Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH FIQH MAWARIS

AHLI WARIS DAN HARTA, DZAW AL-FURUDH SERTA HAK-HAKNYA


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata kuliah Fiqh Mawarits pada Program
Studi S1 Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu :
Anton, S.Pd., M.E.Sy.
Disusun Oleh :
Kelompok 3
Asep Maulana 24062120006
Fuji Firdaus 24062120057
Listia Wardani 24062120017
Muhamad Lutfi Alfayumi 24062121101
Intan Nurbela 24062120014
Riyadi Ilmi 24062120034
Sifa Fauziah 24062120040

FAKULTAS PENDIDIKAN ISLAM DAN KEGURUAN


UNIVERSITAS GARUT
2022 M-1444 H
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Ahli Waris dan harta,
Dzaw Al-Furudh serta hak-haknya” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari.
Bapak Anton, S.Pd., M.E.Sy. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Ahli Waris dan harta, Dzaw Al-Furudh serta hak-haknya. Kami menyadari,
makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Garut, 03 Desember 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................
BAB I..........................................................................................................................................................
PENDAHULUAN......................................................................................................................................
A. Latar Belakang..............................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................................................
BAB II........................................................................................................................................................
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................
A. Pengertian Ahli Waris...................................................................................................................
B. Rukun dan Syarat Waris..............................................................................................................
C. Harta Waris dan Prioritas Penggunaannya................................................................................
D. Kedudukan Ahli Waris Banci.......................................................................................................
E. Dzaw Al-Furudh dalam Al-Qur'an..............................................................................................
F. Bagian-bagian Dzaw Al-Furudh dalam Al-Qur'an.....................................................................
BAB III.......................................................................................................................................................
PENUTUP..................................................................................................................................................
A. Kesimpulan....................................................................................................................................
B. Saran...............................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat adalah bangsa yang
mempunyai hukum perundang-undangan dalam mengatur dan menata bangsa dan
masyarakatnya, kendatipun masyarakatnya yang heterogen, baik suku, ras, adat-
istiadat, maupun agamanya. Bangsa Indonesia yang mempunyai dan mengakui agama
dan keyakinan yang bermacam-macam, diakui oleh konstitusi yakni Undang-Undang
Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 29 (INDONESIA, 2020).
Artinya konstitusi memberikan kebebasan dalam menjalankan agamanya termasuk
dalam pelaksanaan hukum kewarisan Islam di Indonesia. Umat yang melaksanakan
tentunya masyarakat muslim dalam menyelesaikan sengketa kewarisannya. Umat
beragama di Indonesia tidak bisa menghindar dari aturan-aturan hukum yang berlaku.
Karena itu diperlukan pengetahun hukum yang memadai terutama dalam hukum
kewarisan Islam. Pengetahuan hukum pun tidak dapat diabaikan, karena sering terjadi
kasus perbuatan atau pelanggaran hukum. Hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa
manusia lahir dijemput oleh hukum, manusia hidup diatur oleh hukum, dan manusia
mati diantar oleh hukum. Oleh karena itu, manusia perlu mempelajari sejarah sosial
hukum, baik hukum publik maupun hukum privat terutama sejarah sosial hukum
Islam di Indonesia, dan terkhusus hukum kewarisan Islam (DR. H. SUPARDIN,
2020).
Istilah hukum Islam yang dimaksudkan adalah hukum yang diyakini memiliki
keterkaitan dengan sumber dan ajaran Islam, yaitu hukum amali berupa interaksi
sesama manusia, selain jinayat (pidana Islam) (Amrullah Ahmad dkk., 1996). Segala
ketentuan yang berhubungan dengan ibadah murni (mahdah) tidak termasuk dalam
pengertian hukum Islam. Namun demikian, perkembangan hukum Islam di Indonesia
termasuk di dalamnya hukum perkara tertentu yang menjadi hukum positif bagi umat
Islam, sekaligus merupakan hukum terapan bagi Peradilan Agama yang tidak
menutup kemungkinannya untuk dimasukan perkara pidana tertentu. Perkara pidana
tertentu atau pidana khusus adalah awal dari perkara tertentu yang tidak menghasilkan
kesepakatan para pencari keadilan, termasuk di dalamnya mengenai penyelesaian
perkara hukum kewarisan Islam di Indonesia. Dasar hukum fikih mawaris jelas
tersurat dalam QS al-Nisa‟/4: 7, 11, 12, dan 176. Sedangkan dasar hukum dari hukum
kewarisan Islam adalah Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia dengan 44 pasal, terdapat dalam
buku II pasal 171 sampai dengan pasal 214 (DR. H. SUPARDIN, 2020).
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Ahli Waris ?
2. Bagaimana Rukun dan Syarat Waris ?
3. Apa saja Harta Waris dan Prioritas Penggunaannya ?

1
4. Bagaimana Kedudukan Ahli Waris Banci ?
5. Apa itu Dzaw Al-Furudh dalam Al-Qur'an ?
6. Apa saja Bagian-bagian Dwaw Al-Furudh dalam Al-Qur'an ?
C. Tujuan Penulisan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Fiqih
Munakahat-Mawaris guna dijadikan sebagai referensi dalam proses perkuliahan. Selain
itu, dengan adanya makalah ini diharapkan akan menambah wawasan khususnya penulis
dan pembaca pada umunya, mengenai Ahli Waris dan harta, Dzaw Al-Furudh serta hak-
haknya.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahli Waris
Asal kata ”Waris” berasal dari kata bahasa Arab yaitu “waris” secara gramatikal
berarti “yang tinggal” maka dengan demikian apabila dihubungkan dengan persoalan hukum
waris, perkataan waris tersebut berarti orang-orang yang berhak untuk menerima pusaka dari
harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, dan populer diistilahkan dengan”ahli
waris.” Dan dasar pokok hukum waris Islam terdapat di dalam (QS. An-Nisa` : 7) disebutkan
sebagai berikut:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan
bagi orang perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Ayat di atas merupakan aturan yang mengatur tentang adanya hak bagi para ahli waris
baik pria dan wanita atas pembagian harta peninggalan pewaris yang wafat, berdasarkan
ketetapan Allah SWT. Mengenai masalah peninggalan si pewaris yang berupa harta bendanya
atau miliknya maka, dapat diwariskan kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang berlaku (Utama)
1. Tiga Golongan Ahli Waris
Berdasarkan cara penerimaan harta warisan, ahli waris dapat dibedakan menjadi tiga
golongan:
a. Ashabul-Furudh yaitu ahli waris yang bagiannya sudah tertentu menurut al-quran
dan hadist. Nilai-nilai bagian yang tertentu itu dinyatakan dalam bentuk pecahan: ½.
¼, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6.
b. ‘Ashabah yaitu ahli waris yang mendapat sisa harta setelah harta warisan dibagikan
kepada ahli waris golongan ashabul-furudh.
c. Dzawil-Arham yaitu ahli waris yang tidak termasuk dalam golongan pertama dan
kedua di atas. Golongan ini hanya dapat menerima warisan jika tidak ada golongan
pertama kecuali (suami/istri) dan tidak ada golongan kedua.
2. Klasifikasi Ahli Waris
Seluruh ahli waris yang memiliki hubungan kewarisan dengan pewaris dapat
diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal.
a. Klasifikasi berdasarkan sebab mewarisi
Berdasarkan sebeb mewarisi, maka ahli waris dapat diklasifikasikan menjadi tiga
jenis :
1. Ahli waris sababiyah
Ahli waris kelompok ini adalah dikarenakan adanya hubungan nikah yang sah,
diantaranya yaitu suami dan istri.
2. Ahli waris nasabiyah

3
Orang-orang dalam kelompok ini menjadi ahli waris karena adanya hubungan nasab
(hubungan darah, hubungan kekerabatan), baik garis nasab ke atas (bapak, ibu, kakek,
nenek dan seterusnya ke atas), garis nasab ke bawah (anak. cucu, dan seterusnya ke
bawah), maupun garis nasab ke samping (saudara, keponakan, paman, bibi, sepupu dan
semua keturunan mereka).
3. Ahli waris wala`
Ahli waris wala` berhak menerima warisan karena memiliki hubungan karena pembebasan
budak. Dalam hal ini seseorang ( baik laki-laki maupun perempuan) yang pernah
membebaskan orang lain dari perbudakan, kemudian mantan budak itu wafat, maka orang
yang membebaskan budak itu dapat mewarisi harta mantan budak secara ashabah dengan
syarat tidak ada satupun ahli waris sababiyah dan ahli waris nasabiyah.
b. Klasifikasi berdasarkan cara penerimaan
Berdasarkan cara penerimaannya, maka para ahli waris dapat dibedakan menjadi tiga
golongan:
1) Ashabul furudh
Ashabul furudh adalah ahli waris yang menerima bagian yang nilainya sudah tertentu
sesuai dengan ketentuan dalam Al-Qur`an dan Hadis. Nilai bagian itu pada dasarnya
ada enam jenis, yaitu ½. ¼, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Ahli golongan ini dapat dibedakan
lagi menjadi :
a) Ashabul furudh sababiyah yaitu yang memiliki hubungan nikah (mencakup
suami dan istri)
b) Ashabul furudh nasabiyah yaitu yang memiliki hubungan sedarah (mencakup
bapak, kakek, dan seterusnya ke atas dari jalur laki-laki, saudara laki-laki seibu,
anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, ibu, nenek dari
jalur ibu, nenek dari jalur bapak, saudara perempuan kandung, saudara
perempuan sebapak, saudara perempuan seibu).

2) `Ashabah
‘Ashabah adalah ahli waris yang menerima bagian setelah semua ashabul furudh
menerima bagian. Jadi, bagian untuk ashabah adalah berupa sisa (`ushubah). Kerena
menerima sisa, maka besarnya bagian yang diterima oleh ashabah tidak tentu, bisa
sedikit, bisa banyak, bisa seluruh harta (jika tidak ada ashabul furudh sama sekali) dan
bisa tidak mendapat apa-apa alias nol karena harta sudah habis dibagikan kepada
ashabul-furudh semuanya.
3) Dzawil-arham
Dzawil-arham adalah semua ahli waris yang memiliki kekerabatan dengan pewaris
selain ashabul furudh dan ‘ashobah, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagai contoh
adalah cucu perempuan keterunan anak perempuan, bibi (dari pihak bapak maupun dari
pihak ibu), keponakan perempuan dan lain-lain.

4
c. Klasifikasi berdasarkan urutan penerimaan
Berdasarkan urutan penerimaannya, maka menurut jumhur ulama, para ahli waris
dapat diklasifikasikan sesuai dengan urutan berikut:
1. Ashabul-furudh (nasabiyah dan sababiyah)
2. `Ashabah nasabiyah
3. Radd kepada ashabul furudh nasabiyah
4. Dzawil arham
5. Radd kepada ashabul-furudh sababiyah (salah seorang suami/istri)
6. Ashabah sababiyah (maulal-`ataqah)
7. Ashabah laki-laki dari maulal ataqah
8. Orang yang didakukan nasabnya kepada orang lain
9. Orang yang menerima wasiat melebihi 1/3 harta peninggalan
10. Baitul maal

d. Klasifikasi berdasarkan faradh


Faradh adalah bagian yang telah ditentukan (tertentu) untuk seorang ahli waris yang
termasuk dalam golongan ashabul-furudh. Setiap golongan ashabul-furudh memiliki
faradh yang tertentu menurut kondisi tertentu pula. Sebaliknya, setiap faradh dapat
dimiliki oleh satu atau lebih ahli waris ashabul-furudh dalam kondisi tertentu pula.
e. Klasifikasi berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelaminnya, maka ahli waris (dalam hal ini golongan ashabul-furudh
dan ashabah, tidak termasuk dzawil-arham. Dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Ahli waris laki-laki
a) Anak laki-laki
b) Cucu laki-laki (dari anak laki-laki)
c) Bapak
d) Kakek (dari pihak bapak)
e) Saudara laki-laki kandung
f) Saudara laki-laki sebapak
g) Saudara laki-laki seibu
h) Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
i) Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan paman (saudara laki-laki
dari ayah yang sekandung)
j) Paman (saudara laki-laki dari ayah yang seayah)
k) Anak laki-laki paman (saudara laki-laki dari ayah yang seayah)
l) Suami
m) Laki-laki yang telah memerdekakan budak (al-mu`tiq)
2. Ahli waris perempuan
a) Anak perempuan
b) Cucu perempuan (dari anak laki-laki)
c) Ibu

5
d) Nenek (ibu dari ibu)
e) Nenek (ibu dari bapak)
f) Saudara perempuan kandung
g) Saudara perempuan sebapak
h) Saudara perempuan seibu
i) Istri
j) Perempuan yang telah memerdekakan budak (al-mu`tiqah)

f. Klasifikasi berdasarkan garis nasab


Berdasarkan garis nasab ahli waris dengan pewaris tanpa memandang apakah dari
golongan ashabul-furudh ashabah atau dzawil-arham, dan tanpa memandang jenis
kelaminnya maka para ahli waris dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok.
1. Furu’ yaitu anak keturunan atau “cabang” dari pewaris mencakup anak, cucu dan
seterusnya kebawah.
2. Ushul yaitu orang tua atau leluhur atau “pokok” dari pewaris mencakup bapak, kakek,
dan seterusnya ke atas, ibu, nenek dan seterusnya ke atas.
3. Hawasyi yaitu kerabat menyamping dari pewaris mencakup saudara pewaris dan anak
keturunan mereka ke bawah, paman dan bibi serta anak keturunan mereka ke bawah.
3. Yang Tidak Termasuk dalam Daftar Ahli Waris
a. Anak zina dan anak li’an
b. Anak angkat, bapak angkat, dan ibu angkat
c. Anak tiri, bapak tiri, dan ibu tiri
d. Anak susuan, ibu susuan dan saudara susuan
e. Mertua, menantu, ipar, dan besan
(Yani, 2016)

B. Rukun dan Syarat Waris


Secara bahasa, rukun adalah “yang arus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan”,
(Nasional, 2002). Antara lain berarti tiang, penopang dan sandaran, kekuatan, perkara
besar, bagian, unsur dan elemen. Syarat adalah sesuatu yang tergantung pada keberadaan
hukum syar’i diluar hukum yang ketiadaannya menyebabkan ketiadaan suatu hukum,
sedangkan rukun adalah unsur yang merupakan bagian dari suatu perbuatan yang
menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut. Syarat-syarat kewarisan adalah matinya
orang yang mewariskan (muwarrist), hidupnya ahli waris di saat kematian muwarrist, dan
tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi. Adapun terdapat 3 (tiga) rukun
pembagian warisan yakni sebagai berikut : (Nasution., 2015)
a. Al-Muwarrist, yaitu orang yang mewarisi harta peninggalannya. Syarat al-Muwaris
yaitu dinyatakan telah meninggal secara hakiki, yuridis (hukmi), ataupun berdasarkan
perkiraan. Maksud dari perkiraan tersebut adalah saat-saat mendekati kematian
seseorang, misalnya seseorang yang oleh dokter divonis meninggal dalam waktu tiga
bulan karena penyakit yang diidapnya tidak dapat disembuhkan dan lain sebagainya.
b. Al-Waris, yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan
berdasarkan hubungan darah maupun hubungan perkawinan dan berhak mendapatkan
harta yang ditinggalkan al-muwarrist.

6
c. Al-Maurus, yakni harta peninggalan pewaris setelah dikurangi biaya perawatan
jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat
(Assyafira, 2020)
C. Harta Waris dan Prioritas Penggunaannya
Sebagian orang kadang terburu-buru untuk menuntut dibaginya harta warisan.
Padahal si ayah yang meninggal dunia masih memiliki kewajiban lain yang mesti
diprioritaskan seperti utang dan wasiat. Penjelasan berikut berisi keterangan mengenai
manakah penyaluran harta peninggalan si mayit yang mesti didahulukan, tidak
langsung pada pembagian waris.Urutan prioritas penyaluran harta peninggalan si
mayit adalah sebagai berikut :
1. Pengurusan jenazah si mayit
Hal ini meliputi memandikan, mengkafani, memakamkan si mayit dan semacamnya
tanpa berlebih-lebihan dan tidak terlalu pelit. Pengurusan jenazah ini lebih
didahulukan daripada utang dan lainnya. Karena pengurusan jenazah ibarat pakaian
yang menjadi kebutuhan primer bagi seseorang yang hidup dan tidak bisa dicopot
dengan alasan untuk melunasi utang.
2. Melunasi utang yang berkaitan dengan harta peninggalan si mayit.
Hal ini seperti utang dengan menggadaikan sebagian dari harta peninggalan.
3. Melunasi utang yang terikat dan menjadi dzimmah (kewajiban).
Yang dimaksud adalah harta yang tidak berkaitan dengan gadaian harta peninggalan,
yaitu meliputi utang yang berkaitan dengan hak Allah dan berkaitan dengan hak
manusia. Utang yang berkaitan dengan hak Allah seperti zakat, kafaroh atau puasa
yang belum ditunaikan. Misalnya zakat tahun saat ia meninggal dunia belum
dibayarkan dari hartanya. Begitu pula puasa yang belum ditunaikan dan bisa diganti
dengan memberi fidyah (memberi makan pada orang miskin sesuai dengan jumlah
puasa yang ditinggalkan). Sedangkan utang yang berkaitan dengan hak sesama
manusia seperti utang kepada orang lain yang belum dilunasi sampai meninggal dunia
dan pembayaran upah yang tertunda.
4. Menunaikan wasiat si mayit yang tidak lebih dari 1/3 harta yang tersisa.
Setelah tiga kewajiban sebelumnya, barulah ditunaikan wasiat. Pelunasan utang lebih
didahulukan daripada penunaian wasiat. Di antara alasannya adalah kesepakatan para
ulama yang mendahulukan utang dari wasiat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits
‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
‫صلى هللا‬- ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫صيَّ ٍة تُوصُونَ بِهَا َأوْ َد ْي ٍن) َوَأ َّن َرس‬
ِ ‫ِإنَّ ُك ْم تَ ْق َرءُونَ هَ ِذ ِه اآليَةَ ( ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ‫ضى بِال َّد ْي ِن قَ ْب َل ْال َو‬
‫صيَّ ِة‬ َ َ‫ ق‬-‫عليه وسلم‬
“Sesungguhnya kalian membaca ayat ini ‘sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya’Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melunasi utang sebelum menunaikan wasiat” (HR. Tirmidzi no. 2094, Ibnu
Majah no. 2715, dan Ahmad 1: 79. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan).
Alasan yang lain, karena wasiat termasuk akad sosial atau pemberian cuma-
cuma. Jika harta peninggalan begitu pas-pasan, maka tidak ragu lagi penunaian utang

7
lebih didahulukan barulah wasiat karena menunaikan utang itu wajib sedangkan
menunaikan wasiat hanyalah sukarela. Sedangkan dalam penggalan ayat yang
artinya : “sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya”, wasiat lebih didahulukan karena wasiat hampir mirip dengan harta waris
yaitu diberikan secara cuma-cuma tanpa bayaran. Dan itu hanyalah tanda bahwa
warisan juga termasuk kewajiban yang harus segera ditunaikan semisal utang. Tapi
jika kita kembali hadits tetap menunjukkan secara tegas bahwa utang lebih dahulu
diselesaikan daripada wasiat.
Dan wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) harta yang tersisa. Bahasan 
ini akan dikaji pada kesempatan yang lain, bi idznillah.
5. Membagi harta peninggalan kepada ahli waris yang berhak menerima sesuai dengan
jatah yang telah ditetapkan dalam kitabullah.
Jika telah memahami hal ini, ketika si mayit memiliki 100 juta rupiah sebagai harta
peninggalan, maka harus diprioritaskan untuk keempat hal di atas terlebih dahulu sebelum
pembagian warisan. Semisal jika untuk pengurusan jenazah dibutuhkan 500 ribu rupiah,
utang 500 ribu rupiah, utang zakat 4 juta rupiah, wasiat 5 juta kepada anak yatim, totalnya
adalah 10 juta rupiah. Maka sisa 90 juta rupiah, itulah yang dibagikan kepada ahli waris
yang berhak menerima. Jadi harta peninggalan si mayit tidak dibagikan langsung untuk
warisan. Akan tetapi, harus diprioritaskan sesuai urutan yang dijelaskan di atas (Malik,
2012).
D. Kedudukan Ahli Waris Banci
a. Definisi Khunsa Musykil (Banci)
Pengertian al Khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata khanatsa
yang berarti “lunak” atau “melunak” (Shabuny, 1995). Adapun makna
khanantsa menurut fuqaha adalah: seseorang yang mempunyai dua alat
kelamin, yaitu alat kelamin lakilaki dan alat kelamin perempuan
(hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyai (sama sekali) kedua-duanya
alat tersebut, yang ada hanya suatu lubang yang tidak serupa dengan kedua-
dua alat itu. Keadaan yang kedua inilah menurut fuqaha dinamakan dengan
khuntsa musykil, artinya tidak ada kejelasan. Sebab, setiap insan seharusnya
mempunyai alat kelamin yang jelas, bila tidak berkelamin laki-laki berarti
berkelamin perempuan. Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas
status hukumnya sehingga ia berhak menerima waris sesuai bagiannya
(Wahidah, 2014). Meskipun demikian, seseorang khuntsa (terkadang) ada
yang masih dapat diketahui atau diidentifikasi jenis kelaminnya, dan khuntsa
seperti ini disebut khuntsa ghairu musykil. Jika seorang khuntsa tidak
mungkin lagi untuk diidentifikasi jenis kelaminnya, maka orang itu disebut
khuntsa musykil (Rofiq, 2002).
b. Kedudukan Hukum
 Sependapat fuqaha bahwa apabila khuntsa itu telah menggunakan salah
satu alat (kelamin) itu, atau ia cenderung dan mencintai (seorang laki-
laki atau perempuan) maka dapat dihukumkan ia laki-laki atau
perempuan, dia dinamakan sebagai khuntsa wadhih. Ketetapan bagian

8
warisan yang akan diterimanya adalah berlaku menurut ketetapan
sebagai laki-laki atau perempuan, dengan memperhatikan tanda-tanda
itu.
 Apabila belum dapat dihukumkan laki-laki atau perempuan, karena
tanda-tandanya belum jelas/terang, maka dinamakan khuntsa musykil.
Fuqaha berbeda pendapatnya dalam hal ini :
1. Menurut madzhab Maliki, dia (khuntsa musykil) mendapat ½
daripada bagian yang diberikan untuk seorang anak laki-laki dan
perempuan. Maksudnya adalah, banci diberi bagian pertengahan di
antara dua bagian itu. Maka masalah dipecah menjadi dua,
kemudian bagian dikumpulkan dalam dua bagian dan dibagi dua.
Maka hasilnya itulah bagian untuk khuntsa musykil tersebut.
2. Menurut madzhab Ahmad bin Hanbal, sama dengan pendapat
imam Syafi’i, yaitu ditangguhkan/ditunggu sampai ada kejelasan,
dan sama dengan pendapat imam Abu Hanifah, yaitu memberikan
kepada khuntsa musykil tersebut, bagian yang tersedikit diantara
dua bagian.
3. Dalam madzhab Hanafi, diberikan kepada khuntsa musykil itu
yang tersedikit diantara dua bagian, tidak perlu
menunggu/menangguhkan sampai ada kejelasan (laki-laki atau
perempuannya).
4. Dalam madzhab Syafi’i: masing-masing dari ahli waris dan
khuntsa diberikan bagiannya yang terkecil, karena ia orang yang
diyakini bernasab kepada setiap orang dari mereka. Sedangkan
sisanya (dari harta waris yang ada) disimpan sampai jelas keadaan
semestinya.
5. Jika tidak berubah bagian khuntsa musykil dan bagian waris-waris
selainnya, jika dihukumkan khuntsa itu lakilaki atau perempuan,
maka ketika itu warisan bisa dibagi langsung menurut ketentuan
bagian waris (tidak perlu ditahan/ditangguhkan), seperti :
 Struktur waris :
o Ibu mendapat 1/6 = 1/6
o Bapa mendapat 1/6 = 1/6
o 1 anak pr. mendapat 1/2 = 3/6 1
o cucu khuntsa mendapat 1/6 = 1/6
Jika cucu khuntsa tersebut dihukumkan sebagai perempuan, ia mendapat
bagian 1/6, karena “takmilatun li tsulutsain” bersama dengan seorang anak
perempuan, dan jika ia dihukumkan sebagai laki-laki pun, khuntsa ini juga mendapat
1/6 sebagai ashobah bi al-nafsi. Bagian khuntsa dan bagian waris-waris selainnya
sama, tidak berubah. Maka ketika itu, warisan bisa dibagi langsung, tapa harus
menunggu adanya kejelasan khuntsa tadi, apakah ia perempuan atau laki-laki.
6. Jika berubah bagian khuntsa dan bagian waris-waris selainnya,
apabila ia dihukumkan sebagai laki-laki dengan jika ia dihukumkan

9
sebagai perempuan. Maka ketika itu, boleh dibagikan kepada
khuntsa dan kepada waris-waris selainnya, yaitu bagian warisan
yang telah ditetapkan/diyakinkan menjadi hak mereka (pasti bagian
mereka), yaitu bagian yang paling sedikit diantara dua bagian yang
berlainan tersebut. Bagian warisan selebihnya,
ditahan/ditangguhkan dahulu sampai ada kejelasan yang dapat
“menghukumkan” bahwa khuntsa musykil itu sebagai laki-laki atau
perempuan, atau berdamai diantara sesama waris dalam
pembagiannya, seperti :
1 anak laki-laki mendapat 1/3 = 3/6 1
anak (khuntsa musykil) mendapat 1/3 = 2/6
Sisa lebih = 1/6 (ditahan)
Jika dihukumkan khuntsa tersebut sebagai anak laki-laki, maka waris ini masing-
masing mendapat ½; tetapi jika khuntsa tersebut perempuan, maka khuntsa mendapat 1/3,
dan anak laki-laki mendapat 2/3, karena 2:1 untuk anak laki-laki dan perempuan (li al dzakari
mitslu hadz al untsayain). Ketika ini, yang boleh diberikan/diserahterimakan kepada
masingmasing tersebut hanyalah yang paling sedikit. Sisanya yang 1/6 lagi
ditahan/ditangguhkan sampai ada kejelasan atau dapat dihukumkan bahwa khuntsa tersebut
laki-laki atau perempuan. Tetapi jika hendak dibagi-bagikan (langsung) juga, boleh dilakukan
dengan jalan perdamaian dinatara sesama waris (Wahidah, 2014).
Dari beberapa uraian di atas terkait kewarisan khuntsa musykil ini, menurut pendapat
yang paling rajih, hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah yang paling sedikit di
antara dua keadaannya, keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk
sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas,
atau sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai khuntsa itu meninggal
sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya. Bahkan dalam madzhab imam Syafi’i,
jika dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya dikarenakan adanya
khuntsamusykil dalam salah satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita), maka si
mahjub (pada saat pembagian yang masih belum ada kejelasan mengenai laki-laki dan
perempuannya khuntsa), saat itu sama sekali tidak boleh diberikan bagian sedikitpun. Sisa
daripada harta warisan terseut harus dibekukan/ditahan/ditangguhkan.
Ada beberapa kemungkinan (cara) untuk menentukan besarnya bagia yang akan
diterima oleh seorang waris yang khuntsa musykil, di antaranya adalah :
a) Menemukan jenis kelamin orang yang bersangkutan
b) Meneliti tanda-tanda kedewasaannya
c) Seandainya apa yang diungkapkan pada point (1) dan (2) tidak dapat ditentukan atau
samar-samar, maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukannya, seperti :
 Memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki atau perempuan pada
khuntsa dan memberi bagian terbesar kepada Ahli waris lain. Pendapat imam
Hanafi, Muhammad al Syaibani dan Abu Yusuf.
 Memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki atau perempuan
kepada khuntsa dan ahli waris yang lainnya, dan sisa harta ditangguhkan
pembagiannya sampai ada kejelasan. Demikian pendapat ulama Syafi’iyah,
Abu Dawud, dan Ibn Jabir.
10
 Memberikan separoh dari dua perkiraaan laki-laki dan perempuan kepada
khuntsa musykil dan ahli waris lain.
c. Contoh (Cara) Pembagian Warisan Khuntsa Musykil (Banci)
Jika seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari bapak, ibu, seorang
anak perempuan, anak (khuntsa musykil). Harta warisannya sejumlah Rp.
3.600.000,-, maka bagian masing-masing adalah :
a. Pendapat Pertama :
o Perkiraan khuntsa laki-laki: Asal Masalah 6
Bapak mendapat 1/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 600.000,-
Ibu mendapat 1/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 600.000,-
1 anak perempuan dan 1 anak laki-laki sebagai ashobah bi al-ghair
mendapat sisanya, yaitu 4/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp.2.400.000,- Khuntsa
musykil menerima dua kali bagian perempuan, atau 2/3 x Rp. 2.400.000,- =
Rp. 1.600.000,-, sedangkan anak perempuan 1/3 x Rp. 2.400.000,- = Rp.
800.000,.
o Perkiraan khuntsa perempuan : Asal Masalah 6
Bapak mendapat 1/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 600.000,-
Ibu mendapat 1/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 600.000,-
2 anak pr. mendapat 4/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 2.400.000,-
Khuntsa menerima 1/2 dari Rp. 2.400.000,- = Rp.1.200.000,- Jadi
bagian yang terkecil dari dua perkiraan di atas adalah bagian perempuan.
Sementara bagian ibu dan bapak sebesar Rp. 600.000,- dan anak perempuan
sebesar Rp. 1.200.000,-.
b. Pendapat kedua :
Jika contoh di atas diselesaikan menurut cara kedua, akan dihasilkan :
Bapak = Rp. 600.000,-
Ibu = Rp. 600.000,-
Anak pr = Rp. 800.000,-
Anak Khuntsa = Rp. 1.200.000,-

Jumlah = Rp. 3.200.000,-

Sisa harta sebesar Rp. 400.000,- ditangguhkan atau diselesaikan sehingga ada
kejelasan kelamin dari anak khuntsa atau diserahkan kepada kesepakatan bersama ahli
waris.
c. Pendapat ketiga :
Menurut pendapat ketiga ini, contoh di atas diselesaikan sebagai berikut :
Bapak = Rp. 600.000,- + 600.000,-/2 = Rp. 600.000,-
Ibu = Rp. 600.000,- + 600.000,-/2 = Rp 600.000,-
1 anak pr. = Rp. 800.000,- +1.200.000,-/2 = Rp.1.000.000,-
Anak khuntsa = Rp.1.600.000,-+1.200.000,-/2 =Rp.1.400.000,-

Jumlah = Rp.3.600.000,-

11
E. Dzaw Al-Furudh dalam Al-Qur'an
Golongan dzawil furudh adalah golongan keluarga tertentu yang ditetapkan
menerima bagian tertentu dalam keadaan tertentu. Kalangan fuqaha sependapat bahwa
dzawil furudh secara mutlak telah jelas bagian-bagiannya. Ketentuan yang mengatur
masalah waris terdapat dalam Al-Quran, Al-Hadis, Al-Ijma’, dan ijtihad.
Sejumlah ketentuan tentang fara’idh telah diatur secara jelas di dalam Al-Quran, yaitu
di dalam surat An-Nisa ayat 7, 11, 12, 176, dan surat-surat lainnya; sejumlah ketentuan
lainnya diatur di dalam Al- Hadis; dan sejumlah ketentuan lainnya diatur di dalam ijma’ dan
ijtihad para sahabat, para imam madzhab, dan para mujtahid lainnya. Pencarian terhadap
sumber-sumber hukum waris di atas, dalam konteks hukum positif Indonesia, termuat di
dalam INPRES Nd. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Buku II tentang Hukum
Kewarisan. Bagi umat Islam, melaksanakan syariat yang ditunjuk oleh nash- nash yang sharik
adalah keharusan. Oleh sebab itu, pelaksanaan waris berdasarkan hukum waris Islam bersifat
wajib (Mustofa dan Soemadiningrat, 2006)
Pembagian waris yang telah ditetapkan Al-Quran adalah al- furudh al-muqadarah.
Zainuddin bin Abdul Aziz dan Al-Malibari Al Fannani (2003: 1 114) mengatakan “Bagian-
bagian waris yang telah dipastikan di dalam Kitabullah ada enam: (1) Dua per tiga; (2)
setengah; (3) Seperempat; (4) seperdelapan; (5) sepertiga; (6) seperenam”
Mengenai bagian-bagian yang telah dipastikan, yang pertama berkaitan dengan
kelompok Ashhab Al-Furúdh, yaitu kelompok pertama diberi bagian harta warisan. Mereka
orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Quran, As-Sunnah, dan ijma’.
Kedua, ashabah al-nasabiyah, yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima
sisa harta warisan yang telah dibagikan. Jika tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak
mengambil seluruh harta peninggalan. Misalnya, anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-
laki pewaris, saudara kandung pewaris, paman kandung, dan seterusnya. Penambahan bagi
ashhábul furidh sesuai bagian (kecuali suami-istri). Apabila harta warisan yang telah
dibagikan kepada semua ahli warisnya masih juga tersisa, hendaknya diberikan kepada
ashkabul furidh masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun suami
atau istri tidak berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada. Sebab, hak waris
bagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkan kekerabatan karena
nasab lebih utama mendapatkan tambahan dibandingkan lainnya. Yang dimaksud kerabat
adalah kerabat pewaris yang masih memiliki kaitan rahim dan tidak termasuk ashhábul furidh
dan juga ‘ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi (saudara ibu), bibi (saudara ayah),
cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan.Bila pewaris
tidak mempunyai kerabat sebagai ashhábul furidh, tidak pala ‘ashabah, para kerabat yang
masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk mendapatkan warisan.
Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak mempunyai ahli waris
yang termasuk ashhabul furudh dan ‘ashabak, juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan
rahim, harta warisan seluruhnya menjadi milik suami atau istri. Misalnya, seorang suami
meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk mewarisinya maka istri mendapatkan
bagian seperempat dari harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan

12
tambahan hak warisnya. Dengan demikian, istri memiliki seluruh harta peninggalan
suaminya. Begitu juga, sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang meninggal.
Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang dimaksud di sini adalah
orang lain, artinya bukan salah seorang dari ahli waris. Misalnya, seseorang meninggal dan
mempunyai sepuluh anak. Sebelum meninggal, ia terlebih dahulu memberi wasiat kepada
semua atau sebagian anaknya agar memberikan sejumlah hartanya kepada seseorang yang
bukan termasuk salah satu ahli warisnya. Madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat boleh
memberikan seluruh harta pewaris bila memang wasiatnya demikian.
Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun kerabat,
seluruh harta peninggalannya diserahkan kepada baitul mal untuk kemaslahatan umum. (lihat
Ash-Shabuni, Umu Basalamah dalam Kylic Production, Penyaduran atas kitab Al- Mawarits
fi Al-Syari’ah Islamiyah).
Untuk mengetahui bagian ashhab al-furudh, dapat ditempuh dengan memakai dua jalan:
1. Jalan tadally, yaitu mengetahui bagian furudh (bagian waris yang telah ditentukan)
dengan menghitung seperdua dari seperdua, yaitu seperempat, dan seperdua dari
seperempat, yaitu seperdelapan. Seperdua dari dua per tiga yaitu sepertiga dan
seperdua dari sepertiga yaitu seperenam.
2. Jalan tarady, yaitu mengetahui bagian furidh dengan menghitung kelipatan. Kelipatan
dari seperdelapan adalah seperempat dan kelipatan dari seperempat adalah setengah.
Kelipatan dari seperenam adalah sepertiga dan kelipatan dari sepertiga adalah dua per
tiga.
Otje Salman dan Mustofa Haffas (2006: 50-51) mengatakan bahwa pengelompokan ahli
waris digunakan untuk membedakan para ahli waris berdasarkan keutamaan mewaris,
sementara istilah penggolongan ahli waris digunakan untuk membedakan para ahli waris
berdasarkan besarnya bagian waris dan cara penerimaannya,
Kerabat dalam hukum waris Islam dibagi menjadi tujuh kelompok, yaitu:
1. Leluhur perempuan adalah perempuan dari pihak ibu dalam satu garis lurus ke atas.
2. Leluhur laki-laki adalah leluhur laki-laki dari pihak bapak ke atas.
3. Keturunan perempuan adalah anak perempuan pewaris dan anak perempuan dari
keturunan laki-laki. Itu adalah anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki.
4. Keturunan laki-laki adalah keturunan laki-laki dari anak laki-laki dalam satu garis
lurus ke bawah (tidak terhalang oleh pihak perempuan, seberapa pun rendahnya). Itu
adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki pancar laki-laki.
5. Saudara seibu adalah saudara perempuan dan saudara laki-laki yang hanya satu ibu
dengan pewaris. Itu adalah saudara perempuan seibu dan saudara laki-laki seibu.
6. Saudara sekandung/sebapak adalah keturunan laki-laki dari leluhur laki-laki dalam
satu garis lurus ke bawah (tidak terhalang oleh pihak perempuan). Itu adalah saudara
laki-laki sekandung sebapak dan saudara perempuan sekandung/sebapak.
7. Kerabat lainnya, yaitu kerabat lain yang tidak termasuk ke dalam keenam kelompok
di atas.

13
Ahli waris dalam hukum waris Islam didasarkan kepada tiga sebab, yaitu sebab
keturunan, perkawinan, dan memerdekakan badak. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa ahli waris tersebut ada sembilan, yaitu (1) janda; (2) leluhur perempuan;
(3) leluhur laki-laki; (4) keturunan perempuan; (5) keturunan laki-laki; (6) saudara seibu; (7)
saudara sekandung/sebapak; (8) kerabat lainnya; dan (9) wala’.
Bagian-bagian hak warisnya masing-masing adalah:
1. Ahli waris yang menghabiskan semua harta atau semua sisa. Sulaiman Rasyid (2003:
352) menjelaskan bahwa sebagian ahli waris mendapat bagian tertentu seperti
sepertiga atau seperempat, tidak berhak mendapatkan lebih dari itu, meskipun sisa
harta masih banyak. Akan tetapi, ada sebagian yang lain yang berhak mengambil
semua harta atau semua sisa dari ketentuan yang ada. Orang yang berhak
menghabiskan harta atau semua sisa itu diatur menurut susunan sebagai berikut:
a. Anak laki-laki
b. Anak laki-laki dari anak laki-laki
c. Bapak
d. Bapak dari bapak (kakek dari pihak bapak)
e. Saudara laki-laki seibu sebapak f. Saudara laki-laki yang sebapak
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak
g. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak
h. Paman dari pihak bapak (saudara bapak) yang seibu sebapak kemudian yang
sebapak
i. Anak laki-laki dari paman pihak bapak
j. Orang yang memerdekakan mayat
2. Laki-laki yang dapat menghabiskan harta atau sisa harta waris. Jika anak laki-laki
bersama-sama dengan anak perempuan, keduanya bersama-sama mengambil semua
harta atau semua sisa dari ketentuan yang ada. Pembagian antara keduanya adalah
bagian untuk setiap laki-laki, yaitu dua kali bagian tiap-tiap perempuan. Allah
berfirman,
‫صي ُك ُم هللاُ فِي اوْ اَل ِد ُك ْم لِل َّذ َك ِر ِم ْشلَ َحظ االنشيين‬
ِ ‫يو‬
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaha untuk) anak-anakmu. Yaitu
bagian seorang anak lelak sama dengan bagian dua orang anak perempuan..... “ (QS.
An-Nisa: 11)
3. Perempuan yang dapat menghabiskan semua harta atau semua sisa. Selain laki-laki
yang dapat menghabiskan semua harta atau sisa harta, ada pula perempuan yang ikut
menghabiskan semua harta dan sisa harta jika bersama-sama dengan saudaranya yang
laki-laki. Empat orang laki-laki dari kesepuluh ahli waris laki-laki dapat menarik
saudara perempuannya masing-masing untuk bersama-sama mengambil semua harta
atau semua sisa harta, yaitu:
a. Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan untuk mengambil
semua harta atau semua sisa harta dari ketentuan yang ada. Berarti kalau tidak
ada anak laki-laki, perempuan harus mengambil dengan jalan ketentuan; dan

14
dengan adanya anak laki-laki, anak perempuan tidak boleh mengambil dengan
ketentuan, tetapi pasti mengikuti saudara laki-lakinya dengan jalan
menghabiskan harta atau sisanya.
b. Anak laki-laki dari anak laki-laki juga dapat menarik saudaranya yang
perempuan untuk turut mengambil semua hafta atau semua sisanya dari
ketentuan yang ada.
c. Saudara laki-laki seibu sebapak dapat menarik saudaranya yang perempuan
untuk turut mengambil semua harta atau semua sisanya.
d. Saudara laki-laki sebapak dapat membawa saudaranya yang perempuan untuk
bersama-sama mengambil semua harta atau semua sisanya. Cara pembagian
harta pusaka antara dua orang bersaudara ini (laki-laki dan perempuan)
hendaklah tiap laki-laki mendapat dua kali dari bagian tiap- tiap perempuan.
Umpamanya, apabila anak perempuannya hanya seorang, harta warisan si
bapak ini hendaklah dibagi tiga bagian, dua bagian (2/3) untuk anak laki-laki
dan satu bagian (1/3) untuk anak perempuan. Kalau anak laki-laki hanya
seorang dan anak perempuan ada dua orang, harta warisan hendaknya dibagi
empat, dua bagian (3/4) untuk anak laki-laki, dan tiap perempuan mengambil
satu bagian (1/4). Sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT.,
.. ‫اخ َوةٌ ِر َجااًل َونِ َسا َء فَلِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َح ِظ االنشيين‬
ْ ‫وان كانُوا‬

Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara- saudara laki-laki dan
perempuan, bagian seora laki-laki sebanyak dua orang saudara peram 23/38
An-Nisa: 176)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada ahli waris yang mendapat bagian
tertentu, ada pula yang dapat menghabiskan semua harta atau semua sisa harta.
F. Bagian-bagian Dzaw Al-Furudh dalam Al-Qur'an
Ketentuan pembagian harta yang telah ditetapkan oleh Al-Quran (furudh al-
muqaddarah) adalah sebagai berikut :
1. Ahli Waris yang Mendapat 1/2 Harta Waris
2. Ahli waris yang mendapat bagian setengah ada lima orang. Seorang di antaranya laki-
laki dan empat orang lainnya perempuan :
a. Suami
b. Anak perempuan
c. Cucu perempuan dari anak laki-laki (keturunan)
d. Saudara perempuan sekandung
e. Saudara perempuan seayah.
Masing-masing ahli waris tersebut di atas diikat oleh syarat-syarat berikut :
a. Seorang suami mendapatkan harta warisan seperdua dengan satu syarat, yaitu apabila
muwarits (dalam hal ini istri yang meninggal dunia) tidak mempunyai ahli waris
bunuriyah (anak dan turunannya terus ke bawah), baik dari suami tersebut atau dari
suami yang lain. Allah SWT. berfirman (Q.S. An-Nisa: 117)

15
b. Seorang anak perempuan mendapat bagian setengah, dengan dua syarat, yaitu (1)
tidak mewarisi bersama dengan saudaranya yang mendapatkan ashabah, yaitu anak
laki-laki dan anak perempuan itu harus anak tunggal. Hal ini berdasarkan firman
Allah SWT. (Q.S. An-Nisa: 118).
3. Ahli Waris yang Mendapat 1/4 Harta Waris
a. Suami, apabila istrinya yang meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak
laki-laki atau perempuan; atau meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-
laki atau perempuan. Allah SWT. berfirman, (Q.S An Nisa:12)
b. Istri, baik hanya satu orang ataupun lebih, jika suami tidak meninggalkan anak
(baik anak laki-laki maupun anak perempuan) dan tidak pula anak dari anak laki-
laki (baik laki-laki maupun perempuan). Apabila istri itu lebih dari satu,
seperempat itu dibagi rata antara mereka. Allah SWT. berfirman. (Q.S. An-Nisa:
12)
4. Ahli Waris yang Mendapat 1/8 Harta Waris
Ahli waris yang mendapat seperdelapa11/8 harta waris, yaitu istri, baik satu atau
lebih, jika suaminya, meninggal dunia meninggalkan anak, baik anak laki-laki atau anak
perempuan, atau anak dari anak laki-laki, baik laki-laki atau perempuan. Allah SWT.
berfirman,. (Q.S. An Nisa: 12).
5. Ahli Waris yang Mendapat 2/3 Harta Waris
a. Dua orang anak perempuan atau lebih apabila tidak ada anak laki-laki. Berarti, bila
anak perempuan lebih dari satu, sedangkan anak laki-laki tidak ada, mereka mendapat
bagian 2/3 dari harta yang ditinggalkan bapaknya. Allah SWT. berfirman, (Q.S. An-
Nisa:11)
b. Dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki. Apabila anak perempuan tidak
ada, berarti anak perempuan dari anak laki-laki yang berbilang itu, mendapat pusaka
dari kakek mereka sebanyak 2/3 dari harta. Hal itu beralasan pada analogi, yaitu
dianalogikan kepada anak perempuan karena hukum cucu (anak dari anak laki-laki)
dalam beberapa perkara, seperti hukum anak sejati.
c. Saudara perempuan yang seibu sebapak apabila berbilang (dua atau lebih).
d. Saudara perempuan yang sebapak, dua orang atau lebih. Dalam surat An-Nisa ayat
176, yang dimaksud dengan saudara dalam ayat itu adalah saudara seibu sebapak atau
saudara sebapak saja apabila saudara perempuan yang seibu sebapak tidak ada.
6. Ahli Waris yang Mendapat 1/3 Harta Waris
a. Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga, apabila pewaris tidak
mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki. Pewaris tidak
mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik
saudara itu sekandung atau seayah atau seibu. Firman Allah SWT. (Q.S An-
Nisa:11)
b. Dua orang saudara atau lebih dari saudara yang seibu, baik laki- laki maupun
perempuan. bagian saudara laki-laki dan perempuan seibu bila telah memenuhi
syarat-syarat di atas ialah sepertiga, dan pembagiannya sama rata, baik yang laki-
laki maupun perempuan. Pembagian mereka berbeda dengan bagian para saudara

16
laki-laki atau perempuan kandung dan seayah, yang dalam hal ini bagian saudara
laki-laki dua kali lipat bagian saudara perempuan.
7. Ahli Waris yang Mendapat 1/6 Harta Waris
a. Ayah mendapat bagian seperenam bila pewaris mempunyai anak, baik anak laki-
laki atau anak perempuan. Allah SWT. berfirman (Q.S An-Nisa 11)
b. Kakek sahih (ayahnya ayah) dan terus ke atas mendapat seperenam apabila orang
yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki dan terus ke
bawah, dengan syarat tidak ada ayah (dari orang yang meninggal). Dengan
demikian, status kakek dapat menempati kedudukan ayah, apabila ayah telah
tiada,
c. Ibu mengambil bagian seperenam dari harta yang ditinggalkan pewaris, dengan
dua syarat: Pertama, bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau
cucu laki-laki keturunan anak laki-laki. Kedua, bila pewaris mempunyai dua orang
saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun perempuan, baik sekandung,
seayah, ataupun seibu. (Q.S An-Nisa: 11)
d. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat
bagian seperenam apabila yang meninggal (pewaris) mempunyai satu anak
perempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan mendapat bagian
setengah, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris mendapat
seperenam, sebagai pelengkap dua per tiga. Dalilnya adalah hadis yang
diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya bahwa Abu Musa Al-Asy'ari r.a.
e. Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih akan mendapat bagian
seperenam apabila pewaris mempunyai seorang saudara kandung perempuan. Hal
ini hukumnya sama dengan keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki
bersamaan dengan adanya anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia
dan meninggalkan saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah
atau lebih, saudara perempuan seayah mendapat bagian seperenam sebagai
penyempurna dari dua per tiga. Sebab, ketika saudara perempuan kandung
memperoleh setengah bagian, maka tidak ada kecuali seperenam y memang
merupakan hak saudara perempuan seayah. Yang
f. Saudara laki-laki atau perempuan seibu akan mendapat bagian masing-masing
seperenam bila mewarisi sendirian.
g. Nenek sahih mendapatkan bagian seperenam ketika pewaris tidak lagi mempunyai
ibu. Ketentuan, ini berlaku, baik nenek hanya satu atau lebih (dari jalur ayah
maupun ibu), seperenam itu dibagikan secara rata kepada mereka (Dr. Beni
Ahmad Saebani, 2015)

17
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Ahli waris berarti orang-orang yang berhak untuk menerima pusaka dari harta yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal, dan populer diistilahkan dengan”ahli waris.”
Dan dasar pokok hukum waris Islam terdapat di dalam (QS. An-Nisa` : 7). Ada 3
golongan dalam penerimaan ahli waris yaitu Ashabul-Furudh, ‘Ashabah, dan Dzawil-
Arham.
Ahli waris dalam hukum waris Islam didasarkan kepada tiga sebab, yaitu sebab
keturunan, perkawinan, dan memerdekakan badak. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa ahli waris tersebut ada sembilan, yaitu (1) janda; (2) leluhur
perempuan; (3) leluhur laki-laki; (4) keturunan perempuan; (5) keturunan laki-laki; (6)
saudara seibu; (7) saudara sekandung/sebapak; (8) kerabat lainnya; dan (9) wala’.
B. Saran
Dalam membuat makalah ini banyak terdapat kesalahan, maka dari itu saya sangat
kami sangat membutuhkan kritik, masukan dan saran yang kontruktif untuk
penyempurnaan makalah kami.

18
DAFTAR PUSTAKA

Amrullah Ahmad dkk. (1996). In Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional
cetakan 1 (p. 53). Jakarta: Gema Insani Press,.
Assyafira, G. N. (2020). WARIS BERDASARKAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA.
Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam, VOL : 08, NO : 1,.
Dr. Beni Ahmad Saebani, M. (2015). In Fiqih Mawaris. 3 ed. Bandung: CV Pustaka Setia.
DR. H. SUPARDIN, M. (2020). In FIKIH MAWARIS &HUKUM KEWARISAN (pp. 1-2).
Gowa - Sulawesi Selatan : CV Berkah Utami .
INDONESIA, M. P. (2020). In UNDANG UNDANG DASAR 1945 cetakan 19. Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI.
Malik, S. A. (2012). Shahih Fiqih Sunnah (Harta Waris). Riyadh : Maktabah At Taufiqiyah.
Mustofa dan Soemadiningrat, H. R. (2006). In Hukum Waris Islam (p. 3). Bandung : Refika
Aditama.
Nasional, D. P. (2002). In Kamus Besar Bahasa Indonesia (p. 966). Jakarta: Balai Pustaka.
Nasution., S. Z. (2015). In Hukum Waris. . Medan: CV Manhaji bekerjasama dengan Fakultas
Syariah Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
Rofiq, A. (2002). In Fiqih Mawaris (p. 171). Jakarta: , PT. Raja Grafindo Persada.
Shabuny, M. A. (1995). In Pembagian Waris Menurut Islam (p. 160). Jakarta: Gema Insani
Press.
Wahidah, H. (2014). In BUKU AJAR FIKH. Banjarmasin: IAIN ANTASARI PRESS.
Yani, A. (2016). FARAID & MAWARIS Bunga Rampai Hukum Waris Islam. Jakarta:
KENCANA.

19

Anda mungkin juga menyukai