Anda di halaman 1dari 20

DINAMIKA LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA PADA MASA

ORDE BARU
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Hukum Islam di Indonesia
Dosen Pengampu : Ali Mansur, MA.

Disusun Oleh:
Kelompok 7

1. Nuzulia Azizah Al Lailiyah 11200430000108


2. Puja Akbar 11200430000109
3. Zahra Kamila 11200430000137

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023
Kata Pengantar

Alhamdulilah, kami panjatkan rasa puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah memberkahi kami, sehingga makalah ini dapat selesai dengan tepat waktu. Sholawat serta
salam tak lupa kami ucapkan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah
memberi jalan yang terang dan mengentas kita dari kebodohan.

Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Ali Mansur, MA. yang setia
membimbing kami selama masa perkuliahan serta proses penyelesaian makalah. Tak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu kita dalam penyelasian
makalah ini, terutama kepada orang tua kami yang selalu mendoakan kami dimana pun berada.

Dan tak lupa kami ucapkan maaf atas segala khilaf atas penulisan makalah ini. Karena
kami juga hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Semoga apa yang kami
sajikan ini berguna bagi kita semua dan dapat membantu dalam segala hal.

Penyusun berharap, makalah ini dapat bermanfaat untuk ke depan dan rekan – rekan
mahasiswa lainya. Amin.

Ciputat, 28 Maret 2023

Penyusun

2
Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................................................................................................ 2


Daftar Isi ................................................................................................................................... 3
BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 4
Latar Belakang ....................................................................................................................... 4
Rumusan Masalah .................................................................................................................. 5
Tujuan Penelitian .................................................................................................................... 5
BAB II ....................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 6
1. Dinamika Yang Muncul Atas Batasan Usia Minimal Perkawinan ................................. 6
2. Karakteristik Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ...................................................... 8
3. Dinamika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama .............. 9
4. Karakteristik UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 .................................... 13
5. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1999 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) ........... 15
BAB III.................................................................................................................................... 18
PENUTUP............................................................................................................................... 18
Kesimpulan ......................................................................................................................... 18
Saran.................................................................................................................................... 19
Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 20

3
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia. Sejak
masa penjajahan, islam telah menjadi bagain penting dalam sejarah dan kehidupan masyarakat
Indonesia. Kehadiran islam di Indonesia tidak hanya sebagai ajaran agama, namun juga
membentuk identitas nasional Indonesia sebagai negara dengan masyarakat yang pluralistic
dan multicultural.

Pada masa orde baru di Indonesia, dinamika legislasi hukum islam mengalami
perubahan yang signifikan. Pemerintah orde baru yang berkuasa selama lebih dari dua dekade
telah menghasilkan beberapa peruahan hukum islam yang mempengaruhi kehidupan umat
islam di Indonesia. Pada masa itu, pemerintah orde baru mengeluarkan beberapa kebijakan
hukum islam yang bertujuan untuk mengatur dan mengendalikan ajaran islam di Indonesia.
Beberapa kebijakan tersebut diantaranya adalah penerbitan Undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan dan perceraian, Undang-undang nomor 7 tahun 1989 serta Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1999. Namun, kebijakan tersebut juga mendapat banyak kritik dari
kalangan umat islam dan organisasi islam di Indonesia karena dinilai melanggar hak-hak asasi
manusia dan kebebasan beragama. Banyak kelompok islam yang menolak kebijakan-kebijakan
tersebut karena merasa bahwa kebijakan tersebut mengurangi otonomi masyarakat muslim
dalam memahami dan mengamalkan ajaran islam

Dalam konteks legislasi hukum islam di Indonesia, salah satu undang-undang yang
sangat penting adalah undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. Undang-
undang ini menetapkan kewenangan peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa yang
berkaitan dengan perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf serta perkara yang berkaitan dengan
kehidupan beragama. Undang-undang nomor 7 tahun 1989 mengalami beberapa perubahan,
salah satunya Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan agama. Perubahan ini
menguatkan peradilan agama, memperkuat perlindungan hak-hak perempuan, meningkatkan
keterbukaan dan akuntabilitas, serta mengakomodasi keberagaman masyarakat.

Dalam makalah ini akan dibahas dinamika legislasi hukum islam di masa orde baru,
termasuk perubahan-perubahan yang terjadi dalam undang-undang dan peraturan-peraturan
yang berkaitan dengan hukum islam. Makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman

4
yang lebih mendalam tentang dinamika legislasi hukum islam di masa orde baru, serta
memberikan gambaran mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi dalam proses
pembentukan hukum islam di masa kini.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana dinmika dan karakteristik Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang


perkawinan?
2. Bagaimana dinamika dan karakteristik Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama?
3. Bagaimana dinamika dan karakteristik Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI)?

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dinmika dan karakteristik Undang-undang Nomor 1 tahun 1974


tentang perkawinan
2. Untuk mengetahui dinamika dan karakteristik Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
3. Untuk mengetahui dinamika dan karakteristik Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

5
BAB II

PEMBAHASAN

1. Dinamika Yang Muncul Atas Batasan Usia Minimal Perkawinan

Perubahan Batasan Minimal Usia Perkawinan

Sasaran perubahan peraturan ini adalah perubahan Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) UU
Perkawinan. Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017 tentang perkara pengujian UU Perkawinan
menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 tahun” bertentangan dengan
UndangUndang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat. Kemudian MK
memerintahkan pembuat Undang-Undang untuk melakukan perubahan terhadap UU
Perkawinan di Pasal 7 Ayat (1) berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi
perempuan.

Perubahaan Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan merupakan bagian dari amanat konsitusi
khususnya Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ketentuan a quo menunjukan
bahwa tidak ada perbedaan dalam hak dan kedudukan baik didalam hukum dan pemerintahan
antara setiap warga negara atau dikenal juga dengan “Equality before the law “. Pasal 7 Ayat
(1) membedakan antara warga negara laki-laki dan perempuan. Pembedaan tersebut perlu
dihapuskan karena tidak sesui dengan Pasal 27 (1) UUD NRI Tahun 1945 dengan menyamakan
batas usia perkawinan perempuan dan laki-laki pada usia 19 tahun.

Penyamaan batas usia perkawinan perempuan dan laki-laki pada usia 19 tahun juga
berkesesuaian dengan kerangka hak asasi manusia yang telah menjadi bagian dari politik
hukum di Indonesia dengan adanya UU Pengesahan Konvensi Hak Sipil dan Politik, UU
Pengesahan Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan Ratifikasi Konvensi Hak
Anak. Usia 19 tahun merupakan usia yang dapat dikategorikan bukan lagi anak dan di atas
batas usia yang telah disebutkan dalam Konvensi Hak Anak.

Selain itu, Pasal 7 ayat (2) mendesak untuk direvisi karena memberikan peluang
adanya penyimpangan terhadap usia minimum perkawinan dengan tidak ada batasan yang jelas
dalam situasi apa penyimpangan dapat dilakukan. Perlu adanya batasan yang jelas agar
penyimpangan terhadap usia minimum tidak mudah dilakukan. Usia 16 tahun bukanlah usia

6
yang tepat untuk melakukan perkawinan bagi anak perempuan, karena usia 16 tahun adalah
usia dimana seharusnya anak masih mengikuti pendidikan sesuai dengan citacita pemerintah
yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional (UU
Pendidikan Nasional) yang mewajibkan adanya wajib belajar 12 tahun. Jika melihat usia
pendidikan pertama usia anak masuk Sekolah Dasar di usia 7 tahun maka dengan adanya wajib
belajar 12 tahun berarti usia anak untuk mendapatkan hak pendidikannya sampai selesai adalah
19 tahun.

Pasal 7 ayat (1) terkait usia perkawinan perempuan yang masih mematok usia 16 tahun
adalah bentuk pembedaan terhadap salah jenis kelamin, yaitu perempuan, yang mana di dalam
UU HAM Pasal 1 ayat (3) hal tersebut masuk dalam salah satu bentuk diskriminasi. Bahwa
kematangan fisik dan mental kedua calon mempelai yang merupakan hal yang sangat penting
karena dalam perkawinan kedewasaan dan rasa tanggung jawab yang besar sangat diperlukan
dalam membentuk keluarga. Kedewasaan ini diaplikasikan dengan pola relasi yang sejajar dan
menganggap pasangan sebagai mitra, sehingga komunikasi dalam rumah tangga tersebut
berjalan sesuai harapan. Prinsip kematangan calon mempelai juga dimaksudkan bahwa calon
suami isteri harus telah matang jasmani dan rohani untuk melangsungkan perkawinan, agar
dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan.

Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan mengatur tentang dispensasi perkawinan di bawah usia
minimum yang dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lainnya oleh orang tua pihak
pria atau pihak wanita. Pasal ini perlu dipertegas dan dipastikan agar tidak digunakan sebagai
alasan oleh kedua pihak orang tua untuk mengawinkan anak-anak mereka yang masih di bawah
umur. Pembatasan terhadap penyimpangan usia minimun juga perlu diikuti dengan: 1) upaya-
upaya pencegahan untuk menghindari penyimpangan terhadap usia minimum dan untuk
mempromosikan perkawinan di atas usia minimum dalam berbagai bentuk kegiatan; 2)
upayaupaya afirmasi terhadap anak yang melangsungkan perkawinan di bawah usia minimal
dalam bentuk, pertama, perlindungan hak-haknya seperti hak untuk melanjutkan pendidikan;
kedua, pendampingan khusus dalam bentuk pelatihan-pelatihan menghadapi kondisi
perkawinan dalam usia muda dan dampak dari perkawinan (kehamilan dan pengasuhan anak);
ketiga, bantuan khusus ekonomi, sosial dan psikososial bagi anak-anak yang masuk dalam
kondisi penyimpangan usia perkawinan.

Perubahan Pasal 7 Ayat (2) berkesesuaian dengan upaya untuk mempromosikan,


melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Pada dasarnya perlindungan anak bertujuan untuk

7
menjamin terpenuhinya dua hal yaitu hakhak anak dan kesejahteraan anak. Apapun perbuatan
yang dilakukan oleh orang tua atau para pihak yang terlibat dengan anak harus memperhatikan
dua tujuan tersebut dengan didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak. Para pihak yang
terlibat dengan dispensasi kawin harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh akan hak-hak
anak dan juga kesejahteraan anak baik lahiriah maupun batiniah, baik fisik maupun psikis.
Dalam hal ini yang dimaksud hak-hak anak adalah berbagai kebutuhan dasar yang seharusnya
diperoleh anak untuk menjamin kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan dari
segala bentuk perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran terhadap anak, baik yang
mencakup hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya. UU Perkawinan hanya mewajibkan
pengadilan mendengar keterangan orang tua dalam permohonan dispensasi kawin. Karena itu,
adanya PERMA No. 5 Tahun 2019, yang mengacu pada Konvensi mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms
of Discrimination Against Women), Undang-Undang Perlindungan Anak, dan PERMA No. 3
Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum,
sangat penting untuk menjamin pelaksanaan sistem peradilan yang melindungi hak anak.1

2. Karakteristik Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Karakteristik yang terdapat pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah sebagai berikut:

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami
isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masingmasing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.

b. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan disamping
itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

1
Bestha Inatsan Ashila, Mendorong Peran Hakim Dalam Mencegah Perkawinan Anak,
http://ijrs.or.id/mendorong-peran-hakim-dalam-mencegah-perkawinan-anak/diakses pada 27
Februari 2023

8
c. Undang-undang ini menganut asas monogamy. Hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun
demikian perkawinan seorang suami dengan lebih seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai
persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan
sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di
bawah umur. Disamping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk
kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umum
yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur
untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan
16 (enam belas) tahun bagi wanita.

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan
sejahtera, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut prinsip
untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-
alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan. f. Hak dan kedudukan isteri
adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga
maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam
keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.2

3. Dinamika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama

Lembaga Pengadilan Agama telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan keyakinan umat
Islam jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia. Usaha Belanda menghapuskan Lembaga
tersebut tidak berhasil, karenanya wajar apabila umat Islam sangat mendambakan terbitnya
Undang-Undang Pengadilan Agama sejak Indonesia memperoleh kemerdekaan.

Lahirnya undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan


Kehakiman telah mengakui Pengadilan Agama setara dengan pengadilan lainnya. Ini terdapat

2
Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, PT Rineka Cipta,
Jakarta, 1986, hlm.7-9.

9
pada pasal 10 ayat 2 yaitu: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan a) pengadilan umum, b) pengadilan Agama, c) pengadilan militer, d) pengadilan
Tata Usaha Negara.” Hal ini membuat umat Islam semangat untuk membuat Undang-Undang
yang mengatur Pengadilan Agama.

Makna kekuasaan kehakiman sama arti dan tujuannya dengan kekuasaan Pengadilan atau
judicial power yakni kekuasaan yang menjalankan fungsi dan kewenangan Pengadilan guna
menegakkan hukum dan keadilan dalam negara hukum Republik Indonesia. Tugas pokoknya
menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya. 3

Usaha untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agama telah dimulai


oleh Departemen Agama sejak tahun 1961, yaitu sejak dibentuknya sebuah panitia dengan
keputusan Menteri Agama Nomor 66 Tahun 1961. Dalam masa 28 tahun sejarah pembentukan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama (1961-1988), kegiatan
persiapan RUU PA telah menghabiskan waktu selama 27 tahun (1961-1988) dan
pembahasannya di DPR RI selama satu tahun, yaitu sejak diantarkannya RUU tersebut melalui
amanat Presiden nomor R.06/PU/XII/1988 tanggal 3 desember 1988 untuk dibicarakan dalam
sidang DPR RI guna mendapatkan persetujuan, sampai disetujui dalam sidang pleno DPR RI
pada tanggal 14 desember 1989.

Dalam kurun waktu 27 tahun mempersidangkan RUU PA dapat dibagi kedalam tiga periode,
yaitu:4

Periode pertama, (1961-1971) dalam periode ini kegiatan terbatas dalam lingkungan
intern Departemen Agama sendiri dan belum dilakukan langkah-langkah keluar. Periode kedua
(1971-1981), dalam periode ini sudah dilakukan usaha-usaha keluar Departemen Agama,
namun belum diperoleh sambutan dari instansi terkait maupun yang langsung menyetujui
gagasan dipersiapkannya RUU PA. dan periode ketiga (1981-1988), dalam periode ini gagasan
mempersiapkan RUU PA yang telah lama didambakan oleh Departemen Agama langsung
mendapat persetujuan dari instansi terkati yang lain. Persetujuan tersebut dimulai oleh
Mahkamah Agung pada tahun 1981 kemudian oleh Departemen Kehakiman pada tahun 1982,
yaitu melalui keputusan Menteri Kehakiman Tahun 1982 No. G-164-PR-04.03/1982 yang

3
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 126
4
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989) (Jakarta:
Sinar Grafika, 2001) hal. 89

10
berisi keputusan untuk membentuk tim, pembahas dan penyusun rancangan tersebut. Tertunjuk
sebagai ketua tim adalah Bustanul Arifin (ketua muda urusan lingkungan Peradilan Agama
Mahkamah Agung saat itu).5

Dengan keluarnya keputusan Menteri Kehakiman tahun 1982 yang berisi keputusan
untuk membentuk tim pembahas dan penyusun Rancangan Undang-Undang mengenai
Pengadilan Agama, maka Rancangan Undang-Undang mengenai pengadilan ini mulai
ditanggapi. Dengan menunjuk Bustanul Arifin sebagai ketua tim pembahas RUU ini.

Untuk menegakkan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal dalam negara
Repbulik Indonesia, pada tanggal 8 desember 1988 presiden RI menyampaikan RUU PA
kepada DPR untuk dibicarakan dan disetujui sebagai Undang-undang menggantikan semua
peraturan perundang-undnagan tentang Pengadilan agama yang tidak sesuai lagi dengan UUD
1945 dan Undang-undang tentang Pokok-pokok kekuasaan kehakiman 1970.6

Setelah dibicarakan secara mendalam, dibahas dan diuji dengan berbagai wawasan
perundang-undangan yang berlaku, akhirnya pada kamis, 14 desember 1989 RUU PA itu
disetujui oleh DPR menjadi Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 oleh Presiden RI,
diundangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat dalam
Lembar Negara Nomor 49 tahun 1989.

Perdebatan Politik Seputar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan


Agama

Perdebatan seputar RUU pengadilan agama ini melahirkan 3 (tiga) kelompok besar
yang mengarah kepada penolakan terhadap RUU tersebut. Kelompok pertama, mengatakan
bahwa dalam rangka menuju unifikasi hukum di Indonesia, pengadilan agama tidak diperlukan
lagi. Sebab aka nada kesan dualism dalam sistem pengadilan di Indonesia. Kalupun ada
pengadilan agama, maka harus berinduk kepada pengadilan umum. Kelompok ini ingin
mempertahankan status quo, dimana pengadilan agama tidak mempunyai kebebasan untuk
mengimplementasikan kompetensinya, bahkan mereka ingin supaya pengadilan agama sebagai
subordinat dari pengadilan umum. Hal ini menurut Bustanul Arifin, sesuatu yang tidak
konstitusional, sebab lingkungan pengadilan berinduk kepada Mahkamah Agung.

5
Muchtar Zarkasyi, Kerangka Historis Pembentukan UU No. 7 Tahun 1989 (Bandung: Ulul Albab Press, 1977),
hal.305
6
Munawir Sadjali, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa (Jakarta: UI Press, 1993), hal.27

11
Kelompok kedua, menginginkan agar pengadilan agama dibubarkan. Umat Islam
seharusnya mengrus sendiri hukum islam yang mereka anut. Orang-orang ini menolak
pengadialn agama, dimana mereka berpendapat bahwa agama itu dipisahkan dari campur
tangan negara (sekuler), termasuk intervensi negara dalam soal mengurus pengadilan agama.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI), kelompok non muslim dan kelompok sekuler bahkan
sebagian pemimpin-pemimpin Islam juga keberatan dengan RUU PA ini. Bahkan partai
berkuasa Golkar telah terpecah menjadi dua kelompok, kelompok yang setuju dan kelompok
yang menentang. Namun, fraksi ABRI berusaha dengan serius untuk mencari solusi terbaik di
antara pro-kontra tersebut sehingga dapat mengurangi terjadinya konflik.

Kelompok ketiga, bukan saja menolak RUU PA, tetapi juga resistensi Pengadilan Agama.
Franz Magnis Suseno yang termasuk kelompok ini berpendapat, dibentuknya Pengadilan
Agama umat islam sebagai pengadilan khusus, berarti diskriminasi terhadap kelompok lainnya.
lebih jauh lagi ada tuduhan bahwa RUU PA termasuk pada usaha untuk memberlakukan
Kembali Piagam Jakarta.

Dari ketiga kelompok di atas, pada prinsipnya sama yakni keberatan terhadap Pengadilan
Agama. Kelompok pertama melihat dari segi politik hukum yang berkembang sejak masa
penjajahan dengan memberlakukan pengadilan agama hidup tanpa eksistensi yang jelas.
Munawir Sadjali menyebutkan kebijakan seperti itu dengan istilah politik pengadilan pupuk
bawang yang selalu dikebiri. 7

Tanggapan kelompok ketiga mengaitkan dengan rencanan menghidupkan Kembali Piagam


Jakarta yang pernah direvisi terutama menyangkut kalimat: “dengan kewajiban menjalankan
syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Kelompok ini terlalu berlebihan karena khawatir terhadap rencana pembentukan negara
islam.

Tuduhan lain menyatakan bahwa RUU PA berlawanan dengan prinsip kesatuan hukum
yang sudah ada di Indonesia, yang meliputi prinsip kesatuan, wawasan nusantara, berlawanan
dengan negara Pancasila, bahkan dinyatakan diskriminatif karena RUU PA itu dikhususkan
bagi orang-orang islam di Indonesia. Seolah-olah kelompok ini tidak ingin membandingkan
permasalahan ini dengan BW yang merupakan warisan colonial belanda, dimana BW ini
sampai sekarang masih tetap berada di Indonesia sesuai peraturan peralihan pasal 1 UUD 1945.

7
Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia (pemikiran dan praktek) (Bandung: PT. Remaja Rosada Karya, 1994),
hal. 76

12
Padahal nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya berasal dari etika Kristen, seharusnya
peraturan-peraturan yang terdapat di dalam BW itu hanya berlaku bagi agama Kristen saja.
begitu pula pengadilan negeri yang notabene peraturannya dari etika Kristen itu harus pula
dikhususkan untuk umat kristiani saja. hal-hal seperti inilah yang kurang diperhatikan oleh
intelektual dan ahli hukum non muslim di Indonesia.

Pada sisi lain, terlihat pula politik kristiani yang cenderung menghalangi setiap kebijakan
yang tampaknya menguntungkan hukum islam atau umat islam pada umumnya. Sekedar
contoh, permainan politik Kristen, muncul RUU perkawinan dan RUU PA. politik Kristen ini
bergerak baik dalam jajaran pemerintah, partai politik dan para intelektual mereka. Dari dalam
jajaran pemerintah misalnya memperlambat proses pembicaraan RUU PA dengan berbagai
alasan yang terkadang seolah-olah sulit untuk diterima oleh akal sehat. Seperti pertimbangan
ketetapan waktu yang dianggap mengguncang stabilitas nasional, persoalan konsep yang
dianggap masih mentah, dan memperlambat jalur surat dari instansi pemerintah. Dalam kasus
RUU PA dari partai politik seperti aliansi nasionalis sekuler dengan Kristen melalui partai
demokrasi Indonesia (PDI) yang sikapnya menolak dan berupaya meninggalkan. Karena suara-
suara yang bokal dari fraksi ini seperti Sabam Sirait dan teman-teman. Dari Golkar, ketika
pembicaraan terhadap persiapan draft, dalam setiap rapat golkar diwakili dari agama Kristen,
begitu juga dari jajaran departemen, seperti departemen kehaikman dan departemen secretariat
negara. Sementara dari kalangan intelektual yang muncul Franz Suseno dan romo-romo
lainnya. 8

4. Karakteristik UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006

Terjadinya reformasi sistem penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diawali ketika


amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945, yakni dengan dimasukkannya pasal 24 ayat
(2) dalam UUD 1945 amandemen, yang menyatakan bahwa:

“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan Pengadilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan Pengadilan Umum, lingkugan Pengadilan Agama,
lingkungan Pengadilan Militer, lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara.”

Hal ini menunjukkan bahwa reformasi dalam bidang hukum telah mendapat respon dari
pemerintah. Amandeman UUD 1945 ini mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap UU
kekuasaan kehakiman yang kemudian terbentuklah UU No. 4 Tahun 2004, hal ini otomatis

8
Juhaya S. Praja, Hukum, hal. 27

13
akan berimbas kepada undang-undang kekuasaan kehakiman yang lain, seperti terjadi pada UU
tentang Pengadilan Agama.

Pada Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pengadilan Agama telah menjelma sebagai
court of law dengan karakteristik hukum acara tersendiri telah dijalankan dengan baik dan
benar, tertib dalam melaksanakan administrasi dan putusan dilaksanakan oleh pengadilan yang
memutuskan perkara tersebut. Dalam undang-undang ini Pengadilan Agama hanya berwenang
menyelesaikan perkara perkawinan, wakaf, waris, shodaqah dan infaq. Sekarang berdasarkan
pasal 49 terutama huruf (i) pada Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, kewenangan PA diperluas
yaitu di bidang ekonomi syariah.

Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2006 sebagai pengganti terhadap UU No. 7 tahun
1989 maka Pengadilan Agama diperluas lingkup tugas dan wewenangnya seperti:

Pertama, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang:

1. Perkawinan
2. Kewarisan
3. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
7. Shadaqah
8. Infaq, dan
9. Ekonomi Syari’ah

Dalam penjelasan pasal 49 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah:

1. Bank Syari’ah
2. Asuransi syari’ah
3. Reasuransi syari’ah
4. Reksadana syari’ah
5. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
6. Sekuritas syari’ah
7. Pembiayaan syari’ah
8. Pegadaian syari’ah

14
9. Dana pensiun Lembaga keuangan syari’ah
10. Bisnis syari’ah, dan
11. Lembaga keuangan mikro syari’ah

Kedua, diberikan tugas dan wewenang penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan
lainnya. Ketiga, diberi tugas dan wewenang memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam
penentuan awal bulan pada tahun hijriyah.

Setelah undang-undang no.7 tahun 1989 tentang pengadilan agama dieprbaharui dengan
UU No. 3 tahun 2006 tentang pengadilan agama, maka beberapa rumusan yang berkaitan
dengan eksistensi dan kewenangan pengadilan agama juga ikut berubah, hal ini karena
berkaitan dengan bertambahnya ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan agama.
Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 Tahun
2006 tentang pengadilan agama adalah,

“Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud
dalam undang-udang ini”.

Terbentuknya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama bagi


umat Islam menjadi babak yang cukup revolusioner. Hal ini karena secara filosofis-sosiologis,
yang hendak ditegakkan dalam Pengadilan Agama adalah subsatansi nilai-nilai hukum sosial
dalam masyarakat Islam yang tidak mungkin dikompromikan dengan nilai-nilai lain dalam
konteks kemajemukan nilai yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia pada saat ini.

5. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1999 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden RI telah mengeluarkan Instruksi Presiden No.1 Tahun
1991 kepada Menteri Agama untuk : pertama menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang
terdiri dari 3 (tiga) buku:

- Buku I : tentang Hukum Perkawinan.


- Buku II : tentang Hukum Kewarisan.
- Buku III : tentang Hukum Perwakafan.

untuk digunakan oleh pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dan


melaksanakan instruksi itu dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab. Ketiga

15
Buku Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam Loka karya para Ulama Indonesia pada tanggal
2-5 Februari 1988 telah diterirna dengan baik

Lahirnya KHI yang ditetapkan dalam bentuk Intruksi Presiden No.1 Tahun 1991, adalah
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia (khususnya Masyarakat islam) agar dida!am
bidang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan didapati ketentuan hukum yang lebih
lengkap, pasti dan mantap sesuai dengan sasaran kemerdekaan bangsa Indonesia yang
berdasarkan Pancasiia dan UUD 1945.

Munculnya keberadaan KHI di Indonesia membawa dampak positif namun disatu sisi
juga menimbulkan problematika tersendiri. Kedudukan dasar hukum Kompilasi Hukum Islam
yang hanya berwujud Instruksi Presiden (Inpres) setidaknya menjadi problematika dalam
tatanan sistem perundang-undangan di Indonesia, meskipun implementasinya para hakim
Pengadilan Agama akan menentukan KHI sebagai rujukan maupun dasar hukum dalam
memutus perkara tanpa melihat dasar KHI hanya berupa Inpres.9

Perubahan amandemen UUD NRI 1945 membawa pengaruh besar dalam


penyelenggaraan kekuasaan khususnya terhadap kekuasaan kehakiman. Lahirnya UU No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lahirnya UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman merupakan dampak pengaruh yang besar pasca amandemen UUD NRI
1945 yangmana undang-undang tersebut dalam konsiderannya tersebut bahwa UUD NRI 1945
mengisyaratkan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan bebas dan merdeka tanpa intervensi
pihak manapun yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya,
dan oleh Mahkamah Konstitusi, guna penyelenggaraan peradilan yang menegakkan keadilan
dan hukum. Selaras dengan kemajuan zaman yang berkembang pesat dan hukum yang berjalan
secara dinamis demi mewujudkan suatu penataan sistem peradilan dan penegakan hukum
terpadu maka UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dinilai sudah tidak lagi
relevan dengan keberlanjutan hukum yang berjalan dinamis sehingga dengan ini undang-
undang tersebut telah dicabut dan diganti dengan pembentukan undangundang yang baru yaitu
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat (1) menjelaskan
mengenai lingkup peradilan dibawah Mahkamah Agung termasuk didalamnya yaitu

9
Fajar Sugianto, Denny Ardhi Wibowo, and Tomy Michael, ‘KEDUDUKAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1991 TENTANG PENYEBARLUASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM
HUKUM KEWARISAN INDONESIA’, Jurnal Aktual Justice, 5.1 (2020).

16
lingkungan peradilan agama. Akibat penerapan dari regulasi aturan tersebut yakni pengalihan
struktural mulai dari finansial, administrasi, organisasi badan peradilan yang sebelumnya
dibawah Presiden (eksekutif) kini berada dibawah naungan Mahkamah Agung (judikatif),
Secara eksplisit kemudian pengaturan mengenai hal tersebut dituangkan secara jelas didalam
Pasal 21 ayat (1). Uraian penjelasan terebut menunjukan bahwa terdapat pengalihan kekuasaan
pasca amandemen UUD NRI 1945, bahwa sebelum amandemen kekuasan badan-badan
peradilan berada dibawah eksekutif. Sejalan dengan hal ini, maka timbul pertanyaan apakah
setelah adanya pengalihan kekuasaan pasca amandemen UUD NRI 1945 Instruksi Presiden
1/1991 tentang Penyebarluasan KHI masih eksis untuk diakui dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Pengalihan kekuasaan pasca amandemen UUD NRI 1945 juga berimplikasi pada
badan peradilan, dengan demikian lingkungan peradilan agama yangmana merupakan lembaga
peradilan dibawah Mahkamah Agung merupakan salah satu lembaga peradilan yang bersifat
indpenden dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun. Maka dalam hal ini, ketetapan
peraturan yang dibuat atau dikeluarkan oleh Presiden (termasuk Inpres 1/1991 tentang
Penyebarluasan KHI) tidak memiliki kekuatan mengikat. Dalam pengertiannya istilah instruksi
merupakan arahan atau perintah untuk melakukan sesuatu tugas, pada umumnya instruksi
merupakan legislasi semu yang dikeluarkan atasan ataupun pimpinan kepada bawahan.
Berkaitan dengan Instruksi Presiden 1/1991 tentang Penyebarluasan KHI maka menjadi gugur
dengan sendirinya pasca amandemen.

Kompilasi Hukum Islam merupakan kumpulan atau gabungan kaidah-kaidah,


normanorma hukum islam yang bersumber dari beberapa kitab-kitab fiqh empat mazhab yaitu
mazhab sayfi’i, mazhab maliki, mazhab hanafi, mazhab hambali yang kemudian oleh para
ulama-ulama maupun cendikiawan di bukukan dengan menggunakan bahasa hukum atau
bahasa perundang-undangan. Lahirnya kompilasi hukum islam ini harapannya umat Islam di
Indonesia memiliki suatu pedoman maupun pandangan fiqh yang sealiran serta dapat menjadi
hukum yang diakui dan hukum positif yang wajib dilaksanakan oleh seluruh masyarakat
Indonesia yang memeluk agama Islam. Sejalan dengan itu selanjutnya diharapkan tidak terjadi
kesimpangsiuran dalam pengambilan keputusan oleh lembaga Peradilan Agama dan suatu
sebab keliru yang berasal dari permasalahan fiqh akan dapat dipungkasi.10

10
Mahkamah Agung RI, HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM DENGAN PENGERTIAN DALAM PEMBAHASANNYA (Jakarta).

17
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pada masa orde baru di indonesia dinamika legislasi hukum islam mengalami
perubahan yang signifikan. Pada masa awal orde baru, pemerintah mengeluarkan berbagai
kebijakan hukum islam yang mengatur dan mengendalikan ajaran islam di Indonesia. Namun
kebijakan tersebut juga mendapat banyak kritik dari kalangan umat islam dan organisasi islam
di Indonesia.

Pada tahun 1974 pemerintah orde baru mengeluarkan undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan dan perceraian. Undang-undang ini mengatur tentang hukum perkawinan
dan perceraian di Indonesia terkhusus bagi masyarakat yang beragama islam. Namun, undang-
undnag ini juga mendapat banyak kritik dari kalangan islam karena dianggap tidak sesuai
dengan ajaran islam.

Pada Tahun 1989 pemerintah orde baru mengeluarkan undang-undang No.7 tahun 1989
tentang peradilan agama. Undang-undang ini menetapkan kewenangan peradilan agama untuk
menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf serta
perkara yang berkaitan dengan kehidupan beragama. Undang-undang ini kemudian mengalami
beberapa kali perubahan salah satunya adalah undang-undang no. 3 tahun 2006.

Instruksi presiden no. 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam yang dikeluarkan
oleh Presiden Soeharto ini menetapkan bahwa pemerintah Indonesia akan Menyusun dan
menyelesaikan kompilasi hukum islam yang akan menjadi dasar hukum islam nasional di
Indonesia. KHI merupakan upaya pemerintah untuk mengintegrasikan hukum islam ke dalam
system hukum nasional dan memperkuat otonomi kelembagaan hukum islam di Indonesia.
KHI mencakup berbagai bidang hukum islam seperti hukum keluarga, waris, wakaf dan pidana.
Kemudian pada tahun 1999 pemerintah meluncurkan naskah final KHI yang terdiri dari tujuh
jilid yang berisi tentang hukum keluarga, waris, perikatan, pidana dan hukum acara. KHI juga
menghadapi berbagai tantangan dan kontroversi dalam implementasinya. Meski demikian,
KHI tetap menjadi pedoman dan landasan penting dalam hukum islam di Indonesia.

18
Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk
kedepannya penulis akan menjalaskan makalah lebih focus dan detail dengan sumber yang
lebih banyak dan dapat dipertanggungjawabkan. Kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sangat dibutuhkan penulis.

19
Daftar Pustaka

Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, PT Rineka Cipta, Jakarta,
1986

Bestha Inatsan Ashila, Mendorong Peran Hakim Dalam Mencegah Perkawinan Anak,
http://ijrs.or.id/mendorong-peran-hakim-dalam-mencegah-perkawinan-anak/diakses
pada 27 Februari 2023

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)
Fajar Sugianto, Denny Ardhi Wibowo, and Tomy Michael, ‘KEDUDUKAN INSTRUKSI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1991 TENTANG
PENYEBARLUASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM
KEWARISAN INDONESIA’, Jurnal Aktual Justice, 5.1 (2020).

Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia (pemikiran dan praktek) (Bandung: PT. Remaja
Rosada Karya, 1994)

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7
Tahun 1989) (Jakarta: Sinar Grafika, 2001)

Mahkamah Agung RI, HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG


BERKAITAN DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DENGAN PENGERTIAN
DALAM PEMBAHASANNYA (Jakarta).

Muchtar Zarkasyi, Kerangka Historis Pembentukan UU No. 7 Tahun 1989 (Bandung: Ulul
Albab Press, 1977)
Munawir Sadjali, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa (Jakarta: UI Press,
1993)

20

Anda mungkin juga menyukai