Anda di halaman 1dari 12

Syari’at Islam di Aceh

Dosen pengampu : Dr. Saifullah Maysa, S.Ag., M.A.

Kelompok 7 :

Muhammad rizky 210212039

Farhan febrian mukti 210212043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI INFORMASI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI AR-RANIRY

2022 M/ 1443 H
KATA PEGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga
penyusunan bisa menyelesaikan makalah dengan judul “ Syari’at Islam di Aceh” untuk
memmenuhi tugas mata kuliah jaringan komputer. Dalam penyelesaian tugas makalah
ini, penulis mendapat bantuan dari banyak pihak, maka sepantasnya penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang tidak dapat
disebut satu persatu, atas berbaga arahan dan bimbingannya pada proses pe nyelesaian
makalah ini.

Namun penyusun menyadari banyak terdapat kesalahan dan kesilapan dalam menyusun
makalah ini, Penulis berharap dengan makalah ini dapat memberi banyak manfaat bagi
para pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Makalah ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
dari para pembaca demi perbaikan makalah ini.

2
DAFTAR ISI

KATA PEGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................3
BAB I..................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................................4
BAB II.................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................5
A. Sejarah Syari’at Islam di Aceh.................................................................................5
B. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh.........................................................................6
C. Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh..............................................................7
BAB III..............................................................................................................................11
PENUTUP.........................................................................................................................11
Kesimpulan...................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................12

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, secara bahasa bermakna jalan yang dilewati
untuk menuju sumber air, bertujuan supaya memberikan kemaslahatan kepada
manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa sumber air, dengan kata lain manusia tidak
bisa hidup tanpa syariat yang mengantarkan manusia mendapatkan hidup yang lebih
baik. Secara istilah syariat Islam merupakan totalitas ajaran agama Islam yang
terdapat dalam Alquran dan Sunnah, yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah (hablumminallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya
(hablumminannas).

B. Rumusan Masalah

1. Sejarah Syari’at Islam di Aceh ?

4
2. Pelaksaan Syari’at Islam di Aceh ?
3. Tujuan pelaksanaan syari’at islam di Aceh?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Syari’at Islam di Aceh

Islam mulai bertapak di bumi Aceh pada akhir abad pertama


Hijriyah. Keberadaan Islam di Aceh akhirnya membentuk kerajaan Islam
pertama di Asia Tenggara yang terletak di Bandar Khalifah-peurelak,
Aceh Timur. Kerajaan Islam ini didirikan pada tanggal 1 Muharram 225
H dengan raja pertamanya Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz
Syah yang beraliran Syi’ah. Kemudian pada masa sultannya yang
keempat, yaitu Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdulkadir Syeh Jihan
Berdaulat (306-310 H) aliran Syiah ini diganti dengan Ahlussunnah  wal
Jama’ah yang dalam pengamalan syariah ditetapkan mazhab imam
Syafi’i sebagai pegangan utama. Mazhab Syafi’i juga sebagai samudra
pasai, dan beberapa kerajaan Islam lainnya yang berada di Aceh.
Kemuadian kerajaan-kerajaan itu dipersatukan oleh Ali Mughayatsah

5
menjadi kerajaan Islam Aceh, yang ibukotanya Banda Aceh Darussalam
pada tahun 1511 M.1
Pada masa sultan Iskandar Muda (1607-1636) hukum Islam
dengan mazhab Syafi’i diterapkan secara kaffah, yang meliputi bidang
ibadah, ahwal syakhshiyah, mu’amalah maliyah, jinayah, ‘uqubah,
murafa’ah, iqtishadiyah, dusturiyah, akhlaqiyah dan ‘alaqah dauliyah,
yang akhirnya dikodifikasikan menjadi Qanun al-Asyi ( Adat Meukuta
Alam) yang ditulis dalam huruf Arab Melayu. Qanun ini ditetapkan oleh
Sultan Iskandar Muda sebagai Undang-Undang Dasar Kerajaan.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan satu-satunya
provinsi di Indonesia yang telah diundangkan pemberlakuan Syariat
Islam dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
penyelenggaraan keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh,
dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang penyelenggaraan
Pemerintahan di Aceh sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2001 yang memuat tentang pemberlakuan Syariat Islam di Aceh
secara kaffah, memberikan kesempatan bagi Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam untuk menerapkan Syariat Islam dalam kehidupan
bermasyarakatnya, baik dalam berbangsa dan bernegara. 2

B. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh

Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan


Syari’at Islam di Aceh, didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU
No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh telah diatur dalam Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, pasal 31
disebutkan:

1
Hamid Sarong, dkk, Kontekstualisasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda Aceh: Ar-Raniry
Press, 2003), hal. 25-26.
2
Misri A. Muchsin, dkk, Buku Panduan: Pelaksanaan Syariat Islam Bagi Birokrat, Cet.

6
1. Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut
kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

2. Ketentuan Pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut


kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3

Pemberlakuan syariat Islam di Aceh secara formal dilakukan


setelah keluarnya UU No. 44/1999 dan UU No. 18/2001, hal
mendasar dari dari undang-undang ini adalah adanya pemberian
kesempatan yang luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri, meggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber
daya manusia, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan
mengimplementasikan tata kehidupan bermasyarakat yang sesuai
dengan nilai luhur kehidupan bermasyarakat di Aceh. 4 Pengertian
syariat Islam di Aceh menurut UU No. 44/1999 adalah tuntutan ajaran
Islam dalam semua aspek kehidupan, Syariat Islam dipraktekkan
secara luas mencakup aspek pendidikan, kebudayaan, politik,
ekonomi dan aspek-aspek lainnya.

Ketentuan mengenai pelaksanaan Syariat Islam diatur dengan


Qanun. Adapun yang dimaksud dengan Qanun, dalam Pasal 1 angka 8
UU No. 18 Tahun 2001,dikatakan bahwa Qanun Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan
undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam
rangka penyelenggaraan otonomi khusus. Jadi, Qanun adalah
peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. 5

C. Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

Dalam masyarakat Aceh, sejak zaman Kesultanan Iskandar Muda


sudah masyhur ungkapan (petuah adat): “Syari’at ngon adat lagee zat
3
Marzuki Abubakar, “Syariat Islam Di Aceh: Sebuah Model Kerukunan Dan Kebebasan Beragama, Jurnal
Hukum Islam Dan Pranata Sosial”,h 156.
4
Puteri Hkmawati, “Relevansi Pelaksanaan Syariat Islam Nangroe Aceh Darussalam dengan Hukum Pidana
Nasional”, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR-RI, 2007, h. 57.
5
Puteri Hikmawati, “Relevansi Pelaksanaan Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dengan
Hukum Pidana Nasional” , h, 72.

7
ngon sifeut” artinya antara syariat dan adat bagaikan hubungan antara
zat dengan sifat yang tak mungkin bisa dipisahkan. Pelaksanaan Syariat
Islam di Aceh secara resmi berdasarkan Undang-undang negara
Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal 15 Maret 2002 (1
Muharam 1423H) dengan tujuan dasar untuk menegakkan amar ma’ruf
nahi mungkar.

Menurut buku “Syariah dan Ibadah” (Pamator 1999) yang disusun


oleh Tim Dirasah Islamiyah dari Universitas Islam Jakarta, ada 5 (lima)
hal pokok yang merupakan tujuan utama dari Syariat Islam6, yaitu:

1. Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)

Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak


bertanggung-jawab yang hendak merusak akidah, ibadat dan akhlak
umat. Ajaran Islam memberikan kebebasan untuk memilih agama,
seperti firman Allah dalam Al-Quran :
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-
Baqarah [2]: 256).
Akan tetapi, agar terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya
rahmatan lil’alamin, maka Allah SWT telah membuat peraturan-
peraturan, termasuk larangan berbuat musyrik dan murtad. Seperti
firman Allah dalam Alquran surat An-Nisaa : 48 yang artinya :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempesekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” Dengan adanya Syariat
Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.

2. Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)

Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu,


diberlakukanlah hukum qishash yang merupakan suatu bentuk hukum
pembalasan. Seseorang yang telah membunuh orang lain akan
dibunuh, seseorang yang telah mencederai orang lain, akan dicederai,
seseorang yang yang telah menyakiti orang lain, akan disakiti secara

6
Mariska Rafi, “Makalah Studi Syariiat Islam tentang pengertian, prinsip dan tujuan pelaksanaan
syariat Islam di Aceh”, h, 8

8
setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut melakukan kejahatan.
Ayat Al-Quran menegaskan:
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepadamu
qishash (pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh…” (QS Al-
Baqarah [2]: 178).
Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh
yang bersangkutan, atau diat (ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar.
Ayat Al-Quran menerangkan hal ini: “Barangsiapa mendapat pemaafan
dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik dan hendaklah
(orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan
tertanggulani karena para calon pembunuh akan berpikir ulang untuk
membunuh karena nyawanya sebagai taruhannya. Dengan begitu, jiwa
orang beriman akan terpelihara.

3. Memelihara akal (Hifzh al-’aqli)

Kedudukan akal manusia dalam pandangan Islam amatlah


penting. Akal manusia dibutuhkan untuk memikirkan ayat-ayat
Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah (sunnatullah) menuju manusia kamil.
Salah satu cara yang paling utama dalam memelihara akan adalah
dengan menghindari khamar (minuman keras) dan judi. Ayat-ayat Al-
Quran menjelaskan sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai
khamar (minuman keras) dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
kedua-duanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 219).
Syariat Islam akan memelihara umat manusia dari dosa
bermabuk-mabukan dan dosa perjudian.

4. Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)

Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan


zina. Dalam Syariat Islam telah jelas ditentukan siapa saja yang boleh
dinikahi, dan siapa saja yang tidak boleh dinikahi. Al-Quran telah
mengatur hal-hal ini:

9
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah
[2]: 221).
“Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari
orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2).
Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik
(dengan cambuk) dan emosional (dengan disaksikan banyak orang)
agar para pezina bertaubat.

5. Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)

Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda


akan merasa lebih aman, karena Islam mengenal hukuman Had, yaitu
potong tangan dan/atau kaki. Seperti yang tertulis di dalam Al-Quran:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagaimana) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S Al-Maidah [5]: 38).
Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada
batasan tertentu dan alasan yang sangat kuat sebelum diputuskan.
Jadi, bukan berarti orang mencuri dengan serta merta dihukum potong
tangan. Dilihat dulu akar masalahnya dan apa yang dicurinya serta
kadarnya. Jika ia mencuri karena lapar dan hanya mengambil beberapa
butir buah untuk mengganjal laparnya, tentunya tidak akan dipotong
tangan. Berbeda dengan para koruptor yang sengaja memperkaya diri
dengan menyalahgunakan jabatannya, tentunya hukuman berat sudah
pasti buatnya. Dengan demikian Syariat Islam akan menjadi andalan
dalam menjaga suasana tertib masyarakat terhadap berbagai tindak
pencurian.

10
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Islam mulai bertapak di bumi Aceh pada akhir abad pertama Hijriyah.
Keberadaan Islam di Aceh akhirnya membentuk kerajaan Islam pertama di Asia
Tenggara yang terletak di Bandar Khalifah-peurelak, Aceh Timur. Kerajaan Islam
ini didirikan pada tanggal 1 Muharram 225 H dengan raja pertamanya Sultan
Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah yang beraliran Syi’ah.
Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh telah diatur dalam Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, pasal 31 disebutkan:
1. Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut
kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

11
2. Ketentuan Pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut
kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan
dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Ada 5 (lima) hal pokok yang merupakan tujuan utama dari Syariat Islam, yaitu:

1. Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)


2. Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)
3. Memelihara akal (Hifzh al-’aqli)
4. Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)
5. Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)

DAFTAR PUSTAKA

Puteri, Hikmawati, “Relevansi Pelaksanaan Syariat Islam di Nanggroe


Aceh Darussalam dengan Hukum Pidana Nasional”, Pusat Pengkajian,
Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR-RI, 2007.
(PDF) Penerapan Syariat Islam Aceh dalam lintas Sejarah (researchgate.net)

https://www.kompasiana.com/r_syah/54f6815da3331179078b5023/pelaksanaan-
syariat-islam-di-aceh

Sejarah Lahirnya Syariat Islam di Aceh - Gampong Syariah (123dok.com)

Syariat Islam Di Aceh Dalam Sistem Hukum Nasional – suduthukum.com

Mariska, Rafi. Makalah Studi Syariiat Islam tentang pengertian, prinsip dan
tujuan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Academia.edu. 2015.

12

Anda mungkin juga menyukai