-Qur’an
surat Al-Maidah (5) ayat (5) yang membolehkan perkawinan laki- laki muslim dengan
wanita Ahlul- kitab dan dengan pengupacaraan perkawinan menurut hukum Islam. Ayat
tersebut pada hakikatnya mengandung asas dan teori titik pertautan hukum dalam
tata hukum menurut hukum Islam. Hukum suami sebagai titik pertautan hukum dalam
perkawinan antara warga negara yang berlainan status hukumnya dilaksanakan berbagai
negara12. Titik pertautan menurut hukum suami ini berlaku dalam perkawinan beda
agama tata hukum intern dan ekstern, atau dalam hukum perdata Internasional di bidang
perkawinan, di mana perkawinan yang terdapat unsur asing di dalamnya. Dalam hal ini ,
Zainal Asikin Kusuma Atmadja menyatakan bahwa Pasal 6 GHR menentukan berlakunya
yang agama-agama (di Indonesia) memberikan ajaran hukum. Dalam bidang hukum
yang
11
Lihat, QS. An-Nisa, 4 : 34
12
Negara Syria, Libanon, Jordam, Mesir, Maroko, Aljzair, Pakistan, India, Dalam ketentuan tentang
hukum perkawinan islam bagi orang Islam, diperbolehkan perkawinan laki-laki Muslim dengan Wanita
Kitabi yang
dilaksanakan dan diupacarakan menurut hukum Islam (Syari’t).
1
pluralitas karena pengaruh agama, negara bertugas menciptakan norma hukum yang
menjembatani perbedaan untuk bersatu dalam bangsa dan negara. Negara Indonesia
hukum antar tata hukum adalah unsur utama sistem hukum nasional, yang mengaku
i adanya perbedaan tata hukum (intern dan estern). Dalam sistem hukum nasional
Indonesia diperlukan norma hukum antar tata hukum intern bangsa dan negara Indonesia,
di samping adanya norma tata hukum ekstern ( Internasional). Norma tata hukum Intern
Indonesia terjadi interaksi antara sistem hukum negara (state law), sisetm hukum rakyat
F. Orientasi Peneletian
subtansi antara karya tulis penelitian ini dengan yang lainnya. Berikut penelitian yang
yang digunakan penelitian tersebut dengan menggunakan jenis penelitian yuridis normaif
dan pendekatan doktrinal. Hal tersebut karena untuk mengkaji serta analisis putusan
pernikahan beda
1
campuran yang tunduk pada dua aturan yang berbeda. Kedua, karena ada
kekosongan hukum.
Persamaan pada penelitian ini adalah penetapan hakim sama sama mengabulkan
dan konseptual serta pertimbangan hakim yang digunakan berbeda pada penelitian ini.
2. Skripsi, Agus Darmawan, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. Penelitian
Agama”. Adapun metode penelitian pada jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis
normatif. Data yang dipakai berupa bahan hukum primer yakni Putusan MK No.68/PUU-
Adminduk dan Catatan Sipil, KHI serta Yurisprudensi MA. Bahan hukum sekunder
meliputi Tafsir Qur‟an, fatwa MUI, kitab fiqih, fatwa organisasi keagamaan, buku
perkawinan, jurnal konstitusi dan hukum. Bahan hukum tersier meliputi KBBI, kamus
hukum, maktaba syamila, buku metode penelitian, karya tulis, artikel dan koran. Pada
rekonstruksi data. Setelah itu, data dianalisis dengan deskriptifanalitis dan kualitatif
Hakim Mahkamah Konstitusi yang dijadikan landasan dalam hal perkawinan adalah
1945 adalah
1
landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkawinan harus dilihat dari tiga
aspek, yakni spiritual, sosial dan formal. Hal itu dikarekan untuk keabsahan perkawinan
Peneliti menggunakan tiga teori yakni, maslahah mursalah, sa‟du dzariyat, dan paradigma
relasi Agama dan Negara. Setelah mengkaji lebih dalam, bahwa penambahan frasa. dalam
Pasal 2 ayat (1), lebih menimbulkan mafsadat. karena tidak singkron dengan sila pertama
dalam Pancasila yaitu “Ketuhanan. Yang. Maha. Esa”. Oleh karena itu, menurut peneliti
Persamaan pada penetian ini adalah sama sama membahas tentang Perkawinan Beda
Beda Agama di Pengadilan Negeri Makassar. Pada penelitian tersebut tidak diterangkan
pendekatan kasus.
berjudul “Analisis Yuridis Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama (Studi Kasus
Jenis data yang dipakai yaitu sekunder. Tekhnik yang dipakai yaitu menggunakan metode
studi kasus.
13
Agus Darmawan, Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi Dalam
Putusan Mk Nomor 68/Puu-Xii/2014 Tentang Pernikahan Beda Agama, (Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung, 2017).
1
Adapun hasil penelitian tersebut adalah terhadap permohon yang dikabulkan proses
pengajuan permohonan perkawinan beda agama sama dengan gugatan biasa, sedangkan
kepentingan dari pemohon. Alasan hakim mengabulkan untuk mencegah perilaku asusila,
selain itu berdasarkan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, Pasal 28B ayat (1) perubahan kedua
UUD 1945, Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahunn 1974, Pasal 6 ayat (2) stbl 1898 No.
10 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975. Sedangkan alasan hakim menolak adalah berdasarkan
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan
Persamaan penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang isi penetapan terkait
permohonan perkawinan beda agama dan menggunakan pendekatan studi kasus, namun
G. Sistematika Penulisan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian (manfaat teoritis dan praktis), kerangka
teori,
14
Fanny Fadlina, Analisis Yuridis Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama ( Studi Kasus
1
Penetapan Nomor : 14 / Pdt . P / 2008 / Pn . Ska Dan Penetapan Nomor : 01 / Pdt . P / 2009 / Pn . Ska ),
(Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010)
2
BAB V PENUTUP, berisi simpulan dan saran. Bagian akhir terdiri atas daftar
pustaka.
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA
Secara etimologis kawin (nikah) mempunyai beberapa arti, yakni berkumpul, bersatu,
bersetubuh dan akad.15 Didalam kamus besar bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata
“kawin” artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau
bersetubuh. 16 Lafadz nikah merupakan lafadz yang memiliki arti kebolehan untuk
melakukan perbuatan jima’ setelah adanya kata inkah atau tazwij.17 Pada hakikatnya, arti nikah
yaitu saling bersetubuh. Kemudian secara majaz diartikan akad, karena adanya akad maka akan
beda agama, meskipun demikian kita bisa merujuk pada berbagai definisi para sarjana.
Menurut Rusli dan R. Tama, perkawinan antar-agama adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita yang, karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua
peraturan yang
berlainan tentang syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum
15
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), hal 23.
16
Kemendikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.Ke-3, Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hal
7.
17
Abu Bakar Utsman Bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi Asy-Syafi’i, I’anatut Thalibin Ala Halli
Alfadzi
Fathil Mu’in, Juz 3, Cet.1 (T.T.:Darul Fikr, 1997), 296.
18
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, 23
19
2
Menurut Ketut Mandra dan I. Ketut Artadi, perkawinan antar-agama adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan wanita yang masing-masing berbeda agamanya dan
mempertahankan perbedaan agamanya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang
Dari pengertian di atas perkawinan beda agama merupakan hubungan dua insan
yang berbeda keyakinan dan diikat dalam satu pertalian yaitu perkawinan. Ada dua unsur
pokok yang harus ada dalam definisi perkawinan beda agama, yaitu keyakinan atau
memeluk agama yang berbeda dan diikat dalam suatu hubungan perkawinan.
Menurut Muhammad Amin Suma terdapat lima jenis perkawinan yang terjadi
sepanjang sejarah umat manusia yang kisahnya diabadikan dalam Al-Qur’an yaitu: 21
dapat terlihat pada perkawinan Nabi Nuh dan Nabi Luth yang keduanya memiliki
istri kafir,
19
O.S. Eoh, Perkawinan antar-Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1996),
hal 35.
20
O.S. Eoh, Perkawinan antar-Agama dalam Teori dan Praktek, h., 35
21
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan Qanuniah, (Tangerang :
Lentera Hati, 2015), hal 97.
2
perkawinan seperti ini ialah perkawinan antara Siti Asiyah dengan Fir’aun. Dimana
Fir’aun bukan hanya kafir, melainkan juga orang yang mengaku dirinya Tuhan.
3) Perkawinan antara sesama kafir seperti perkawinan antara Abu Lahab dengan
Istrinya Ummu Jamil dan perkawinan pada umumnya antara laki-laki kafir dengan
dan paling banyak terjadi. Perkawinan jenis ini adalah contoh perkawinan mayoritas
para Nabi, Wali, orang-orang yang benar (shiddiqin), para pahlawan (syuhada) dan
seperti perkawinan antara Utsman r.a. dengan Na’ilah binti al-Faradhah al-
Kalbiyyah yang merupakan seorang perempuan Nasrani dan kemudian masuk Islam
di sisi Utsman, perkawinan Hudzaifah r.a. dengan seorang perempuan Yahudi yang
merupakan salah seorang penghuni al-Mada’in. Sedangkan Jabir r.a. pernah ditanya
mengenai pekawinan seorang muslim dengan orang Yahudi dan Nasrani, maka dia
menjawab, “Kami menikah dengan mereka pada zaman invasi kota Kufah bersama
Praktik perkawinan beda agama yang terjadi dalam beberapa contoh kasus diatas
menjadi perdebatan mengenai hukumnya. Apalagi jika dibenturkan dengan dasar hukum
yang tertuang dalam Al-Qur’an maupun Hadis yang menurut sebagian ulama
Mengenai perkawinan beda agama KHI dengan tegas melarangnya. Ketentuan ini
antara seorang pria denagn seorang perempuan karena keadaan tertentu: a) karena
perempuan yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b) seorang
perempuan yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c) seorang perempuan
yang tidak beragama Islam.” Dan Pasal 44 KHI yang berbunyi : “Seorang perempuan
Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam”.
Dari Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa kesepakatan ulama Indonesia setelah
mengkaji dalam tataran akademis atas berbagai pendapat ulama maupun pertimbangan
dari segi social culture masyarakat Indonesia, perkawinan beda agama dianggap
Tentang Perkawinan
Indonesia diatur dalam berbagai aturan yang berlaku sesuai dengan golongan penduduk
sebagai berikut:
1) Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama
3) Bagi orang Indonesia yang beragama Kristen berlaku Huwelijke Ordonantie (Kristen
4) Bagi orang Timur Asing. Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina
5) Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan Timur
6) Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan
Apabila terjadi perkawinan antar golongan yang tunduk pada hukum yang berlainan
yaitu Staatblad 158 tahun 1898 atau Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR).23
Nomor 1 Tahun
1974 perkawinan beda agama dianggap sah, karena pola pengaturan Belanda
Secara historis, unifikasi hukum perkawinan Indonesia yang berlaku secara nasional
hampir saja mewarisi ketentuan dalam GHR yang melegalkan perkawinan beda agama
Tahun 1973 yang berbunyi: “Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara
asal,
22
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis Dari UU No.1 Tahun 1974 Dan Kompilasi
Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal 55.
23
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia: Pro-Kontra Pembentukannya Hingga
Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hal 79.
24
Alyasa Abubakar, Perkawinan Muslim Dengan Non-Muslim, (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), hal 26.
2
perkawinan.” Pasal ini merupakan konsekuensi dari Pasal sebelumnya yaitu pasal 2 ayat
(1) yang hanya memberikan ruang bagi negara dan tidak melibatkan agama untuk
pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai
Namun adanya rumusan tersebut menuai kecaman keras dari kelompok Islam,
karena bagi umat Islam perkawinan bukan hanya sebagai peristiwa perdata yang bersifat
dan syarat yang diatur oleh agama. Maka rumusan ini dapat membawa potensi praktik
perkawinan sah oleh hukum sipil, namun tidak sah menurut agama. 25 Oleh karena itu,
menghapus rumusan kebolehan perkawinan beda agama apabila agama melarang hal
tersebut.
fraksi- fraksi di DPR, pemerintah akhirnya mencabut dan merevisi beberapa rumusan
pasal dalam RUU Perkawinan yang bertentangan dengan hukum agama, dan kemudian
mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang telah disepakati bersama dan
disahkan tanggal
2 Januari 1974. 26
25
Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectual Responses to “New Order” Moderenization in
Indonesia diterjemahkan Ahmadie Thaha, Modernisasi Indonesia : Respon Cendekiawan Muslim (Jakarta :
Lingkaran Studi Indonesia,1987), h. 190.
26
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2005) h. 368
2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan peranan besar bagi agama dan
dilanjutkan Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat
Konstitusi Pasal 2 ayat (2) tersebut hanya merupakan kewajiban administratif dan
Namun masih terdapat celah hukum lain dalam UU Perkawinan yang mengandung
multi tafsir tepatnya pada Pasal 66 yang menyatakan bahwa “Dengan berlakunya UU ini,
Huwelijk S. 158 tahun 1898), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”
beda agama dalam GHR tidak berlaku lagi, sedangkan perkawinan campur dalam UU
Perkawinan memiliki rumusan yang berbeda. Namun, dari Pasal 66 tersebut, terdapat
beberapa ahli hukum yang mengatakan bahwa terdapat kekosongan hukum tentang
perkawinan campuran
beda agama. UU Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan campuran beda agama,
27
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian UndangUndang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2
sedangkan bunyi pasal 66 menyatakan bahwa peraturan perkawinan lama tidak berlaku
selama telah diatur oleh UU Perkawinan ini dalam Pasal 57 UU Perkawinan, yang tidak
sebuah kesadaran bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami
oleh penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. 29
28
Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia In Right (Jurnal: Agama dan
Hak Azasi Manusia, Vol. 1, Nomor 1. 2011), hal 139.
29
Poin Konsiderans Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124)
30
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124)
2
agama yang sebelumnya tidak mempunyai kepastian hukum dan sulit mendapatkan
dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan.”31
Penjelasan Pasal 35
Karena perkawinan beda agama meupakan perkawinan yang tidak memiliki akta
perkawinan maka berlaku Pasal 36 Undang-Undang aquo. “Dalam hal perkawinan tidak
Berdasarkan ketentuan tersebut maka bagi pasangan beda agama yang ingin
Catatan Sipil. 32
beda agama juga tidak terlepas dari adanya yurisprudensi Mahkamah Agung dalam
Putusan
Prosedur ini berbeda apabila pasangan beda agama menikah di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dimana negara tersebut tidak menjadikan persamaan iman
sebagai syarat sah perkawinan, maka pasangan beda agama tidak perlu untuk meminta
Kependudukan pasangan yang menikah di luar negeri hanya diminta untuk melaporkan
Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.34 Amanat konstitusi ini tertuang dalam Pasal 10
ayat 1 dan 2 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 35 Pasal
10 berbunyi ayat (1) “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah” dan ayat (2) “Perkawinan yang sah hanya
dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan,
ketentuan
34
Pasal 28 B ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
35
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169)
3
kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun
dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon istri. 36
Dari ketentuan hukum di atas dapat disimpulkan bahwa hak memilih pasangan
hidup tidak semerta-merta diberikan hanya kepada setiap orang, melainkan tetap harus
persyaratan perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Namun, di sisi lain perkawinan yang merupakan salah satu bentuk ibadah dalam
suatu hukum agama dianggap merupakan forum internum yang tidak boleh diintervensi
oleh siapapun termasuk negara. Forum internum mencakup kekebebasan individu untuk
memilih agama dan kepercayaan tertentu yang diyakininya dan untuk menganutnya serta
kebebasan beragama. Pasal 28E ayat (1) “Setiap orang berhak memeluk agama dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.” Dan ayat (2) “Setiap orang berhak atas
hati
nuraninya.” Pasal 28 I ayat (1) “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk
36
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169)
37
Alasan Pemohon dalam Uji Materil Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Putusan MK Nomor
68/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.” Pasal 29 ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”
Nomor 68/PUU-XII/2014 bahwa dalam perkawinan agama menjadi landasan dan negara
Maha Esa serta turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa
berperan untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan
perkawinan. Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga
harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Oleh karena itu, agama menetapkan legalitas
Pembatasan HAM ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945
bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk
38
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian UndangUndang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
39
Pasal 28 J ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Berdasarkan yang melatar belakangi penelitian ini dan rumusan masalah yang
digunakan, maka penelitian ini dikategorikan pada jenis penelitian yuridis normatif,
dikarenakan penelitian ini berupa kajian kepustakaan (library research), dengan metode
B. Spesifikasi Penelitian
atau memaparkan suatu fakta yang nyata secara menyeluruh dan disusun secara sistematis.
Sumber dan jenis data yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas:
a. Data Sekunder
1) Bahan hukum primer: bahan hokum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini
Perkawinan
40
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.II, (Jakarta: Kencana, 2011), 90.
32
1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.
2) Bahan hukum sekunder: yaitu buku-buku maupun tulisan-tulisan ilmiah yang terkait
3) Bahan hukum tertier: bahan hukum tertier yaitu berupa petunjuk atau penjelasan
mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus,
b. Data Primer
Data primer, yaitu berupa data hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Negri Jakarta
D. Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian pada penelitian ini yaitu Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan
Metode yang dilakukan dalam pengumpulan data untuk penelitian ini adalah
dengan:
1) Cara pengumpulan data sekunder untuk mengumpulkan bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Metode pengumpulan bahan dilakukan
dengan penelitian kepustakaan (library research), studi ini dilakukan dengan jalan
meneliti dokumen-dokumen yang ada dengan cara mengumpulkan data dan informasi
baik yang
33
yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu dengan jalan mencari, mempelajari,
penelitian.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara. Wawancara yaitu suatu cara
analitis, maka analisis data yang dipergunakan adalah analisis secara pendekatan kualitatif
terhadap data sekunder dan data primer. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur
hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentuakn isi atau
makna aturan
hukum.42
42
Philipus M Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatif (Normatif), (Yuridika No. 6 Thun IX,
November- Desember 1994), hal 6.
34
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adnan Buyung Nasution, Patra M.Zein, (Instrumen International Pokok Hak Asasi
Manusia), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006)
Abu Bakar Utsman Bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi Asy-Syafi’i, I’anatut
Thalibin Ala Halli Alfadzi Fathil Mu’in, Juz 3, Cet.1 (T.T.:Darul Fikr, 1997)
Alyasa Abubakar, Perkawinan Muslim Dengan Non-Muslim, (Aceh: Dinas Syariat
Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008)
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis Dari UU No.1 Tahun 1974
Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004)
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung : PT Citra Aditya Bakti,
2005) Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan,(Jakarta : Bulan
Bintang
1993)
Kadek Wiwik Indrayanti, Pluralisme Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018)
Kemendikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.Ke-3, Edisi Kedua (Jakarta:
Balai
Pustaka, 1994)
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016)
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014)
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah
dan
Qanuniah, (Tangerang : Lentera Hati, 2015)
Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectual Responses to “New Order”
Moderenization in Indonesia diterjemahkan Ahmadie Thaha, Modernisasi Indonesia :
Respon Cendekiawan Muslim (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia,1987)
Negara Syria, Libanon, Jordam, Mesir, Maroko, Aljzair, Pakistan, India, Dalam
ketentuan tentang hukum perkawinan islam bagi orang Islam, diperbolehkan perkawinan
laki-laki Muslim dengan Wanita Kitabi yang dilaksanakan dan diupacarakan menurut
hukum Islam (Syari’t)
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.II, (Jakarta: Kencana, 2011)
35
Philipus M Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatif (Normatif), (Yuridika No. 6
Thun IX, November-Desember 1994)
O.S. Eoh, Perkawinan antar-Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,1996)
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 2003)
Sukarta, Abdullah (ed.), Kehidupan Agama dalam Negara Pancasila, (Jakarta:
Departemen Agama, 1988)
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia: Pro-Kontra
Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013)
Jurnal/Internet:
Gina Lestari, “Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia Di Tengah
Kehidupan Sara,” (Jurnal
Departemen Agama RI, Qur‟an Kemenag Microsoft Word, (Jakarta: Kemenag,
2002) Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia
In Right
(Jurnal: Agama dan Hak Azasi Manusia, Vol. 1, Nomor 1. 2011)
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang
Perkawinan Beda Agama, Http://Mui.Or.Id/Wp-Content/Uploads/Files/Fatwa/38.-
Perkawinan-BedaAgama.Pdf (Diakses 23/11/2022)
Agus Darmawan, Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hakim Mahkamah
Konstitusi Dalam Putusan Mk Nomor 68/Puu-Xii/2014 Tentang Pernikahan Beda Agama,
(Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2017)
Fanny Fadlina, Analisis Yuridis Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama
( Studi Kasus Penetapan Nomor : 14 / Pdt . P / 2008 / Pn . Ska Dan Penetapan Nomor : 01
/ Pdt . P / 2009 / Pn . Ska ), (Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010)
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16329/2/T1_312014128_BAB%20
II.pdf (diakses pada 11/2022)
36
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian
UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Putusan MK Nomor 68/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil
Salinan Penetapan Nomor 508/Pdt.P/2022/PN JKT.SEL tentang Izin Nikah Beda
Agama
37