Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENGERTIAN iDAN iSUMBER iHUKUM iKEWARISAN


iISLAM

Diajukan iuntuk imemenuhi isalah isatu itugas imata ikuliah iHukum iKewarisan
idi iIndonesia
Dosen ipengampu: iDrs. iH. iAziz iSholeh, iM.Ag.
i

Disusun ioleh:
Nanang iHidayat 1203040096
Muhamad iSalman iFarizky 1193040052
Yeni iAulia iChoirunnisa i 1203040130
Yulia iHanifa i 1193040090

PERBANDINGAN iMADZHAB iDAN iHUKUM


FAKULTAS iSYARIAH iDAN iHUKUM
UNIVERSITAS iISLAM iNEGERI iSUNAN iGUNUNG iDJATI
iBANDUNG
2021
KATA iPENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt. yang telah memberikan


kenikmatan yang diumpamakan apabila lautan ini dijadikan tinta dan ranting-
ranting pohon di dunia ini dijadikan sebuah pena niscaya tidak akan cukup untuk
menuliskan nikmat Allah swt. yang diberikan kepada kita, dan karna-Nya
Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pengertian
dan Sumber Hukum Kewarisan Islam” sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen pada mata kuliah Hukum Kewarisan di Indonesia. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Pengertian dan Sumber Hukum
Kewarisan di Indonesia bagi para pembaca dan bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs. H. Aziz Sholeh,
M.Ag. selaku dosen mata kuliah Hukum Kewarisan di Indonesia dan kepada semua
pihak yang membantu dalam proses penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari, makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
akan penulis terima untuk menyempurnakan makalah-makalah selanjutnya.

Bandung, 13 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i


DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
1.3 Tujuan ................................................................................................................. 2
BAB II................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 3
2.1 Pengertian Hukum Kewarisan Islam................................................................... 3
2.2 Sumber Hukum Kewarisan Islam ....................................................................... 4
BAB III ............................................................................................................................. 10
PENUTUP ........................................................................................................................ 10
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 10
3.2 Saran ................................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 11

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia berlaku 3 hukum waris yakni: hukum waris adat, hukum waris
perdata/BW dan hukum waris Islam. Meskipun masyarakat Indonesia diberi
kebebasan untuk memilih dan menundukkan diri kepada hukum waris apa yang
diinginkan, namun bagi orang Islam intinya dengan memilih hukum waris Islam
bila terjadi sengketa penyelesaian perkaranya di Pengadilan Agama, jika ingin
menyelesaikan perkara menggunakan hukum waris adat atau perdata/BW maka
penyelesaiannya di Pengadilan Negeri setempat, jika ingin melalui jalur
litigasi/Pengadilan. Jika ingin menyelesaikan dengan menggunakan jalur
nonlitigasi/di luar pengadilan maka jalur yang ditempuh adalah mediasi atau
negosiasi. Dalam pembahasan buku kali ini penulis memfokuskan untuk membahas
mengenai hukum waris Islam.
Masyarakat yang memiliki masalah hukum waris bisa mengutamakan jalur
nonlitigasi (mediasi atau negosiasi) sebelum gegabah mengajukan gugatan ke
pengadilan. Hal ini disebabkan hukum waris merupakan salah satu bagian dari
hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan dari bagian terkecil dari hukum
keluarga. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup manusia. Hal
ini disebabkan karena ada kehidupan pasti ada kematian. Pembahasan waris bisa
muncul dan ada karena adanya kematian, kalau tidak ada kematian maka hukum
waris tidak pernah ada. Jadi yang menjadi titik penting bagi hukum waris adalah
adanya kematian. Akibat dari kematian tersebut timbullah hak dan kewajiban
seseorang yang meninggal dunia maupun penyelesaian hak dan kewajiban sebagai
akibat dari kematian seseorang.
Untuk itulah ilmu hukum waris sangat dibutuhkan dan diperlukan oleh
masyarakat karena dalam kehidupan manusia selama di dunia mereka mencari
nafkah yang berupa harta dan memiliki hubungan dengan sesama manusia baik
diakibatkan karena hubungan darah maupun hubungan perkawinan. Untuk
menyelesaikan masalah-masalah hukum waris yang riil dihadapinya dan butuh
solusi dalam menyelesaikan masalahnya karena berkaitan dengan harta serta hak

1
dan kewajiban para pihak. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai
akibat meninggalnya sesorang diatur oleh hukum waris.
Sampai saat ini di Indonesia belum terbentuk hukum kewarisan secara
nasional yang dapat mengatur pewarisan secara nasional. Sehingga dalam hukum
kewarisan di Indonesia dapat menggunakan berbagai macam sistem pewarisan
antara lain: sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata, sistem kewarisan
menurut hukum adat dan sistem kewarisan menurut hukum Islam.11 Ketiga sistem
ini semua berlaku dikalangan masyarakat hukum di Indonesia. Terserah para pihak
untuk memilih hukum apa yang akan digunakan dalam pembagian harta warisan
yang dipandang cocok dan mencerminkan rasa keadilan.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam
dimungkinkan banyak dari anggota masyarakat yang mengunakan sistem hukum
Islam. Tetapi seiring dengan perkembangangan zaman yang ditandai dengan
kemajuan dan teknologi prinsip-prinsip dalam hukum Islam terus mengalami
kemajuan yang pesat dan selalu mengikuti perubahan zaman guna untuk
kemaslahatan umat di dunia.
Asas hukum dalam pewarisan Islam tidak memandang perbedaan antara laki-
laki dengan perempuan, semua ahli waris baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai hak yang sama sebagai ahli waris. Tetapi hanyalah perbandingannya
saja yang berbeda. Memang di dalam hukum waris Islam yang ditekankan adalah
keadilan yang berimbang, bukanlah keadilan yang sama rata sebagai sesama ahli
waris. Karena prinsip inilah yang sering menjadi polemik dan perdebatan yang
kadang kala menimbulkan persengketaan diantara para ahli waris.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari Hukum Kewarisan Islam?
2. Apa saja sumber Hukum Kewarisan Islam?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Hukum Kewarisan Islam
2. Untuk mengetahui sumber Hukum Kewarisan dalam Islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Kewarisan Islam


Waris atau Warisan berasal dari Bahasa Arab al-Mirats (‫)الميراث‬, bentuk
jamaknya al-mawarits (‫ )المواريث‬dan al-Waris (‫)الوارث‬, jamaknya al-waratsah
(‫)الورثة‬, berasal dari akar kata waritsa-yaritsu-wirtsan wa wartsan wa irtsan wa
irtsatan wa turaatsan wa miiraatsan yang menurut bahasa berarti

َ‫إ ْنتَقَ ََلَاِلَ ْي ِهََ َمالََف ََلنََبَ ْع ََدَ َوفَاتِ ِه‬


” Berpindahnya harta seseorang yang telah meninggal kepada orang lain”
Sedangkan Al-Mirats menurut Fukaha adalah harta ataupun hak yang ditinggalkan
mayat (muwarist) yang dengan sebab kematiannya manjadi hak penerima waris
yang telah ditetapkan syara.
Dalam kitab-kitab fiqih, kewarisan lebih sering disebut dengan faraid (‫)فرائض‬
jamak dari kata (‫ )فريضة‬yang berarti ketentuan. Adapun pengertian Ilmu Faraid
yaitu:

َ ‫قَ َوا ِعدََفِق ْهيَةََ َو ِح‬


ِ ََ‫سا ِبيَةََي ْع َرفََ ِب َهاَنَ ِص ْيبََك ِلََ َو ِارثََ ِم ْن‬
َ‫التر َك ِة‬

“Kaidah-kaidah fikih dan hitungan untuk mengetahui warisan setiap


penerima waris. Atau

َْ ‫ْلمََي ْع َرفََ ِب َِهَ َم ْنََيَ ِرثََ َو َم‬


َ‫نَ ََلَيَ ِرثََ َو ِم ْقدَارََك َِلَ َو ِارثََ َو َك ْي ِفيَةََالت َّ ْو ِز ْي ِع‬

“Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima warisan, orang yang
tidak dapat menerima warisan, kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara
pembagiannya.

Definisi tersebut memberi gambaran bahwa paling tidak ada tiga unsur yang
diketahui dengan ilmu Faraidh yaitu:

a. mengetahui ahli waris dan bukan ahli warist;


b. mengetahui bagian setiap penerima waris dan perhitungannya

3
c. untuk mengetahui hal ihwal yang berhubungan dengan penerima waris baik
sebagai pemilik bagian pasti, ‘ashabah ataupun dzawil arham serta mana
yang terhijab atau yang terlarang untuk menerima waris.
Definisi Hukum Kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam
Pasal 171 ayat 1: Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Adapun beberapa istilah tentang waris dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dalam Pasal 171 ayat 2, 3, 4, dan 5 yaitu:

a. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan
ahli waris dan harta peninggalan.
b. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
c. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang
berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
d. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,
biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat.
Hukum kewarisan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam ini, pada
dasarnya merupakan hukum kewarisan yang diangkat dari pendapat jumhur fuqaha
(termasuk Syafi’iyyah di dalamnya).
Dalam beberapa literatur hukum Islam, ditemui beberapa istilah untuk
menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqih mawaris, ilmu faraid, dan
hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan arah
yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.

2.2 Sumber Hukum Kewarisan Islam


Dasar dan sumber utama dari hukum islam sebagai hukum dalam agama
islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah nabi
yang secara langsung mengatur mengenai kewarisan tersebut antara lain sebagai
berikut:

4
A. Al-Qur’an

ِ ََ‫س ۤا ِءََنَ ِص ْيب‬


َََ‫َم َّماََت َ َرك‬ َ ‫لن‬ َ َ‫ََو ْالَ ْق َرب ْون‬
ِ ‫ََو ِل‬ َ ‫ََم َّماَت َ َركَََا ْل َوا ِل ٰد ِن‬
ِ ‫ِل ِلر َجا ِلََنَ ِص ْيب‬
‫ََم ْنهََا َ ْوََكَث َرََََنَ ِص ْيبًاََ َّم ْفر ْوضًا‬ ِ ‫ََو ْالَ ْق َرب ْو‬
ِ ‫نَََم َّماَقَ َّل‬ َ ‫ا ْل َوا ِل ٰد ِن‬

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan
kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua
orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan.”
Menurut ayat al-Qur’an tersebut, bahwa dalam islam baik laki-laki maupun
perempuan sama-sama mempunyai hak waris.
Adapun ayat yang menjelaskan tentang pembagian harta warisan:

َََّ‫نَفَلَهن‬ َ ‫س ۤا ًءََفَ ْو‬


َِ ‫قََاثْنَت َ ْي‬ َ ِ‫نََۚفَا ِْنََكنَََّن‬ ِ ‫ََّللاََفِ ْيََا َ ْو َلدِك ْمََ ِللذَّك َِر‬
ْ ‫ََمثْلََ َح ِظ‬
َِ ‫ََال ْنثَيَ ْي‬ ٰ ‫ي ْو ِص ْيكم‬
ُّ ‫ََم ْنه َماَال‬
ََ‫سدس‬ ِ ‫احد‬ َ ََ‫اح َدةًََفَلَ َهاَالنِصْف‬
َ ‫َو ِلَبَ َو ْي ِهََ ِلك ِل‬
ِ ‫ََو‬ ِ ‫تََْو‬ َ َََ‫ثلثَاَ َماَت َ َرك‬
َ َ‫َۚوا ِْنََكَان‬
َْ ‫ََو َو ِرثَهََاَبَ ٰوهََفَ َِل ِم ِهََالثُّلثََََۚفَا‬
ََ‫ِنَكَانَََلَه‬ َّ ‫ََولَد‬َ ‫ََولَدَََۚفَا ِْنََلَّ ْمََيَك ْنََلََّه‬
َ ‫ِم َّماَت َ َركَََا ِْنََكَانَََلَه‬
َ ‫ََوا َ ْبنَ ۤاؤك ۚ ْم‬
َََ‫ََلََتَدْر ْون‬ َ ‫ََو ِصيَّةََيُّ ْو ِص ْيََ ِب َهاََا َ ْوََ َد ْينََ َٰابَ ۤاؤك ْم‬ َ ‫ََم ْنََبَ ْع ِد‬
ِ ‫سدس‬ ُّ ‫ا ِْخ َوةََفَ َِل ِم ِهََال‬
َ‫ع ِل ْي ًماََ َح ِك ْي ًما‬
َ َََ‫َّللاَََكَان‬
ٰ َََّ‫َّللاََََاِن‬ ِ ً‫اَيُّه ْمََا َ ْق َربََلَك ْمََنَ ْفعًاَََفَ ِر ْيضَة‬
ِ ٰ َََ‫ََمَن‬
”Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk)
anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari
dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak
perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang
meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di
atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara

5
mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
Ayat ini menjelaskan ketentuan pembagian harta warisan yang dijelaskan
Allah secara rinci agar tidak diabaikan. Allah mensyariatkan, yakni mewajibkan,
kepada kamu tentang pembagian harta warisan untuk anak-anak kamu baik laki-
laki atau perempuan, dewasa atau kecil, yaitu bagian seorang anak laki-laki apabila
bersamanya ada anak perempuan dan tidak ada halangan yang ditetapkan agama
untuk memperoleh warisan, disebabkan karena membunuh pewaris atau berbeda
agama, maka ia berhak memperoleh harta warisan yang jumlahnya sama dengan
bagian dua orang anak perempuan, karena lakilaki mempunyai tanggung jawab
memberi nafkah bagi keluarga. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua dan tidak ada bersama keduanya seorang anak lelaki,
maka bagian mereka adalah dua pertiga dari harta warisan yang ditinggalkan ibu
atau ayahnya. Jika dia, anak perempuan, itu seorang diri saja dan tidak ada
bersamanya anak laki-laki, maka dia memperoleh harta warisan setengah dari harta
yang ditinggalkan orang tuanya. Demikianlah harta warisan yang diterima anak
apabila orang tua mereka meninggal dunia dan meninggalkan harta. Dan apabila
yang meninggal dunia adalah anak laki-laki atau perempuan, maka untuk kedua
ibu-bapak mendapat bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan
oleh sang anak. Jumlah itu menjadi hak bapak dan ibu, jika dia yang meninggal itu
mempunyai anak laki-laki atau perempuan. Akan tetapi, jika dia yang meninggal
itu tidak mempunyai anak laki-laki atau perempuan dan harta dia diwarisi oleh
kedua ibu-bapaknya saja, maka ibunya mendapat bagian warisan sepertiga dan
selebihnya untuk ayahnya. Jika dia yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara dua atau lebih, baik saudara seibu dan sebapak, maupun saudara seibu atau
sebapak saja, lelaki atau perempuan, dan yang meninggal tidak mempunyai anak,
maka ibunya mendapat bagian warisan seperenam dari harta waris yang
ditinggalkan, sedang ayahnya mendapat sisanya. Pembagian-pembagian tersebut di
atas dibagikan kepada ahli warisnya yang berhak mendapatkan setelah dipenuhi
wasiat yang dibuatnya sebelum meninggal dunia atau setelah dibayar utangnya.
Allah sengaja menentukan tentang pembagian harta warisan untuk orang tua dan
anak-anak kamu sedemikian rupa karena kamu tidak mengetahui hikmah di balik

6
ketentuan itu siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagi kamu dari
kedua orang tua dan anak-anak kalian. Ini adalah ketetapan yang turun langsung
dari Allah untuk ditaati dan diperhatikan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu, Mahabijaksana dalam segala ketetapan-ketetapan-Nya. Demikianlah
ketentuan pembagian harta warisan yang ditetapkan langsung oleh Allah agar tidak
terjadi perselisihan di antara ahli waris. Jika manusia yang membuat ketentuan,
niscaya terjadi kecurangan dan kezaliman. Allah Mahatahu hikmah di balik
ketetapan dan ketentuan itu.
Q.S An-Nisa: 176

َ‫ََولَهََا ْختََفَلَ َها‬ َّ ‫ََولَد‬ َ ‫سََلَه‬ َ ‫ََّللاََي ْفتِ ْيك َْمَفِىَا ْلك َٰللَ ِةََا ِِنََا ْمرؤاَ َهلَكَََلَ ْي‬
ٰ ‫ست َ ْفت ْونَكَََق ِل‬ ْ َ‫ي‬
ِ ‫َولَدَََۚفَا ِْنََكَانَتَاََاثْنَت َ ْي ِنََفَلَه َماََالثُّل ٰث ِن‬
ََ‫ََم َّما‬ َ َ‫َنَلَّ َها‬ َ َ‫نِصْفََ َماَت َ َر ۚك‬
َْ ‫ََوه َوََيَ ِرث َهاََا ِْنََلَّ ْمََيَك‬
ََ‫َّللاََلَك ْمََا َ ْن‬ ْ ‫ََمثْلََ َح ِظ‬
ٰ ََ‫ََال ْنثَيَ ْي ِنََيبَ ِين‬ ِ ‫س ۤا ًءََفَ ِللذَّك َِر‬ َّ ‫ََر َج ًال‬
َ ِ‫ََون‬ ِ ً‫ت َ َركَََ َوا ِْنََكَان ْواَا ِْخ َوة‬

َ‫ع ِل ْيم‬
َ ََ‫ّللاََبِك ِلََش َْيء‬
ٰ ‫َو‬َ َ‫ت َ ِضلُّ ْوا‬ ࣖ
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak
mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara
perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai
anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama
dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu,
agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

B. Hadits
• Hadits yang menerangkan bahwa masalah waris adalah masalah yang sangat
alami yaitu kepemindahan hak milik atas suatu benda atau harta dari orang yang
meninggal kepada keluarga atau keturunannya.

َ‫َنََت َ َركَََ َحقًّاََا َ َْوَ َمالًََفَه َوََ ِل َو َرثَتِ ِهََبَ ْع َدََ َم ْوتِ ِه‬
ْ ‫َم‬

7
“Barang siapa yang meninggalkan suatu hak atau suatu harta, maka hak atau harta
itu adalah untuk ahli warisnya setelah kematian”. (Al Bukhari IV, 1319 H : 52).
• Hadis yang menjelaskan bahwa, kewarisan sebagai bagian dari al maqoshid al
syari’ah, yakni hifzh al-mal merupakan masalah yang erat sekali dengan
kehidupan manusia. Selama manusia itu hidup pasti disibukkan masalah harta
benda, khususnya masalah waris, karena pada hakekatnya bahwa seluruh
manusia memiliki hak waris walaupun anak itu baru lahir.

ْ ‫إِذَاَا‬
َ ‫ست َ َه ََّلَا ْل َم ْول ْودََ َو َر‬
َ‫ث‬
“Apabila menangis anak yang baru lahir, maka ia dapat pusaka atau waris“. (Abu
Daud, Al Sajastani IV, tt : 32).
• Hadis yang menerangkan bahwa walaupun harta warisan itu merupakan
kepemindahan hak milik dari seseorang yang meninggal kepada keluarga yang
ditinggalkannya, akan tetapi apabila terdapat anggota keluarganya yang tidak
beragama Islam, maka ia tidak dapat menerima harta warisan tersebut.

َ‫سلَّ ََمَقَا َلََ ََل‬


َ ‫علَ ْي ِهََ َو‬ ََّ َ‫صلَّى‬
َ َ‫ّللا‬ ََّ ‫ََأَنَََّالنَّ ِب‬:ََ‫ع ْنه‬
َ َ‫ي‬ َ َ‫ّللا‬ ََ ‫سا َم َةََ ْب ِنََ َز ْيدََ َر ِض‬
ََّ َ‫ي‬ َ ‫َحدِيثََأ‬
ْ ‫س ِلمََا ْلكَافِ ََرَ َو ََلَيَ ِرثََا ْلكَافِرََا ْلم‬
َ‫س ِل َم‬ ْ ‫يَ ِرثََا ْلم‬
”Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid r.a ia berkata, Nabi SAW bersabda: Orang
Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi
harta orang Islam”. (HR. Muslim).
• Hadits yang menjelaskan apabila dalam pembagian harta waris terdapat sisa,
maka yang paling berhak mendapat sisa tersebut adalah keluarga laki-laki yang
paling dekat garis keturunannya dengan pewaris.

َ‫سلَّ ََم‬
َ ‫علَ ْي َِهَ َو‬ َّ َ‫صلَّى‬
َ ََ‫ّللا‬ ِ َّ ََ‫َقَا َلََ َرسول‬:ََ‫ع ْنه َماَقَا َل‬
َ ََ‫ّللا‬ َ َ‫ّللا‬
ََّ َ‫ي‬
ََ ‫عبَّاسََ َر ِض‬
َ َ‫ن‬
َِ ‫َحدِيثََا ْب‬
‫ضََ ِبأ َ ْه ِل َهاََفَ َماَبَ ِق َيََفَه ََوَ ِِل َ ْولَىَ َرجلََذَك ََر‬
َ ِ‫أ َ ْل ِحقواَا ْلفَ َرائ‬
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a ia berkata, Rasulullah SAW bersabda :
“Berikanlah harta waris itu kepada orang yang berhak menerimanya. Sekiranya
masih ada sisanya, berikanlah kepada lelaki yang paling dekat nasabnya dengan si
mati”. (HR Bukhari).
• Hadis yang menerangkan mengenai pembagian waris bagi ahli waris yang
perempuan, yaitu setengah Dario harta waris adalah bagi anak perempuan,

8
apabila dia satu-satunya anak perempuan, seperenam dari harta waris adalah
buat cucu perempuan dari anak laki-laki, kemudian sisanya bagi saudaranya
yang perempuan.

َ‫إل ْبنَ َِة‬


ِ ‫ََ ِل‬:ََ)‫يَ(َص‬ َُّ ‫يَ ِب ْنتََ َو ِب ْنتِا ْبنََ ََوَأ ْختََ_َفَقَضَىَالنَّ ِب‬ َْ ِ‫سع ْودََ_َف‬ ْ ‫نَ َم‬َِ ‫نَا ْب‬
َِ ‫ع‬
ََ
َ‫ت‬ َِ ‫َتَك ِْملَ َةََالثُّلث َ ْي‬,َ‫سدس‬
ِ ‫ََ َو َماَبَ ِق َيََفَ ِلأل ْخ‬,‫ن‬ ِ َ‫َ ََوَ ِل ْبنَ َِة‬,َ‫النِصْف‬
ُّ ‫اإل ْب ِنََال‬
Dari Ibnu Mas’ud, tentang anak perempuan dan cucu perempuan dan saudara
perempuan. Maka Nabi SAW telah memutuskan : Bagi anak perempuan separuh
dan bagi cucu perempuan seperenam sebagai penyempurna dua per tiga, dan yang
lebih itu bagi saudara perempuan. (HR. Bukhari)..

C. Ijma dan Ijtihad


Meskipun Al-Qur’an dan Al-Hadis| sudah memberikan ketentuan terperinci
mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya
ijtuhad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam al-Qur’an maupun al-
Hadis|. Misalnya, mengenai waris banci (waria), diberikan kepada siapa harta
warisan yang tidak habis terbagi, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan
ayah dan suami atau istri dan sebagainya
Para sahabat, tab’in, generasi pasca sahabat dan tabi’it tabi’in dan generasi
pasca tabi’in. Telah berijma atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraid dan tidak
ada yang dapat menyalahinya.19 Imam-imam mazhab yang berperan dalam
pemecahan-pemecahan masalah waris yang belum dijelaskan dalam nash-nash
shorih.

9
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Waris atau Warisan berasal dari Bahasa Arab al-Mirats (‫)الميراث‬, bentuk
jamaknya al-mawarits (‫ )المواريث‬dan al-Waris (‫)الوارث‬, jamaknya al-waratsah
(‫)الورثة‬, berasal dari akar kata waritsa-yaritsu-wirtsan wa wartsan wa irtsan wa
irtsatan wa turaatsan wa miiraatsan yang menurut bahasa berarti

َ‫إ ْنتَقَ ََلَاِلَ ْي ِهََ َمالََف ََلنََبَ ْع ََدَ َوفَاتِ ِه‬


” Berpindahnya harta seseorang yang telah meninggal kepada orang lain”
Sedangkan Al-Mirats menurut Fukaha adalah harta ataupun hak yang
ditinggalkan mayat (muwarist) yang dengan sebab kematiannya manjadi hak
penerima waris yang telah ditetapkan syara.
Sumber hukum kewarisan Islam ada 3 yaitu: al-Qur’an, Hadis Nabi, Ijma dan
Ijtihad para ulama

3.2 Saran
Penulis tentunya menyadari jika makalah tersebut masih terdapat banyak
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut
dengan berpedoman pada banyak sumber dan kritik yang membangun dari para
pembaca.

10
DAFTAR PUSTAKA
Siregar, F. A. (2014). Pembagian harta warisan berdasarkan kesepakatan menurut al-
Quran dan as-Sunnah. Fitrah: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Keislaman, 8(1), 117-134.
Roji, F., & Samsukadi, M. (2020). PEMBAGIAN WARIS DALAM PERSPEKTIF HADIS
NABI. Jurnal Mu’allim, 2(1), 42-56.
Mufti, A. M. (2016). Pembaharuan Hukum dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 7(1).
Maylissabet, M. (2019). Hukum waris dalam kompilasi hukum Islam perspektif filsafat
hukum. TERAJU: Jurnal Syariah Dan Hukum, 1(01), 9-20.
Somawinata, Y. (2009). Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di
Indonesia. Al Qalam, 26(1), 129-149.
Islam, A. H. K. BAB II KEWARISAN DI TINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT.

11

Anda mungkin juga menyukai