Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

HUKUM KEWARISAN ISLAM

DISUSUN OLEH:
RISKA AHFIA RULFI
201010047

DOSEN PENGAMPU:
MEILAN LESTARI,S.H.,M.H

HUKUM PERKAWINAN DAN KEWARISAN ISLAM

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kita semua sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “HUKUM KEWARISAN
ISLAM”.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dari ibu MEILAN LESTARI,S.H.,M.H pada mata kuliah HUKUM
PERKAWINAN DAN KEWARISAN ISLAM selain itu,makalah ini untuk
menambah wawasan mengenai HUKUM PERKAWINAN DAN KEWARISAN
ISLAM

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu saya
harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.

Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada ibu MEILAN


LESTARI,S.H.,M.H yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni . Semoga Allah SWT
senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.

Pekanbaru,30 mei 2023

i
KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG...........................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.......................................................................3
C. TUJUAN MAKALAH...........................................................................3
BAB 2 PEMBAHASAN.....................................................................................4
MATERI :HUKUM KEWARISAN ISLAM
1. PENGERTIAN..................................................................................4
2. SYARAT DAN RUKUN WARIS....................................................5
3. GOLONGAN AHLI WARIS............................................................6
4. BEBERAPA HAK YANG BERSANGKUTAN DENGAN HARTA
WARIS...............................................................................................8
5. BAGIAN-BAGIAN AHLI WARIS...................................................8
6. SEBAB-SEBAB TIDAK MENDAPATKAN WARIS....................11
7. TUJUAN MEMPELAJARI HUKUM KEWARISAN.....................12
8. AZAS-AZAS HUKUM KEWARISAN...........................................13
BAB 3 PENUTUP..............................................................................................16
A. KESIMPULAN.....................................................................................16
B. SARAN.................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah


Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum dari
HukumPerdata di Indonesia. Di Indonesia, mengenai hukum waris ini
belumterdapat kodifikasi. Hal ini berarti bahwa bagi berbagai golongan
pendudukIndonesia, masih berlaku hukum waris yang berbeda-beda1, seperti
HukumWaris Barat (Perdata), Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Adat.
DalamHukum Waris Barat, bagi merekayang tunduk pada Hukum Perdata,
berlakuketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Di dalam
KUHPer,hukum waris diatur bersama-sama dengan hukum benda.Sedangkan
dalam Hukum Waris Islam bagi mereka yang beragamaIslam , berlaku hukum
Islam. Hukum waris dalam hukum Islam ini diatur didalam Al- Qur’an dan
sebagai pelengkapnya dipakai Sunnah Nabi besertahasil-hasil ijtihad para ahli
hukum Islam. Hukum waris Islam ini juga diaturdalam Instruksi Presiden No. 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi HukumIslam (Pasal 171-214 KHI).Berbeda
halnya dengan Hukum Waris Adat dimana bagi orangIndonesia asli,
hukum waris merupakan bagian dari hukum adat. Sampaisaat sekarang ini,
hukum waris adat pada masing-masing daerah diIndonesia masih diatur
secara berbeda-beda. Misalnya, ada hukum warisadat Minangkabau, hukum
waris adat Batak, hukum waris adat Jawa,hukum waris adat Kalimantan,
dan sebagainya. Dengan demikian, dalampengaturan hukum waris di
Indonesia, masih terdapat beraneka ragamhukum yang mengaturnya.
Hukum kewarisan Islam merupakan satu dari sekian banyak hukum Islam
yang terpenting. Hukum warisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa saja
orang yang bisa mewarisi dan tidak bisa mewarisi dan tidak bisa mewarisi bagian-
bagian yang diterima setiap ahli waris dan cara- carapembagiannya. Dalam hukum
kewarisan Islam penerima harta warisan di dasarkan pada asas Ijbari, yaitu harta
warisan pindah dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT Tanpa
digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi Hukum Islam
yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok
materi hukum yaitu hukum kewarisan (70 pasal), hukum kewarisan termasuk
wasiat dan hibab (44 pasal) dan hukum perwakafan (14 pasal) , ditambah satu
pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut KHI
disusun melalui jalan yang sanagat panjang dan melelahkan kareana pengaruh
perubahan sosial politik terjadi di negeri ini pada masa ke masa.2

1
Akan tetapi dalam pelaksanannya hukum kewarisan Islam perlu
mendapatkan perhatian yang besar, karena dalam pembagaian warisan antara hak
waris yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Pembagian warisan sering
menimbulkan akibat- akibat yang tidak jarang menimbulkan perselisihan diatara
anggota keluarga yang berkepanjagan karena secara naluriah manusia sangat
mecintai harta yang dijelaskan dalam surat (QS. A l-Imran ayat 14).
Perubahan dan pembaharuan hukum waris Islam telah terjadi secara nyata
dalam sejarah pemikiran hukum Islam, untuk menyebut contoh apa yang terjadi
dalam perumusan hukum waris Islam di Indonesia dengan konsep ahli waris
pengganti telah merubah dan memperbarui hukum waris Islam di Indonesia.
Sejarah juga menunjukkan bahwa pada sepanjang sejarah hukum Islam
pemikiran hukum waris Islam tidaklah berhenti, walaupun ada yang beranggapan
bahwa pintu ijtihad telah tertutup namun sesungguhnya pemikiran hukum Islam
tetap dilakukan setidaknya oleh dua golongan penegak syariat Islam yaitu
qadi/hakim dan mufti.
Hakim melakukan pemikiran hukum Islam dengan jalan melaksanakan
hukum melalui putusan pengadilan, sedangkan mufti melalui fatwa-fatwa hukum.
Hakim sebagai penegak hukum mempunyai posisi sentral dalam penerapan
hukum. Hakim tidak hanya dituntut agar dapat berlaku adil tetapi ia juga harus
mampu menafsirkan undang-undang secara aktual sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat pencari
keadilan dengan tetap mempertimbangan aspek keadilan, kepastian hukum dan
nilai kemanfaatannya. Melalui putusan-putusannya seorang hakim tidak hannya
menerapkan hukum yang ada dalam teks undang-undang (hakim sebagai corong
undang-undang) tetapi sesugguhnya ia juga melakukan pembaharuan-
pembaharuan hukum ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang diajukan
kepadanya dan belum diatur dalam undang-undang ataupun telah ada aturan tetapi
dipandang tidak relevan dengan keadaan dan kondisi yang ada (hakim
menciptakan hukum baru/jadge made law).
Hakim di lingkungan peradilan agama di Indonesia sebagai salah satu
penegak hukum Islam ternyata juga telah melaksanakan fungsi menetapkan
putusan terhadap perkara-perkara yang diajukan kepadanya dengan terlebih
dahulu mengemukakan pertimbangan-pertimbangan hukum pada putusannya
tersebut. Dan melalui putusan tersebut tidak dapat disangkal bahwa ia telah turut
berperan dalam pemikiran hukum Islam terlebih lagi ketika putusannya tersebut
mengandung pembaharuan terhadap pemikiran hukum Islam.
Adanya perbedaan antara putusan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia
tentang bagian harta bagi ahli waris non muslim dan status ahli waris non muslim
dengan fiqh di atas, jelas menimbulkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana
dan mengapa putusan tersebut lahir, bukankah putusan tersebut tidak sejalan

2
dengan fiqih dan bahkan tidak sejalan dengan kompilasi hukum Islam yang juga
tidak memberikan bagian harta sedikitpun bagi ahli waris non muslim dan tidak
memberikan status ahli waris dari pewaris muslim bagi ahli waris non muslim
B.Rumusan Masalah
1. Pengertian
2. Syarat Dan Rukun Waris
3. Golongan Ahli Waris
4. Beberapa Hak Yang Bersangkutan Dengan Harta Waris
5. Bagian-Bagian Ahli Waris
6. Sebab-Sebab Tidak Mendapatkan Waris
7. Tujuan Mempelajari Hukum Kewarisan
8. Azas-Azas Hukum Kewarisan

C.Tujuan Makalah

1. Untuk Mengetahui Pengertian


2. Untuk Mengetahui Syarat Dan Rukun Waris
3. Untuk Mengetahui Golongan Ahli Waris
4. Untuk Mengetahui Beberapa Hak Yang Bersangkutan Dengan Harta Waris
5. Untuk Mengetahui Bagian-Bagian Ahli Waris
6. Untuk Mengetahui Sebab-Sebab Tidak Mendapatkan Waris
7. Untuk Mengetahui Tujuan Mempelajari Hukum Kewarisan
8. Untuk Mengetahui Azas-Azas Hukum Kewarisan

3
BAB II
PEMBAHASAN
1.Pengertian
Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang
berkaitan dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda.
Kata ‫ ورث‬adalah kata kewarisan pertama yang digunakan dalam al-Qur’an. Kata
waris dalam berbagai bentuk makna tersebut dapat kita temukan dalam al-Qur’an,
yang antara lain:
 Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS. an-Naml, 27:16).
 Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. az-
Zumar,39:74).
 Mengandung makna “mewarisi atau menerima warisan” (QS. al-Maryam,
19: 6).
Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai
hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli
waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli
waris yang berhak menerimanya. Sedangkan menurut para fuqoha, pengertian
ilmu waris adalah sebagai berikut:
‫علم يعرف به من يرث ومن ال يرث ومقداركل وارث وكيفية التوزيع‬
“Artinya: Ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan orang yang
mewaris, kadar yang diterima oleh ahli waris serta cara pembagiannya.”
Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan
dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Seperti
yang disampaikan oleh Wiryono Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah
dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajibankewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih
hidup. Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan
berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia
kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam
mewarisi.
Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan
dengan warisan, diantaranya adalah:
a.Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
b.Muwaris, adalah orang yang diwarisi harta bendanya (orang yang meninggal)
baik secara haqiqy maupun hukmy karena adanya penetapan pengadilan.

4
c.Al-Irsi, adalah harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris yang berhak
setelah diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan
wasiat.
d.Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.
e.Tirkah, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum
diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, menunaikan wasiat.
Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).

2.Syarat dan Rukun Waris

Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat
tersebut adalah:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya
dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
2. Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris
meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.

Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam,
yaitu :
1.Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal
dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3
macam:
a) Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan
oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat
bukti yang jelas dan nyata.

5
b) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu
kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya
beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis
muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan
muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah,
apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah
dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah
kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai
macam segi kemungkinannya.
c) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris)
berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang
dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam
keadaan mati, maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh
pemukulan terhadap ibunya.
2.Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan
kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau
perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada
saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benarbenar dalam keadaan
hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-
haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan
ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
3.Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya
perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.

3.Golongan Ahli Waris

Orang-orang yang berhak menerima harta waris dari seseorang yang


meninggal sebanyak 25 orang yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan
10 orang dari pihak perempuan.
Golongaan ahli waris dari pihak laki-laki, yaitu :
1. Anak laki-laki.
2. Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu) dari pihak anak laki-laki, terus
kebawah, asal pertaliannya masih terus laki-laki.
3. Bapak.

6
4. Kakek dari pihak bapak, dan terus ke atas pertalian yang belum putus dari
pihak bapak.
5. Saudara laki-laki seibu sebapak.
6. Saudara laki-laki sebapak saja.
7. Saudara laki-laki seibu saja.
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak.
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja.
10. Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang seibu sebapak.
11. Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja.
12. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak.
13. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak saja.
14. Suami.
15. Laki-laki yang memerdekakannya (mayat).

Apabila 10 orang laki-laki tersebut di atas semua ada, maka yang mendapat harta
warisan hanya 3 orang saja, yaitu :
1. Bapak.
2. Anak laki-laki.
3. Suami.

Golongan dari pihak perempuan, yaitu :


1. Anak perempuan.
2. Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, asal
pertaliannnya dengan yang meninggal masih terus laki-laki.
3. Ibu.
4. Ibu dari bapak.
5. Ibu dari ibu terus ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-laki.
6. Saudara perempuan seibu sebapak.
7. Saudara perempuan yang sebapak.
8. Saudara perempuan seibu.
9. Istri.
10. Perempuan yang memerdekakan si mayat.

Apabila 10 orang tersebut di atas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari
mereka itu hanya 5 orang saja, yaitu :
1. Isteri.
2. Anak perempuan.
3. Anak perempuan dari anak laki-laki.
4. Ibu.
5. Saudara perempuan yang seibu sebapak.

7
Sekiranya 25 orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak
perempuan semuanya ada, maka yang pasti mendapat hanya salah seorang dari
dua suami isteri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
Anak yang berada dalam kandungan ibunya juag mendapatkan warisan
dari keluarganya yang meninggal dunia sewaktu dia masih berada di dalam
kandungan ibunya. Sabda Rasulullah SAW. “apabila menangis anak yang baru
lahir, ia mendapat pusaka.” (HR. Abu Dawud).

4.Beberapa Hak yang Bersangkutan dengan Harta Waris

Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di
dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
 Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
 Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah
kubur, dan sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan,
sisanya barulah di pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
 Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
 Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta
penginggalan si mayat.

5.Bagian-Bagian Ahli Waris


Dalam fiqih mawaris ada ilmu yang digunakan untuk mengetahui tata cara
pembagian dan untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak mendapat bagian,
siapa yang tidak mendapat bagian dan berapa besar bagiannya adalah ilmu faroidl.
Al-Faraaidh ( ‫ ) الفرائض‬adalah bentuk jamak dari kata Al-Fariidhoh(‫ ) الفريضه‬yang
oleh para ulama diartikan semakna dengan lafazh mafrudhah, yaitu bagian-bagian
yang telah ditentukan kadarnya. Ketentuan kadar bagian masing-masing ahli waris
adalah sebagai berikut :
 Yang mendapat setengah harta.
 Anak perempuan, apabila ia hanya sendiri, tidak bersama-sama
saudaranya. Allah berfirman dalam surah An-Nisa’ ayat 11 :

ِ ‫لنِّصْ فُا فَلَهَا َو‬


ْ ‫اح َدةً َكان‬
‫َت َوِإ ْن‬
Artinya : “Jika anak perempuan itu hanya seorang, maka ia memperolah separo
harta.”

8
1. Anak perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuan.
(berdasarkan keterangan ijma’)
 Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja, apabila ia
saudara perempuan seibu sebapak tidak ada dan ia hanya seorang saja.
 Suami, apabila isterinya yang meninggal dunia itu tidak meninggallkan
anak dan tidak pula ada anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun
perempuan.
2. Yang mendapat seperempat harta.
 Suami, apabila isteri meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak
laki-laki ataupun anak perempuan, atau meninggalkan anak dari anak laki-
laki, baik laki-laki maupun perempuan. Firman Allah SWT, dalam surah
An-Nisa’ ayat 12, yaitu :

ْ‫صيَّ ٍة بَ ْع ِد ِم ْن تَ َر ْكنَ ِم َّما الرُّ بُ ُع فَلَ ُك ُم َولَ ٌد لَه َُّن َكانَ فَِإ ْن َد ْي ٍن َأو‬
ِ ‫صينَ َو‬
ِ ‫بِهَا يُو‬
Artinya : “Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang di tinggalkannyasesudah dik penuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) sesudah di bayar utangnya.”
 Istri, baik hanya satu orang ataupun berbilang, jika suami tidak
meninggalkan anak(baik anak laki-laki maupun anak perempuan) dan
tidak pula anak dari anak laki-laki(baik laki-laki maupun perempuan).
Maka apabila istri itu berbilang, seperempat itu di bagi rata antara mereka.

3. Yang mendapat seperdelapan harta.


Istri baik satu ataupun berbilang, mendapat warisan dari suaminya
seperdelapan dari harta kalau suaminya yang meninggal dunia itu meninggalkan
anak, baik anak laki-laki ataupun perempuan, atau anak dari anak laki-laki, baik
laki-laki ataupun perempuan.
Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu :
‫الثُّ ُمنُ فَلَه َُّن َولَ ٌد لَ ُك ْم َكانَ فَِإ ْن‬
Artinya : “Jika kamu mempunyai anak, maka para istri itu memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.”

4. Yang mendapat dua pertiga harta.


 Dua orang anak perempuan atau lebih, dengan syarat apabila tidak ada
anak laki-laki.

9
 Dua orang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki. Apabila ia anak
perempuan tidak ada, berarti anak perempuan dari anak laki-laki yang
berbilang itu, mereka mendapatkan harta warisan dari kakek mereka
sebanyak dua pertiga dari harta.
 Suadara perempuan yang seibu sebapak apabila berbilang(dua atau lebih).
Firman Allah SWT, dalam Surah An-Nisa’ ayat 176, yaitu :
‫ك ِم َّما الثُّلُثَا ِن فَلَهُ َما ْاثنَتَي ِْن َكانَتَا فَِإ ْن‬
َ ‫تَ َر‬
Artinya : “Jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang di tinggalkan oleh yang meninggal.”
 Saudara perempuan yang sebapak, dua orang atau lebih.
Keterangannya adalah surah An-Nisa’ ayat 176 yang tersebut di
atas, karena yang di maksud dengan saudara dalam ayat tersebut ialah
saudara seibu sebapak atau saudara sebapak saja apabila saudara
perempuan yang seibu sebapak tidak ada.

5. Yang mendapat sepertiga harta.


 Ibu, apabila yang meninggal tidak meningglkan anak atau cucu (anak dari
anak laki-laki), dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara, baik laki-
laki ataupun perempuan, seibu sebapak atau sebapak saja, atau seibu saja.
 Dua orang saudara atau lebih dari saudara yang seibu, baik laki-laki
maupun perempuan. Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’ ayat 12,
yaitu :
‫ك ِم ْن َأ ْكثَ َر َكانُوا فَِإ ْن‬ ِ ُ‫الثُّل‬
َ ِ‫ث فِي ُش َر َكا ُء فَهُ ْم َذل‬
Artinya : “Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.”

6. Yang mendapat sepereenam harta.


 Ibu, apabila ia beserta anak, beserta anak dari anak laki-laki,atau beserta
dua saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun saudara perempuan,
seibu sebapak, sebapak saja, atau seibu saja.
 Bapak si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau anak dari
anak laki-laki.
 Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), kalau ibu tidak ada. Hal ini
beralasan dari hadist yang diriwayatkan oleh zaid yang artinya :
“Sesungguhnya nabi SAW. telah menetapkan bagian nenek seperenam dari
harta “
 Cucu perempuan dari pihak anak laki-laki, (anak perempuan dari anak
laki-laki). Mereka mendapatkan seperenam dari harta, baik sendiri atau

10
berbilang, apabila bersama-sama seorang anak perempuan. Tetapi apabila
anak perempuan berbilang, maka cucu perempuan tadi tidak mendapat
harta waris.
 Kakek (bapak dari bapak), apabila beserta anak atau anak dari anak laki-
laki, sedangkan bapak tidak ada. (keterangan berdasarkan ijma’ para
ulama’)
 Untuk seorang sudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
Firman Allah SWT. Dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu :
ٌ ‫ال ُّس ُدسُ ِم ْنهُ َما َوا ِح ٍد فَلِ ُك ِّل ُأ ْخ‬
ُ‫ت َأوْ َأ ٌخ َولَه‬
Artinya : “Dan apabila si mayat mempunyai seorang sudara laki-laki(seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.”
 Saudara perempuan yang sebapak saja, baik sendiri ataupun berbilang,
apabila beserta saudara perempuan yang seibu sebapak. Adapun apabila
saudara seibu sebapak berbilang(dua atau lebih), maka saudara sebapak
tidak mendapat harta warisan. (berdasarkan ijma’ para ulama’).

6.Sebab-Sebab tidak mendapatkan Waris


Ahli waris yang telah di sebutkan di atas semua tetap mendapatkan harta waris
menurut ketentuan-ketentuan yang telah di sebutkan, kecuali apabila ada ahli
waris yang lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka. Berikut
akan di jelaskan orang-orang yang mendapat harta waris, atau bagiannya menjadi
kurang karena ada yang lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada
mereka.
a. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), tidak mendapat harta waris
karena ada ibu, sebab ibu lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari
pada nenek. Begitu juga kakek, tidak mendapat harta waris selama bapaknya
masih ada, karena bapak lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari
pada kakek.
b. Saudara seibu, tidak mendapatkan harta waris karena adanya orang yang di
sebut di bawah ini :
 Anak, baik laki-laki maupun perempuan.
 Anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
 Bapak.
 Kakek.
c. Saudara sebapak, saudara sebapak tidak mendapat harta waris dengan
adanya salah seorang dari empat orang berikut :

11
 Bapak.
 Anak laki-laki.
 Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki).
 Sudara laki-laki yang seibu sebapak.
d. Saudara seibu sebapak. Saudara seibu sebapak tidak akan mendapatkan
harta waris apabila terhalang oleh salah satu dari tiga orang yang tersebut di
bawah ini :
 Anak laki-laki.
 Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki)
 Bapak.
e. Tiga laki-laki berikut ini mendapatkan harta waris namun saudara
perempuan mereka tidak mendapat harta waris, yaitu:
 Saudara laki-laki bapak(paman) mendapatkan harta waris. Namun, saudara
perempuan bapak (bibi) tidak mendapatkan harta waris.
 Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki(anak laki-laki paman dari
bapak) mendapat harta waris. Namun, anak perempuannya tidak
mendapatkan harta waris.
 Anak laki-laki saudara laki-laki mendapatkan harta waris. Namun, anak
perempuannya tidak mendapatkan harta waris.

7.Tujuan Mempelajari Hukum Kewarisan

Tujuan ilmu mawaris dapat dirangkum dalam beberapa poin di bawah ini
 Memberikan pembelajaran bagi kaum muslimin agar bertanggung
jawabdalam melaksanakan syariat Islam yang terkait dengan pembagian
harta waris.
 Menyodorkan solusi terbaik terhadap berbagai permasalahan seputar
pembagian harta waris yang sesuai dengan aturan Allah ta’ala.
 Menyelamatkan harta benda si mayit hingga tidak diambil orang-orang
dzalim yang tidak berhak
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan ilmu mawaris
adalah fardhu kifayah. Artinya, jika telah ada sebagian kalangan yang
mempelajari ilmu tersebut, maka kewajiban yang lain telah gugur. Akan tetapi jika
dalam satu daerah/wilayah tak ada seorang pun yang mau mendalami ilmu
warisan, maka semua penduduk wilayah tersebut menanggung dosa.

12
Urgensi ilmu mawarits dapat kita cermati dalam satu teks hadis dimana
Rasulullah Saw. menggandengkan perintah belajar al-Qur’an dan mengajarkan al-
Qur’an dengan perintah belajar dan mengajarkan ilmu mawarits/faraidh.
Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Pelajarilah al Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah
ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang
bakal terenggut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang
bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang dapat
memberikan fatwa kepada mereka” (HR. Ahmad, an-Nasa’i, dan ad-Daruqutni)”.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mempelajari ilmu
mawarits tidak bisa dianggap sebelah mata, terutama bagi para pendakwah atau
penyeru kebajikan. Walaupun hukum awalnya fardhu kifayah, akan tetapi dalam
kondisi tertentu, saat tak ada seorangpun yang mempelajarinya maka hukum
mempelajari ilmu mawarits berubah menjadi fardhu ain.

8.Azas-Azas Hukum Kewarisan


 Azas Ijbari
Adalah Azas yang terdapat dalam hukum kewarisan islam mengandung
arti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah tanpa
tergantung kepada kehendak pewaris atau permintaan ahli waris.Azas
Ijbari dalam kewarisan islam tidak dalam arti yang memberatkan ahli
waris,andai kata pewaris mempunyai hutang yang lebih besar daripada
harta yang ditinggalkannya,maka ahli waris tidak dibebani membayar
semua utang pewaris.kalau seluruh warisan itu telah dibayarkan hutang
pewaris maka ahli waris tidak diwajibkan membayar utang tersebut.(surah
An-nisa ayat 11,12,176)
 Azas Bilateral
Azas ini dalam hukum kewarisan islam mengandung arti bahwa harta
warisan beralih kepada ahli warisnya melalui dua arah yaitu setiap orang
menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat yaitu
keturunan laki-laki dan juga dari perempuan. .(surah An-nisa ayat
7,11,12,176)
 Azas Individual
Azas Individual dalam arti harta warisan dibagi-bagi pada masing-masing
ahli waris untuk dimiliki secara perorangan,kecuali seorang suami
meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan anak-anak yang
masih kecil dalam hal seperti ini warisan tidak dibagi-bagikan demi
kemaslahatan para ahli waris itu sendiri. .(surah An-nisa ayat 7)
 Azas Keadilan Berimbang

13
Azas Keadilan Berimbang,kata adil dalam hubungan dengan masalah
kewarisan dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta
keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan
kegunaannya.Seperti laki-laki dan perempuan,misalnya mendapat hak
yang sebanding dengan kewajibannya yang dipukul masing-masing nanti
dalam kehidupan bekeluarga dan bermasyarakat.Dimana seorang laki-laki
menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga dan mencukupi keperluan
hidup anak dan istrinya.(surah An-nisa ayat 7,11,12,176)
 Azas Semata-mata akibat Kematian
Azas ini menjelaskan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain
hanya berlaku setelah yang mempunyai harta atau pewaris meninggal
dunia.Azas ini hanya berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih
kepada orang lain atau (keluarga) dengan nama warisan selama yang
mempunyai harta masih hidup.(surah an-nisa ayat 7,11,12)

 Surah An-nisa ayat 7

َ •ُ‫ك ۡال َوالِ ٰد ِن َوااۡل َ ۡق َرب ُۡونَ ِم َّما قَ َّل ِم ۡن• هُ اَ ۡو َكث‬
‫•ر‬ ِ َ‫ك ۡال َوالِ ٰد ِن َوااۡل َ ۡق َرب ُۡونَ ۖ َولِلنِّ َسٓا ِء ن‬
َ ‫ص ۡيبٌ ِّم َّما تَ َر‬ َ ‫َص ۡيبٌ ِّم َّما ت ََر‬
ِ ‫لِل ِّر َجا ِل ن‬
‫َص ۡيبًا َّم ۡفر ُۡوضًا‬ِ ‫ن‬ ؕ‌
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan
kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang
telah ditetapkan.
 An-nisa ayat 11
ً‫اح َدة‬ِ ‫َت َو‬ْ ‫ق ْاثنَتَي ِْن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما تَ َركَ ۚ َواِ ْن َكان‬ ِّ ‫ص ْي ُك ُم هّٰللا ُ فِ ْٓي اَوْ اَل ِد ُك ْم لِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َح‬
َ ْ‫ظ ااْل ُ ْنثَيَ ْي ِن ۚ فَا ِ ْن ُك َّن نِ َس ۤا ًء فَو‬ ِ ْ‫يُو‬
ُ ٓ َّ ُ َّ ْ ُ
‫فَلَهَا النصْ فُ ۗ وَاِل َبَ َو ْي ِه لِك ِّل َوا ِح ٍد ِّمنهُ َما ال ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َركَ اِ ْن َكانَ لهٗ َول ٌد ۚ فَا ِ ْن ل ْم يَك ْن لهٗ َول• ٌد َّو َو ِرث••هٗ ابَ• ٰ•وهُ فَاِل ِّم ِه‬
َ َ َ َ َ ِّ
‫ص• ْي بِهَ••ٓا اَوْ َدي ٍْن ۗ ٰابَ• ۤ•اُؤ ُك ْم َواَ ْبنَ• ۤ•اُؤ ُك ۚ ْم اَل تَ• ْدرُوْ نَ اَيُّهُ ْم‬ ِ ‫الس• ُدسُ ِم ۢ ْن بَ ْع• ِد َو‬
ِ ْ‫ص•يَّ ٍة يُّو‬ ُّ ‫ث ۚ فَا ِ ْن َكانَ لَ ٗ ٓه اِ ْخ• َوةٌ فَاِل ُ ِّم ِه‬ ُ ُ‫الثُّل‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
‫ضةً ِّمنَ ِ ۗ اِ َّن َ َكانَ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما‬ َ ‫اَ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۗ فَ ِر ْي‬
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan
untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan.1 Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh
setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-
masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal)
mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia
diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika
dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat
yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak

14
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahabijaksana.

 An-nisa ayat 12
‫ص•يَّ ٍة‬ ِ ‫ك اَ ۡز َوا ُج ُكمۡ اِ ۡن لَّمۡ يَ ُك ۡن لَّه َُّن َولَ ٌد ۚ فَا ِ ۡن َك••انَ لَه َُّن َولَ• ٌد فَلَـ ُك ُم الرُّ بُ• ُع ِم َّما تَ• َر ۡكنَ‌ ِم ۡۢن بَ ۡع• ِد َو‬ َ ‫صفُ َما تَ َر‬ ۡ ِ‫َولَـ ُكمۡ ن‬
ۢ‫ن ؕ َولَه َُّن الرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َر ۡكتُمۡ اِ ۡن لَّمۡ يَ ُك ۡن لَّ ُكمۡ َولَ ٌد ۚ فَا ِ ۡن َكانَ لَـ ُكمۡ َولَ • ٌد فَلَه َُّن الثُّ ُمنُ ِم َّما تَ • َر ۡكتُمۡ‌ ِّم ۡن‬ ۤ
‌ٍ ‫ص ۡينَ بِهَا اَ ۡو َد ۡي‬ ِ ‫ي ُّۡو‬
ۡ
‫ت فَلِ ُك•لِّ َواحِ ٍد ِّمنهُ َم••ا‬ ۡ ُ ۤ ٰ
ٌ ‫ث َكللَ•ةً اَ ِو امۡ• َراَةٌ َّولَ••هٗ اَ ٌخ اَ ۡو اخ‬ ُ ‫ن ؕ َواِ ۡن َك••انَ َرجُ• ٌل ي ُّۡو َر‬ ۤ
‌ٍ ‫ص• ۡونَ بِهَ••ا اَ ۡو َد ۡي‬ ُ ‫صيَّ ٍة تُ ۡو‬
ِ ‫بَ ۡع ِد َو‬
ۡ ۡ َ ۤ
َ ‫ص•يَّ ٍة ي ُّۡوص•ى بِهَ•ا ا ۡو َد ي ٍن ۙ غَي• َر ُم‬
ۚ ‫ض•ٓا ٍّ‌ر‬ ٰ ۡ
ِ ‫ث ِمن بَع• ِد َو‬ ۢ ۡ ُ ُّ ُ
ِ ‫ك فهُمۡ ش• َر َكٓا ُء فِى الثل‬ َ ٰ ۡ َ ۡ َ ۤ ُ ۡ
َ ِ‫ال ُّسدُسُ‌ ۚ فاِن َك••ان ۡوا اكث• َر ِمن ذ ل‬ َ
‫صيَّةً ِّمنَ هّٰللا ‌ِ ؕ َوهّٰللا ُ َعلِ ۡي ٌم َحلِ ۡي ٌم‬
ِ َ ‫و‬ .
Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu)
itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah
dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi)
wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang
meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau
seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah
(dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan
tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah
Maha Mengetahui, Maha Penyantun.
 An-nisa ayat 176
‫ك َوهُ• َو يَ ِرثُهَ••ٓا اِ ْن لَّ ْم‬ َ ۚ ‫•ر‬
َ •َ‫ص•فُ َم••ا ت‬ ْ ِ‫ت فَلَهَا ن‬ٌ ‫ْس لَهٗ َولَ ٌد َّولَ ٗ ٓه اُ ْخ‬
َ ‫ك لَي‬ َ َ‫يَ ْستَ ْفتُوْ نَ ۗكَ قُ ِل هّٰللا ُ يُ ْفتِ ْي ُك ْم فِى ْال َك ٰللَ ِة ۗاِ ِن ا ْم ُرٌؤ ا هَل‬
ُ‫ك ۗ َواِ ْن َكانُ ْٓوا اِ ْخ َوةً ِّر َجااًل َّونِ َس ۤا ًء فَلِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ ااْل ُ ْنثَيَي ۗ ِْن يُبَيِّن‬
َ ‫يَ ُك ْن لَّهَا َولَ ٌد ۚ فَا ِ ْن َكانَتَا ْاثنَتَ ْي ِن فَلَهُ َما الثُّلُ ٰث ِن ِم َّما ت ََر‬
‫هّٰللا‬
‫ضلُّوْ ا ۗ َو ُ بِ ُكلِّ َش ْي ٍء َعلِ ْي ٌم‬ ‫هّٰللا‬
ِ َ‫ࣖ ُ لَ ُك ْم اَ ْن ت‬
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia
tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya
(saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia
tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu
terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang

15
saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan
(hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.

BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada
seseorang yang masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Hukum waris
adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum mengenai
kekayaan setelah wafatnya seseorang. Seseorang yang berhak menerima harta
peninggalan di sebut ahli waris. Dalam hal pembagian harta peninggalan, ahli
waris telah memiliki bagian-bagian tertentu. Seperti yang tercantum dalam Firman
Allah SWT sebagai berikut :
‫ال‬
ِ ‫َصيبٌ لِلرِّ َج‬ َ ‫صيبٌ َولِلنِّ َسا ِء َواأل ْق َربُونَ ْال َوالِدَا ِن ت ََر‬
ِ ‫ك ِم َّما ن‬ ِ َ‫ك ِم َّما ن‬
َ ‫تَ َر‬

ِ ‫صيبًا َكثُ َر َأوْ ِم ْنهُ قَ َّل ِم َّما َواأل ْق َربُونَ ْال َوالِد‬
‫َان‬ ِ َ‫َم ْفرُوضًا ن‬
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”
Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat
tersebut adalah:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya
dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
2. Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris
meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.
Hukum kewarisan Islam merupakan satu dari sekian banyak hukum Islam
yang terpenting. Hukum warisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa saja
orang yang bisa mewarisi dan tidak bisa mewarisi dan tidak bisa mewarisi bagian-
bagian yang diterima setiap ahli waris dan cara- carapembagiannya. Dalam hukum
kewarisan Islam penerima harta warisan di dasarkan pada asas Ijbari, yaitu harta
warisan pindah dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT Tanpa
digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris.

16
B.Saran
Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali
kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan.Tentunya, saya akan terus
memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan nantinya.Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan
kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA

https://sayyidahchalimah07.wordpress.com/2014/06/22/makalah-hukum-waris/
http://1st-iqomah.blogspot.com/2012/02/ilmu-faroidh-ilmu-yang-pertama-
kali.html
http://kobonksepuh.wordpress.com/2013/01/30/pentingnya-mempelajari-ilmu-
faraidh/
Muhammad Ali ash-Sahabuni, Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah ‘Ala Dhau’
Al- Kitab wa Sunnah. Terj. A.M. Basalamah “ Pembagian Waris Menurut Islam”,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hlm. 33

17

Anda mungkin juga menyukai