Anda di halaman 1dari 17

AHLI WARIS

TINGKATAN AHLI WARIS DAN HAK AHLI WARIS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fikih Mawaris

Dosen Pengampu: Anwar Habibi Siregar, M.A.Hk

Disusun oleh :

Wahdini Siregar 2120100149

Nurulsyah Aini 2020100273

Wira Yolanda 2020100232

Mirna Dewi Panjaitan 2020100112

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYEKH ALI HASAN AHMAD


ADDARYPADANGSIDEMPUAN
T.A. 2022/2023

2
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat allah SWT,yang telah


memberikan kemudahan sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah
ini dengan tepat waktu ,tanpa kehendaknya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik.sholawat serta salam semoga
tercurah kepada ruh Nabi kita ruh Nabi Muhammad SAW yang mana
syafaatnya kita harafkan di akhir kelak .

Kemudian ucapan terimakasih kepada Dosen Pengampuh pada


mata kuliah Fikih Mawaris yakni Bapak Anwar Habibi Siregar,
M.A.Hk yang telah memberikan arahan atau amanah kepada kami selaku
pemakalah untuk membawa materi ini. Tak lupa kami ucapkan terimakasih
kepada seluruh rekan-rekan yang telah berpartisipasi dalam penyusunan
makalah ini degan tepat waktu.
Kami mengakui bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan keterbatasan referensi dan ilmu kami sebagai penulis. Oleh
karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca supaya
penyusunan makalah ini lebih baik lagi kedepannya.
Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi para
pembaca, dan kami ucapkan terimakasih.

Padangsidimpuan, Mei 2023

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................

A. Latar Belakang.............................................................................................
B. Rumusan Masalah........................................................................................
C. Tujuan Penulis .............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................

A. Defenisi Ahli Waris.......................................................................................


B. Tingkatan Ahli Waris...................................................................................
C. Hak Ahli Waris..............................................................................................

BAB III PENUTUP................................................................................................12

A. Kesimpulan..................................................................................................1
B. Saran............................................................................................................1

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................1

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam mengatur pembagian warisan secara adil lewat aturan-aturan
yang ada dalam Al-Qur’an. Ahli waris adalah orang-orang yang akan
menerima hak pemilikan harta (tirkah) peninggalan pewaris. Ahli waris
merupakan salah satu syarat yang seseorang dikatakan pewaris. Hal ini
sangat logis, karena proses waris-mewarisi dapat terjadi apabila ada yang
menerima warisan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) merumuskan
pengaturan pelaksanaan tiga persoalan pokok dalam keperdataan Islam
yang berkaitan dengan kondisi sosial yang sangat mendesak, yaitu
perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Adapun Hukum waris dalam Islam bersumber pada tiga sumber
utama yaitu Al-Quran, Sunnah, dan Ijtihad. Sesuai isi surat An-Nisa, umat
Islam diwajibkan melaksanakan hukum waris Islam. Hukum kewarisan
Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang sudahmeninggal
kepada yang masih hidup. Menurut Amir Syarifuddin, hukum kewarisan
Islam adalah seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan
Sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari
yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini
berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam. Dalam pasal 171
Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) huruf a memberikan
pengertian hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa
bagiannya masing-masing.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Definisi Ahli Waris?
2. Bagaimanakah Tingkatan Ahli Waris?
3. Apa Sajakah Hak Ahli Waris?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Dapat Menjelaskan Definisi Ahli Waris
2. Mengetahui Tingkatan Ahli Waris
3. Mengetahui Hak Ahli Waris

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Ahli Waris


Ahli waris merupakan salah satu syarat yang seseorang dikatakan
pewaris. Hal ini sangat logis, karena proses waris-mewarisi dapat terjadi
apabila ada yang menerima warisan. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
merumuskan pengaturan pelaksanaan tiga persoalan pokok dalam
keperdataan Islam yang berkaitan dengan kondisi sosial yang sangat
mendesak, yaitu perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Salah satu ihwal yang terjadi akibat adanya perkawinan adalah
munculnya harta warisan yang terjadi apabila pemiliknya telah meninggal
dunia maka dengan sendirinya akan muncul hak kewarisan. Najatullah
Siddiqi seperti dikutip oleh Abdul Qodir Djailani menyatakan bahwa
“ditinjau dari sudut ekonomi, pembagian harta warisan berfungsi sebagai
pendistribusian harta kekayaan dari penumpukan pada diri seseorang”.
Kalau pada zakat terjadi sebagai pembagian kekayaan kepada generasi
sekarang maka pada harta warisan merupakan pembagian ebagia kekayaan
dari generasi yang pergi dengan generasi yang datang. 1
Mengingat pentingnya pewarisan maka perlu ada perangkat hukum
yang mengatur baik hukum adat, hukum agama maupun hukum positif,
karena dikhawatirkan melahirkan kompleksitas permasalahan yang lahir
dari adanya pewarisan. Secara sederhana hukum waris dipahami sebagai
ketentuan yang mengatur kekayaan seseorang setelah pemiliknya
meninggal dunia. Selain itu pengertian tersebut juga dapat diartikan
sebagai hukum yang mengaturharta kekayaan dalam lingkungan keluarga
karena wafatnya seseorang, maka sebagian pemindahan harta kekayaan
yang ditinggalkan oleh yang meninggal dan akibat dari pemindahan ini
bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara
mereka, maupunmereka dengan pihak ketiga. Harta warisan akan dibagi
1
Nova Lena, “Hukum Waris Adat Di Minangkabau Ditinjau Dari Kompilasi Hukum
Islam Dan Hukum Perdata,” Jurnal Mahasiswa Humanis, Vol.1.No.1.Januari 202, hlm. 34.

3
setelah pewaris meninggal dunia, harta warisan yang diberikan pewaris
kepada ahli waris terkadang tidak sama antara ahli waris yang satu dengan
ahli waris yang lain.
Adanya ketidaksamaan tersebuat itulah yang biasanya
menimbulkan perdebatan atau perselisihan antar anggota keluarga.
Berkaitan dengan pembahasan pewarisan di atas, di Indonesia dengan
banyaknya suku dan adat istiadat tentu perkara warisan memiliki corak
dan ragam dalam praktiknya. Mengingat suku lebih bersandar pada hukum
adat yang berlaku, meskipun mereka sendiri pemeluk agama tertentu yang
juga di dalam hukum warisan agama mengatur. Secara khusus agama
Islam, dengan tegas, jelas dan terperinci membahas pewarisan. Yang mana
pada tujuannya Agama Islam ingin memberikan keadilan bagi semua ahli
waris dan dalam upaya menghindari terjadinya konflik antar ahli waris.
Oleh karenanya, besaran bagian dalam Islam sudah ditentukan di
dalam al-Quran yang mana besarannya menurut hemat penulis yakni
berlandas pada siapa yang memiliki resiko dan tanggungan yang besar
dalam memangku kehidupan ekonomi. Maka tidak halya bagian anak laki-
laki lebih besar dari bagian anak perempuan, mengingat anak laki-laki
ebagi ia menikah akan menjadi penanggung seluruh keluarta. Sedangkan
ebagi biasanya akan ditanggung oleh suaminya.Tidak dapat disangkal,
keberadaan suku dan adat istiadat memiliki peranan penting di suatu
daerah dalam mengatur pewarisan, yang terkadang sulit pula bagi agama
untuk menjangkaunya, karena terkadang terdapat perbedaan-perbedaan
yang signifikan antara ketentuan adat yang berlaku dengan aturan agama
yang dianut.
Para ulama dalam mengkaji pembahasan tentang ashabul furud,
menggunakan dua metode, pertama, membahas setiap fard secara
terperinci, seperti menyebutkan bagian seperdua,kemudian menyebutkan
ahli waris yang mendapatkan. fikih mawaris mendapatkan seperempat dan
seterusnya, kedua, menyebutkan ashabul furud beserta uraian seputar
kondisi mereka satu persatu.contohnya ,menyebutkan suami adakalnya

4
mewarisi mewarisi setengah harta peninggalan dan ada kalanya mewarisi
seperempat harta peninggalan .2
Rincian ahli waris yang dikemukan oeh Ahmad Rofiq diatas, sama
dengan rincian ahli waris yang dikemukan dalam kitab-kitab dan buku-
buku fikih kewarisan terdahulu dan seperti yang dirumuskan oleh para
pakar hukum kewarisan Indonesia, diantaranya: Fatchur Rahman,
A.Hassan, H. Ahmad Azhar Basyir, H. MuhammadArief, A.Assaad
Yunus.Ahmad Rofiq memahami rumusan ahli waris pada pasal 174 ayat
(1) huruf a sama rumusan ahli waris yang dikemukakan oleh Ibn Rusyd
dalam Bukunya Bidayatul Al-Mujatahid. Adapun Pemahaman ahli waris
pada pasal174 ayat (1) huruf a. H. Idris Djakfar dan Taufik Yahya, berbeda
dengan pemahaman Ahmad Rofiq.Ahmad Rofiq memahami jumlah ahli
waris pada pasal 174 ayat (1) huruf dalam KompilasiHukum Islam (KHI),
sama dengan jumlah ahli waris dalam kitab-kitab dan buku-buku fiqih
terdahulu. Ahli waris saudarah dalam penjelasan-penjelasannya. Ibn
Rusyd dalam menjelaskan kedudukan dan bagian ahli waris saudara, sama
dengan ahli waris yang dikemukakan oleh para pakar hukum kewarisan,
yaitu tetap merinci saudara laki-laki menjadi saudara laki-laki
sekandung,seayah, dan seibu sehingga jumlahnya tetap menjadi
tiga.Anaksaudara laki-laki tetap dirinci sekandung dan seayah sehingga
jumlahnya tetap menjadi dua. Paman tetap dirinci menjadi sekandung dan
seayah sehinggajumlahnyatetapmenjadi dua. Saudarah perempuan tetap
dirinci menjadi perempuansekandung,seayah,dan seibu sehingga
jumlahnya tetap menjadi tiga. Nenek tetap dirinci menjadi nenekgaris
ayah dan nenek garis ibu sehingga jumlahnya tetap menjadi duaMelihat
rumusan ahli waris yang dikemukakan Ibnu Rusyd, dan memperhatikan
uraian tentang kedudukan dan bagian ahli waris jika dikompromikan
rincian ahli waris yang diatur dalam pasal174 ayat (1) .

B. Tingkatan Ahli Waris

2
Muhibbussary. Fikih Mawaris, (Medan: Cv .Pusdikra Mitra Jaya, 2020), hlm.21

5
Adapun tingkatan ahli waris serta hukum dalam islam di atur secara
tegas dan gambling melalui sumber hukum utama yaitu al qur,an dan
hadist meskipun demikian tidak menutup kemungkinan adanya cara
pembagian jumlah bagian, siapa yang berhak menerimanya sesuai dengan
pandanga tradisi dan kearifan local .karena itu penerapan hukum waris
islam selalu memunculkan wacana baru yang berkelanjutan dikalangan
para pemikir hukum islam ,sehingga membutuhkan hukum islam dalam
ajaran yang bersifat normatife,perlu kita ketahui perbedaan syarat ahli
waris dalam hukum islam dan KHU perdata sebagai berikut .3
Syarat Ahli Waris Pengganti Dalam Hukum Islam Berdasarkan
pada pembahasan mengenai penggantian tempat dalam kewarisan islam,
maka dapat disimpulkan bahwa hal tersebut dapat terjadi apabila terdapat
hal-hal berikut :
1. Harta warisan si mati pertama atau meninggal di dunia lebih awal
belum dibagikan kepada setiap ahli warisan
2. Terdapat lebih daripada satu kematian yang melibatkan ahli waris bagi
si mati pertama. Keadaan kematian ini dapat terjadi pada berbagai
tingkatan ahli waris baik pada ahli waris generasi pertama, kedua,
ketiga maupun pada tingkatan selanjutnya.
3. Berlakunya pemindahan bagian harta warisan antara ahli waris dari si
mati pertama dengan ahli waris si mati kedua. D.Penentuan bagian-
bagian yang baru kepada ahli waris akhir bagi setiap kematian.

Meninggalnya pewaris merupakan syarat utama terjadinya proses


waris mewaris, ebagia meninggal dikarenakan mati haqiqi (sejati), mati
hukmy (menurut putusan hakim), maupun mati taqdiry ( menurut
dugaaan). Seseorang tidak mungkin dibagi harta warisnya sebelum
kematiannya diketahui secara pasti atau bahkan sebelum hakim
memutuskan bhawa oran tersebut telah meninggal, seperti terhadap orang
hilang yang tidak diketahui hidupatau matinya.

3
Maimun Nawawi, Hukum Kewarisan Islam, (Surabaya: Pustaka Raja, 2016), hlm. 2

6
Adapun firman Allah menjelaskan tentang ahli waris

‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
‫ي ِمنْ ت َْحتِ َها ااْل َ ْن ٰه ُر‬ ٍ ّ‫س ْولَ ٗه يُ ْد ِخ ْلهُ َج ٰن‬
ْ ‫ت ت َْج ِر‬ ُ ‫تِ ْل َك ُحد ُْو ُد ِ ۗ َو َمنْ ُّي ِط ِع َ َو َر‬
‫ٰخلِ ِديْنَ فِ ْي َها ۗ َو ٰذلِ َك ا ْلفَ ْو ُز ا ْل َع ِظ ْي ُم‬

Artinya :( hukum -hukum tersebut ) itu adalah ketentuan -ketentuan dari


allah ,barang siapa taat kepada Allah dan rasul-Nya ,niscaya allah
memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir didalamnya sungai -
sungai sedang mereka kekal di dalamnya ,dan itulah kemenangan besar
(Qs An-Nisa :13)
Fungsi hukum dalam pembangunan tidak sekedar sebagai alat
pengendalian sosial (soial control), tetapi lebih dari itu, yakni melakukan
upaya untuk menggerakkan masyarakatagar berperilakusesuai dengan
cara-cara baru untuk mencapai suatu keadaan masyarakatsebagaimana
yang dicita-citakan. Dngan demikian, fungsi hukum untuk menata
perubahan disini muncul teori Roscoe Pound tentang Law as a tool of
socia engineering,7 yakni hukumsebagai sarana pembaruan masyarakat,
berarti hukum digunakan untuk mengarahkanmasyarakat pad pola-pola
tertentu sesuai dengan yang dikehendaki, juga berarti mengubahatau
bahkan menghapus kebiasaan-kebiasaan yang terdahulu yang tidak sesuai
ldengan perkembangan zaman.

Mengingat pentingnya pewarisan maka perlu ada perangkat hukum


yang mengatur baik hukum adat, hukum agama maupun hukum positif,
karena dikhawatirkan melahirkan kompleksitas permasalahan yang lahir
dari adanya pewarisan. Secara sederhana hukum waris dipahami sebagai
ketentuan yang mengatur kekayaan seseorang setelah pemiliknya
meninggal dunia. Selain itu pengertian tersebut juga dapat diartikan
sebagai hukum yang mengatur harta kekayaan dalam lingkungan keluarga
karena wafatnya seseorang, maka ebagian pemindahan harta kekayaan
yang ditinggalkan oleh yang meninggal dan akibat dari pemindahan ini
bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara
mereka, maupun mereka dengan pihak ketiga. Harta warisan akan dibagi
setelah pewaris meninggal dunia, harta warisan yang diberikan pewaris

7
kepada ahli waris terkadang tidak sama antara ahli waris yang satu dengan
ahli waris yang lain. Adanya ketidaksamaan tersebuat itulah yang biasanya
menimbulkan perdebatan atau perselisihan antar anggota keluarga.

Adapun hak- hak ahli waris dalam hukum islam pada dasarnya di
nyatakan dalam jumlah atau bagian tertentu dengan angka yang pasti
angka pasto tersebut di nyatakan dalam Al-Quran . Pemberian Wasiat
Wajibah menurut Muhammad Rinaldi beragama Islam. Dapat dikatakan
seorang itu berkedudukan sebagai ahli waris ia harus memenuhi syarat
yang ada pada Pasal 171 huruf c KHI yang memiliki hubungan darah atau
perkawinan serta harus beragama Islam. Lantas bagaimana jika seorang
yang beragama bukan Islam apakah kedudukannya sama seperti ahli waris
non Islam.Menurut pendapat ulama mutaakhkhirin, wasiat wajibah
ditujukan pada kerabat dekat atau yang memiliki hubungan nasab, tetapi
tidak mendapatkan hak waris bukan terhadap anak angkat sebagaimana
yang disampaikan dalam teori hukum yang dikemukakan oleh Wahbah al-
Zuhayli bahwa wasiat kepada kerabat itu adalah disunnahkan menurut
jumhur ulama Seiring berkembangnya waktu, kasus-kasus yang terjadi
dalam hukum kewarisan beda agama semakin marak. Salah satu faktor
penyebabnya adalah ketidak setujuan ahli waris (non muslim) terhadap
pembagian harta yang dinilai tidak adil. Atas pertimbangan kasus inilah,
maka Pengadilan Agama bahkan Mahkamah Agung terdorong
mengeluarkan putusan-putusan baru dalam hukum kewarisan beda
agama.Ada beberapa pertimbangan hukum yang dijadikan dasar oleh
MahkamahAgung khususnya ebagi misalnya menetapkan yurisprudensi
Mahkamah AgungNomor 51.K/AG/1999, yang memberikan hak ahli waris
kepada ahli waris nonmuslim dengan wasiat wajibah, serta relevansi
wasiat wajibah terhadap realisasikontemporer, juga mengacu kepada
pertimbangan legalitas dan moral. Hampirsemua putusan Pengadilan
Agama terkait dengan ahli waris beda agama dengan memberikan wasiat
wajibah untuk memenuhi rasa keadilan sebenarnya tepat karena tujuan
dimasukkannya suatu perkara ke dalam pengadilan, yaitu untuk memenuhi

8
rasa keadilan itu sendiri, yang dikarenakan dalam pengadilan, seorang
hakim dapat melakukan penemuan hukum dan tidak terfokus hanya pada
undang-undang.

C. Hak Ahli Waris


berlainan agama tersebut4. menerima hak pemelikan harta(tirkah)
peninggalan pewaris. Pada diri pewaris seperti telah diuraikan, harus
didasari oleh adanya kematian. Sedangkan pada diri ahli waris sebaliknya
yaitu benar-benarhidupdisaatkematian pewaris.Pasal 171 huruf
dirumuskan sebagai berikut :Ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukumuntukmenjadiahliwaris.Pasal 171 huruf c dijelaskan pada kalimat
“orang yang pada saat meninggal dunia”,kalimat ini jelas memberikan
pemahaman bahwa kematian harus terjadi padadiripewaris. Sedangkan
benar-benar hidupnya ahli waris disaat kematian pewaris, secarabtersurat
tidak dapat dipahami pada pasal 171 huruf tersebut. Yang dapat dipahami
segera secara tersurat tersebut pada pasal 171 huruf cterebut, adalah sebab-
sebab dan syarat-syaratwaris-mewarisi. Kejelasan hidupnya seseorang
disebut ahli waris dapat dipahami secara terbaik dari kriteria seseorang
dikatakan pewaris. Seperti disebutkan dalam uraian dibawahiniseseorang
dikatakan pewaris apabila meninggal atau dinyatakan meninggal
berdasarkanpemahaman secara terbalik bahwa selain yang mati adalah
termasuk ahli waris.Untuk jelasnya kriteria ahli waris ini, penulis
menyarankan kepada phak-pihak pembuat kebijakan hidupnya seseorang
bisa dikatakan seorang ahl waris. Sebab tanpa rumusan yang jelas tentang
kriteria yang dimaksud, ada kemungkinan orang sudah meninggal dunia,
yang mempunyai sebab-sebab yang memenuhi syarat waris-mewarisi,
seperti dirumuskan pada pasal 171 huruf keluarganya keeeratab dan
menuntut hak orang yang telah meninggal dunia lebih awal dari pada
4
Ade Kurniawan Akbar, “Wasiat Terhadap Harta Peninggalan Untuk Anak Angkat Di
Pandang Dari Hukum Islam,”,Al Imran:Jurnal Pemerintah Politik Islam, Vol. 3, No.2, (2018),
Hlm. 169.

9
calon pewaris dengan alasan mempunyai sebab dan memenuhi syarat
seperti dirumuskan pada pasal 171 huruf Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Fatchurrahman menjelaskan “para ahli waris yang benar-benar hidup
disaatkematian muwarris, baik mati haqiqy, mati hukmy maupun mati
tadiry, berhak mewarisi hartapeninggalannya”.Kriteria ahli waris yang
dijelaskan oleh Fatchurrahman, benar-bbenar harus hidup disaat kematian
pewaris. Berbeda dengan rumusan pasal 171 huruf Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang hanya menjelaskan kriteria ahli waris dilihat dari segi
hubungan mewarisi (ssebab-sebab waris). Oleh karena itu untuk jelasnya
kriteria ahli waris, sehingga tidak ada atau terjadi kemungkinan seperti
dijelaskan dalam uraian ini, maka Apabila dianalisa rumusan ahli waris
pada pasal 174 ayat (1) huruf a dengan membandingkan rumusan ahli
waris dalam kitab-kitab fikih kewarisan terdahulu, terdapat perbedaan
yang sangat menonjol. Dilihat dari segi jumlah, ahli waris secara
keseluruhan dalam kitab-kitab fikih terdahulu adalah sebanyak 25 orang 9
sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya 11 orang. Perbedaan
jumlah ahli waris tersebut terletak pada perincian ahli waris dilihat dari
garis keturunan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak membedakan garis
keturunan dari kakek dan nenek dari pihak ayah dan pihak ibu, dan tidak
membedakan garis keturunan dari kedua belah pihak (sekandung), sepihak
(seayahatau seibu). Sedangkan fikih kewarisan terdahulu membedakan
ahli waris dengan melihat garis keturunan. Rumusan ahli waris dalam
pasal 174 ayat (1) huruf a Kompilasi Hukum Islam (KHI),mempunyai
kelemahan yang dapat menimbulkan berbagai macam penafsiran dilihat
darisegi jumlah dan garis keturunan. H. Idris Djafar dan Taifik Yahya
dalam bukunya Kompilasi Hukum Kewarisan Islam memahami ahli waris
pada pasal 174ayat (1) huruf a adalah sebanyak 39 orang terdiri dari 21
orang laki-laki dan 18 orang perepuan.5

5
Nurul Adilah, “Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum
Islam”, Al Anwal :Jurnal Of Islamic Economic Law 5,No 1 (2020), Hlm. 27

10
Hukum islam meliputi seluruh bagian kehidupan manusia di dunia,
baik untuk mewujudkan kebahagiaan di atas dunia ini ,maupun untu
mencari kebahagiaan di akhir kelak. Diantara hukum tersebut ada yang
tidak mengandung sanksi yang yang ada hanya tuntunan untuk patuh,
sebagian yang lain justru mengandung sanksi yang di rasakan di dunia ini
layaknya layaknya mengandung sanksi umum, namun ada pula sanksi
yang tidak di rasakan oleh manusia.
Segi kehidupan manusia tidak terlepas dari kodrat kejadiannya
sebagai manusia perle kita ketahui bahwa kewarisan islam mengatur
peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih
hidup.Aturan tentang peralihan harta di sebut dengan sebagai nama. Dalam
literatur hukum islam ditemui beberapa istilah untu menamakan hukum
kewarisan islam seperti faraid, fikih mawaris, dan hukum ahli waris
perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan dalam arah yang
di jadikan titik utama dalam pembahsan ,kata yang lazim di pakei adalah
faraid kata ini digunakan oleh an- Nawawi dalam kitab fikih minhaz at-
thali bin oleh al-mahally dalam komentarnya tas nama matan minhaj
disebutkan alas an penggunaan kata tersebut .6

6
Prof.Dr .Amir Syarifuddin .Hukum Kewarisan Islam (Jakarta :Perpustakaan
Nasional 2011)Hal.2

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ahli waris merupakan salah satu syarat yang seseorang dikatakan


pewaris. Hal ini sangat logis, karena proses waris-mewarisi dapat
terjadi apabila ada yang menerima warisan. Kompilasi Hukum Islam
(KHI) merumuskan pengaturan pelaksanaan tiga persoalan pokok
dalam keperdataan Islam yang berkaitan dengan kondisi sosial yang
sangat mendesak, yaitu perkawinan, kewarisan dan perwakafan.

Salah satu ihwal yang terjadi akibat adanya perkawinan adalah


munculnya harta warisan yang terjadi apabila pemiliknya telah
meninggal dunia maka dengan sendirinya akan muncul hak kewarisan.
Najatullah Siddiqi seperti dikutip oleh Abdul Qodir Djailani
menyatakan bahwa “ditinjau dari sudut ekonomi, pembagian harta
warisan berfungsi sebagai pendistribusian harta kekayaan dari
penumpukan pada diri seseorang”. Kalau pada zakat terjadi ebagia
pembagian kekayaan kepada generasi sekarang maka pada harta
warisan merupakan pembagian ebagia kekayaan dari generasi yang
pergi dengan generasi yang datang

B. Saran

Kami berterima kasih yang sebesar-besarnya atas perhatian semua


para audiance yang sudah menyempatkan waktunya untuk membeca
makalah ini. Biar bagaimapun masih ada beberapa kesalahan yang
perlu untuk perbaikan. Maka sekiranya para pembaca memberikan
kami sara sebagai bahan perbaikan demi kesempurnaan makalah kami
ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Ade Kurniawan. Wasiat Terhadap Harta Peninggalan Untuk Anak


Angkat Di Pandang Dari Hukum Islam ,Al Imran:Jurnal Pemerintah
Politik Islam.Vol. 3. No. 2. 2018.

Adilah, Nurul. Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan Menurut


Hukum Islam Al Anwal :Jurnal Of Islamic Economic Law 5,No 1
(2020)

Muhibbussary. Fikih Mawaris. Medan: Cv. Pusdikra Mitra Jaya. 2020.


Nawawi, Maimun. Hukum Kewarisan Islam. Surabaya: Pustaka Raja. 2016.

Nova, Lena. “Hukum Waris Adat Di Minangkabau Ditinjau Dari Kompilasi


Hukum Islam Dan Hukum Perdata.” Jurnal Mahasiswa Humanis Vol.1
.No.1 .Januari 2021.

Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Perpustakaan


Nasional 2011

13

Anda mungkin juga menyukai