Anda di halaman 1dari 17

i

MAKALAH
SUSUNAN MATERI HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Hukum Acara Peradilan Agama

Dosen Pengampu : H. Alpun Khoir Nasution, S.Ag., M.H.

DI SUSUN OLEH
KELAS REGULER SEMESTER V
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM MUHAMMADIYAH
KISARAN ASAHAN
TP 2023
i

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah puji syukur atas khadirat Allah Swt yang telah melimpahkan

segala nikmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas penulisan

makalah dengan judul Susunan Materi Hukum Acara Peradilan Agama dapat

diselesaikan tepat waktu. Makalah ini telah di susun semaksimal mungkin dan saya

menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan nya baik dari segi susunan

kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu saya menerima segala kritik dan

saran yang membangun agar dapat memperbaikinya menjadi lebih baik.

Semoga apa yang disajikan dapat bermanfaat dan menambah wawasan

bagi kita semua. Aamiin Wassalamua’laikum warahmatullahi wabarakatuh

Penulis

Semester V reguler
ii

DAFTAR ISI
 KATA PENGANTAR................................................................................................ i

 DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii

 BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... iii

Latar belakang........................................................................................................................ iv

Perumusan masalah............................................................................................................. iv

Tujuan penulisan................................................................................................................... iv

 BAB I SAMPAI BAB XII .................................................................................. 1

Bab I Oreintasi Peradilan Agama Indonesia..................................................1

Bab II Sejarah Pengembangan Peradilan Agama


Di Indonesia................................................................................................................ 16

Bab III Sumber Sumber Hukum Acara Peradilan Agama.........................28

Bab IV Asas Asas Hukum Acara Peradilan Agama ......................................40

Bab V Susunan Badan Hierarki Peradilan Agama........................................57

Bab VI Kompetensi Relatif Peradilan Agama Di indonesia.....................69

Bab VII Kompetensi Absolut Peradilan Agama Di indonesia.................82

Bab VIII Gugatan Perceraian Di Peradilan Agama ......................................94

BAB IX Permohonan Cerai Talak Di Peradilan Agama...............................102

Bab X Pembuktian Hukum Islam Dalam Peradilan Agama......................117

Bab XI Produk produk hukum acara peradilan agama..............................132


iii

Bab XII Penyitaan pengukuhan dan eksekusi di peradilan agama.....148

Bab XIII Upaya Hukum Banding Kasasi Dan Peninjuan Kembali Di Peradilan
Agama ........................................................................................................................... 163

 BAB XIII PENUTUP............................................................................................................. 189


A.Kesimpulan.......................................................................................................................... 189
B.Saran....................................................................................................................................... 189
 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 190
iv

BAB I
ORIENTASI PERADILAN AGAMA INDONESIA
v

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman

bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata

tertentu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama yang di ubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan

diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009.

Pengadilan Agama selaku pengadilan tingkat pertama mempunyai tugas pokok dan

fungsi memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara

orang- orang yang beragama islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah,

wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.

Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota pesisir
secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat
diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan
penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk
Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka
kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum
Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga
peradilan yang berdasarkan hukum Islam
vi

B. Rumusan Masalah

1.Bagaimana isi Orientasi Peradilan Agama Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan

1.Untuk Mengetahui Seperti Apa Orientasi Peradilan Agama Indonesia

E.Manfaat Penelitian

1.Penulisan ini diharapkan dapat memperkaya wawasan mahasiswa terhadap


pembelajaran Hukum acara peradilan agama yaitu Orientasi Peradilan Agama
Indonesia
vii

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Peradilan Agama

Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota

pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam

dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan

penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk

Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka

kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum

Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga

peradilan yang berdasarkan hukum Islam .

Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para

penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang

pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid,


viii

sehingga pengadilan agama sering pula disebut "Pengadilan Serambi". Keadaan ini

dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di seluruh Nusantara, yang

kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu dan atau hakim, sebagai

bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.

Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai


muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara,
tidak dapat dipisahkan. Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan
agama mengalami pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga
peradilan agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan
umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus keagamaan Islam dalam semua
aspek kehidupan. Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama
akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang
berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat betjalan karena
tidak menerapkan hukum Islam.

Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum


Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini.
Usaha tersebut dengan cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit
demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan
agama di bawah pengawasan "landraad" (pengadilan negeri). Hanya lembaga
landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan
agama dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan putusan). Pengadilan
Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud Ali : 223). Dan
tidak adanya kewenangan yang seperti ini terns berlangsung sampai dengan
lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ten tang Perkawinan.

Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor
24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama.
Wewenang pengadilan agam.a yang disebut dengan "preisterraacf' tetap daIam
bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan
ix

keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2),
dan hukum Islam sebagai pegangannya.

Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-


ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai
nampakjelas dalam sistem peradilan di Indone¬sia. Undang-undang ini
menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut :

Pertama, Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang


Maha Esa";

Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan


Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us aha
Negara;

Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.

Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris,


administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang
bersangkutan.

Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-
masing diatur dalam undang-undang tersendiri.

Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian
peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan
lainnya di Indonesia.

Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka¬winan


memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang¬undang ini tidak
ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa12 ayat (1) undang-
undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).ada
ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa12 ayat (1) undang-
undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).
x

B. Orientasi pengertian Peradilan Agama Indonesia

Peradilan Agama juga adalah salah satu diantara 3 Peradilan Khusus di Indonesia.
Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara
perdata tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam struktur
0rganisasi Peradilan Agama, ada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
yang secara langsung bersentuhan dengan penyelesaian perkara di tingkat
pertama dan banding sebagai manifestasi dari fungsi kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.

Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan


menyelesaikan perkara- antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi
syariah sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.

Dasar hukum peradilan agama dalam Undang Undang Dasar 1945 adalah diatur
oleh Pasal 24 yang pada ayat (1) menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana diubah terakhir kalinya dengan Undang Undang
Nomor 50 Tahun 2009, yang dalam Pasal 2 menegaskan bahwa peradilan agama
merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur
dalam undang undang. Selanjutnya dalam 2 Pasal 2 ayat (1) menerangkan bahwa
kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh
pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama.

1, Konsep Dasar Peradilan agama Islam


xi

Menurut Muhammad Salam Madkur dalam bukunya Al-Qadla Fi Al-


Islam (1993: 20), Dalam bahasa Arab, Peradilan dikenal dengan Al-Qadla, yang
berarti putus atau selesai. Sedangkan menurut pandangan ahli fiqih yaitu
"menyampaikan hukum Syar'I dengan jalan percepatan".

Didalam kamus besar Bahasa Indonesia peradilan adalah segala sesuatu


mengenai perkara pengadilan. Sedangkan pengadilan memiliki pengertian yang
banyak yaitu dewan atau majelis yang mengadili perkara; mahkamah; proses
mengadili; keputusan hakim ketika mengadili perkara

Dasar penyelenggaraan peradilan khususnya peradilan islam, antara lain :

(Allah berfirman), “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan


khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena
akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.

- QS. Shaad : 26

C. Sumber Sumber Hukum Peradilan Agama

1. Sumber Hukum Materill

Hukum Materiil, yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan


hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan. Hukum materil
peradilan agama adalah hukum Islam (yang biasanya disebut fiqh) Hukum materiil
Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (Hukum
Positif) dan masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap
ulama fuqoha penulis kitab-kitab fiqh tersebut berlatar sosiokultural berbeda,
sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang masalah yang sama,
maka untuk mengeliminasi perbedaan tersebut dan menjamin kepastian hukum,
maka hukum-hukum materiil tersebut dijadikan hukum positif yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan
xii

Dalam surat Biro Peradilan tersebut diatas dinyatakan bahwa, untuk


mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutus perkara,
maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar
menggunakan sebagai rujukkan 13 kitab fiqh, antara lain; 1. Al-Bajuri; 2. Fatkhul
Mu’in; 3. Syarqawi ‘Alat Tahrir; 4. Qalyubi wa Umairah/al-Mahali; 5. Fatkhul
wahbah; 6. Tuhfah; 7. Targhib al-Mustaq; 8. Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya;
9. Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah; 10. Syamsuri li Fara’id; 11. Bughyat al-
Musytarsyidin; 12. al-Fiqh ala Madzahib al-arba’ah; 13. Mughni al-Muhja

2. Sumber Hukum Formil

yaitu hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan


hukum materiil. dengan kata lain, hukum yang memuat peraturan yang mengenai
caracara mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan dan tata carahakim
memberi putusan. Sumber hukum formil di peradilan agama adalah:

1. Inlandsh Reglement (IR) Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk


golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah
beberapa kali perubahan dan penambahan Hukum acara ini dirubah namanya
menjadi Het Herzience Indonesie Reglement (HIR) atau disebut juga Reglemen
Indonesia yang diperBaharui (RIB) yang diberlakukan dengan Stb. 1848 Nomor
16 dan Stb. 1941 nomor 44.

2. Peraturan Perundang-undangan 1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947


tentang acara perdata dalam hal banding bagi pengadilan tinggi di Jawa Madura
sedang daerah diluar Jawa diatur dalam pasal 199-205 R.Bg. 2) Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam UU memuat
beberapa ketentuan tentang Hukum acara perdata dalam praktek peradilan di
Indonesia. 3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung
RI jo UU No. 5 Tahun 2004 yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang
berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung . 4)
Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum yang diubah
dengan UU No. 8 Tahun 2004. Dalam UU ini diatur tentang susunan dan
kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di
xiii

lingkungan Pradilan Umum tersebut. 5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana
Undang-undang perkawinan tersebut. 6) Undang-undang nomor 7 Tahun 1989
jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada pasal 54 dikemukakan
bahwa Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah sama dengan
hukum acara yang berlaku di peradilan umum, kecuali yang diatur khusus
dalam UU ini. 7) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan
Kompilasi hukum Islam, yang terdiri dari tiga buku yaitu hukum Perkawinan,
Kewarisan dan Wakaf.

D. Tugas Pokok Fungsi Peradilan Agama

Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas


dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang
perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam, serta wakaf dan shadaqah, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-
undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai


fungsi sebagai berikut :

1. Memberikan pelayanan teknis yustisial dan administrasi kepaniteraan


bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi .

2. Memberikan pelayanan dibidang administrasi perkara banding, kasasi


dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya .

3. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di


lingkungan Pengadilan Agama (umum, kepegawaian dan keuangan
kecuali biaya perkara)

4. Memberikan Keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum


Islam pada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta
sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 50 Tahun
xiv

2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun


1989 tentang Peradilan Agama

5. Memberikan pelayanan penyelesaian permohonan pertolongan


pembagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang
beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam sebagaimana
diatur dalam Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama .

6. Waarmerking Akta Keahliwarisan di bawah tangan untuk pengambilan


deposito/ tabungan, pensiunan dan sebagainya .

7. Pelaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan


hukum, pelaksanaan hisab rukyat, pelayanan riset/penelitian dan
sebagainya

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota pesisir
secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat
diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan
penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk
Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka
kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum
Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga
xv

peradilan yang berdasarkan hukum Islam sehingga terbentuk lah Pengadilan


Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat
dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf dan shadaqah,
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama.

B. Saran

Kita sebagai umat beragama hendak nya menaati aturan yg di buat oleh
pemerintah maka dari itu umat islam di harus kan ke peradilan agama agar dapat
menyelesaikan perkara di pengadilan agama perkawinan, kewarisan, wasiat dan
hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam,

DAFTAR PUSTAKA

Busthanul Arifin, 1996, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar


Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta:Gema Insani Pers.

Munawir, Sjadzali, 1994, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek,


Bandung:Rosdakarya

Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.


xvi

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,


UndangUndang Nomor 7 tahun 1989, Jakarta, Pustaka Kartini, 1989

Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada,1998

Anda mungkin juga menyukai