Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

MENGENAL HUKUM WARIS PERDATA DAN HUKUM


WARIS ISLAM SERTA PERBANDINGANNYA DILIHAT DARI
SISI KEADILAN

OLEH KELOMPOK 4:

1. Made Devi Citrayani (02130006)


2. Kadek Widya Sari (02130010)
3. Ketut Astriani (02130012)
4. Putu Diah Marta Damayanti (02130015)
5. Kadek Andre Diwanda (02130048)
6. Agus Priambodo (02130055)
7. Tati Rosmiati (02130057)
8. Komang Terisa Diah Pribadi (02230064)

UNIVERSITAS PANJI SAKTI

SINGARAJA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nyalah
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul:

“Mengenal Hukum Waris Perdata dan Hukum Waris Islam Serta


Perbandingannya Dilihat Dari Sisi Keadilan”.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Hukum Keluarga


dan Kewarisan Adat yang diampu oleh Bapak I Gede Wira Sena, S.H., M.Kn.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Suatu hal yang tidak dapat penulis
pungkiri, bahwa suatu karya tulis tidak dapat berdiri sendiri dan tidak terlepas dari
rangkaian dan proses, maka dalam rangkaian dan proses inilah peran dan
partisipasi dari berbagai pihak menjadi mutlak adanya.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf bila
dalam penulisan makalah ini, terdapat hal-hal yang tidak berkenan di hati. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan, khususnya bagi
penulis sendiri.

Singaraja, 06 Juni 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1. Latar Belakang....................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..............................................................................................3
1.3. Tujuan Penulisan................................................................................................4
1.4. Manfaat Penulisan..............................................................................................4
BAB II KAJIAN PUSTAKA................................................................................................5
2.1 Pengertian Hukum Waris....................................................................................5
2.2 Pengertian Hukum Waris Adat...........................................................................8
2.3 Pengertian Hukum Waris Perdata.......................................................................8
2.4 Pengertian Hukum Waris Islam...........................................................................9
BAB III PEMBAHASAN.................................................................................................11
3.1. Konsep Hukum Waris Perdata..........................................................................11
3.2. Konsep Hukum Waris Islam..............................................................................14
3.3. Perbandingan Hukum Waris Perdata dan Hukum Waris Islam.........................19
BAB IV PENUTUP........................................................................................................21
4.1. Kesimpulan.......................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang mengutamakan kepentingan


masyarakatnya, perubahan demi perubahan terjadi sejak era nenek moyang
sampai era modern namun beberapa hal tidak mengalami perubahan
bahkan dari jaman nenek moyang ialah harta warisan merupakan
peninggalan dari orang yang sudah meninggal biasanya diberikan atau
dihibahkan kepada keturunan mereka dengan tujuan agar mengembangkan
suatu yang ditinggalnya. Tujuan pewarisan yang diharapkan dapat
mensejahterakan hidup para ahli waris, nyatanya malah membuat
kehidupan keluarga menjadi hancur karena konflik yang terjadi.
Sesuai dengan hukum perdata Indonesia, pemerintah
mengantisipasi adanya masalah tersebut dengan aturan yang mengizinkan
tuntutan hukum tentang warisan. Tegas dan jelas bahwa Indonesia adalah
sebuah negara yang beradasarkan hukum (rechstaat) dan bukan
berdasarkan kekuasaan (machstaat). Undang-Undang Dasar 1945 dalam
pasal 31 ayat 3 menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum.1 itu artinya segala hal yaang berkaitan dengan negara atau
berkaitan dengan sesama warga negara harus diatur dan dijamin oleh
peraturan perundang-undangan. Hal demikian merupakan sebuah
konsekuensi dari negara hukum selain untuk memastikan keadilan,
kepastian dan kemanfaatan hukum.2
Termasuk hal yang diatur oleh negara adalah hal ihwal waris yang
berlaku di Indonesia. Hukum waris merupakan salah satu bagian dari
hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari
hukum kekeluargaan (al-ahwal al-syakhsiyah) melengkapi
1
UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3
2
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-
Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hlm. 64.

1
keanekaragaman sistem kewarisan adat di Indonesia dua sistem hukum
lainnya juga cukup mendominasi sistem hukum waris yaitu hukum waris
barat peninggalan zaman hindia belanda yang bersumber dalam BW
(Burgerlijk Wetboek) dan Hukum waris Islam yang bersumber dari Al
Qur’an.
Hukum waris yang berlaku di Indonesia untuk saat ini bersifat
pluralistis yaitu ada yang tunduk kepada hukum waris dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, hukum waris Islam dan hukum adat.
Karena masyarakat Indonesia berbineka yang terdiri dari beragam suku
bangsa memiliki adat istiadat dan hukum adat yang beragam antar yang
satu dengan yang lainnya berbeda, dan memiliki karakteristik sendiri yang
menjadikan hukum adat termasuk di dalamnya. Masyarakat muslim dapat
menundukan diri kepada hukum waris islam, masyarakat non-muslim
dapat menundukan diri kepada hukum waris perdata Barat dan untuk
pribumi dapat menundukan diri kepada hukum waris adat.
Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai warisan,
memuat 3 asas yang diatur. Asas yang pertama yaitu asas pribadi, bahwa
ahli waris itu perorangan. Lalu, asas yang kedua adalah asas bilateral yaitu
asas yang mengatur bahwa ahli waris akan memperoleh harta warisan
sesuai dengan silsilah dari pihak laki-laki maupun dari silsilah pihak
perempuan, begitu pula dengan pewarisnya dapat sesuai silsilah dari laki-
laki atau silsilah dari perempuan. Yang terakhir adalah asas penderajatan,
maksudnya adalah penerima harta warisan ialah orang atau ahli waris yang
memiliki kekerabatan lebih akrab bersama si pewaris.3
Kemudian hukum waris dalam Islam telah diatur secara baik dan
sempurna.4 Dasar-dasar kewarisan dalam Islam yaitu berkaitan dengan
asas-sas kewarisan yaitu: Asas ijbari (otomatis), Asas Bilateral, Asas
individual, Asas keadilan berimbang, dan Asas semata akibat kematian.

3
Diana Anisya Fitri Suhartono, "Sistem Pewarisan Menurut Hukum Perdata", Jhpis- Volume 1,
No. 3, September 2022, hlm. 206
4
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, dalam Perspektif Islam, Adat, dan
BW, (Bandung : Rafika Adi Tama, 2007), h. 1

2
Dalam konteks Indonesia, prinsip-prinsip dasar kewarisan warga negara
yang menganut agama Islam dapat menundukan diri kepada sebuah
kompilasi yang memuat tentang hukum waris islam yaitu Kompilasi
Hukum Islam. Dalam KHI dikatakan yang berhak menerima harta waris
adalah orang yang saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (pasal 171 butir c KHI).
Lebih lanjut dikatakan dalam KHI, seseorang terhalang menjadi
ahli waris apabila dengan putusannya hakim telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, dihukum karena: dipersalahkan karena telah membunuh atau
mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris dan dipersalahkan
secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun atau
hukuman yang lebih berat.5
Dalam sistem kewarisan di Indonesia sebagaimana disebut dalam
KHI yang berhak mendapat warisan adalah seseorang yang memiliki
hubungan darah atau hubungan perkawinan dan tidak terhalang pada saat
pewaris meninggal dunia. Itu artinya, seseorang yang tidak memiliki
hubungan darah, bukan suami-istri atau terhalang, tidak dapat menjadi ahli
waris dari orang yang meninggal dunia. Kendati demikian, meskipun tidak
dapat menjadi ahli waris karena karena alasan tersebut, seseorang masih
bisa mendapatkan warisan akan tetapi bukan dengan jalan waris, tetapi
dengan cara wasiat wajibah.
1.2.Rumusan Masalah

1. Bagaimana penjelasan mengenai konsep Hukum Waris Perdata?


2. Bagaimana penjelasan mengenai konsep Hukum Waris Islam?
3. Bagaimana perbandingan Hukum Waris Perdata dan Hukum Waris
Islam di Indonesia?

5
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademi
Pressindo, 2010), h.155

3
1.3.Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai Hukum Waris


Perdata.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai Hukum Waris
Islam.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis perbandingan Hukum Waris
Perdata dan Hukum Waris Islam di Indonesia.

1.4.Manfaat Penulisan

1. Bagi pemerintah diharapkan dapat melakukan harmonisasi hukum


waris di Indonesia.
2. Bagi masyarakat diharapkan tunduk dan patuh terhadap hukum
waris yang ada di Indonesia
3. Bagi mahasiswa diharapkan dapat mengetahui, memahami, dan
menjelaskan mengenai Hukum Waris Perdata, Hukum Waris Islam,
serta perbandingan keduanya.

4
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hukum Waris

Hukum waris adalah sebuah hukum yang mengatur tentang


pembagian harta seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris atau
keluarga yang berhak. Di Indonesia, hukum waris yang berlaku ada 3
yakni, hukum adat, hukum waris Islam dan hukum waris perdata.
Umumnya jika penerapannya bagi umat non-muslim maka hukum yang
digunakan adalah Hukum Waris Perdata. Sedangkan, untuk masyarakat
yang beragama Muslim, digunakan Hukum Islam atau dapat pula Hukum
Adat.
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya
bagi para ahli warisnya. Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-
kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan atau harta benda saja yang
dapat diwarisi.6 Hukum waris itu memuat peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta
benda dan barang-barang yang tak berwujud dari suatu angkatan manusia
kepada keturunannya.7 Oleh karena itu, istilah hukum waris mengandung
pengertian yang meliputi kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur
proses beralihnya harta benda dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban
seseorang yang meninggal dunia.
Hukum waris adalah bagian dari hukum kekeluargaan yang sangat
erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia sebab setiap
manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan

6
Perangin, Efendi, Hukum Waris, Rajawali pers, Jakarta, 2011, cet.10, hlm. 3
7
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Cet. IV,
Refika Aditama, Bandung, 2014, h. 2

5
kematian. Para ahli hukum di Indonesia sampai saat ini masih berbeda
pendapat tentang pengertian hukum waris.
1. Hazairin menggunakan istilah hukum “kewarisan”.
Menurut Hazairin, kewarisan adalah: “Peraturan yang
mengatur tentang apakah dan bagaimanakah pelbagai hak
dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang
masih hidup”.
2. Menurut H.M. Idris Ramulyo,“Hukum waris ialah
himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang
siapa ahli waris atau badan hukum mana yang berhak
mewaris harta peninggalan. Bagaimana kedudukan
masing-masing ahli waris serta berapa perolehan masing-
masing secara adil dan sempurna”.
3. Menurut R. Abdul Djamali, “Hukum waris adalah
ketentuan hukum yang mengatur tentang Nasib kekayaan
seseorang setelah meninggal dunia”.
4. Menurut R. Santoso Pudjosubroto, “Yang dimaksud dengan
hukum warisan adalah hukum yang mengatur apakah dan
bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang
harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia
akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.

Meskipun terdapat cukup banyak pengertian hukum waris yang


dikemukakan oleh para ahli hukum, namun pada intinya mereka
berpendapat sama, yaitu hukum waris adalah peraturan hukum yang
mengatur perpindahan harta kekayaan dari pewaris kepada para ahli waris.

Di Indonesia ada tiga jenis hukum waris yang berlaku, yaitu


hukum waris adat, hukum waris perdata/barat, dan hukum waris Islam.
Warga negara Indonesia wajib memilih salah satu hukum waris yang akan
digunakan. Ketiga hukum waris tersebut berbeda-beda dalam mengatur

6
tentang warisan. Ketiga hukum waris tersebut memiliki persamaan yaitu
harta atau aset yang diberikan orang yang memberikan sudah meninggal
dunia, jika orangnya masih hidup istilahnya disebut Hibah bukan warisan.
Hal yang terpenting juga adalah orang yang menjadi ahli waris harus yang
memiliki hubungan keluarga atau hubungan keturunan. Sebagai contoh
paman, anak, cucu, dan lain sebagainya.
Dalam rangka memahami kaidah-kaidah serta seluk beluk hukum
waris, hampir tidak dapat dihindarkan untuk terlebih dahulu memahami
beberapa istilah yang lazim dijumpai dan dikenal. Istilah-istilah dimaksud
tentu saja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian hukum
waris itu sendiri. Beberapa istilah tersebut beserta pengertiannya dapat
disimak berikut ini:8
1. Waris;
Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka
(peninggalan) orang yang telah meninggal.
2. Warisan;
Berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.
3. Pewaris;
Orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal
dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka,
maupun surat wasiat.
4. Ahli waris;
Yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang
yang berhak menerima harta peninggalan pewaris;
5. Mewarisi;
Yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris
adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya.
6. Proses pewarisan;
Istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua
makna, yaitu berarti penerusan atau penunjukan para waris
8
Ibid.

7
ketika pewaris masih hidup; dan berarti pembagian harta
warisan setelah pewaris meninggal

2.2 Pengertian Hukum Waris Adat

Hukum waris adat adalah hukum waris yang diyakini dan


dijalankan oleh beberapa suku di Indonesia. Hukum waris adat di masing-
masing daerah berbeda tergantung pada daerah masing-masing, yang
berlaku bagi orang-orang yang tunduk pada hukum adat. Beberapa hukum
waris adat aturannya tidak tertulis, namun sangat dipatuhi oleh masyarakat
pada suku tertentu dalam suatu daerah, dan bila ada yang melanggarnya
akan diberikan sanksi. Jenis hukum ini banyak dipengaruhi oleh hubungan
kekerabatan serta stuktur kemasyarakatannya. Selain itu jenis
pewarisannya pun juga beragam, antara lain:
1. Sistem Keturunan, pada sistem ini dibedakan menjadi tiga
macam yaitu garis keturunan bapak, garis keturunan ibu, serta
garis keturunan keduanya
2. Sistem Individual merupakan jenis pembagian warisan
berdasarkan bagiannya masing-masing, umumnya banyak
diterapkan pada masyarakat suku Jawa.
3. Sistem Kolektif Merupakan sistem pembagian warisan dimana
kepemilikannya masing-masing ahli waris memiliki hak untuk
mendapatkan warisan atau tidak menerima warisan. Umumnya
bentuk warisan yang digunakan dengan jenis ini adalah barang
pusaka pada masyarakat tertentu.
4. Sistem Mayorat merupakan sistem pembagian warisan yang
diberikan kepada anak tertua yang bertugas memimpin
keluarga. Contohnya pada masyarakat lampung dan Bali

2.3 Pengertian Hukum Waris Perdata

8
Hukum waris perdata adalah hukum waris yang umum di
Indonesia dan beberapa aturannya mirip dengan budaya barat. Warisan
dapat diberikan kepada ahli waris yang terdapat surat wasiat atau keluarga
yang memiliki hubungan keturunan atau kekerabatan, seperti anak, orang
tua, saudara, kakek, nenek hingga saudara dari keturunan tersebut. Sistem
atau prinsip yang digunakan dalam hukum bagi waris jenis ini
menggunakan sistem individual yang artinya setiap individu ahli waris
berhak mendapatkan harta warisan berdasarkan bagiannya masing-masing.
Sedangkan bila menggunakan surat wasiat maka orang yang berhak
menjadi ahli waris hanya yang ditentukan dan tercatat dalam surat wasiat
tersebut.
Prinsip Pembagian Waris menurut Hukum Perdata diatur dalam
Buku II KUHPerdata. Menurut Pasal 832 KUHPerdata, yang berhak
menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-
undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup
terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini. Bila keluarga sedarah
dan suami atau istri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta
peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang
yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk
itu.

2.4 Pengertian Hukum Waris Islam

Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang


pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, untuk
menentukan siapa yang berhak menajdi ahli waris dan berapa bagian
masing-masing. Ilmu waris juga disebut ilmu faraid, pengertian ilmu faraid
menurut as-Syarbini yaitu ilmu yang berhubungan dengan pembagian
harta warisan, pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat
menghasilkan pembagian harta, dan pengetahuan tentang bagian-bagian

9
yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap orang yang berhak
menerimanya.9
Hukum Waris Islam hanya berlaku pada masyarakat yang memeluk
agama Islam, dimana sistem pembagian warisannya menggunakan prinsip
individual bilateral. Jadi dapat dikatakan ahli waris harus berasal dari garis
ayah atau ibu.

BAB III

9
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Rajawali, Jakarta, 2014, cet.1, hlm.1

10
PEMBAHASAN

3.1.Konsep Hukum Waris Perdata

Hukum waris menurut konsepsi hukum perdata barat yang


bersumber pada Burgerlijk Wetboek (BW) merupakan bagian dari hukum
harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang
berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan
diwariskan. Hak dan kewajiban dalam hukum publik, hak dan kewajiban
yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan diwariskan,
demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban yang timbul dari
hubungan hukum keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan.

Adapun kekayaan yang dimaksud dalam rumusan di atas adalah


sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal
dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Pada dasarnya proses
beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang
dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu,
pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu:

1. ada seseorang yang meninggal dunia;


2. ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan
memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
3. ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.

Hukum kewarisan yang diatur dalam KUHPerdata diberlakukan


bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-
orang Eropa tersebut. Hal ini berdasarkan Staatsblad 1917 Nomor 12
tentang Penundukan Diri terhadap Hukum Eropa. Dengan demikian, bagi
orang-orang Indonesia dimungkinkan pula menggunakan hukum
kewarisan yang tertuang dalam KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek).
Pewarisan dalam KUHPerdata terdapat dalam Buku II mengenai

11
kebendaan pada Bab Kedua Belas tentang pewarisan karena kematian.
Ketentuan ini dimulai dari Pasal 830 KUHPerdata sampai dengan Pasal
1130. Adapun unsur-unsur terjadinya pewarisan, yaitu adanya pewaris, ahli
waris, serta harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris.

Dalam hukum waris menurut BW berlaku suatu asas bahwa


"apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan
kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya."10 Hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris adalah sepanjang
termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.

Hal yang merupakan ciri khas hukum waris menurut BW antara


lain adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-
waktu menuntut pembagian dari harta warisan. Ini berarti, apabila seorang
ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan,
tuntutan tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya.
Ketentuan ini tertera dalam Pasal 1066 BW, yaitu:11

1. Dalam hal seorang yang mempunyai hak atas sebagian dari


sekumpulan harta benda, orang itu tidak dapat dipaksa
membiarkan harta benda itu tetap tidak dibagi-bagi di antara
orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya;
2. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut,
meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu;
3. Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian harta benda itu
dipertangguhkan selama waktu tertentu;
4. Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun,
tetapi dapat diadakan lagi, kalau tenggang lima tahun itu telah
lalu

10
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, PT. Interrnasa, Jakarta, 2003, h. 96.
11
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Cet. V, Sumur Bandung, Bandung, 1966,
h. 13.

12
Dari ketentuan Pasal 1066 BW tentang pemisahan harta
peninggalan dan akibat-akibatnya itu, dapat dipahami bahwa sistem
hukum waris menurut BW memiliki ciri khas yang berbeda dari hukum
waris yang lainnya. Ciri khas tersebut diantaranya hukum waris menurut
BW menghendaki agar harta peninggalan seorang pewaris secepat
mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut.
Kalaupun hendak dibiarkan tidak terbagi, harus terlebih dahulu melalui
persetujuan ahli waris.

Warisan dalam sistem hukum perdata barat yang bersumber pada


BW itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-
kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat
dinilai dengan uang. Akan tetapi terhadap ketentuan tersebut ada beberapa
pengecualian, di mana hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan
hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris,
antara lain:12

1. Hak memungut hasil (vruchtgebruik);


2. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan
bersifat pribadi;
3. Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap
menurut BW maupun firma menurut WvK, sebab perkongsian
ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang
anggota/persero.

Kematian seseorang menurut BW mengakibatkan peralihan segala


hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini
secara tegas disebutkan dalam Pasal 833 ayat (1) BW, yaitu "Sekalian ahli
waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala
barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal." Peralihan hak
dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut

12
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Cet. IV,
Refika Aditama, Bandung, 2014, h. 27

13
saisine.13 Adapun yang dimaksud dengan saisine yaitu ahli waris
memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa
memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut
belum mengetahui tentang adanya warisan itu.14

Sistem waris BW tidak mengenal istilah "harta asal maupun harta


gono-gini atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab
harta warisan dalam BW dari siapa pun juga merupakan "kesatuan" yang
secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan
peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya. Artinya, dalam BW tidak
dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang
yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam Pasal 849 BW,
yaitu "Undang-undang tak memandang akan sifat atau asal dari
barangbarang dalam sesuatu peninggalan, untuk mengatur pewarisan
terhadapnya."

3.2.Konsep Hukum Waris Islam

Ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak


mendapat bagian dari harta peninggalan. Secara garis besar golongan ahli
waris di dalam Islam dapat dibedakan ke dalam tiga golongan, yaitu:15
1. Ahli waris menurut Al-Qur'an atau yang sudah ditentukan di
dalam AlQur'an disebut dzul faraa'idh, yaitu ahli waris
langsung yang selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak
berubah-ubah;
2. Ahli waris yang ditarik dari garis ayah disebut ashabah.
Ashabah menurut ajaran kewarisan patrilineal Sjafi'i adalah
golongan ahli waris yang mendapat bagian terbuka atau bagian
sisa. Jadi, bagian ahli waris yang terlebih dahulu dikeluarkan
adalah dzul faraa'idh, yaitu bagian yang telah ditentukan di
13
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, PT. Interrnasa, Jakarta, 2003, h. 96.
14
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Cet. IV,
Refika Aditama, Bandung, 2014, h. 28
15
Ibid., h. 17

14
dalam Al-Qur'an, setelah itu sisanya baru diberikan kepada
ashabah. Dengan demikian, apabila ada pewaris yang
meninggal tidak mempunyai ahli waris dzul faraa'idh (ahli
waris yang mendapat bagian tertentu), maka harta peninggalan
diwarisi oleh ashabah. Akan tetapi jika ahli waris dzul faraa'idh
itu ada, maka sisa bagian dzul faraa'idh menjadi bagian
ashabah.
3. Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzul arhaam. Arti kata
dzul arhaam adalah "orang yang mempunyai hubungan darah
dengan pewaris melalui pihak wanita saja." Perincian mengenai
dzul arhaam, yaitu "semua orang yang bukan dzul faraa'idh dan
bukan ashabah, umumnya terdiri atas orang yang termasuk
anggota-anggota keluarga patrilineal pihak menantu laki-laki
atau anggota pihak menantu laki-laki atau anggota-anggota
keluarga pihak ayah dan ibu."
Sedangkan pewaris adalah orang yang meninggal dunia, baik laki-
laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta benda maupun
hak-hak yang diperoleh selama hidupnya, baik dengan surat wasiat
maupun tanpa surat wasiat. Adapun yang menjadi dasar hak untuk
mewaris atau dasar untuk mendapat bagian harta peninggalan menurut Al-
Qur'an, yaitu:16
1. Karena hubungan darah, ini ditentukan secara jelas dalam QS.
AnNissa: 7, 11, 12, 33, dan 176;
2. Hubungan semenda atau pernikahan;
3. Hubungan persaudaraan karena agama yang ditentukan oleh
Al-Qur'an bagiannya tidak lebih dari sepertiga harta pewaris
(QS. Al-Ahzab: 6);
4. Hubungan kerabat karena sesama hijrah pada permulaan
pengembangan Islam, meskipun tidak ada hubungan darah
(QS. AlAnfaal: 75).
16
Ibid.,, h. 16

15
Dalam menguraikan prinsip-prinsip hukum waris berdasarkan
hukum Islam, satu-satunya sumber tertinggi dalam kaitan ini adalah
AlQur'an. Berkaitan dengan hal tersebut, di bawah ini akan diuraikan
beberapa ayat suci Al-Qur'an yang merupakan sendi utama pengaturan
warisan dalam Islam. Ayat-ayat tersebut secara langsung menegaskan
perihal pembagian harta warisan di dalam Al-Qur'an, masing-masing
tercantum dalam surat An-Nissa, surat Al-Baqarah, dan terdapat pula pada
dalam surat Al-Ahzab.
Ayat-ayat suci yang berisi ketentuan hukum waris dalam AlQur'an,
sebagian besar terdapat dalam surat An-Nissa (QS. IV) di antaranya
sebagai berikut:17
1. QS. IV: 7; "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
sepeninggalan ibu-bapak, dan kerabatnya, dan bagi wanita ada
pula dari harta peninggalan ibu-bapak, dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan."
Dalam ayat ini secara tegas Allah menyebutkan bahwa baik
laki-laki maupun perempuan merupakan ahli waris.
2. QS. IV: 11; "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-
laki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk
dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai
anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
17
Ibid., h. 11

16
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana." Dari ayat ini dapat diketahui
tentang bagian anak, bagian ibu dan bapak, di samping itu juga
diatur tentang wasiat dan hutang pewaris.
3. QS. IV: 12; "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu..." Di dalam ayat ini juga ditentukan
secara tegas mengenai bagian duda serta bagian janda.
4. QS. IV: 33; "Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang
ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, kami jadikan
pewaris-pewarisnya." Secara rinci dalam ayat 11 dan 12 surat
An-Nissa di atas, Allah menentukan ahli waris yang mendapat
harta peninggalan dari ibu-bapaknya, ahli waris yang mendapat
peninggalan dari saudara seperjanjian. Selanjutnya Allah
memerintahkan agar pembagian itu dilaksanakan.
5. QS. IV: 176; "...katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki

17
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan) jika ia tidak
mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang,
maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
atas) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu supaya
kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
Ayat ini berkaitan dengan masalah pusaka atau harta
peninggalan kalalah, yaitu seorang yang meninggal dunia tanpa
meninggalkan ayah dan juga anak.
Wujud warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam
sangat berbeda dengan wujud warisan menurut hukum waris barat
sebagaimana diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) maupun menurut
hukum waris adat. Warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam
yaitu "sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia
dalam keadaan bersih." Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para
ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, "setelah dikurangi
dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran
lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris."18

3.3.Perbandingan Hukum Waris Perdata dan Hukum Waris Islam

Waris merupakan proses yang sangat penting karena hal kewarisan


akan dialami oleh semua orang. Masalah waris menyangkut harta benda
yang apabila tidak diberikan sesuai dengan ketentuan yang pasti dapat
menimbulkan sengketa di antara ahli waris. Dari pemaparan tentang
hukum waris perdata dan hukum waris Islam di atas, kita akan dapat
mengetahui bahwa antara keduanya mempunyai segi-segi yang berbeda.

18
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Cet. V, Sumur Bandung, Bandung, 1966,
h. 17

18
Pembagian waris dalam hukum waris Islam didasarkan pada jenis
kelamin seperti hukum waris Perdata, namun terdapat perbedaan mengenai
besaran jumlah dari pembagian warisan dalam kedua hukum tersebut.
Pembagian antara hukum waris Islam dan KUHPerdata sangat berbeda,
hukum waris Islam tidak memperhatikan segi persamaan porsi tetapi lebih
memperhatikan perbedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dengan
perempuan. Perbedaan porsi warisan yang diterima laki-laki lebih besar
dari perempuan (2:1) karena adanya perbedaan kewajiban yang dipikul
laki-laki lebih besar daripada perempuan. Hal ini berbeda dengan
kewarisan menurut KUHPerdata yang memandang sama hak dan
kewajiban antara laki-laki dan perempuan, sehingga tidak ada perbedaan
porsi warisan yang diterima laki-laki dengan perempuan dalam sistem
pewarisan (1:1).
Sebagian besar dari harta warisan adalah untuk laki-laki dan
perempuan, besar dan kecil, mereka tidak ada yang lemah dan kuat
disesuaikan dengan tatanan adat dan budaya yang diberlakukan, sehingga
tidak terdapat padanya kesempatan untuk berpendapat atau berbicara
dengan hawa nafsu. Berbeda halnya dengan KUHPerdata yang
mengharuskan untuk memberikan warisan kepada beberapa ahli waris
sesuai golongannya sebagaimana diatur dalam Pasal 830 KUHPerdata
yang ditentukan sebagai ahli waris adalah:
1. Para keluarga sedarah, baik syah maupun luar kawin (Pasal 852
perdata)
2. Suami atau istri yang hidup terlama Berdasarkan penafsiran
ahli waris menurut UU dibagi kedalam 4 (empat) golongan:
a. Golongan pertama, terdiri dari suami/istri dan
keturunannya;
b. Golongan kedua, terdiri dari orang tua, saudara, dan
keturunan saudara;
c. Golongan ketiga, terdiri dari sanak keluarga lain-lainnya;

19
d. Golongan keempat, terdiri dari sanak keluarga lainnya
dalam garis menyimpang sampai dengan derajat keenam.
Sedangkan persamaan asas-asas yang pada hukum waris Islam
dengan hukum waris KUHPerdata sama-sama berasas individual, berasas
bilateral, berasas kematian, berasas perderajatan, serta berasas
kemanfaatan. Sedangkan perbedaannya, hukum waris Islam berasas
ketauhidan, berasas ijbari, berasas keadilan berimbang, berasas
personalitas keislaman, dan berasas tasaluh, sementara dalam hukum waris
KUHPerdata berasas persamaan secara absolut, dan berasas peralihan
secara otomatis.
Hukum waris Islam mempunyai nilai keadilan lebih menyeluruh
dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosio-kultural yang memang
memperlihatkan adanya perbedaan status dan kewajiban antara laki-laki
dengan kaum perempuan. Sedangkan hukum waris menurut KUHPerdata
memiliki nilai keadilan yang lebih menekankan persamaan secara absolut
antara sesama manusia, baik laki-laki maupun perempuan.

20
BAB IV

PENUTUP

4.1.Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka


dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep hukum waris perdata bersumber dari KUHPerdata
Indonesia. Hukum waris perdata adalah hukum waris yang
umum di Indonesia dan beberapa aturannya mirip dengan
budaya barat. Warisan dapat diberikan kepada ahli waris yang
terdapat surat wasiat atau keluarga yang memiliki hubungan
keturunan atau kekerabatan, seperti anak, orang tua, saudara,
kakek, nenek hingga saudara dari keturunan tersebut. Sistem
atau prinsip yang digunakan dalam hukum bagi waris jenis ini
menggunakan sistem individual yang artinya setiap individu
ahli waris berhak mendapatkan harta warisan berdasarkan
bagiannya masing-masing. Sedangkan bila menggunakan surat
wasiat maka orang yang berhak menjadi ahli waris hanya yang
ditentukan dan tercatat dalam surat wasiat tersebut.
2. Konsep hukum waris Islam bersumber dari Al-Quran dan
Hadits yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, untuk menentukan siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.
Ilmu waris juga disebut ilmu Faraid, pengertian ilmu faraid
menurut as-Syarbini yaitu ilmu yang berhubungan dengan
pembagian harta warisan, pengetahuan tentang cara
menghitung yang dapat menghasilkan pembagian harta, dan
pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta
peninggalan untuk setiap orang yang berhak menerimanya.

21
3. Hukum waris perdata dan hukum waris Islam memiliki segi-
segi persamaan dan perbedaan. persamaan asas-asas yang pada
hukum waris Islam dengan hukum waris KUHPerdata sama-
sama berasas individual, berasas bilateral, berasas kematian,
berasas perderajatan, serta berasas kemanfaatan. Sedangkan
perbedaannya, hukum waris Islam berasas ketauhidan, berasas
ijbari, berasas keadilan berimbang, berasas personalitas
keislaman, dan berasas tasaluh, sementara dalam hukum waris
KUHPerdata berasas persamaan secara absolut, dan berasas
peralihan secara otomatis.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademi


Pressindo, 2010)

Diana Anisya Fitri Suhartono, "Sistem Pewarisan Menurut Hukum Perdata",


Jhpis- Volume 1, No. 3, September 2022

Efendi Perangin, Hukum Waris, Rajawali pers, Jakarta, 2011, cet.10

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,
Cet. IV, Refika Aditama, Bandung, 2014

Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Rajawali, Jakarta, 2014, cet.

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-


Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode
Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, PT. Interrnasa, Jakarta, 2003

Wiryono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Cet. V, Sumur Bandung,


Bandung, 1966

23

Anda mungkin juga menyukai