Disusun oleh :
2
KATA PENGANTAR
Kelompok 5
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
A. Latar Belakang.............................................................................................
B. Rumusan Masalah........................................................................................
C. Tujuan Penulis .............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................
A. Kesimpulan..................................................................................................1
B. Saran............................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................1
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mengatur pembagian warisan secara adil lewat aturan-aturan
yang ada dalam Al-Qur’an. Ahli waris adalah orang-orang yang akan
menerima hak pemilikan harta (tirkah) peninggalan pewaris. Ahli waris
merupakan salah satu syarat yang seseorang dikatakan pewaris. Hal ini
sangat logis, karena proses waris-mewarisi dapat terjadi apabila ada yang
menerima warisan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) merumuskan
pengaturan pelaksanaan tiga persoalan pokok dalam keperdataan Islam
yang berkaitan dengan kondisi sosial yang sangat mendesak, yaitu
perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Adapun Hukum waris dalam Islam bersumber pada tiga sumber
utama yaitu Al-Quran, Sunnah, dan Ijtihad. Sesuai isi surat An-Nisa, umat
Islam diwajibkan melaksanakan hukum waris Islam. Hukum kewarisan
Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang sudahmeninggal
kepada yang masih hidup. Menurut Amir Syarifuddin, hukum kewarisan
Islam adalah seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan
Sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari
yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini
berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam. Dalam pasal 171
Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) huruf a memberikan
pengertian hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa
bagiannya masing-masing.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Definisi Ahli Waris?
2. Bagaimanakah Tingkatan Ahli Waris?
3. Apa Sajakah Hak Ahli Waris?
1
C. Tujuan Penulisan
1. Dapat Menjelaskan Definisi Ahli Waris
2. Mengetahui Tingkatan Ahli Waris
3. Mengetahui Hak Ahli Waris
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
setelah pewaris meninggal dunia, harta warisan yang diberikan pewaris
kepada ahli waris terkadang tidak sama antara ahli waris yang satu dengan
ahli waris yang lain.
Adanya ketidaksamaan tersebuat itulah yang biasanya
menimbulkan perdebatan atau perselisihan antar anggota keluarga.
Berkaitan dengan pembahasan pewarisan di atas, di Indonesia dengan
banyaknya suku dan adat istiadat tentu perkara warisan memiliki corak
dan ragam dalam praktiknya. Mengingat suku lebih bersandar pada hukum
adat yang berlaku, meskipun mereka sendiri pemeluk agama tertentu yang
juga di dalam hukum warisan agama mengatur. Secara khusus agama
Islam, dengan tegas, jelas dan terperinci membahas pewarisan. Yang mana
pada tujuannya Agama Islam ingin memberikan keadilan bagi semua ahli
waris dan dalam upaya menghindari terjadinya konflik antar ahli waris.
Oleh karenanya, besaran bagian dalam Islam sudah ditentukan di
dalam al-Quran yang mana besarannya menurut hemat penulis yakni
berlandas pada siapa yang memiliki resiko dan tanggungan yang besar
dalam memangku kehidupan ekonomi. Maka tidak halya bagian anak laki-
laki lebih besar dari bagian anak perempuan, mengingat anak laki-laki
ebagi ia menikah akan menjadi penanggung seluruh keluarta. Sedangkan
ebagi biasanya akan ditanggung oleh suaminya.Tidak dapat disangkal,
keberadaan suku dan adat istiadat memiliki peranan penting di suatu
daerah dalam mengatur pewarisan, yang terkadang sulit pula bagi agama
untuk menjangkaunya, karena terkadang terdapat perbedaan-perbedaan
yang signifikan antara ketentuan adat yang berlaku dengan aturan agama
yang dianut.
Para ulama dalam mengkaji pembahasan tentang ashabul furud,
menggunakan dua metode, pertama, membahas setiap fard secara
terperinci, seperti menyebutkan bagian seperdua,kemudian menyebutkan
ahli waris yang mendapatkan. fikih mawaris mendapatkan seperempat dan
seterusnya, kedua, menyebutkan ashabul furud beserta uraian seputar
kondisi mereka satu persatu.contohnya ,menyebutkan suami adakalnya
4
mewarisi mewarisi setengah harta peninggalan dan ada kalanya mewarisi
seperempat harta peninggalan .2
Rincian ahli waris yang dikemukan oeh Ahmad Rofiq diatas, sama
dengan rincian ahli waris yang dikemukan dalam kitab-kitab dan buku-
buku fikih kewarisan terdahulu dan seperti yang dirumuskan oleh para
pakar hukum kewarisan Indonesia, diantaranya: Fatchur Rahman,
A.Hassan, H. Ahmad Azhar Basyir, H. MuhammadArief, A.Assaad
Yunus.Ahmad Rofiq memahami rumusan ahli waris pada pasal 174 ayat
(1) huruf a sama rumusan ahli waris yang dikemukakan oleh Ibn Rusyd
dalam Bukunya Bidayatul Al-Mujatahid. Adapun Pemahaman ahli waris
pada pasal174 ayat (1) huruf a. H. Idris Djakfar dan Taufik Yahya, berbeda
dengan pemahaman Ahmad Rofiq.Ahmad Rofiq memahami jumlah ahli
waris pada pasal 174 ayat (1) huruf dalam KompilasiHukum Islam (KHI),
sama dengan jumlah ahli waris dalam kitab-kitab dan buku-buku fiqih
terdahulu. Ahli waris saudarah dalam penjelasan-penjelasannya. Ibn
Rusyd dalam menjelaskan kedudukan dan bagian ahli waris saudara, sama
dengan ahli waris yang dikemukakan oleh para pakar hukum kewarisan,
yaitu tetap merinci saudara laki-laki menjadi saudara laki-laki
sekandung,seayah, dan seibu sehingga jumlahnya tetap menjadi
tiga.Anaksaudara laki-laki tetap dirinci sekandung dan seayah sehingga
jumlahnya tetap menjadi dua. Paman tetap dirinci menjadi sekandung dan
seayah sehinggajumlahnyatetapmenjadi dua. Saudarah perempuan tetap
dirinci menjadi perempuansekandung,seayah,dan seibu sehingga
jumlahnya tetap menjadi tiga. Nenek tetap dirinci menjadi nenekgaris
ayah dan nenek garis ibu sehingga jumlahnya tetap menjadi duaMelihat
rumusan ahli waris yang dikemukakan Ibnu Rusyd, dan memperhatikan
uraian tentang kedudukan dan bagian ahli waris jika dikompromikan
rincian ahli waris yang diatur dalam pasal174 ayat (1) .
2
Muhibbussary. Fikih Mawaris, (Medan: Cv .Pusdikra Mitra Jaya, 2020), hlm.21
5
Adapun tingkatan ahli waris serta hukum dalam islam di atur secara
tegas dan gambling melalui sumber hukum utama yaitu al qur,an dan
hadist meskipun demikian tidak menutup kemungkinan adanya cara
pembagian jumlah bagian, siapa yang berhak menerimanya sesuai dengan
pandanga tradisi dan kearifan local .karena itu penerapan hukum waris
islam selalu memunculkan wacana baru yang berkelanjutan dikalangan
para pemikir hukum islam ,sehingga membutuhkan hukum islam dalam
ajaran yang bersifat normatife,perlu kita ketahui perbedaan syarat ahli
waris dalam hukum islam dan KHU perdata sebagai berikut .3
Syarat Ahli Waris Pengganti Dalam Hukum Islam Berdasarkan
pada pembahasan mengenai penggantian tempat dalam kewarisan islam,
maka dapat disimpulkan bahwa hal tersebut dapat terjadi apabila terdapat
hal-hal berikut :
1. Harta warisan si mati pertama atau meninggal di dunia lebih awal
belum dibagikan kepada setiap ahli warisan
2. Terdapat lebih daripada satu kematian yang melibatkan ahli waris bagi
si mati pertama. Keadaan kematian ini dapat terjadi pada berbagai
tingkatan ahli waris baik pada ahli waris generasi pertama, kedua,
ketiga maupun pada tingkatan selanjutnya.
3. Berlakunya pemindahan bagian harta warisan antara ahli waris dari si
mati pertama dengan ahli waris si mati kedua. D.Penentuan bagian-
bagian yang baru kepada ahli waris akhir bagi setiap kematian.
3
Maimun Nawawi, Hukum Kewarisan Islam, (Surabaya: Pustaka Raja, 2016), hlm. 2
6
Adapun firman Allah menjelaskan tentang ahli waris
هّٰللا هّٰللا
ي ِمنْ ت َْحتِ َها ااْل َ ْن ٰه ُر ٍ ّس ْولَ ٗه يُ ْد ِخ ْلهُ َج ٰن
ْ ت ت َْج ِر ُ تِ ْل َك ُحد ُْو ُد ِ ۗ َو َمنْ ُّي ِط ِع َ َو َر
ٰخلِ ِديْنَ فِ ْي َها ۗ َو ٰذلِ َك ا ْلفَ ْو ُز ا ْل َع ِظ ْي ُم
7
kepada ahli waris terkadang tidak sama antara ahli waris yang satu dengan
ahli waris yang lain. Adanya ketidaksamaan tersebuat itulah yang biasanya
menimbulkan perdebatan atau perselisihan antar anggota keluarga.
Adapun hak- hak ahli waris dalam hukum islam pada dasarnya di
nyatakan dalam jumlah atau bagian tertentu dengan angka yang pasti
angka pasto tersebut di nyatakan dalam Al-Quran . Pemberian Wasiat
Wajibah menurut Muhammad Rinaldi beragama Islam. Dapat dikatakan
seorang itu berkedudukan sebagai ahli waris ia harus memenuhi syarat
yang ada pada Pasal 171 huruf c KHI yang memiliki hubungan darah atau
perkawinan serta harus beragama Islam. Lantas bagaimana jika seorang
yang beragama bukan Islam apakah kedudukannya sama seperti ahli waris
non Islam.Menurut pendapat ulama mutaakhkhirin, wasiat wajibah
ditujukan pada kerabat dekat atau yang memiliki hubungan nasab, tetapi
tidak mendapatkan hak waris bukan terhadap anak angkat sebagaimana
yang disampaikan dalam teori hukum yang dikemukakan oleh Wahbah al-
Zuhayli bahwa wasiat kepada kerabat itu adalah disunnahkan menurut
jumhur ulama Seiring berkembangnya waktu, kasus-kasus yang terjadi
dalam hukum kewarisan beda agama semakin marak. Salah satu faktor
penyebabnya adalah ketidak setujuan ahli waris (non muslim) terhadap
pembagian harta yang dinilai tidak adil. Atas pertimbangan kasus inilah,
maka Pengadilan Agama bahkan Mahkamah Agung terdorong
mengeluarkan putusan-putusan baru dalam hukum kewarisan beda
agama.Ada beberapa pertimbangan hukum yang dijadikan dasar oleh
MahkamahAgung khususnya ebagi misalnya menetapkan yurisprudensi
Mahkamah AgungNomor 51.K/AG/1999, yang memberikan hak ahli waris
kepada ahli waris nonmuslim dengan wasiat wajibah, serta relevansi
wasiat wajibah terhadap realisasikontemporer, juga mengacu kepada
pertimbangan legalitas dan moral. Hampirsemua putusan Pengadilan
Agama terkait dengan ahli waris beda agama dengan memberikan wasiat
wajibah untuk memenuhi rasa keadilan sebenarnya tepat karena tujuan
dimasukkannya suatu perkara ke dalam pengadilan, yaitu untuk memenuhi
8
rasa keadilan itu sendiri, yang dikarenakan dalam pengadilan, seorang
hakim dapat melakukan penemuan hukum dan tidak terfokus hanya pada
undang-undang.
9
calon pewaris dengan alasan mempunyai sebab dan memenuhi syarat
seperti dirumuskan pada pasal 171 huruf Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Fatchurrahman menjelaskan “para ahli waris yang benar-benar hidup
disaatkematian muwarris, baik mati haqiqy, mati hukmy maupun mati
tadiry, berhak mewarisi hartapeninggalannya”.Kriteria ahli waris yang
dijelaskan oleh Fatchurrahman, benar-bbenar harus hidup disaat kematian
pewaris. Berbeda dengan rumusan pasal 171 huruf Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang hanya menjelaskan kriteria ahli waris dilihat dari segi
hubungan mewarisi (ssebab-sebab waris). Oleh karena itu untuk jelasnya
kriteria ahli waris, sehingga tidak ada atau terjadi kemungkinan seperti
dijelaskan dalam uraian ini, maka Apabila dianalisa rumusan ahli waris
pada pasal 174 ayat (1) huruf a dengan membandingkan rumusan ahli
waris dalam kitab-kitab fikih kewarisan terdahulu, terdapat perbedaan
yang sangat menonjol. Dilihat dari segi jumlah, ahli waris secara
keseluruhan dalam kitab-kitab fikih terdahulu adalah sebanyak 25 orang 9
sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya 11 orang. Perbedaan
jumlah ahli waris tersebut terletak pada perincian ahli waris dilihat dari
garis keturunan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak membedakan garis
keturunan dari kakek dan nenek dari pihak ayah dan pihak ibu, dan tidak
membedakan garis keturunan dari kedua belah pihak (sekandung), sepihak
(seayahatau seibu). Sedangkan fikih kewarisan terdahulu membedakan
ahli waris dengan melihat garis keturunan. Rumusan ahli waris dalam
pasal 174 ayat (1) huruf a Kompilasi Hukum Islam (KHI),mempunyai
kelemahan yang dapat menimbulkan berbagai macam penafsiran dilihat
darisegi jumlah dan garis keturunan. H. Idris Djafar dan Taifik Yahya
dalam bukunya Kompilasi Hukum Kewarisan Islam memahami ahli waris
pada pasal 174ayat (1) huruf a adalah sebanyak 39 orang terdiri dari 21
orang laki-laki dan 18 orang perepuan.5
5
Nurul Adilah, “Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum
Islam”, Al Anwal :Jurnal Of Islamic Economic Law 5,No 1 (2020), Hlm. 27
10
Hukum islam meliputi seluruh bagian kehidupan manusia di dunia,
baik untuk mewujudkan kebahagiaan di atas dunia ini ,maupun untu
mencari kebahagiaan di akhir kelak. Diantara hukum tersebut ada yang
tidak mengandung sanksi yang yang ada hanya tuntunan untuk patuh,
sebagian yang lain justru mengandung sanksi yang di rasakan di dunia ini
layaknya layaknya mengandung sanksi umum, namun ada pula sanksi
yang tidak di rasakan oleh manusia.
Segi kehidupan manusia tidak terlepas dari kodrat kejadiannya
sebagai manusia perle kita ketahui bahwa kewarisan islam mengatur
peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih
hidup.Aturan tentang peralihan harta di sebut dengan sebagai nama. Dalam
literatur hukum islam ditemui beberapa istilah untu menamakan hukum
kewarisan islam seperti faraid, fikih mawaris, dan hukum ahli waris
perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan dalam arah yang
di jadikan titik utama dalam pembahsan ,kata yang lazim di pakei adalah
faraid kata ini digunakan oleh an- Nawawi dalam kitab fikih minhaz at-
thali bin oleh al-mahally dalam komentarnya tas nama matan minhaj
disebutkan alas an penggunaan kata tersebut .6
6
Prof.Dr .Amir Syarifuddin .Hukum Kewarisan Islam (Jakarta :Perpustakaan
Nasional 2011)Hal.2
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
13