Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH HUKUM ADAT

HUKUM WARIS ADAT MINANGKABAU

Dosen Pengampu: Shafira Hijriya S.H., M.H.

Kelompok 7:

1. Khairunisa (2110113089)

2. Tasya Ismi Zafra (2110113087)

3. Nabila Nastiti (2110113071)

4. Diana Putri Hia (2110113110)

5. Syavina Putri Aswara (2110113114)

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tujuan penulisan makalah ini untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat dengan judul “Hukum Waris Adat
Minangkabau”. Dalam pembuatan makalah ini penulis mendapat sumber dari beberapa
buku karangan para ahli, jurnal maupun media pembelajaran lainnya. Keberhasilan
penulisan makalah ini tentu tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan
ini, tim penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ibu Shafira Hijriya S.H., M.H. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Hukum Adat
2. Rekan-rekan mahasiswa Mata Kuliah Hukum Adat.

Kami dari tim penulis menyadari bahwa dalam susunan makalah ini masih banyak
kekurangan, untuk itu kami mengharap atas kritik dan saran yang membangun dari
pembaca, terutama dosen pengampu Mata Kuliah Hukum Adat. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 28 September 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii

BAB I..........................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1

A. Latar Belakang.................................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah............................................................................................................................1

C. Tujuan..............................................................................................................................................2

BAB II.........................................................................................................................................................3

TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................................................3

A. Pengertian Hukum Waris Adat........................................................................................................3

B. Asas-Asas Hukum Waris Adat........................................................................................................4

C. Sifat Hukum Waris Adat..................................................................................................................6

D. Hukum Waris Adat Berdasarkan Sistem Kekerabatan.....................................................................7

E. Unsur-Unsur Pewarisan dalam Hukum Waris Adat.........................................................................8

F. Harta Waris Adat...........................................................................................................................10

G. Harta Waris Adat Berdasarkan Sistem Kekerabatan......................................................................11

H. Sistem Kewarisan Adat..................................................................................................................13

I. Pengaruh Luar Terhadap Hukum Waris Adat................................................................................15

BAB III......................................................................................................................................................18

PEMBAHASAN.......................................................................................................................................18

1. Masyarakat Minangkabau..............................................................................................................18

2. Penerapan Hukum Waris Adat Dalam Adat Minangkabau............................................................18

BAB IV.....................................................................................................................................................24

ii
PENUTUP.................................................................................................................................................24

A. Kesimpulan....................................................................................................................................24

B. Saran..............................................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................26

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perjalanan kehidupan manusia sejak lahir, hidup dan mati membawa pengaruh
dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang terdekatnya. Kelahiran
membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta
timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan masyarakat
lingkungannya. Demikian juga dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan
akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kematian
tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan
dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian tersebut timbul akibat hukum lain
secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para
keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya. Adanya kematian
seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana
acara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan nama
Hukum Waris.
Masyarakat Indonesia menganut berbagai macam agama dan kepercayaan. Sistem
keturunan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem
keturunan yang berbeda pula. Sistem keturunan yang berbeda ini terdapat pengaruhnya
dalam sistem kewarisan hukum adat. Dalam hukum adat tidak dikenal cara-cara
pembagian dengan perhitungan tetapi didasarkan atas pertimbangan, mengingat wujud
benda dan kebutuhan waris yang bersangkutan. Begitu juga dengan masyarakat
Minangkabau yang memiliki sistem hukum waris berdasarkan garis keturunan
ibu/matrilineal dan juga dikenal adanya sebutan Tanah Ulayat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan
pokok – pokok permasalahan sebagai berikut:
1) Bagaimana penerapan hukum waris adat di Minangkabau?
2) Bagaimanakah sistem kewarisan adat Minangkabau?
1
3) Apa saja jenis harta warisan dalam adat Minangkabau?

C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah adalah:

1) Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum waris dalam hukum adat


Minangkabau.

2) Untuk mengetahui sistem kewarisan adat Minangkabau.

3) Untuk mengetahui jenis harta warisan adat Minangkabau.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Waris Adat


Hukum waris di Indonesia merupakan suatu hukum perdata secara keseluruhan
dan merupakan sebagian kecil dari hukum kekeluargaan. Di Indonesia hukum waris
masih bersifat pluralisme hukum (beragam). Di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia berlaku jenis-jenis sistem hukum waris, yaitu hukum waris barat yang
tercantum dalam BW, hukum waris islam dan hukum waris adat.
Hukum waris adalah bagian dari hukum kekeluargaan yang sangat erat kaitannya
dengan ruang lingkup kehidupan manusia sebab setiap manusia pasti akan mengalami
peristiwa hukum yang dinamakan kematian.1 Hukum waris adalah hukum yang mengatur
tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta
akibatnya bagi para ahli warisnya.2
Beberapa pendapat ahli mengenai pengertian hukum waris cenderung berbeda, seperti:
a. Hazairin mempergunakan istilah hukum “kewarisan”. Menurut Hazairin,
kewarisan adalah: “Peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah
pelbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal
dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.”
b. Soepomo (1977:81, 82), menyatakan bahwa hukum waris itu:
“…memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud
benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada
turunannya. Proses ini telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup. Proses
tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang
meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu,
akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan
dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.”3
1
Maman Suparman, 2015. Hukum Waris Perdata, hal. 7

2
Effendi Perangin, 2014. Hukum Waris, hal. 3

3
Soerjono soekanto, 2021. Hukum Adat Indonesia, hal. 260.

3
c. Menurut H.M Idris Ramulyo, “Hukum waris ialah himpunan aturan-aturan hukum
yang mengatur tentang siapa ahli waris atau badan hukum mana yang berhak
mewaris harta peninggalan. Bagaimana kedudukan masing-masing ahli waris
serta berapa perolehan masing-masing secara adil dan sempurna.”4
d. Menurut R. Abdul Djamali, “Hukum waris adalah ketentuan hukum yang
mengatur tentang nasib kekayaan seseorang setelah meninggal.”
e. Menurut B. Ter Haar Bzn, “Hukum waris adalah aturan-aturan yang mengenai
cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan perolehan dari harta kekayaan
yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.
f. Hilman Hadikusuma mengemukakan bahwa hukum waris adat adalah hukum adat
yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris,
tentang harta warisan, pewaris, dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu
dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.5

B. Asas-Asas Hukum Waris Adat


Menurut Zainudi Ali, ada lima macam asas hukum waris adat, yaitu:6
1. Asas ketuhanan dan pengendalian diri, yaitu adanya kesadaran bagi para ahli waris,
bahwa rezeki berupa harta kekayaan manusia yang dapat dikuasai dan dimiliki
merupakan karunia dan keridhaan Tuhan atas keberadaan harta kekayaan. Oleh
karena itu, untuk mewujudkan ridha Tuhan, apabila seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan harta waris, maka ahli waris itu menyadari dan menggunakan
hukumnya untuk membagi harta waris mereka, sehingga tidak berselisih dan saling
berebut harta waris karena perselisihan di antara para ahli waris akan memberatkan
perjalanan arwah pewaris untuk menghadap kepada Tuhan. Oleh karena itu, terbagi
atau tidak terbaginya harta warisan bukan tujuan melainkan yang penting adalah
menjaga kerukunan hidup di antara ahli waris dan semua keturunannya.
2. Asas kesamaan dan kebersamaan hak, yaitu setiap ahli waris mempunyai kedudukan
yang sama sebagai orang yang berhak untuk mewaris harta peninggalan pewarisnya,

4
Maman Suparman, 2015. Hukum Waris Perdata, hal. 8

5
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditnya Bakti, Bandung, 2003, hlm 7.

6
Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, Prenadamedia, Jakarta timur, 2018, hlm. 6-7

4
seimbang antara hak dan kewajiban tanggung jawab bagi setiap ahli waris untuk
memperoleh harta warisannya.
3. Asas kerukunan dan kekeluargaan, yaitu para ahli waris mempertahankan untuk
memelihara hubungan kekerabatan yang tenteram dan damai, baik dalam menikmati
dan memanfaatkan harta warisan tidak terbagi-bagi maupun dalam menyelesaikan
pembagian harta warisan terbagi.
4. Asas musyawarah dan mufakat, yaitu para ahli waris membagi harta warisnya melalui
musyawarah mufakat yang dipimpin oleh ahli waris yang dianggap dituakan, dan bila
terjadi kesekapatan dalam pembagian harta warisan, kesepakatan itu bersifat tulus
ikhlas yang dikemukakan dengan perkataan yang baik yang keluar dari hati nurani
pada setiap ahli waris.
5. Asas keadilan, yaitu mengandung maksud di dalam keluarga dapat ditekankan pada
sistem keadilan, hal ini akan mendorong terciptanya kerukunan dari keluarga tersebut
yang mana akan memperkecil peluang rusaknya hubungan dari kekeluargaan tersebut.
Selain asas-asas menurut Zainudin Ali, Soerojo Wignjodipoero menyebutkan nilai-
nilai universal antara lain:7
1. Asas gotong royong, yaitu tampak jelas dengan adanya kebiasaan untuk selalu
berusaha bekerja sama dalam membangun dan memelihara.
2. Asas fungsi sosial, yaitu manusia dan milik masyarakat dicerminkan dalam
kebiasaan bekerja sama, sedangkan fungsi sosial tampak juga dalam kebiasaan si
pemilik mengizinkan warganya pada waktu tertentu, atau dalam keadaan tertentu
menggunakan pula miliknya.
3. Asas persetujuan, yaitu asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum tampak
dalam pamong desa, dimana sudah menjadi kebiasaan kepala desa dalam
mengambil keputusan penting dalam mengadakan musyawarah di balai desa
untuk mendapatkan mufakat.
4. Asas perwakilan dan permusyawaratan, yaitu dalam sistem pemerintahan,
penuangannya dalam kehidupan sehari-hari di desa berwujud dalam lembaga bala
desa.

7
Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, Prenadamedia, Jakarta timur, 2018, hlm. 7-8

5
C. Sifat Hukum Waris Adat
Hukum waris adat mempunyai corak yang khas dari alam pikiran yang tradisional
Indonesia. Soerojo Wignjodipoero mengemukakan, bahwa sifat dari hukum waris adat
menunjukkan corak yang memang khas tersendiri yang mencerminkan cara berpikir
maupun semangat dan jiwa dari pikiran tradisional yang didasarkan atas pikiran komunal
atau kolektif, kebersamaan dan konkret bangsa Indonesia.8
Adapun perbedaan antara hukum waris adat dengan hukum waris barat (BW):9
1. Hukum waris adat tidak mengenal legitieme portie, namun hukum waris adat
menetapkan dasar persamaan hak, hak sama ini mengandung hak untuk
diperlakukan sama oleh orang tuanya di dalam proses penerusan dan pengoperan
harta benda keluarga. Disamping dasar persamaan hak, hukum waris adat juga
meletakkan dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagian berjalan secara
rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa tiap waris. Sedangkan pada
hukum waris barat, mengenal hak tiap-tiap ahli waris atas bagian yang tertentu
dari harta peninggalan bagian warisan menurut ketentuan undang-undang
(legitieme portie).
2. Harta waris adat tidak boleh dipaksa untuk dibagi antara para ahli warisnya.
Sedangkan hukum waris barat menentukan adanya hak mutlak dari ahli waris
masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan.
Perbedaan hukum waris adat dengan hukum waris islam:10
1. Harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau pelaksanaan
pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama ataupun hanya sebagian
yang dibagi-bagi. Sedangkan hukum waris islam, tiap ahli waris dapat menuntut
pembagian harta peninggalan tersebut sewaktu-waktu.
2. Dalam hukum waris adat, anak angkat mendapatkan hak nafkah dari harta
peninggalan orang tua angkatnya, sedangkan dalam hukum waris islam tidak
mengenal ketentuan memberi kepada anak angkat.

8
Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, Prenadamedia, Jakarta timur, 2018, hlm. 8

9
Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, Prenadamedia, Jakarta timur, 2018, hlm. 9

10
Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, Prenadamedia, Jakarta timur, 2018, hlm. 9

6
3. Dalam hukum waris adat dikenal sistem penggantian waris, sedangkan dalam
hukum waris islam tidak mengenal pengganti waris.
4. Dalam hukum waris adat pembagiannya merupakan tindakan bersama, berjalan
secara rukun dalam suasanan ramah tamah dengan memperhatikan keadaan
khusus tiap ahli waris, sedangkan dalam hukum waris islam para ahli waris
mendapat bagian-bagian harta yang telah ditentukan.
5. Hukum waris adat khususnya di Jawa, anak perempuan apabila tidak ada anak
laki-laki dapat menutup hak mendapat harta peninggalan dari kakek-neneknya
dan saudara-saudara orang tuanya. Sedangkan dalam hukum waris islam hanya
menjamin kepada anak perempuan mendapat bagian yang pasti dari harta
peninggalan orang tuanya.
6. Harta peninggalan dalam hukum waris adat tidak merupakan satu kesatuan harta
warisan, melainkan wajib diperhatikan sifat, macam, asal, dan kedudukan hukum
dari pada barang-barang masing-masing yang terdapat dalam harta peninggalan
itu. Sedangkan hukum waris islam merupakan satu kesatuan harta warisan.

D. Hukum Waris Adat Berdasarkan Sistem Kekerabatan


Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat
kekerabatannya yang berbeda. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Hazairin bahwa
hukum waris adat mempunyai corak sendiri dari alam pikiran masyarakat yang
tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem kekerabatannya patrilineal,
matrilineal, dan kekerabatan parental atau bilateral, meskipun pada bentuk kekerabatan
yang sama belum tentu berlaku sistem pewarisan yang sama. Dalam hubungan
kekerabatan, faktor yang paling penting pertama, masalah perkawinan, karena berkaitan
dengan hubungan kekerabatan yang merupakan larangan perkawinan untuk menjadi
pasangan suami istri. Kedua, masalah waris, hubungan kekeluargaan merupakan dasar
pembagian harta kekayaan yang ditinggalkan.
Pada masyarakat hukum adat di Indonesia dikenal adanya tiga sistem kekerabatan, yaitu:
1. Patrilineal, adalah masyarakat yang para anggotanya lebih mengutamakan garis
keturunan laki-laki daripada keturunan perempuan, maka kedudukan anak laki-
laki lebih utama dari anak perempuan.

7
2. Matrilineal, yaitu kekerabatan yang lebih mengutamakan garis keturunan
perempuan daripada laki-laki, sehingga anak-anak perempuan sebagai penerus
keturunan ibunya yang ditarik dari satu ibu asal, sedangkan anak-anak laki-laki
seolah-olah hanya berfungsi sebagai pemberi keturunan. Pada masyarakat
kekerabatan matrilineal apabila tidak mempunyai keturunan anak perempuan
diibaratkan hidup tak berkesinambungan.
3. Parental, sistem kekerabatan bilateral (dua sisi), dimana sistem keturunan ditarik
menurut garis orang tua atau garis dua sisi (bapak-ibu) di mana kedudukan laki-
laki dan perempuan tidak dibedakan. Susunan kekerabatan parental terdapat pada
masyarakat Jawa, Madura, Aceh, Melayu, Sunda, Kalimantan, dan Sulawesi.

E. Unsur-Unsur Pewarisan dalam Hukum Waris Adat


Ada 3 unsur pewarisan yang terdapat dalam hukum waris adat yaitu:11
1. Pewaris, yaitu orang atau subjek yang memiliki harta warisan (peninggalan) selagi ia
masih hidup atau sudah meninggal dunia, harta peninggal akan diteruskan
penguasaan atau pemilikannya dalam keadaan tidak terbagi-bagi atau terbagi-bagi.
Jenis- jenis pewaris, yaitu:
g. Pewaris laki-laki (bapak), yaitu yang berkedudukan sebagai pewaris adalah laki-
laki, yaitu bapak atau pihak-pihak bapak (saudara laki-laki dari bapak), hal ini
terjadi pada masyarakat yang menarik garis keturunan patrilineal, sebagaimana
yang berlaku di Bali, Batak, Lampung, NTT, Maluku
h. Pewaris perempuan (ibu), yaitu yang berkedudukan sebagai pewaris adalah pihak
perempuan yaitu ibu, hal ini terjadi pada masyarakat yang mempertahakan garis
keturunan matrilineal, pewaris perempuan tersebut dalam menguasai dan
mengelola harta pusaka tinggi didampingi oleh saudara laki-lakina. Misalnya, di
Minangkabau dengan didampingi oleh Mamak Kepala Waris.
i. Pewaris orang tua (bapak-ibu), yaitu yang berkedudukan sebagai pewaris adalah
pihak laki-laki dan perempuan bersama, yaitu bapak dan ibu, hal ini terjadi pada
masyarakat yang mempertahankan garis keturunan orang tua (masyarakat
parental). Begitu pula dalam hal jenis harta dan asal usul harta warisan itu
dipengaruhi kedudukan pewaris pada saat ia meninggal dunia, apakah harta
11
Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, Prenadamedia, Jakarta timur, 2018

8
warisan itu sudah merupakan harta bersama atau masih bersifat harta bawaan atau
harta asal. Jika harta waris sudah merupakan harta bersama, sebagai harta suami-
istri, maka warisan itu bebas dari pengaruh hubungan kekerabatan.
2. Ahli waris. Dalam hukum waris adat, semua orang yang berhak menerima bagian
dalam harta warisan, yaitu anggota keluarga dekat dari pewaris yang berhak dan
berkewajiban menerima penerusan harta warisan baik berupa barang berwujud
maupun harta yang tidak berwujud benda (seperti kedudukan atau jabatan dan
tanggung jawab adat, menurut susunan masyarakat, dan tertib data yang
bersangkutan). Hal ini tidak terlepas dari pengaruh susunan kekerabatan yang ada
dalam masyarakat adat. Pada masyarakat yang bersifat patrilineal, matrilineal, dan
parental juga dipengaruhi oleh adanya bentuk perkawinan dengan pembayaran uang
jujur (patrilineal), atau perkawinan tanpa membayar uang jujur (matrilineal), atau
perkawinan bebas atau mandiri (parental).
Pada prinsipnya ahli waris dalam hukum waris adat, yaitu keturunannya. Keturunan
adalah orang yang memiliki hubungan darah dengan si pewaris dengan ahli waris.
Oleh sebab itu, dalam hukum waris, keturunan sangat penting karena sebagai penerus
dari harta orang tuanya. Menurut hukum adat untuk menemukan siapa yang menjadi
ahli waris digunakan dua macam garis pokok, yaitu:
1. Garis pokok keturunan, yaitu garis hukum yang menentukan urutan-urutan
keutamaan di antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris dengan
pangertian, bahwa golongan yang satu lebih diutamakan daripada golongan
yang lain. Golongan tersebut antara lain:
 Kelompok keutamaan I: keturunan pewaris
 Kelompok keutamaan II: orang tua pewaris
 Kelompok keutamaan III: saudara-saudara pewaris dan turunannya
2. Garis pokok penggantian, yaitu garis hukum yang bertujuan untuk
menentukan siapa di anatara orang-orang di dalam kelompok keutamaan
tertentu, tampil sebagai ahli waeris, golongan tersebut yaitu:
 Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris.
 Orang yang tidak ada lagi penghubungannya dengan pewaris.

9
3. Harta waris, yaitu harta kekayaan yang akan diteruskan oleh si pewaris ketika
ia masih hidup atau setelah ia meninggal dunia, untuk dikuasai atau dimiliki
oleh para ahli waris berdasarkan sistem kekerabatan dan pewarisan yang
berlaku dalam masyarakat adat yang bersangkutan.

F. Harta Waris Adat


Harta warisan menurut hukum waris adat adalah bukan semata-mata yang bernilai
ekonomis tetapi termasuk juga yang non ekonomis, yaitu yang mengandung nilai-nilai
kehormatan adat dan yang bersifat magis religious, sehingga apabila ada pewaris wafat
maka bukan saja harta warisan yang berwujud benda yang akan diteruskan atau dialihkan
kepada para waris tetapi juga yang tidak berwujud benda. 12 Jenis-jenis harta warisan
menurut hukum adat adalah sebagai berikut:
a) Kedudukan atau jabatan adat Kedudukan atau jabatan adat yang bersifat turun
temurun merupakan warisan yang tidak berwujud benda. Misalnya kedudukan kepala
adat atau petugas-petugas adat. Termasuk warisan kedudukan adat adalah hak-hak
dan kewajiban-kewajiban sebagai anggota prowatin adat (dewan tua-tua adat) yang
mempertahankan tata tertib adat, mengatur acara dan upacara adat, penggunaan alat-
alat perlengkapan dan bangunan-bangunan adat serta bertindak sebagai penengah
dalam penyelesaian perselisihan kekerabatan adat.
b) Harta Pusaka. Harta pusaka terbagi menjadi dua jenis yakni harta puska tinggi dan
harta pusaka rendah. Harta pustaka tinggi adalah semua harta berwujud benda, benda
tetap seperti bangunan, dan tanah, benda bergerak seperti perlengkapan pakaian adat
dan perhiasan adat, alat senjata, alat-alat pertanian, perikanan, peternakan, jimat-
jimat. Sedangkan yang berbentuk benda tidak berwujud adalah seperti ilmu-ilmu
ghaib dan amanat-amanat pesan tertulis. Harta pusaka rendah adalah semua harta
warisan yang juga tidak terbagi-bagi, yang berasal dari mata pencarian jerih payah
kakek/nenek atau ibu/ayah dan kebanyakan tidak terletak di kampung asal.
c) Harta Bawaan, adalah semua harta warisan yang berasal dari bawaan suami dan atau
bawaan istri ketika melangsungkan perkawinan adalah harta bawaan. Jenis harta
bawaan dapat berupa barang tetap atau barang bergerak.

12
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditnya Bakti, Bandung, 1993, hlm 96.

10
d) Harta Pencarian. Harta pencarian adalah semua harta warisan yang berasal dari hasil
jerih payah suami dan istri bersama selama dalam ikatan perkawinan

G. Harta Waris Adat Berdasarkan Sistem Kekerabatan


a. Harta Waris Adat Dalam Sistem Kekerabatan Patrilineal
Pada masyarakat yang sistem kekerabatannya patrilineal yang mengutamakan
garis keturunan laki-laki berlaku bentuk perkawinan jujur dengan memberi uang jujur
atau pembayaran uang jujur dimana setelah perkawinan kedudukan istri tunduk pada
hukum kekerabatan suami, maka pada umumnya semua harta perkawinan dikuasai
oleh suaminya sebagai kepala keluarga. Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan merupakan harta bersama, termasuk harta bawaan suami, harta bawaan
istri, dan harta benda yang diperoleh suami-istri masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, kesemuanya adalah di bawah kekuasaan suami, namun pemanfaatannya
diatur bersama suami dan istri.
b. Harta Waris Adat Dalam Sistem Kekerabatan Matrilineal
Pada masyarakat yang sistem kekerabatannya matrilineal yang mengutamakan
garis keturunan ibu, berlaku bentuk perkawinan adat semenda, dimana setelah
perkawinannya suami melepaskan kewargaan adatnya dan memasuki kewargaan adat
istrinya. Harta warisan dalam sistem kekerabatan matrilineal, contohnya pada
masyarakat Minangkabau pada pokoknya harta digolongkan menjadi dua macam,
yaitu:
a) Harta pusaka tinggi dikenal sebagai harta garapan nenek moyang yang
diwarisi turun temurun dari mamak kepada kemenakan dari suatu kaum
sehingga merupakan harta pusaka tinggi dari kaum tersebut.
b) Harta pusaka rendah adalah harta yang diturunkan dari satu generasi,
mengenai harta pusaka rendah dapat dibedakan menjadi beberapa macam
berupa:
1) Harta terpaan adalah harta yang diperoleh oleh orang tua dari hasil
pencariannya, harta ini biasanya telah ada di rumah istri sebelum
berlangsungnya perkawinan.

11
2) Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh suami ke dalam rumah
istrinya pada waktu perkawinan, harta bawaan ini dapat berupa harta
pemberian (hibah), harta pencarian sewaktu belum perkawinan, harta
kaum dalam bentuk ganggam bauntuak (hak pakai).
3) Harta pencarian adalah harta yang diperoleh dengan melalui pembelian
atau taruko dan lain-lainnya, apabila pemiliknya meninggal dunia
harta pencarian ini jatuh kepada jurainya sebagai harta pusaka rendah.
4) Harta suarang adalah keseluruhan harta benda yang di dapat secara
bersam-sama oleh suami-istri selama masa perkawinan, yang
dikecualikan daripadanya adalah segala harta bawaan dan segala harta
terpaan istrinya yang telah ada sebelum dilangsungkan perkawinan itu.
c. Harta Waris Adat Dalam Sistem Kekerabatan Parental Atau Bilateral
Sistem kekeluargaan parental atau bilateral mempunyai ciri khas tersendiri,
yaitu yang merupakan ahli waris adalah semua anak laki-laki maupun perempuan.
Mereka mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orang tuanya, berupa harta
asal atau bawaan bapak dan ibunya serta harta bersama bapak dan ibunya dengan
pembagian yang sama, sehingga dalam proses pengalihan sejumlah harta kekayaan
dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dna perempuan mempunyai hak untuk
diperlakukan sama.
Hukum waris parental adalah memberikan hak yang sama antara antara pihak
laki-laki dan pihak perempuan, baik kepada pihak laki-laki dan pihak perempuan,
baik kepada suami dan istri, serta anak laki-laki dan anak perempuan termasuk
keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Sistem pembagian harta
warisan dalam masyarakat ini adalah individual, artinya bahwa harta peninggalan
dapat dibagi-bagikan dari pemiliknya atau pewaris kepada ahli warisnya dan dimiliki
secara pribadi.

H. Sistem Kewarisan Adat


A. Sistem Kewarisan Dalam Hukum Adat Indonesia
Ada tiga jenis sistem kewarisan menurut hukum adat Indonesia, yaitu:
1. Sistem Kewarisan Individual

12
Ciri Sistem Kewarisan Individual, ialah bahwa harta peninggalan itu
terbagi-bagi pemilikannya kepada para waris, sebagaimana yang berlaku menurut
KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), dan Hukum Islam, begitu
pula berlaku di lingkungan masyarakat adat seperti pada keluarga-keluarga Jawa
yang parental, atau juga pada keluarga-keluarga lambung yang patrilineal. Pada
umumnya sistem ini cenderung berlaku di kalangan masyarakat keluarga mandiri,
yang tidak terikat kuat dengan hubungan kekerabatan. Pada belakangan ini di
kalangan masyarakat adat yang modern, di mana kekuasaan penghulu-penghulu
adat sudah lemah, dan tidak ada lagi milik bersama, sistem ini banyak berlaku.
Kebaikan sistem individual ini adalah dengan adanya pembagian, maka pribadi-
pribadi waris mempunyai hak milik yang bebas atas bagian yang telah
diterimanya. Para waris bebas menentukan kehendaknya atas harta warisan yang
menjadi bagiannya, ia bebas untuk mentransaksikan hak warisannya itu kepada
orang lain. Kelemahannya, ialah bukan saja pecahnya harta warisan, tetapi juga
putusnya hubungan kekerabatan antara keluarga waris yang satu dan yang
lainnya. Hal mana berarti, lemahnya asas hidup kebersamaan dan tolong-
menolong antara keluarga yang satu dan keluarga yang lain yang seketurunan. 13
2. Sistem Kewarisan Kolektif
Ciri sistem kewarisan kolektif, ialah bahwa harta peninggalan itu
diwarisi/dikuasai oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi, yang
seolah-olah merupakan suatu badan hukum keluarga kerabat (badan hukum adat).
Harta peninggalan itu di sebut hartou menyayanak di Lampung, dalam bentuk
bidang tanah kebun atau sawah, atau rumah bersama (di Minangkabau-Gedung).14
3. Sistem Kewarisan Mayorat
Ciri sistem kewarisan mayorat, adalah bahwa harta peninggalan orang tua
atau harta peninggalan leluhur kerabat tetap utuh tidak dibagi-bagi kepada para
waris, melainkan dikuasai oleh anak tertua laki-laki (mayorat laki-laki) di
lingkungan masyarakat patrilineal Lampung dan juga Bali, atau tetap dikuasai

13
I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, (Semarang: UNDIP, 1995), h. 11

14
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 16

13
anak tertua perempuan (mayorat wanita) di lingkungan masyarakat matrilineal
semendo di Sumatera Selatan dan Lampung.
Bagi masyarakat adat Lampung Pesisir, penduduknya menggunakan
sistem kewarisan mayorat laki-laki. Sistem kewarisan mayorat hampir sama
dengan sistem kewarisan kolektif, hanya penerusan dan pengalihan hak penguasa
atas harta yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang
bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan
kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.
Diserahkannya hak penguasaan atas seluruh harta kepada anak laki-laki
tertua, bagi masyarakat Adat Lampung Pesisir, maksudnya adalah sebagai
penerus tanggung jawab orang tua yang wafat, untuk bertanggung jawab atas
harta peninggalan dan kehidupan adik-adiknya yang masih kecil, hingga mereka
dapat berdiri sendiri. Di daerah Lampung yang memimpin, mengurus, dan
mengatur penguasaan harta peninggalan adalah anak punyimbang, yaitu anak
lelaki tertua dari isteri tertua.15
Kelemahan dan kebaikan sistem kewarisan mayorat, adalah terletak pada
kepemimpinan anak tertua dalam kedudukannya sebagai pengganti orang tua
yang telah wafat, dalam mengurus harta kekayaan dan memanfaatkannya guna
kepentingan semua anggota keluarga yang ditinggalkan. Hal ini disebabkan
karena anak tertua bukanlah sebagai pemilik harta peninggalan secara
perseorangan, tetapi sebagai pemegang mandat orang tua yang dibatasi oleh
musyawarah keluarga, dibatasi oleh kewajiban mengurus orang tua yang dibatasi
oleh musyawarah keluarga lain, dan berdasarkan atas tolong-menolong oleh
bersama untuk bersama.16
Dalam Sistem Hukum Kewarisan Adat, hukum kewarisan ini beraneka
sistemnya karena dipengaruhi oleh bentuk etnis di lingkungan hukum adatnya.
Dalam sistem kewarisan adat dikenal sistem kewarisan matrilineal, patrilineal,
dan bilateral dan parental. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut

15
Hilman Hadikusuma, Ibid, h. 28

16
Hilman Hadikusuma, Ibid, h. 30

14
1. Sistem matrilineal, yaitu sistem perwarisan yang menarik garis keturunan
selalu menghubungkan dirinya kepada ibunya, seterusnya ke atas kepada
ibunya ibu sampai kepada seorang wanita yang dianggap sebagai
marganya, dimana klan ibunya, misalnya di Minangkabau, Enggano dan
Timor.
2. Sistem patrilineal, yaitu sistem pewarisan yang menarik garis keturunan
dan hanya menghubungkan dirinya kepada ayahnya, ke atas kepada
ayahnya ayah, hal demikian terdapat sistem patrilineal yang beralih-alih,
yaitu di mana setiap orang menghubungkan dirinya kepada ayahnya atau
kepada ibunya tergantung kepada bentuk perkawinan orang tuanya,
misalnya di Lampung dan Rejang.17
3. Sistem bilateral atau parental, menurut Hairin, dimana setiap orang itu
menghubungakan dirinya dalam hal keturunan baik kepada ibunya
maupun kepada ayahnya.
Dari ketiga bentuk atau sitem masyarakat tersebut, secara eksplisit akan
ditemui bahwa dalam masyarakat patrilineal, akibatnya hanya laiki-laki atau
keturunan laki-laki saja yang berhak tampil sebagai ahli waris, sedangkan dalam
sistem matrilineal yang berhak tampil sebagai ahli waris adalah anak perempuan.
Dalam sistem ketiga, pada prinsipnya baik laki-laki maupun wanita dapat tampil
sebagai ahli waris, mewarisi harta peninggalan ibu bapaknya dan saudar-
saudaranya, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan.18

I. Pengaruh Luar Terhadap Hukum Waris Adat


1. Pengaruh Hukum Waris Islam Terhadap Hukum Waris Adat
1) Di Minangkabau: Sebelum islam, semua harta kekayaan merupakan hak kolektif
termasuk harta pencarian dari seorang laki-laki, karena dia mencari kehidupan
bersama kemanakannya pada harta pusaka suku/paruik/kaumnya. Setelah Islam,
laki-laki Minang telah hidup menetap bersama istri dan anak-anaknya, sehingga
muncul lah harta pencarian, yakni harta yang diperoleh dengan usaha sendiri atau

17
Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: Raja Grafindo, 2014), h. 5

18
Effendi Perangin, Ibid, h. 6

15
setengah dari harta suarang (setelah dibagi). Harta pencarian diwariskan kepada
anak-anak menurut al faraidh, namun tidak ada yang melaksanakannya. Sebab
jika suami meninggal, jika harta dibagi-bagi oleh si Ibu, misalnya sebuah rumah,
maka tidak dapat digunakan lagi untuk hidup bersama, karena sudah kecil-kecil
2) Di Jawa: pewarisan dilakukan menurut hukum Islam, mislanya anak laki-laki
memperoleh dua kali anak perempuan.
3) Di Aceh: Sistem pewarisan ini dapat diketahui bahwa sebagian besar memilih
melakukan pembagian warisan yaitu sama rata antara laki-laki dan perempuan,
walaupun diantaranya ada yang melakukan pembagian warisan yaitu Laki-Laki 2
kali Bagian Anak Perempuan. Alasan masyarakat menggunakan cara dengan
porsi pembagian sama hak antara laki-laki dan perempuan yang berdasarkan
kesepakatan karena dianggap lebih adil. Alasan lain adalah karena pertimbangan
ahli waris bahwa seseorang atau lebih diantara ahli waris lebih banyak terlibat
dalam mengurusi si pewaris pada masa hidupnya, dan dengan dasar pertimbangan
tersebut menjadi logis jika pembagian warisan dilakukan sama rata antara anak
laki-laki dan perempuan. Sebaliknya, bila para ahli waris atau diantara ahli waris
tidak setuju atau tidak rela harta warisan tersebut dibagikan sama rata antara laki-
laki dan perempuan, maka sistem pembagiannya dilakukan sesuai dengan hukum
waris Islam yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Pengaruh Hukum Waris Barat Terhadap Hukum Waris Adat
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili, serta
menyelesaikan sengketa waris dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum
waris yang jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan
masyarakat Islam Indonesia yang bilateral semakin terasa mendesak. Untuk itu
pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan
dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.
Tujuan utama penyusunan KHI adalah untuk mempersatukan persepsi, pola
pikir dan pola pandang para hakim pada Peradilam Agama dalam rangka
penyelesaian perkara di antara orang-orang Islam agar para hakim tidak lagi merujuk
kepada kitab-kitab fiqih dari berbagai mazhab fiqih, yang hanya akan mengakibatkan

16
terjadinya disparsitas produk hakim untuk perkara yang sama, dan persepsi yang tidak
seragam tentang hukum waris Islam. Namun fakta penegakan hukum di lembaga
pengadilan maupun praktik hukum kewarisan Islam di masayarakat tetap saja lebih
mengedepankan hukum adat daripada hukum Islam.
Apabila diperhatikan isi KHI tentang kewarisan tersebut seolah-olah
menerima teori receptie dengan mendudukan Hazairin sebagai mujtahid yamg
mengungguli kalangan mujtahid sebelumnya, di mana Hazairin mengadopsi
pendapat-pendapat hukumnya tersebut dari hukum adat. Gerakan perubahan hukum
di Indonesia dengan menggunakan pluralisme hukum sebagai pijakan, telah
melangkah cukup jauh. Salah satunya adalah dengan diakuinya hak-hak masyarakat
adat, termasuk hukumnya dalam konstitusi. Berikut di antara peraturan yang
mengabsahkan berlakunya hukum adat: Peraturan Mendagri No.3 tahun 1997 tentang
Pemberdayaan dan Pelestarian Serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-
kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah. Undangundang Dasar 1945
Amandemen, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18B ayat (2)
yang menyatakan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat
beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.19

BAB III

PEMBAHASAN

1. Masyarakat Minangkabau
Masyarakat Indonesia di dalam suasana lingkungan rakyat, merupakan persekutuan-
persekutuan yang disebut persekutuan hukum. Persekutuan hukum ialah persekutuan
manusia-manusia yang terikat di dalam suatu kesatuan, yang anggota-anggotanya satu Sama
lain memandang sesama mereka di dalam segenap segi perhubungan hidup, serta mempunyai
orang-orang tertentu yang berkuasa, yang bertindak atas nama serta buat kepentingan
19
Adelina Nasution, “Pluralisme Hukum Waris Di Indonesia”, Jurnal Hukum, Vol. 5, No. 1
(Januari 2018), 28.
17
kesatuan itu seluruhnya. Seperti di Jawa, buat desa, faktor teritoriallah sebagai unsur pokok
yang merupakan tali pengikat, di Minangkabau kita menjumpai faktor genealogi yang
mengikat kesatuan itu.20

Faktor genealogi yang dipakai sebagai dasar dari organisasi masyarakat Minangkabau
yaitu faktor genealogi yang dilihat dari keturunan ibu, yang biasa disebut orang dengan
istilah matrilineal. Dengan demikian, jelaslah bahwa orang Minangkabau mempunyai tata
susunan masyarakat menurut hukum ibu dan unsur inilah yang memegang peranan di dalam
organisasi masyarakat Minangkabau.21

2. Penerapan Hukum Waris Adat Dalam Adat Minangkabau


a. Sistem dan Asas pewarisan di Minangkabau

Menurut Hazairin, secara garis besar ada tiga sistem kewarisan yang dipakai di
Indonesia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu sistem kewarisan individual,
sistem kewarisan mayorat, sistem kewarisan kolektif. Dari ketiga sistem kewarisan
tersebut, yang dipakai di dalam adat Minangkabau adalah sistem kewarisan kolektif atau
kelembagaan, dimana yang berhak menerima warisan adalah keluarga di dalam satu
kaum menurut garis matrilineal, bukan perorangan.

Sistem kewarisan berdasarkan kepada pengertian keluarga karena kewarisan itu


adalah peralihan sesuatu, baik berwujud benda atau bukan benda dari suatu generasi
dalam keluarga kepada generasi berikutnya. Kekeluargaan dan perkawinan menentukan
bentuk sistem kemasyarakatan. Di Minangkabau menganut sistem kekerabatan
matrilinial. Minangkabau hukum kewarisan adat yang turun secara matrilinial, dari ninik
turun ke mamak, dari mamak turun ke kemenakan, begitulah seterusnya, sehingga asas
hukum adat Minangkabau matrilinial, yakni asas atau sistem kekerabatan menurut garis
keturunan ibu. Di Minangkabau laki-laki itu dianggap tidak mempunyai keturunan di
kaumnya dia adalah yang disebut mamak. Sistem ini menyebabkan dia bertanggung
jawab penuh atas pemeliharaan kemenakannya dan terhadap harta kaum yang turun
temurun. Mamak sebagai kepala waris mempunyai kewajiban untuk mengurus harta

20
Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, PT RINEKA CIPTA, Jakarta, 1997, hlm. 7

21
Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, PT RINEKA CIPTA, Jakarta, 1997, hlm. 8

18
kaum seperti hak ulayat atas tanah, beliau wajib menjaga harta pusaka dengan baik, tetapi
untuk menjual atau menggadaikan dia tidak boleh. Jadi sistem kekerabatan matrilinial
Minangkabau kedudukan wanita dianggap kuat, wanita dilindungi sistem pewarisan
matrilinial, dimana rumah dan tanah diperuntukan bagi wanita. Kemudian ikatan antara
ibu dan anak-anak sangat kuat. Setelah menikah wanita tetap tinggal di rumah ibunya
atau dilingkungan kerabat matirilinial.

Setelah agama Islam masuk dan berkembang di Minangkabau, maka secara


berangsur pula Islam dapat mempengaruhi sistem kepemilikan harta dan sistem warisan
di Minangkabau ini. Maka sistem waris pun di Minangkabau terbagi atas dua sistem
sesuai dengan jenis hartanya. Untuk harta pusaka tinggi berlaku sistem warisan kolektif,
sedangkan untuk harta pusaka rendah dan pencaharian berlaku sistem waris Islam dengan
asas ijbari, bilateral, individual, keadilan berimbang, dan semata akibat kematian.
Sedangkan untuk asas kewarisan sendiri, Minangkabau juga mempunyai beberapa asas
tertentu dalam kewarisan. Asas-asas itu banyak bersandar pada sistem kekerabatan dan
kehartabendaan, karena hukum kewarisan di Minangkabau ditentukan oleh struktur
kemasyarakatan. Adat Minangkabau mempunyai pengertian sendiri tentang keluarga dan
cara perkawinan. Dari kedua itu maka muncullah ciri khas struktur kekerabatan dalam
adat Minangkabau yang juga menimbulkan bentuk hukum kewarisannya. Beberapa asas
pokok dari hukum kewarisan Minangkabau adalah sebagai berikut:

1. Asas kolektif

Sistem kewarisan kolektif merupakan sistem kewarisan secara kelembagaan.


Kelembagaan yang dimaksud adalah keluarga sebagai satu kesatuan kekerabatan
genealogis. Warisan ini biasanya berupa benda atau tanah sebagai lahan pertanian.
Yang dibagi-bagi adalah giliran menggarap dan menikmati hasilnya. Penerima waris
biasanya perempuan, laki-laki hanya boleh memungut hasilnya. Karena itu ia disebut
harta pusaka sebagaimana yang terdapat di Minangkabu. Jadi Minangkabau adalah
sistem kewarisan kolektif atau kelembagaan, dimana yang berhak menerima warisan
adalah keluarga di dalam satu kaum menurut garis matrilineal, bukan perorangan.

2. Asas Unilateral

19
Hak kewarisan yang hanya berlaku dalam satu garis kekerabatan, dan satu
garis kekerabatan disini adalah garis kekerabatan ibu. Harta pusaka dari atas diterima
dari nenek moyang hanya melalui garis ibu kebawah diteruskan kepada anak cucu
melalui anak perempuan. Sama sekali tidak ada yang melalui garis laki-laki baik
keatas maupun kebawah.

3. Asas Keutamaan

Asas keutamaan berarti bahwa dalam penerimaan harta pusaka atau


penerimaan peranan untuk mengurus harta pusaka, terdapat tingkatan-tingkatan hak
yang menyebabkan satu pihak lebih berhak dibanding yang lain dan selama yang
berhak itu masih ada maka yanag lain belum akan menerimanya. Memang asas
keutamaan ini dapat berlaku dalam setiap sistem kewarisan, mengingat keluarga atau
kaum itu berbeda tingkat jauh dekatnya dengan pewaris. Tetapi asas keutamaan
dalam hukum kewarisan Minangkabau mempunyai bentuk sendiri. Bentuk tersendiri
ini disebabkan oleh bentuk- bentuk lapisan dalam sistem kekerabatan matrilineal
Minangkabau.

b. Harta Waris Menurut Hukum Adat Minangkabau


Dalam adat Minangkabau ada 2 (dua) jenis kekayaan yaitu sako atau kekayaan
tidak berwujud (immaterial) seperti gelar penghulu, garis keturunan, pepatah petitih dan
hukum adat, tata krama atau sopan santun, kemudia pusako atau lazim juga disebut
harato pusako atau harta pusaka.
1) Sako
Sako (saka) artinya bentuk harta warisan yang bersifat immaterial, seperti
gelar pusaka. Sako dalam pengertian adat Minangkabau mengandung pengertian
berupa segala harta kekayaan asal yang tidak berwujud, atau harta tua berupa hak atau
kekayaan tanpa wujud. Berikut harta kekayaan yang disebut juga dengan pusaka
kebesaran:
1) Gelar penghulu
2) Garis keturunan ibu ( disebut juga sako indu)
3) Gelar bapak
4) Hukum adat Minangkabau itu sendiri beserta pepatah petitihnya

20
5) Adat sopan santun atau tata krama.22
2) Harta Pusako
Secara umum harta pusako di Minangkabau ada dua jenis, yaitu Harta Pusako
Tinggi dan Harta Pusako Randah
a) Harta pusaka tinggi
Harta pusaka tinggi adalah segala harta pusaka yang di warisi secara turun
temurun. Jadi, bukan harta pencaharian dari orang yang kini masih hidup, tetapi
peninggalan atau warisan dari nenek moyang yang sudah mendahului kita. Harta
pusaka tinggi ialah harta yang pengelolaanya diwariskan secara turun temurun
kepada wanita atau bundo kanduang menurut asalnya diperoleh oleh nenek
moyang, yang kemudian diturunkan kepada anak cucunya dalam garis keturunan
ibu, harta pusaka tersebut menjadi milik bersama dari anggota kaum dan setiap
anggota mempunyai hak untuk mengusahakan harta tersebut untuk
kepentingannya, namun tidak bisa untuk dimiliki secara pribadi. Setiap usaha
yang dilakukan terhadap harta pusaka pada dasarnya bertujuan untuk menambah
jumlah dari harta pusaka tersebut. Dalam hal ini biasanya yang bertanggung
jawab adalah kaum laki-laki yang berstatus sebagai mamak. Mereka mempunyai
kewajiban untuk menjaga, mengawasi dan mengembangkan harta pusaka baik
dari hasil harta pusaka itu sendiri maupun dengan jalan membuka lahan baru. 23
Pusaka ini merupakan jaminan untuk kehidupan dan perlengkapan anak
kemenakan di Minangkabau, terutama untuk kehidupan masyarakat yang berlatar
belakang kehidupan agraris di kampung dan nagari Harta pusaka dalam adat
Minangkabau ini tidak boleh diperjualbelikan, kecuali dalam situasi mendesak,
yakni untuk menanggulangi biaya penyelenggaraan mayat (mayat terbujur
ditengah rumah), untuk biaya perjodohan wanita dewasa yang baru mendapatkan
suami, untuk memperbaiki rumah adat yang telah rusak dan untuk mengangkat
penghulu yang sudah lama terpendam.

22
Mizan, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 10, Nomor 1, Juni 2021

23
Mizan, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 10, Nomor 1, Juni 2021

21
Jadi pada dasarnya harta pusaka tinggi tidak dapat dibagi-bagi, tetapi
diwariskan secara turun temurun kepada anak kaum (suku) tersebut. Kaum hanya
dapat mengambil manfaat dan hasil saja dari harta tersebut.
b) Harta pusaka rendah
Segala harta yang didapat dari hasil usaha pekerjaan sendiri, termasuk di
dalamnya adalah harta pencaharian suami isteri. lalu pada waktunya diwariskan
kepada generasi berikut secara terus menerus sehingga sulit menelusurinya, maka
ia beralih menjadi harta pusaka tinggi. 24
Harta pusaka rendah menurut garis keturunan adat, setelah bapak
meninggal dunia nanti maka harta waris dibagi dua antara pihak bapak yang akan
membantu mencari nafkah untuk isteri atau anak yang ditinggalkan, sebab yang
akan mencari nafkah yaitu kaum laki-laki. Harta pusaka ini dapat berupa apa saja
yang berbentuk peninggalan hasil dari pencaharian bapak dan/atau ibu kita.
Misalnya rumah, mobil, dan lain-lain.25
Pewarisan harta pusako tinggi ini sesuai dengan ketentuan waris adat
Minangkabau, yaitu diwariskan secara kolektif menurut garis keturunan ibu (matrilineal).
Harta pusaka tinggi tidak boleh dijual dan digadaikan untuk kepentingan pribadi atau
untuk beberapa orang. Hak penggunaan harta pusaka dilaksanakan di rumah gadang oleh
kaum ibu. Dalam setiap musyawarah kaum, suku dan nagari, kaum ibu sangat
berpengaruh dalam menentukan. Berarti kaum ibu dapat mengetahui dan
mempertahankan hak-hak yang diperoleh atas harta pusaka. Sedangkan Harta Pusako
Randah adalah segala harta yang didapat dari hasil usaha pekerjaan sendiri, termasuk di
dalamnya adalah harta pencaharian suami isteri. Yaswirman menambahkan bahwa
apabila ahli waris tetap menjaga keutuhan dari harta pusaka rendah ini dengan tidak
dijual atau dibagi-bagi, lalu pada waktunya diwariskan kepada generasi berikut secara
terus menerus sehingga sulit menelusurinya, maka ia beralih menjadi harta pusaka tinggi.
Ada kalanya harta pusaka tinggi juga berasal dari harta pusaka rendah yang dimanfaatkan
secara turun-temurun, asal usulnya tidak dipersoalkan lagi. Sekali ia diwariskan secara
adat, maka menjadi harta pusaka tinggi.

24
Adeb Davega Prasna, Pewarisan Harta di Minangkabau Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam

25
Mizan, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 10, Nomor 1, Juni 2021

22
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Di Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilinial. Hukum kewarisan adat


yang turun secara matrilinial, dari ninik turun kemamak, dari mamak turun
kekemenakan, begitulah seterusnya, sehingga asas hukum adat Minangkabau
matrilinial, yakni asas atau sistem kekerabatan menurut garis keturunan ibu.

2. Sistem kewarisan di dalam adat Minangkabau adalah sistem kewarisan kolektif atau
kelembagaan, dimana yang berhak menerima warisan adalah keluarga di dalam satu
kaum menurut garis matrilineal, bukan perorangan. Sistem kewarisan berdasarkan
kepada pengertian keluarga karena kewarisan itu adalah peralihan sesuatu, baik
berwujud benda atau bukan benda dari suatu generasi dalam keluarga kepada generasi
berikutnya.

23
3. Jenis harta warisan, dalam adat Minangkabau harta warisan terbagi dua jenis. Pertama
yaitu harta warisan pusaka tinggi yang sumbernya diperoleh dari turun temurun dan
sifatnya tidak dimiliki utuh oleh seseorang, melainkan dimiliki oleh semua orang
dalam satu kaum. Kedua harta warisan pusaka rendah yang sumbernya dari hasil
pencaharian/usaha sendiri dan dimiliki utuh oleh orang yang mengusahakan tersebut.

B. Saran
Diharapkan kepada masyarakat adat Minangkabau masih menggunakan hukum
adat Minangkabau dalam pembagian warisannya, melainkan mengacu pada pepatah adat
yang menyatakan dimano bumi dipijak, disitu langik di junjuang yang bermakna
menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur budaya sendiri.
Sehingga adat yang ada di tempat tinggal perantauanlah yang menjadi dasar dalam hal
pembagian warisan, sehingga terhadap harta pusaka yang ada di daerah asal
Minangkabau, dapat diberikan kepada ahli waris lain yang tinggal dan menetap di
Minangkabau, hal ini akan berdampak pada pengawasan dan pengeloaannya, yang akan
dilaksanakan dan dilihat langsung oleh ahli waris yang ada di Minangkabau. Dan juga
diharapkan seluruh masyarakat Minangkabau dapat lebih mengerti dan memahami
warisan adat Minangkabau dan hendaknya dapat diterapkan secara baik oleh seluruh
masyarakat mengingat hukum adat memiliki sifat yang dinamis, yang dapat berubah-
ubah.

24
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, C. (1997). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Hadikusuma, H. (2015). Hukum Waris Adat. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Mizan. (Juni 2021). Jurnal Ilmu Hukum. Volume 10. Nomor 1

Muhammad, B. (2018). Asas-asas Hukum Adat. Jakarta Timur: PT Balai Pustaka.

Nasution, A. (2018). Jurnal Hukum. Pluralisme Hukum Waris Di Indonesia.28

Panuh, H. (2012). Peranan Kerapatan Adat Nagari Dalam Proses Pendaftaran Tanah Adat.
Jakarta: Rajawali Pers.

Perangin, E. (2014). Hukum Waris

Poespasari, E. D. (2018). Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia. Jakarta Timur:
Prenadamedia Group.

Prasna, A.D. Pewarisan Harta di Minangkabau Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islama

25
Soekanto, S. (2021). Hukum Adat Indonesia. Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Suparman, M. (2015). Hukum Waris Perdata. Jakarta Timur: Sinar Grafika.

26

Anda mungkin juga menyukai