Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KELOMPOK 1

Pengertian, Dasar Hukum, dan Sejarah Fiqih Mawaris


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Mawaris
Dosen Pengampu : Hotnidah Nasution MA

Disusun Oleh Kelompok 1:


Eliza Octavia (11210480000150)
Pringga Azzahra Dambami (11210440000006)
Muhammad Ilham Arfandi (11210440000018)
Ailsah Zahra Aulrellia Siregar (11210440000032)
Sidik Marsyah Putri (11210440000039)
Cholifah Nuraulia Hasyim (11210440000042)

JURUSAN HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa
Ta’ala, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya berupa Iman, Islam dan
Ilmu serta bimbingan-Nya sehingga Alhamdulillah penyusun dapat menyelesaikan
tugas makalah “FIQIH MAWARIS: Pengertian, Dasar Hukum, dan Sejarah
Perkembangannya”

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah FIQIH
MAWARIS. Penyusun berharap, makalah ini dapat bermanfaat lebih memperluas
pengetahuan mengenai tentang Pendidikan Hukum yang kami sajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber.

Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen mata kuliah


Hukum Waris yakni Ibu Hotnidah Nasution, MA. Yang telah memberikan ilmunya,
bimbingan dan kesabarannya hingga akhirnya tugas ini dapat selesai tepat pada
waktunya.

Tentunya makalah ini masih jauh dari sempurna. Sesuai dengan pepatah tak
ada gading yang tak retak maka kami sadar akan kekurangan pada makalah ini baik
dalam segi penulisan dan masalah penyusunan kata. Maka saran, kritik dan
masukan yang membangun sangat kami harapkan dari seluruh pihak dalam proses
membangun mutu dalam karya selanjutnya. Mohon maaf bila ada kekurangan dan
kesalahan dalam penyusunan makalah ini, harap memakluminya karena penyusun
dalam proses pembelajaran.

Penyusun berharap, makalah ini dapat bermanfaat untuk ke depan dan rekan-
rekan mahasiswa lainnya. Aamiin

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Ciputat, 4 Maret 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................... 2
BAB ll PEMBAHASAN ................................................................................. 3
A. Pengertian Ilmu Mawaris. ..................................................................... 3
B. Dasar Hukum Kewarisan Islam ............................................................ 3
1. Ayat-ayat Al-Qur’an ......................................................................... 4
2. Al-Hadis .......................................................................................... 5
3. Ijtihad Para Ulama .......................................................................... 6
C. Sejarah Hukum Kewarisan Islam .......................................................... 8
1. Kewarisan Pada Masa Pra-Islam ...................................................... 8
2. Kewarisan pada Masa Awal Islam .................................................. 10
BAB lll PENUTUP ....................................................................................... 12
A. Kesimpulan ......................................................................................... 12
B. Saran ................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apabila terjadi sengketa waris di antara ahli waris karena tidak ada kesepakatan,
maka langkah yang harus dilakukan adalah membicarakan pilihan hukum (choice of law).
Hukum positif di Indonesia masih membuka ruang bagi para pihak yang bersangkutan
memilih dasar hukum yang akan dipakai dalam penyelesaian pembagian harta warisan. Hal
ini nantinya memberikan konsekuensi terhadap pengadilan mana yang berwenang untuk
mengadili sengketa tersebut. Pilihan hukum di sini maksudnya sengketa tersebut dapat
diajukan ke Pengadilan Negeri bila penyelesaiannya tunduk pada Hukum Adat atau KUH
Perdata (civil law) atau dapat diajukan ke Pengadilan Agama bila penyelesaiannya tunduk
pada Hukum Islam. Hal ini disebabkan Indonesia masih menganut sistem pluralisme
hukum.
Bagi pewaris yang beragama Islam, dasar hukum utama yang menjadi pegangan
adalah UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Dalam Penjelasan Umum UU tersebut dinyatakan: “Para pihak sebelum
berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam
pembagian warisan, dinyatakan dihapus”. Secara eksplisit, Hukum Islamlah yang harusnya
menjadi pilihan hukum bagi mereka yang beragama Islam. Namun, ketentuan ini tidak
mengikat karena UU Peradilan Agama ini tidak secara tegas mengatur persoalan
penyelesaian pembagian harta waris bagi pewaris yang beragama Islam (personalitas
keislaman pewaris) atau non-Islam.
Di dalam praktik, pilihan hukum ini dapat menimbulkan berbagai masalah, karena
ahli waris dapat saling gugat di berbagai pengadilan. Permintaan fatwa kepada Mahkamah
Agung dan atau mengajukan upaya hukum kasasi untuk menentukan pengadilan mana yang
berwenang memutus adalah konsekuensi yang harus dibayar oleh para pihak ahli waris bila
tidak bersepakat dalam menentukan mau tunduk terhadap hukum yang mana dalam
penyelesaian sengketa waris.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di
dalam makalah tentang Mawaris (Warisan) ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian mawaris atau kewarisan?
2. Apa saja dasar-dasar hukum waris?
3. Bagaimanasejarah dan perkembangan fiqih mawaris dalam Islam?

C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Mawaris (Warisan) ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian mawaris atau kewarisan.
2. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum waris.
3. Untuk mengetahui sejarah berkembangnya ilmu mawaris dalam Islam.

2
BAB ll
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Mawaris.


Ilmu mawaris disebut juga dengan ilmu faraidh, Secara etimologi lafaż farāiḍ
adalah bentuk jamak dari farīḍah (sesuatu yang diwajibkan), diambil dari kata al-farḍu
(kewajiban) yang memiliki makna etimologi dan terminologi. Secara etimologi kata al-
farḍu memiliki beberapa arti, di antaranya adalah: al-wājibu (wajib), al-muqaddaru
(diperkirakan), al-ḥaẓzu (pembatasan), al-taqdīru (ketentuan), al-qaṭ‟u
(ketetapan/kepastian), al-inzālu (menurunkan), at-tabyīnu (penjelasan), al-Naṣību al-
muqaddaru al-mafrūḍu (bagian yang ditentukan). Dan dinamakan al-farḍu sebagai
farḍan karena ada karakteristik dari ilmu tersebut yang langsung ditetapkan oleh Allah
swt.1

Sementara secara terminologi, ilmu farāiḍ memiliki beberapa definisi, yaitu:

1. Ilmu yang mempelajari tentang tatacara pembagian warisan kepada yang berhak
menerimanya.2
2. Ilmu tentang aturan dan peraturan dari fiqih dan hisab (hitungan), yang diketahui
dengannya setiap bagian ahli waris.3

B. Dasar Hukum Kewarisan Islam


Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat adalah bangsa yang
mempunyai hukum perundang-undangan dalam mengatur dan menata bangsa dan
masyarakatnya, kendatipun masyarakatnya yang heterogen, baik suku, ras, adat-istiadat,
maupun agamanya. Bangsa Indonesia yang mempunyai dan mengakui agama dan
keyakinan yang bermacam-macam, diakui oleh konstitusi yakni Undang-Undang Dasar
(UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 29.4
Artinya konstitusi memberikan kebebasan dalam menjalankan agamanya termasuk
dalam pelaksanaan hukum kewarisan Islam di Indonesia. Umat yang melaksanakan
tentunya masyarakat muslim dalam menyelesaikan sengketa kewarisannya. Umat
beragama di Indonesia tidak bisa menghindar dari aturan-aturan hukum yang berlaku.

1
Ahmad bin Fāris al-Rāzī, Mu‟jam Maqāyīs al-lugah (Beirut: Dār al-Jīl, t.th), Jilid IV, h. 488-489. Lihat Ibnu
Manżūr al-Ifrīqī, Lisān al-„Arab (Beirut: Dār Iḥyā al-Turāṡ al-Islāmī, 1403), JilidX, h. 230-232.
2
Ali Bin Muhammad al-Jarjānī, al-Ta‟rīfāt, (Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arabī, 1413), h. 213
3
Muhammad Amin, Raddu al-Muḥtār „ala al-Durrī al-Mukhtār, (Beirut: Dār al-Fikr, 1386), Jilid VI, h. 757
4 Pasal ini tidak diamandemen: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan
tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu. Pasal ini mengatur mengenai kedudukan penduduk, juga mengenai warganegara maupun yang mengenai seluruh
penduduk memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangunkan negara yang bersifat demokratis dan yang hendak
menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan. Khusus ayat (1) menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

3
Karena itu diperlukan pengetahun hukum yang memadai terutama dalam hukum
kewarisan Islam. Pengetahuan hukum pun tidak dapat diabaikan, karena sering terjadi
kasus perbuatan atau pelanggaran hukum. Hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa
manusia lahir dijemput oleh hukum, manusia hidup diatur oleh hukum, dan manusia
mati diantar oleh hukum. Oleh karena itu, manusia perlu mempelajari sejarah sosial
hukum, baik hukum publik maupun hukum privat terutama sejarah sosial hukum Islam
di Indonesia, dan terkhusus hukum kewarisan Islam. Istilah hukum Islam yang
dimaksudkan adalah hukum yang diyakini memiliki keterkaitan dengan sumber dan
ajaran Islam, yaitu hukum amali berupa interaksi sesama manusia, selain jinayat
(pidana Islam).5
Segala ketentuan yang berhubungan dengan ibadah murni (mahdah) tidak
termasuk dalam pengertian hukum Islam. Namun demikian, perkembangan hukum
Islam di Indonesia termasuk di dalamnya hukum perkara tertentu yang menjadi hukum
positif bagi umat Islam, sekaligus merupakan hukum terapan bagi Peradilan Agama
yang tidak menutup kemungkinannya untuk dimasukan perkara pidana tertentu.
Perkara pidana tertentu atau pidana khusus adalah awal dari perkara tertentu yang tidak
menghasilkan kesepakatan para pencari keadilan, termasuk di dalamnya mengenai
penyelesaian perkara hukum kewarisan Islam di Indonesia.
Dasar hukum fikih mawaris jelas tersurat dalam QS al-Nisa‟/4: 7, 11, 12, dan
176. Sedangkan dasar hukum dari hukum kewarisan Islam adalah Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) di
Indonesia dengan 44 pasal, terdapat dalam buku II pasal 171 sampai dengan pasal 214.
Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum agama (Islam)
adalah nash atau teks yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Ayat-ayat Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi yang secara langsung mengatur kewarisan tersebut antara lain
sebagai berikut:
1. Ayat-ayat Al-Qur’an
1). QS. An-Nisa’ ayat 7

ِّ َ‫َصيبٌ ِّم َّما ت ََركَ ْٱل َٰ َو ِّلد‬


ُ‫ان َو ْٱْل َ ْق َربُونَ ِّم َّما قَ َّل ِّم ْنه‬ ِّ َ‫َصيبٌ ِّم َّما ت ََركَ ْٱل َٰ َو ِّلد‬
َ ِّ‫ان َو ْٱْل َ ْق َربُونَ َو ِّللن‬
ِّ ‫سا ٓ ِّء ن‬ ِّ ‫ِّل ِّلر َجا ِّل ن‬
ِّ ‫أ َ ْو َكث ُ َر ۚ ن‬
‫َصيبًا َّم ْف ُروضًا‬
Artinya:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan.”
Ketentuan dalam ayat diatas merupakan merupakan landasan utama yang
menunjukkan, bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-sama

5
Amrullah Ahmad dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Cet. I; Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), h. 53.
Akan tetapi persoalan ini sudah dijadikan sebagai suatu konsep untuk menerapkan dalam Lembaga Peradilan
Agama yakni Pengadilan Khusus menyangkut sengketa perdata tertentu termasuk hukum pidana tertentu.

4
mempunyai hak waris, dan sekaligus merupakan pengakuan Islam, bahwa
perempuan merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban. Tidak
demikian halnya pada masa jahiliyah, dimana wanita dipandang sebagai objek
bagaikan benda biasa yang dapat diwariskan.6
2) Q.S An-Nisa ayat 11
‫َت‬ ْ ‫سا ًء َف ْوقَ اثْنَتَي ِّْن فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما ت ََركَ ۚ َوا ِّْن كَان‬ َ ِّ‫ّٰللاُ فِّ ْٓي ا َ ْو ََل ِّد ُك ْم ِّللذَّك َِّر ِّمثْ ُل َح ِّظ ْاَلُ ْنثَيَي ِّْن ۚ َفا ِّْن ُك َّن ن‬ ‫ص ْي ُك ُم ه‬ ِّ ‫ي ُْو‬
َ ٓ َ َ َّ ْ ُ َّ ْ َ َ َ
ُ‫ُس ِّم َّما ت ََركَ اِّن َكانَ لهٗ َولدٌ ۚ ف ِّان ل ْم يَكن ل ٗه َولد ٌ َّو َو ِّرث ٗه ابَ َٰوه‬ ْ ُ ‫سد‬ ْ
ُّ ‫اح ٍد ِّمن ُه َما ال‬ ُ َ
ِّ ‫ف ۗ َو َِّلبَ َو ْي ِّه ِّلك ِّل َو‬ ُ ‫ص‬
ْ ِّ‫احدَة فل َها الن‬ َ َ ً ِّ ‫َو‬
‫ص ْي ِّب َها ٓ اَ ْو دَي ٍْن ۗ َٰا َبا ُؤ ُك ْم َواَ ْبنَا ُؤ ُك ۚ ْم ََل تَد ُْر ْونَ اَيُّ ُه ْم‬ ِّ ْ ‫ُّو‬ ‫ي‬ ‫ة‬
ٍ ‫ي‬
َّ ‫ص‬ ‫و‬ ‫د‬
ِّ ‫ع‬
ِّ َ ْ َ ِّ ُ‫ب‬ ْ
‫ن‬ ْۢ ‫م‬ ‫ُس‬ ‫د‬ ‫س‬
ُّ ‫ال‬ ‫ه‬ ‫م‬
ِّ ِّ ُ ‫ِل‬
ِّ َ ‫ف‬ ٌ ‫ة‬‫و‬ ْ
‫ِّخ‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ٓ ٗ َ ‫ل‬ َ‫ان‬ َ
‫ك‬ ْ
‫ِّن‬‫ا‬ َ ‫ف‬ ۚ ُ
‫ث‬ ُ ‫ل‬ُّ ‫ث‬ ‫ال‬ ِّ ِّ ُ‫فَ ِِّل‬
‫ه‬ ‫م‬
َ
‫ّٰللاَ َكانَ َع ِّل ْي ًما َح ِّك ْي ًما‬ ‫ّٰللاِّ ۗ ا َِّّن ه‬
‫ضة ِّمنَ ه‬ً َ ‫ا َ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۗ فَ ِّر ْي‬
Artinya:
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan
untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya
lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika
dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang
meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di
atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
Ayat di atas menjelaskan tentang warisan bagi (Furu dan Ushul), yaitu anak laki-
laki dan perempuan dan seterusnya ke bawah, serta warisan ayah dan ibu dan seterusnya
ke atas, keadaan-keadaan mereka dalam warisan dan syarat-syarat mendapatkan
warisan.
2. Al-Hadis
Hadis Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang kewarisan
adalah sebagai berikut.
1) Hadis Nabi dari Abdullah ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Sunan Tirmidzi:
‘’Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami
Wuhaib telah menceritakan kepada kami Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu 'Abbas
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah bagian fara`idh
(warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak, maka bagian yang tersisa bagi
pewaris lelaki yang paling dekat (nasabnya)."7

2) Hadis| Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat Imam Muslim:

6
Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Prmbaharuan Hukum Positif di
Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 12
7
Sunan Tirmidzi, Sunan Tirmidz jilid 4i, (Beirut: Dar al-Fiqri: 2005), hal 31

5
‘’Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abu
Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim, dan ini adalah lafadz Yahya, Yahya berkata; telah
mengabarkan kepada kami, sedangkan yang dua mengatakan; telah menceritakan
kepada kami Ibnu 'Uyainah dari Az Zuhri dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman
dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang
Muslim tidak boleh mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak dapat mewarisi
dari orang Muslim. (1614)"8

3. Ijtihad Para Ulama


Ijtihad para ulama baik dari kalangan sahabat maupun sesudahnya banyak
berperan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan mawaris,
terutama menyangkut masalah teknis. Salah satu sahabat yang berperan penting dalam
perkembangan ilmu mawaris adalah sahabat Zaid Ibn Said. Keahlian beliau dalam ilmu
mawaris tidak diragukan lagi bahkan diakui sendiri oleh Rasulullah saw, dalam hadis
yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan An-Nasa'i Rasulullah saw bersabda ‫افرضكم زيد‬
. Selain sahabat Zaid ibn Sabit, sahabat Abdullah ibn Mas'ud, Ali ibn Abi Thalib juga
berperan penting dalam pengembangan ilmu mawaris. Ijtihad para ulama sangat
penting karena masih ada beberapa hal yang belum ditentukan di dalam Al-Qur'an dan
Hadis. Misalnya, mengenai waris banci (waria), diberikan kepada siapa harta warisan
yang tidak habis terbagi, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan
suami atau istri dan sebagainya.9
Contoh lain adalah:
Status saudara yang mewarisi bersama-sama dengan kakek, didalam al-Qur’an
hal ini tidak dijelaskan, yang dijelaskan hanyalah status saudara-saudara bersama
dengan ayah atau bersama-sama dengan anak laki-laki yang dalam kedua keadaan ini
mereka tidak mendapatkan apa-apa lantaran terhijab, kecuali dalam masalah kalalah
maka mereka mendapat bagian. Menurut pendapat kebanyakan sahabat dan imam-
imam madzhab yang mengutib pendapat Zaid bin sabit, saudara-saudara tersebut
mendapatkan pusaka secara muqasamah dengan kakek.10
Staus cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal daripada kakek yang bakal
diwarisi yang mewarisi bersama dengan saudarasaudara ayahnya. Menurut ketentuan,
mereka tidak mendapatkan apaapa lantaran dihijab oleh saudara ayahnya, tetapi
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir mereka diberi bagian
berdasarkan atas wasiat wajibah. 11
Para fuqaha tabi’in dan imam-imam fiqih, di antaranya Said Ibnu Musayyab,
Ad-Dahak, Thaus, Al hasnul Bisri, Ahmad Ibnu Hambal, Daud ibnu Ali, Ishak Ibnu
Ruhawaih, Ibnu Jarir, dan Ibnu Hazm berpendapat bahwa wasiat itu wajib untuk
kerabat-kerabat terdekat yang tidak mendapat harta pusaka. Hal ini ditetapkan
berdasarkan firman Allah SWT. Al-Baqarah ayat 180

8
Muhammad Fuadi Abdul Baqi, Shohih Muslim jilid 6, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah: 1995), hal 44
9
Ahmad Azar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press: 2004), hlm. 9
10
Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Prmbaharuan Hukum Positif di
Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 22
11
Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Ibid

6
‫صيَّةُ ِل ْلوا ِلدي ِْن و ْاْل ْقر ِبيْن ِب ْالم‬
ِ ‫ُكتِب عل ْي ُك ْم اِذا حضر احد ُك ُم ْالم ْوتُ ا ِْن ترك خي ًْرا ۖ ۨ ْالو‬
‫ف حقًّا على ْال ُمتَّ ِقيْن‬
ِ ‫ۗ ع ُْر ْو‬
‘’Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara
kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat
dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.’’12
Kata kutiba dalam ayat tersebut artinya furida, yaitu difardukan, sedangkan
perkataan bil ma’rufi haqqan ‘alal muttaqin artinya menurut ma’ruf sebagai suatu hak
(kewajiban) atas setip orang yang bertaqwa, merupakan suatu lafal yang sangat kuat
menunjuk kepada kewajiban wasiat.
Dalam hal tersebut, ulama berselisih pendapat tentang masih berlakunya
hukum yang telah di-nash-kan oleh ayat tersebut, yaitu tentang wajibnya wasiat untuk
bapak dan kerabat-kerabat terdekat atau tidak berlaku lagi.
Kebanyakan ahli tafsir jumhur fiqih berpendapat bahwa wajibnya wasiat itu
sudah mansukh, baik terhadap yang menerima wasiat maupun tidak. Karena ayat wasiat
itu telah dimansukh oleh ayat-ayat mawaris dan oleh sabda Nabi SAW yang artinya,
‚tidak ada wasiat untuk para ahli waris‛.
Abu Muslim Al-Ashbahani mengemukakan bahwa ayat wasiat itu sama sekali
tidak mansukh, karena tidak ada pertentangan antara ayat wasiat dan ayat mawaris.13
Golongan yang diwajibkan wasiat untuk kerabat-kerabat yang tidak mendapat
waris berpendapat bahwa ayat wasiat tidak mansukh dan tetap berlaku sampai sekarang
untuk kerabat-kerabat yang tidak mendapat warisan, karena ada penghalang atau ada
orang yang lebih utama daripada mereka. Oleh karena itu, wajiblah dibuat wasiat untuk
mereka. Terhadap kerabat-kerabat yang mendapat warisan, dipergunakan ayat-ayat
mawaris.14
Atas dasar inilah cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal daripada kakek
yang bakal diwarisi dan mewarisi bersama dengan saudara-saudara ayahnya, untuk
diberikan wasiat wajibah karena cucu terhijab oleh saudara-saudara ayahnya.

12
Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro: 2010), hal 44
13
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia: 2000), hlm 243
14
Ibid

7
C. Sejarah Hukum Kewarisan Islam
1. Kewarisan Pada Masa Pra-Islam
Masa pra-Islam dikenal juga dengan masa jahiliah, yaitu masa di mana bangsa Arab
selalu melakukan peperangan dan bertindak tidak adil. Pada masa itu, kehidupan orang
Arab bergantung pada hasil perniagaan, jarahan, dan hasil rampasan perang dari bangsa-
bangsa yang mereka taklukkan. Ketika itu, kekayaan berada di tangan laki-laki dewasa
yang mampu dan memiliki kekuatan serta kekuasaan. Hal itu juga berlaku terhadap
pembagian harta warisan. Maka, menjadi wajar jika harta warisan diberikan kepada laki-
laki dewasa, bukan kepada perempuan dan anak-anak.
Pada masa pra-Islam, pembagian harta warisan dilakukan dengan memakai dua
sistem, yaitu sistem keturunan dan sistem sebab.15 Tradisi pembagian harta warisan pada
masa jahiliah bersifat patrilinear, artinya anak-anak yang belum dewasa dan kaum
perempuan tidak berhak mendapatkan harta warisan, sekalipun mereka merupakan ahli
waris dari yang telah meninggal.16 Sangat jelas bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab
memperlakukan kaum wanita secara zalim. Mereka tidak memberikan hak waris kepada
kaum wanita dan anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami, maupun kerabat
mereka. Selain itu mereka juga berdalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang
membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan,
“Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang
yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata,
serta tidak pula berperang melawan musuh.”17
Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan sebagaimana mereka
mengharamkannya kepada anak-anak kecil. Bahkan, sebagian mereka beranggapan
bahwa perempuan janda yang ditinggal mati termasuk hharta yang dapat diwariskan
kepada dan diwarisi oleh para ahli waris suaminya.
Pada masa pra-Islam, warisan dapat diberikan jika ada hubungan kekerabatan. Selain
itu, mereka berkeyakinan bahwa harta warisan dapat diberikan kepada orang-orang yang
mempunyai perjanjian prasetia, dan anak-anak yang diadopsi (pengangkatan anak).
Dapat dipahami bahwa, seseorang akan mendapatkan harta warisan apabila:18
a. Adanya Pertalian Kerabat
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang
yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Pertalian kerabat yang menyebabkan
seorang ahli waris dapat menerima warisan adalah laki-laki yang memiliki kekuatan
untuk membela, melindungi, dan memelihara qabalah (persukuan) atau sekurang-
kurangnya keluarga mereka.19 Persyaratan ini mengakibatkan anak-anak yang belum
dewasa dan kaum perempuan tidak dapat menerima pusaka. Pantangan menerima
pusaka bagi kedua golongan ini karena dianggap tidak sanggup melakukan tugas-
tugas peperangan dan lebih dari itu mereka dipandang tidak cakap melakukan

15
Muhammad Suhaili Sufyan, Fiqh Mawaris Praktis, (Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2012), hlm. 7.
16
Moh. Muhibbudin,dkk, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 32.
17
Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, terj. A.M Basmalah, (Gema Insani Press,
1995) hlm. x.
18
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris…., hlm. 3.
19
Moh. Muhibbudin, dkk, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 14

8
perbuatan hukum. Oleh karena itu, para ahli waris jahiliah dari golongan kerabat
semuanya terdiri atas: (a) anak laki-laki, (b) saudara laki-laki, (c) paman, (d) anak-
anak yang semuanya harus dewasa, dan (e) anak laki-laki paman.
Apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang sudah besar, maka harta
peninggalannya jatuh kepada saudara laki-lakinya yang sanggup berperang. Satu hal
lain yang aneh ialah bahwa yang diwariskan itu tidak hanya harta peninggalan saja,
tetapi juga isterinya, asalkan saja istri itu bukan ibu kandung yang mewarisi. Mereka
juga memberi warisan kepada anak yang lahir di luar pernikahan.20

b. Adanya Janji Ikatan Prasetia


Janji prasetia adalah dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga
dan kehormatan mereka. Tujuan ini tidak mungkin terealisasi apabila pihak-pihak
yang berjanji adalah anak-anak yang belum dewasa, apalagi kaum wanita.
Adapun isi janji prasetia tersebut adalah:
“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu,
perjuanganku perjuanganmu, perangku perangmu damaiku damaimu, kamu mewarisi
hartamu aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena aku dan aku dituntut
darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai ganti nyawaku, aku
pun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu”.21
Konsekuensi janji setia itu adalah jika salah satu pihak meninggal dunia, maka
pihak lain yang masih hidup berhak mempusakai harta peninggalan partner-nya
sebanyak 1/6 bagian harta peninggalannya. Adapun sisa harta setelah dikurangi 1/6
dibagikan kepada ahli
warisnya.22
c. Adanya Pengangkatan Anak
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pewarisan atas pertalian kerabat,
pewarisan atas dasar ikatan janji prasetia, dan pewarisan atas dasar pengangkatan
anak,disyaratkan harus laki-laki yang sudah dewasa (kuat). Adapun tendensi mereka
untuk mengadakan janji prasetia dan pengangkatan anak adalah adanya dorongan
kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka serta
memelihara dan mengembangkan harta kekayaan mereka. Hal itu tidak akan
terealisasikan jika masih anak-anak atau perempuan.
Sebelum diangkat menjadi Rasul, Nabi Muhammad saw mengangkat Zaid Ibn
Haritsah menjadi anak angkatnya dan dikatakanlah Zaid bin Muhammad. Beliau
mengangkat Zaid ini sebagai anaknya, sesudah Zaid dimerdekakan. Abu Hutzaifah Ibn

20
Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam,
(Darussalam: Bulan Bintang, 1978), hlm. 28.
21
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’rif, 1981), hlm. 14.
22
Moh. Muhibbudin, dkk, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 34.

9
‘Utbah mengangkat Salim menjadi anaknya dan dikatakanlah: Salim ibn Abu
Huzaifah.23 Keadaan ini berlaku hingga turun surat al-Ahzab:5 dibawah ini:
ْٓ‫الدي ِْن وموا ِل ْي ُك ْم ۗوليْس عل ْي ُك ْم ُجناح فِيْما‬ ِ ‫ّللاِ فا ِْن لَّ ْم ت ْعل ُم ْْٓوا ٰاب ۤاء ُه ْم فا ِْخوانُ ُك ْم فِى‬ ُ ‫اُدْع ُْو ُه ْم ِ ْٰلب ۤا ِٕى ِه ْم هُو ا ْقس‬
ٰ ‫ط ِع ْند‬
ْ ‫ا ْخطأْت ُ ْم ِبه و ٰل ِك ْن َّما تع َّمد‬
ٰ ‫ت قُلُ ْوبُ ُك ْم ۗوكان‬
‫ّللاُ غفُ ْو ًرا َّر ِح ْي ًما‬
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-
bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ayat ini menegaskan bahwa, Nabi Muhammad saw bukanlah ayah dari seorang
anak angkat (Zaid) dan anak-anak angkat tidaklah dapat dianggap sebagai anak sendiri,
serta anak-anak angkat itu haruslah dibangsakan kepada ayah mereka sendiri.

2. Kewarisan pada Masa Awal Islam


Pada masa awal Islam, masih berlaku sistem pembagian kewarisan masa jahiliah hingga
turun ayat yang menerangkan bahwa para lelaki (tidak memandang dewasa atau anak-anak)
memperoleh bagian (pusaka) dari harta peninggalan orang tua dan kerabat-kerabat terdekat,
begitu juga dengan perempuan, baik harta itu sedikit maupun banyak. Sebagaimana Allah
SWT menjelaskan dalam al-Qur’an surah an Nisa ayat 7 :

ِ ‫صيْب ِم َّما ترك ْالوا ِل ٰد ِن و ْاْل ْقرب ُْو ۖن و ِللنِس ۤا ِء ن‬


‫صيْب ِم َّما ترك ْالوا ِل ٰد ِن و ْاْل ْقرب ُْون ِم َّما ق َّل ِم ْنهُ ا ْو كثُر‬ ِ ‫ۗ ِل ِلرجا ِل ن‬
‫ص ْي ًبا َّم ْف ُر ْوضًا‬
ِ ‫ن‬
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan
kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua
orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan”.
Dengan turunnya ayat di atas, terhapuslah adat jahiliah yang tidak memberikan pusaka
kepada perempuan dan anak-anak kecil. Di sisi lain, pada masa awal Islam, Rasulullah telah
menerapkan hukum kewarisan. hal ini terlihatketika Rasulullah beserta sahabatnya hijrah
dari Mekkah menuju Madinah. Ketika sampai di Madinah, Rasulullah dan para sahabat
disambut dengan gembira oleh orang-orang Madinah dengan ditempatkan dirumah-rumah
mereka, dicukupi segala keperluan hariannya, dilindungi jiwanya dari pengejaran kaum
Quraisy, dan dibantu dalam menghadapi musuh-musuh yang menyerangnya.
Untuk memperteguh dan mengabadikan ikatan persaudaraan, Rasulullah menjadikan
hal tersebut sebagai salah satu sebab untuk saling mewarisi satu sama lain. Misalnya, apabila
seorang sahabat tidak mempunyai wali (ahli waris) yang ikut hijrah, maka harta
peninggalannya diwarisi oleh walinya yang ikut hijrah. Ahli waris yang enggan hijrah ke
Madinah tidak berhak mewarisi harta sedikitpun. Tetapi, jika ada sahabat yang tidak

23
Teungku M.Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Risky Putra, 2011), hlm. 3.

10
mempunyai wali yang ikut hijrah, maka harta peninggalannya dapat diwarisi oleh
saudaranya dari penduduk Madinah yang menjadi wali karena ikatan persaudaraan.24
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa awal Islam seseorang
dimungkinkan untuk mendapatkan harta warisan apabila:25 a) adanya pertalian kerabat, b)
adanya pengangkatan anak, c) adanya hijrah , dan d) adanya ikatan persaudaraan.
Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa dalam pewarisan awal Islam, kaum kerabat
yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki dewasa saja,
melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Adanya hijrah dan ikatan persaudaraan
juga memungkinkan untuk mendapatkan harta warisan, dan dalam kewarisan Islam, tidak
dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).

24
Ikatan persaudaraan disini adalah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, yaitu orang-orang yang
memberikan pertolongan kepada kaum Muhajirin yang hijrah dari kota Mekkah ke kota Madinah. Lihat
Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris…, hlm. 7-8.
25
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris…, hlm. 4-8.

11
BAB lll
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu Mawaris merupakan salah satu ilmu yang penting dalam cabang ilmu fiqh.
Ketetapan dalam penentuan pembagian waris diatur dengan sangat terperinci dalam
sumber hukum Islam yang pertama, yakni Al-Qur'an. Sumber hukum ilmu mawaris ini
pun terdapat dalam beberapa hadis dan hasil ijma maupun ijtihad para sahabat. Islam
hendak menghindari adanya persengketaan harta waris yang ditinggalkan oleh seorang
muslim yang wafat. Harta yang ditinggalkan oleh mendiang bukan sekadar harta
peninggalan, melainkan bermanfaat baginya untuk ditunaikan wasiat semasa hidup nya
dan menjadi hak bagi ahli waris atau keluarga yang ditinggalkan. Urgensi mempelajari
ilmu mawaris dan menerapkan nya menjadi sangat penting. Implementasi nya dalam
peristiwa yang nyata apabila kelak terjadi dalam keluarga, dimana setiap ahli waris
yang diatur masing-masing bagian nya akan mendapatkan sesuai dengan hak masing-
masing yang telah diatur dalam ilmu mawaris akan menghindari perdebatan soal
keadilan mengenai pembagian harta waris.

B. Saran
Kami sebagai penyusun menyadari bahwa di dalam penyusunan makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membaca dan dapat
menambah wawasan dalam memperlajari salah sagu cabang ilmu fiqih, yakni mawaris.

12
DAFTAR PUSTAKA

(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 12

(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 22

Ahmad Azar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press: 2004), hlm. 9

Ahmad bin Fāris al-Rāzī, Mu‟jam Maqāyīs al-lugah (Beirut: Dār al-Jīl, t.th), Jilid IV, h. 488-
489. Lihat Ibnu Manżūr al-Ifrīqī, Lisān al-„Arab (Beirut: Dār Iḥyā al-Turāṡ al-Islāmī, 1403),
Jilid X, h. 230-232.
Ali Bin Muhammad al-Jarjānī, al-Ta‟rīfāt, (Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arabī, 1413), h. 213

Amrullah Ahmad dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Cet. I; Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), h. 53.

Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro:


2010), hal 44

Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia: 2000), hlm 243

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’rif, 1981), hlm. 14.

Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata, Hukum Adat dan
Hukum Islam, (Darussalam: Bulan Bintang, 1978), hlm. 28.

Moh. Muhibbudin, dkk, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 14

Moh. Muhibbudin, dkk, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 34.

Moh. Muhibbudin,dkk, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 32.

Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Prmbaharuan
Hukum Positif di Indonesia),

Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Prmbaharuan
Hukum Positif di Indonesia),
Muhammad Amin, Raddu al-Muḥtār „ala al-Durrī al-Mukhtār, (Beirut: Dār al-Fikr, 1386),
Jilid VI, h. 757

Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, terj. A.M Basmalah, (Gema
Insani Press, 1995) hlm. x.

Muhammad Fuadi Abdul Baqi, Shohih Muslim jilid 6, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah:
1995), hal 44

Muhammad Suhaili Sufyan, Fiqh Mawaris Praktis, (Bandung: Cita Pustaka Media Perintis,
2012), hlm. 7.

13
Sunan Tirmidzi, Sunan Tirmidz jilid 4i, (Beirut: Dar al-Fiqri: 2005), hal 31
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris…., hlm. 3.

Teungku M.Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Risky Putra, 2011), hlm.
3.

14

Anda mungkin juga menyukai