Anda di halaman 1dari 26

SISTEM PERADILAN DI ACEH

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradilan dalam Islam

Oleh Dosen :

Prof. Dr. H. Lomba Sultan, M.A. dan Dr. Hj. Patimah, M.Ag.

Penyusun:

Sulfi Alis

NIM: 80100218074

PROGRAM MAGISTER DIRASAH ISLAMIYAH

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2019

i
ii

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum, wr. wb

Segala puja dan puji semoga tetap senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah

swt yang telah membimbing manusia dengan petunjuk-petunjuknya yang

terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang senantiasa menjadi pedoman

bagi umat muslim menuju jalan yang lurus dan diridhoi oleh Allah swt.

Shalawat serta salam semoga senantiasa dihaturkan kepada baginda

Rasulullah saw, para sahabat dan keluarga serta para pengikutnya sampai di hari

kiamat, terutama bagi para saudagar islam yang telah menyebarkan ajaran agama

Islam di nusasntara.

Makalah ini berisi tentang sistem peradilan di Aceh maupun hal-hal yang

lain yang berkaitan dengan judul makalah ini. Makalah ini dibuat sebagai syarat

dan juga tuntutan akademik dan diharapkan memberikan pengetahuan baru bagi

kita untuk lebih mengetahui pemikiran hukum Islam yang ada di tengah

masyarakat. Dan tentunya, dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari

segala kekurangan, penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk

meminimalisir kekurangan-kekurangan tersebut. Oleh karena itu, sangat

diharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan revisi makalah ini

nantinya. Semoga bermanfaat bagi kita semua dan khususnya bagi penyusun.

Samata, 30 Desember 2019


Penyusun,

SULFI ALIS
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL........................................................................ i

KATA PENGANTAR......................................................................... ii

DAFTAR ISI........................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1

A. Latar Belakang.......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah..................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................... 3

A. Sejarah Peradilan Agama Islam di Aceh................................... 3

B. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh............................. 7

C. Kewenangan Wilayatul Hisbah di Aceh................................... 13

BAB III PENUTUP............................................................................. 21

A. Kesimpulan............................................................................... 21

B. Saran.......................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 23
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan antara praktek hukum Islam dengan agama Islam dapat

diibaratkan dengan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Hukum Islam

bersumber dari ajaran Islam, sedangkan ajaran Islam adalah ajaran yang

dipraktekkan pemeluknya. Oleh sebab itu, untuk membicarakan perkembangan

hukum Islam di Indonesia erat hubungannya dengan penyebaran agama Islam di

Indonesia. Oleh karena itu, amat wajar jika kajian kedudukan hukum Islam pra-

kolonial dilakukan dengan asumsi bahwa tata hukum Islam Indonesia

berkembang seiring dengan sampainya dakwah Islam di Indonesia.1

Jauh sebebelum Indonesia merdeka, Peradilan Agama sebenarnya telah

banyak berperan dalam penyelesaian sengketa pada masyarakat muslim. Namun

hingga tahun 1989, keberadaan Peradilan Agama ini hanya sebagai pelengkap

saja. Pada waktu itu Peradilan Agama tidak diberi wewenang untuk menjalankan

keputusan yang dibuatnya sendiri, melainkan Peradilan Agama hanya dapat

mengimplementasikan keputusannya apabila sudah mendapat restu atau izin dari

Peradilan Negeri dalam bentuk executoir verklaring.2

1
Ismanto dan Suparman, Sejarah Peradilan Islam di Nusantara masa Kesultanan-
Kesultanan Islam Pra-Kolonial, Historia Madania: h. 68
2
Ari wibowo, Perkembangan Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia Menuju Ke
Peadilan Satu Atap, Al-Mawarid Ed. XVII (2007): h. 126.

1
2

Peradilan agama di Indonesia, mengadili seluruh jenis perkara menurut

agama Islam. Dirangkaikannya kata-kata peradilan Islam dengan di Indonesia

karena jenis perkara yang boleh diadilinya, tidaklah mencakup segala macam

perkara menurut peradilan Islam secara universal. Tegasnya peradilan agama

adalah peradilan Islam limitatif, yang telah disesuaikan (di-mutasis mutandiskan)

dengan keadaan di Indonesia.3

B. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan ulasan tersebut maka, ada beberapa pokok rumusan

masalah yaitu

1. Bagaimana Sejarah Peradilan Agama di Aceh?

2. Bagaimana Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh?

3. Bagaimana kewenangan Wilayatul Hisbah di Aceh?

3
H.A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hk.
Islam, Hk. Barat, dan Hk. Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga
Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syari’at Islam di Aceh (Cet. II; Jakarta: Prenada
Media Group, 2010), h. 9.
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Peradilan Agama Islam di Aceh

Sewaktu Marcopolo singgah di Peureulak pada Tahun 1292 M, ia

mendapatkan Peureulak merupakan sebuah kota Islam. Namun, tidak disebut-

sebut adanya raja atau sultan, pelaksanaan hukum islam didasarkan pada tauliah

oleh ahlu halli wal aqdi. Sementara di kota samudera pasai ada seorang raja atau

sultan yang pertama, yaitu Sultan Malik al-Salih (W. 696 h/ 1292 M) yang telah

memberikan bentuk tauliah kepada hakim atau qadli dalam pelaksanaan hukum

Islam.4

Peureulak merupakan daerah pertama yang memeluk Islam, namun

Samudera Pasai paling akhir di banding dengan Peureulak yang menerima Islam

sebelum 1282 M, kendati pada 1292 M, hal ini belum diamati oleh Marcopolo.

Dari data ini setidaknya dapat di katakan bahwa awal pengalaman tauliyah dari

ahlu halli wa al aqdi paling cepat pada tahun 1282 sebelum Marcopolo singgah

1292 M di Peureulak.5

Setelah kerajaan Samudera Pasai ditaklukan Portugis sekitar tahun 1521

M, kerajaan itu berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di

Banda Aceh Darussalam. Kekentalan pengaruh ajaran Islam pada masyarakat

Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: PT Raja
4

Grafindo Persada, 2002), h.39.


5
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, h. 41.
4

Aceh ini tidak hanya terjadi pada masa-masa kerajaan saja, tetapi juga terasa

hingga sekarang. Mazhab hukum Islam yang berkembang di kerajaan Aceh adalah

Mazhab Syafi’i yang pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda memiliki

seseorang mufti yang terkemuka bernama Syekh Abdur Rauf Singkil. Sultan

Iskandar Muda adalah raja yang paling kokoh menjalankan aturan syariat tanpa

pandang bulu terhadap siapa pun, Sultan Iskandar Muda pernah memberlakukan

hukum rajam terhadap putranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang

berzina dengan istri seorang perwira. Sultan Iskandar Muda berkata; “mati anak

ada makamnya, mati hukum kemana hendak di cari”.6

Di Aceh, sistem peradilan yang berdasarkan hukum Islam menyatu dengan

peradilan negeri, yang mempunyai tingkatan-tingkatan, tingkat pertama di

laksanakan di tingkat kampung yang dipimpin Geuchik. Pengadilan ini hanya

menangani perkara-perkara yang tergolong ringan, sedangkan perkara-perkara

berat di selesaikan oleh Balai Hukum Mukim. Apabila yang berperkara tidak puas

dengan putusan tingkat pertama, dapat mengajukan banding ke tingkat kedua

yakni Oeloebalang. Apabiila pada pengadilan tingkat Oeloebalang juga di anggap

tidak dapat memenuhi keinginan pencari keadilan, dapat mengajukan banding ke

pengadilan tingkat ketiga yang di sebut Panglima Sagoe. Seandainya keputusan

Panglima Sagoe tidak memuaskan, masih dapat mengajukan banding kepada

Sultan yang pelaksanaannya oleh Mahkamah Agung.7

6
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam (Cet. III; Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 203-
204.
7
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, h. 42.
5

Sistem peradilan di Aceh sangat jelas menunjukan hirarki dan kekuasaan

absolutnya, hanya saja sumber tersebut tidak menggambarkan kekuasaan

relatifnya (wilayah), sehingga mengalami kesulitan untuk di bandingkan dengan

susunan Peradilan Agama yang ada sekarang ini. Tetapi setidaknya dapat di

gambarkan bahwa kompetensi relatif pengadilan di Aceh tersebut mengikuti pada

luas dan batas kampung di tingkat pertama, di tingkat kedua yakni Oeloebalang

yang mewilayahi himpunan beberapa kampung, sekarang bisa di banding dengan

kecamatan atau mungkin lebih tepat seperti Nagari di Minangkabau, tingkat

Panglima Sagoe wilayah kekuasaannya beberapa Kecamatan atau Nagari, sedang

Mahkamah Agungnya adalah Malikul Adil, Sri Paduka Tuan Bendhara Fakih,

mempunyai relatif kompetensi mewilayah seluruh wilayah yang tunduk dibawah

pemerintahan nya.8

Isu penerapan Islam di Indonesia telah menjadi perdebatan sejak

menjelang kemerdekaan di Indonesia. Diantaranya tentang piagam Jakarta dengan

dihapusnya tujuh kata dari isi piagam Jakarta. Setelah orde baru isu ini kembali

mencuat dan menjadi dilemma dalam masyarakat itu sendiri. Kontroversi

mengenai penerapan syari’at Islam masih berlanjut sampai sekarang dan masing-

masing memiliki argumen yang kuat dalam mengeluarkan statemennya.9

Jika dikilas balik saat penyusunan UUD ada tiga periode yang secara jelas

dikemukakan oleh Irfan Idris menyangkut koonribusi umat Islam dalam

penyusunan dasar Negara; yaitu pertama, dalam penyusunan UUD di masa


8
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, h. 42.

9
Syamsul Bahri, Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Jurnal Dinamika Hukum 12, no. 2 Mei (2012): h. 359.
6

kemerdekaan dan revolusi, partai-partai Islam menghendaki diberlakukannya

piagam Jakarta 22 Juni 1945 dengan mencantumkan tujuh kata “dengan

kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Kedua, majelis

kontituante blok islam kembali bertarung dengan blok pancasila dalam perdebatan

dasar-dasar Negara sampai dekrit presiden, dan ketiga, pada amandemen UUD

1945, partai Islam kembali menuntut agar memasukkan tujuh kata dari piagam

Jakarta.10

Seiring waktu, di beberapa daerah di Indonesia, isu ini semakin gencar

didengungkan terutama di daerah Aceh. Konflik yang terus melanda, tidak

menghambat mencuatnya isu ini ke permukaan, dan akhirnya keluar UU No. 18

Tahun 2001, menyangkut penegakan syari’at Islam di Aceh, dimana ketika

wacana otonomi daerah sedang berkembang di Indonesia, dan provinsi Aceh

diberikan otonomi khusus oleh pemerintah pusat. Selanjutnya lahir Undang-

Undang pemerintahan Aceh No.11 Tahun 2006 yang di antaranya pasal-pasalnya

memuat pelaksanaan syari’at Islam (hukum Islam) di provinsi Aceh secara lebih

luas.11

Setelah keluarnya legalitas pemerintah terhadap pelaksanaan syari’at Islam

di aceh, timbul beberapa persoalan menyangkut bagaimana penerapannya karena

negara-negara Islam sebelumnya tidak dapat dijadikan acuan dalam

pelaksanaannya, diantaranya salah satu sebabnya adalah sosio kultural yang

Syamsul Bahri, Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara
10

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI): h. 359.

Syamsul Bahri, Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara
11

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI): h. 360.


7

berbeda. Hingga sekarangpun belum ada contoh ideal dalam sebuah Negara yang

melaksanakan syari’at Islam.12

Adanya legalitas dari pemerintah untuk menerapkan syari’at Islam di

Aceh, direspon oleh pemerintah daerah dengan mengeluarkan Peraturan Daerah

(PERDA) dalam rangka terlaksananya syari’at Islam di Aceh. Dari perda-perda ini

selanjutnya dikembangkan lagi menjadi peraturan-peraturan daerah yang

menyangkut tata pelaksanaan syari’at Islam, yang pada gilirannya melahirkan

qanun Aceh.13

B. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh

Salah satu kekhususan yang diberikan Negara kepada Provinsi Aceh

adalah hak dan peluang untuk membentuk Mahkamah Syar’iyah sebagai Peradilan

Syariat Islam. Hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Aceh),

khususnya dalam Pasal 128 ayat (2) yang menyebutkan bahwa ”Mahkamah

Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan

berada di Aceh.”14

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjelaskan

12
Syamsul Bahri, Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI): 360.
13
Syamsul Bahri, Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI): h. 360.

Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh


14

Dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 2:h. 113.
8

bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi

rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.15

Peradilan syari’at Islam di Aceh yang dilakukan oleh Mahkamah

Syar’iyah merupakan Pengadilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Agama.

Peradilan syari’at Islam di Aceh (Mahkamah Syar’iyah) merupakan pengadilan

khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang menyangkut wewenang

peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan

umum sepanjang menyangkut wewenang peradilan umum. Dalam badan peradilan

yang berada di bawah Mahkamah Agung dimungkinkan dibentuknya pengadilan

khusus seperti Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi

Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial

yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan khusus dalam

lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Pajak.16

Mahkamah Syar’iyah memiliki kekuasaan untuk melaksanakan wewenang

Peradilan Agama dan juga memiliki kekuasaan untuk melaksanakan sebahagian

wewenang Peradilan Umum.17

Kekuasaan Pengadilan Agama dibatasi oleh Undang-Undang hanya

beberapa aspek dari hukum Islam. Namun demikian Mahkamah Syar’iyah tetap

Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh


15

Dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia, h. 113.

Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh


16

Dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia, h. 114.

Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh


17

Dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia, 114.


9

merupakan bagian dari sistem peradilan nasional. Hal ini secara tegas telah

dinyatakan dalam UU Pemerintahan Aceh Pasal 128 ayat (1).18

Lebih lanjut Mohammad laica marzuki menjelaskan bahwa:

“Keberadaan Mahkamah Syar’iyah sebagai pelaksanaan amanat Undang-


undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam merupakan taruhan sekaligus "test case" dari
kehendak politik pemerintah. "Pemberlakuan Mahkamah Syariah adalah
dalam rangka memenuhi cita-cita dan harapan rakyat di Nanggroe Aceh
Darussalam dalam penegakan Syariat Islam. Itu merupakan hak daripada
masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam, jadi jangan sekali-kali
pemerintah mengecewakan mereka. Kekhawatiran adanya benturan-
benturan itu tidak perlu terjadi,"19

Mahkamah Syar’iyah juga menganut tiga tingkat peradilan, yakni tingkat

pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah

Syar’iyah di Aceh telah lebih luas dalam melaksanakan kewajiban penetapan

hukum-hukum Islam, terhadap perkara-perkara hukum keluarga (al-akhwal al-

syakhshiyah), mu'amalah (hukum perdata) serta hukum jinayat (pidana).20

Mahkamah Syar’iyah juga berwenang mengadili dan memutuskan

perkara-perkara jarimah (tindak pidana), seperti penyebaran aliran sesat (bidang

aqidah), tidak shalat Jumat tiga kali berturut-turut tanpa uzur syar'i (bidang

Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh


18

Dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia, h. 115.

Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh


19

Dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia, h. 115.

Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh


20

Dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia, h. 115.


10

ibadah), menyediakan fasilitas/peluang kepada orang muslim tanpa uzur syar'i

untuk tidak berpuasa (bidang ibadah), makan minum di tempat umum di siang

hari di bulan puasa (bidang ibadah), dan tidak berbusana Islami (bidang syiar

Islam). Mahkamah Syar’iyah dipercayakan pula untuk mengadili perkara-perkara

tindak pidana dalam pengelolaan zakat. Sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor

7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Tindak pidana dimaksud, meliputi tidak

membayar zakat setelah jatuh tempo, membuat surat palsu atau memalsukan surat

baitul mal, serta menyelewengkan pengelolaan zakat.21

Adapun hukum materil dalam bidang mu’amalah (perdata pada umumnya)

yang telah ditetapkan pula menjadi wewenang Mahkamah Syar’iyah, sampai saat

ini belum disusun qanunnya. Oleh karena itu wewenang di bidang tersebut belum

dapat dilaksanakan, kecuali beberapa perkara perdata yang sejak dulu telah

menjadi wewenang Pengadilan Agama, seperti masalah wakaf, hibah, wasiat dan

sadaqah.22

UU Pemerintahan Aceh memberi kewenangan untuk membentuk

Mahkamah Syar’iyah sebagai badan peradilan yang akan melaksanakan syari’at

Islam. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus dan keistimewaan di

bidang kehidupan beragama (Syariat Islam) Pemerintah Provinsi Aceh telah

membentuk beberapa lembaga pendukung seperti Dinas Syari’at Islam, Wilayatul

Hisbah dan beberapa lembaga lain terkait dengan pelaksanaan syari’at Islam.

Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh


21

Dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia, h. 115.

Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh


22

Dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia, h. 116.


11

Pemerintah Aceh juga mengesahkan beberapa Peraturan Daerah/Qanun terkait

dengan pelaksanaan wewenang Mahkamah Syar’iyah.23

Kewenangan untuk melaksanakan tugas pokok pengadilan agama

(Mahkamah Syar’iyah di Aceh) tersebut dibagi dua yaitu:

1. Kewenangan Relatif

Kewenangan relatif atau kompetensi relatif yaitu kewenangan untuk

menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara yang

diajukan kepadanya, didasarkan kepada wilayah hukum pengadilan mana tergugat

bertempat tinggal. Kewenangan relatif ini mengatur pembagian kekuasaan

pengadilan yang sama, misalnya antara Pengadilan Agama Banjarnegara dengan

Pengadilan Agama Purbalingga, sehingga untuk menjawab apakah perkara ini

menjadi kewenangan Pengadilan Agama Banjarnegara ataukah Pengadilan Agama

Purbalingga, didasarkan kepada wilayah hukum mana Tergugat bertempat tinggal.

Dalam bahasa Belanda kewenangan relatif ini disebut dengan “distributie van

rechtsmacht”. Atas dasar ini maka berlakulah asas “actor sequitur forum rei”.24

Namun demikian ada penyimpangan dari asas tersebut di atas, yaitu

khusus perkara gugat cerai bagi yang beragama Islam, maka gugatan dapat

diajukan kepada Pengadilan Agama di mana Penggugat bertempat tinggal. Hal ini

adalah hukum acara khusus yang diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7

Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh


23

Dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia, h. 118.

Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Pedata Dalam Teori dan Praktek (Bandung:
24

Mandar Maju, 1989), h. 8.


12

Tahun 1989 sehingga berlaku asas “lex specialis derogate legi generalis” artinya

aturan yang khusus dapat mengalahkan aturan yang umum.25

2. Kewenagan Mutlak

Kewenangan mutlak atau kompensasi absolut adalah wewenang badan

peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang mutlak tidak dapat

diperiksa oleh badan peradilan lain. Kewenangan mutlak ini untuk menjawab

pertanyaan, apakah perkara tertentu, misalnya sengketa ekonomi syari’ah, menjadi

kewenangan Pengadilan Negeri ataukah Pengadilan Agama. Dalam bahasa

Belanda kewenangan mutlak disebut “atribute van rechtsmacht” atau atribut

kekuasaan kehakiman.26

C. Kewenangan Wilayatul Hisbah di Aceh

Wilayatul Hisbah yang merupakan lembaga/badan yang diamanatkan oleh

Qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah,

Ibadah dan Syi’ar Islam yang berwewenang melakukan pengawasan qanun,

kemudian Wilayatul Hisbah dikukuhkan dengan dikeluarnya Surat Keputusan

Gubernur Aceh Nomor 1 Tahun 2004 yang mengarahkan kepada kewenangan,

fungsi serta tugasnya secara utuh.27

Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh


25

Dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia, h. 119.

Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh


26

Dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia, h. 120.

Khairani, Peran Wilayatul Hisbah Dalam Penegakan Syariat Islam (Relfeksi 10 tahun
27

Berlakunya Syari’at Islam di Aceh) ( Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2014), h. 29.
13

Pada awal pembentukan lembaga/badan Wilayatul Hisbah, lembaga/badan

ini berada di bawah naungan Dinas Syari’at Islam. Menurut Hasbalah

Muhammad, Wilayatul Hisbah melakukan koordinasi dengan Dinas Syari’at

Islam berdasarkan surat perintah yang ditujukan melalui Kepala bagian yang

kemudian diteruskan kepada kepala kesatuan atau dapat langsung diperintahkan

oleh Kepala Dinas kepada kepala kesatuan Wilayatul Hisbah, sehingga sangat

tepat dalam penanganan pelanggaran Syari’at Islam. Namun kiprah dan

wewenangnya saja yang masih lemah dalam hal penerapan tugas dan fungsinya,

karenanya penerapan qanun untuk penegakkan Syari’at Islam dalam masyarakat

belum berjalan dengan maksimal.28

Berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 1 Tahun 2004 tersebut,

pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh dalam segala aspek kehidupan dapat

diterapkan kepada masyarakat yang didasarkan pada hukum material yakni Qanun

Nomor 11, 12, 13 dan 14 yang merupakan landasan penerapan awal bagi

masyarakat Aceh yang diawasi oleh Wilayatul Hisbah selaku badan yang

membantu tugas Gubernur dalam penegakan qanun yang berkenaan dengan

Syari’at Islam.29

Wilayatul Hisbah memiliki legalitas yang kuat serta mendapat apresiasi

besar dari seluruh kalangan, karena tidak terlepas dari pada program khusus

pemerintahan daerah yang menginginkan agar Syari’at Islam dapat terlaksana

Khairani, Peran Wilayatul Hisbah Dalam Penegakan Syariat Islam (Relfeksi 10 tahun
28

Berlakunya Syari’at Islam di Aceh), h. 30.

Khairani, Peran Wilayatul Hisbah Dalam Penegakan Syariat Islam (Relfeksi 10 tahun
29

Berlakunya Syari’at Islam di Aceh), h. 31.


14

secara kaffah, sehingga dukungan dari pemerintah daerah sangat besar kepada

Wilayatul Hisbah yang kemudian badan ini semakin berkiprah dalam menertibkan

pelanggar Syari’at Islam.30

Dengan berjalannya waktu dan kebijakan pemerintah yang terus

memberikan keluwesan terhadap Wilayatul Hisbah, maka lembaga ini terus

mengungkapkan kasus-kasus pelanggar yang terjadi dan senantiasa memberikan

bimbingan serta nasehat kepada masyarakat yang mengarah kepada pelanggaran.

Badan ini semakin berwibawa dalam pandangan masyarakat, terlebih lagi berada

di bawah Dinas yang dibentuk secara khusus guna mengatasi permasalahan

Syari’at Islam serta menitik beratkan pada subtansi pelaksanaan Syari’at Islam di

Aceh sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun

1999, kepada Aceh diberikan keistimewaan dibidang pendidikan, adat dan agama,

serta peran ulama dalam menentukan kebijakan Daerah.31

Dalam Keputusan Gubernur No. 1 Tahun 2004 ini dIsebutkan pengertian

Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan

melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang

Syari’at Islam dalam rangka melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar.32

1. Tugas Wilayatul Hisbah

Khairani, Peran Wilayatul Hisbah Dalam Penegakan Syariat Islam (Relfeksi 10 tahun
30

Berlakunya Syari’at Islam di Aceh), h. 31.

Khairani, Peran Wilayatul Hisbah Dalam Penegakan Syariat Islam (Relfeksi 10 tahun
31

Berlakunya Syari’at Islam di Aceh), h. 31.

Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi Syari’at Islam di Aceh (Cet. I;Banda
32

Aceh: Foundation Plubisher & PeNA Banda Aceh, 2009), h. 29.


15

a. Wilayatul hisbah mempunyai tugas:

1) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran

peraterundang-undangan dibidang Syari’at Islam

2) Melakukan pembinaan dan advokasi spiritual terhadap setiap

orang yang berdasarkan bukti permulaan patut diduga telah

melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-

undangan dibidang Syari’at Islam

3) Pada saat tugas pembinaan mulai dilakukan, mustahib perlu

memberitahukan halitu kepada Penyidik terdekat atau kepada

Keuchik/kepala Gampong dan keluarga;

4) Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-

undangan dibidang Syari’at Islam kepada penyidik.

b. Pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal

4 ayat (1) huruf a meliputi:

1) Memberitahukan kepada masyarakat tentang adanya peraturan

perundangundangan dibidang Syari’at Islam;

2) Menemukan adanya perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan

Syari’at Islam.

c. Pelaksanaan tugas pembinaan sebagaimana dimaksudkan dalam

Pasal 4 ayat (1) huruf b meliputi:


16

1) Menegur, memperingatkan dan menasehati seseorang yang

patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan

Syari’at Islam33

2) Berupaya untuk menghentikan kegiatan/perbuatan yang patut

diduga telah melanggar peraturan perundang-undangan

dibidang Adat Gampong

3) Memberitahukan pihak terkait tentang adanya dugaan telah

terjadi penyalahgunaan izin penggunaan suatu tempat atau

sarana

Mengenai tata cara pembinaan, ditemukan uraian dalam Pasal 12 Tata

cara pembinaan dapat dilakukan dengan dua hal:

Pertama; Secara langsung; yang dilakukan dengan pembinaan oleh

kelompok Wilayatul Hisbah terhadap pelanggaran yang dilakukan secara

kelompok atau pribadi terhadap ketentuan dan ketertiban masyarakat; atau

langsung melibatkan perusahaan/lembaga/instansi dan pemilik perusahaan untuk

memelihara ketentraman dan ketertiban bersama; dan langsung menegur dengan

surat kepada lembaga/instansi dan pemilik perusahaan guna membina dan

menertibkan kembali ke arah yang sesuai dengan Aqidah dan Syari’at.

Kedua; Secara tidak langsung; Dilakukan melalui ceramah-ceramah di

tempat umum; Mengedarkan booklet, leaflet dan buku-buku bacaan lainnya yang

33
Resti yuliana, peran wilayatul hisbah dalam mencegah terjadinya khalwat di kabupaten
aceh selatan, Skripsi, h. 21
17

berkenaan dengan tata cara pergaulan yang Islami; dan Pembinaan melalui media

elektronik dan surat kabar.34

2. Fungsi Wilayatul Hisbah

Fungsi Wilayatul Hisbah adalah mensosialisasikan qanun Syari’at

Islam, menegur/menasehati dan melakukan pembinaan terhadap pelanggar

Syari’at Islam. Diantara fungsi wilayatul hisbah yaitu:

a. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian perkara.

b. Menerima laporan pengaduan dari masyarakat.35

c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka atau memeriksa tanda

pengenal diri tersangka.

d. Menghentikan kegiatan yang patut di duga melanggar peraturan

perundangundangan.

3. Kewenagan Wilayatul Hisbah

Agar dapat melaksanakan tugas dan fungsi di atas, Wilayatul Hisbah

diberi kewenangan yang di atur dalam pasal 5 sebagai berikut:

34
Resti yuliana, peran wilayatul hisbah dalam mencegah terjadinya khalwat di kabupaten
aceh selatan, Skripsi, h. 22.
35
Resti yuliana, peran wilayatul hisbah dalam mencegah terjadinya khalwat di kabupaten
aceh selatan, Skripsi, h. 22.
18

a. Wilayatul Hisbah mempunyai kewenangan:

1) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan

perundang-undangan di bidang Syari’at Islam;

2) Menegur, menasehati mencegah, dan melarang setiap orang

yang patut diduga telah, sedang atau akan melakukan

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang

Syari’at Islam.

b. Muhtasib berwenang;

1) Menerima laporan pengaduan dari masyarakat;

2) Menyuruh berhenti seseorang yang patut di duga sebagai

pelaku pelanggaran;

3) Meminta keterangan identitas setiap orang yang patut diduga

telah atau sedang melakukan pelanggaran;

4) Menghentikan kegiatan yang patut diduga melanggar peraturan

perundang-undangan.36

c. Dalam proses pembinaan, muhtasib berwenang meminta bantuan

kepada Keuchik dan Tuha Puet setempat.37

36
Saleh, Suhaidy, Himpunan Undang-Undang Keputusan Presiden Peraturan
Daerah/Qanun Instruktur Gubernur Berkaitan Pelaksanaaan Syariat Islam (Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006), h. 296.
37
Resti yuliana, peran wilayatul hisbah dalam mencegah terjadinya khalwat di kabupaten
aceh selatan, Skripsi, h. 23.
19

d. Muhtasib dalam menjalankan tugas pembinaan terhadap seseorang

yang di duga melakukan pelanggaran diberi kesempatan maksimal

3 kali dalam masa tertentu

e. Setiap orang yang pernah mendapat pembinaan petugas muhtasib,

tetapi masih melanggar diajukan kepada penyidik.

Dari uraian di atas terlihat bahwa petugas (pejabat) Wilayatul

Hisbah mempunyai kewenangan untuk:

a. Masuk ke tempat tertentu yang diduga menjadi tempat terjadinya

masksiat atau pelanggaran Syari’at Islam;

b. Mencegah orang-orang tertentu, melarang mereka masuk ke tempat

tertentu, atau melarang mereka keluar dari tempat tertentu;

c. Meminta dan mencatat identitas orang-orang tertentu dan

d. Menghubungi Polisi atau Keuchik (Tuha Peut) Gampong tertentu

guna menyampaikan laporan atau memohon bantuan dalam upaya

melakukan pembinaan atau menghentikan perbuatan (kegiatan)

yang diduga merupakan pelanggaran atas qanun dibidang Syari’at

Islam.

Setelah ini, dalam Peratuan Gubernur Nomor 10 tahun 2005

tentang Pelaksanaan hukuman cambuk, yang ditetapkan pada tanggal 10 Juli


20

2005, kepada Wilayatul Hisbah diberikan tugas lain, yaitu menjadi petugas

pelaksanaan hukuman cambuk sekiranya diminta oleh Jaksa Penuntut Umum.38

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Setelah kerajaan Samudera Pasai ditaklukan Portugis sekitar tahun 1521

M, kerajaan itu berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat

di Banda Aceh Darussalam. Kekentalan pengaruh ajaran Islam pada

masyarakat Aceh ini tidak hanya terjadi pada masa-masa kerajaan saja,

tetapi juga terasa hingga sekarang. Mazhab hukum Islam yang

berkembang di kerajaan Aceh adalah Mazhab Syafi’i yang pada masa

pemerintahan Sultan Iskandar Muda memiliki seseorang mufti yang

terkemuka bernama Syekh Abdur Rauf Singkil. Sultan Iskandar Muda

adalah raja yang paling kokoh menjalankan aturan syariat tanpa pandang

bulu terhadap siapa pun, Sultan Iskandar Muda pernah memberlakukan

hukum rajam terhadap putranya sendiri yang bernama Meurah Pupok

yang berzina dengan istri seorang perwira. Sultan Iskandar Muda berkata;

“mati anak ada makamnya, mati hukum kemana hendak di cari”.

38
Resti yuliana, peran wilayatul hisbah dalam mencegah terjadinya khalwat di kabupaten
aceh selatan, Skripsi (Banda Aceh: Fak. Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Darussalam,
2019), h. 24.
21

2. Kewenangan untuk melaksanakan tugas pokok pengadilan agama

(Mahkamah Syar’iyah di Aceh) tersebut dibagi dua secara langsung dan

secara tidak langsung.

3. Wilayatul Hisbah mempunyai kewenangan untuk Masuk ke tempat

tertentu yang diduga menjadi tempat terjadinya masksiat atau pelanggaran

Syari’at Islam; Mencegah orang-orang tertentu, melarang mereka masuk

ke tempat tertentu, atau melarang mereka keluar dari tempat tertentu;

Meminta dan mencatat identitas orang-orang tertentu; dan Menghubungi

Polisi atau Keuchik (Tuha Peut) Gampong tertentu guna menyampaikan

laporan atau memohon bantuan dalam upaya melakukan pembinaan atau

menghentikan perbuatan (kegiatan) yang diduga merupakan pelanggaran

atas qanun dibidang Syari’at Islam.

B. Saran

Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekeliruan

karena minimnya referensi yangh kami dapatkan. Oleh karena itu kami masi

mengharapkan kritik dan saran oleh pembaca demi perbaikan makalah ini.
22

DAFTAR PUSTAKA

Adan, Hasanuddin Yusuf. Refleksi Implementasi Syari’at Islam di Aceh. Cet.

I;Banda Aceh: Foundation Plubisher & PeNA Banda Aceh, 2009.

Bahri, Syamsul. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Sebagai Bagian Wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jurnal Dinamika Hukum

12, no. 2 Mei (2012).

Djalil, H.A. Basiq. Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum

(Hk. Islam, Hk. Barat, dan Hk. Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama

Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan

Syari’at Islam di Aceh. Cet. II; Jakarta: Prenada Media Group, 2010..

Efa Laela Fakhriah dan Yusrizal, Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh

Dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum 3,

no. 2:h. 113.

Halim, Abdul. Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2002..

Ismanto dan Suparman, Sejarah Peradilan Islam di Nusantara masa Kesultanan-

Kesultanan Islam Pra-Kolonial, Historia Madania.

Khairani. Peran Wilayatul Hisbah Dalam Penegakan Syariat Islam (Relfeksi 10

tahun Berlakunya Syari’at Islam di Aceh). Banda Aceh: Ar-Raniry Press,

2014.
23

Koto, Alaiddin. Sejarah Peradilan Islam. Cet. III; Jakarta: Rajawali Pers, 2016.

Suhaidy, Saleh. Himpunan Undang-Undang Keputusan Presiden Peraturan

Daerah/Qanun Instruktur Gubernur Berkaitan Pelaksanaaan Syariat Islam.

Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

2006.

Sutantio, Retnowulan. Hukum Acara Pedata Dalam Teori dan Praktek. Bandung:

Mandar Maju, 1989.

Wibowo, Ari. Perkembangan Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia Menuju

Ke Peadilan Satu Atap, Al-Mawarid Ed. XVII (2007).

yuliana, Resti. Peran Wilayatul Hisbah dalam Mencegah Terjadinya Khalwat di

Kabupaten Aceh Selatan, Skripsi. Banda Aceh: Fak. Dakwah dan

Komunikasi UIN Ar-Raniry Darussalam, 2019.

Anda mungkin juga menyukai