Dosen pengampu:
Subhan Amin, S. Ag, M. Hi
Disusun oleh:
1. Ida sentia peronisa 2111110012
2. Niza azwarita 2111110013
3. Erlena eptaloka. 2111110021
4. Faisal Sinaga. 2111110025
5. M. Alfan Aulia 2011110062
6. Rahma Sarita 2011110070
7. Veni Hendrawasi. 2011110075
8. Fauzi Wibowo Achmad 2011110076
FAKULTAS SYARI’AH
1
KATA PENGANTAR
Adapun tujuan penulisan tugas makalah ini untuk memenuhi tugas perkuliahan dari
Subhan Ami, S, Ag, M. Hi pada mata kuliah etika profesi hukum
Selain dari pada itu, tugas ini juga untuk menambah ilmu pengetahuan serta wawasan
yang luas tentang tujuan dan saksi kelembagaan penegakan hukum bagi para pembaca
khususnya dan juga kami sebagai penulis.
Kami penulis menyadari makalah ini juah dari kata sampurna. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini selanjutnya. Terlepas dari kekurangan isi dari makalah ini, kami
berharap agar sekiranya makalah ini dapat bermanfaat setidaknya bagi kami dan
terkhususnya para pembaca semuanya. Aamiin ya Robbal Aalamiin.
Penulis
2
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ......................................................................................................
DAFTARPUSTAKA..................................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan. Antara satu
kebutuhan dengan yang lain tidak saja berlainan, tetapi terkadang saling bertentangan. Dalam
rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya ini, manusia bersikap dan berbuat. Agar
sikap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan dan hak orang lain, hukum memberikan
rambu-rambu berupa batasan-batasan tertentu sehingga manusia tidak sebebas-bebasnya
berbuat dan bertingkah laku dalam rangka mencapai dan memenuhi kepentingannya itu. Fungsi
yang demikian itu terdapat pada setiap jenis hukum, termasuk di dalamnya hukum pidana, oleh
karena itu fungsi yang demikian disebut dengan fungsi umum hukum pidana. 2
Hukum harus memiliki tiga unsur yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya
hukum. Struktur hukum merupakan bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi
semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Substansi hukum adalah aturan, norma,
dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum. Budaya hukum adalah
1
Soedjono Dirdjosisworo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 133.
2
Adam Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 15.
4
suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,
dihindari, atau disalahgunakan. 3
berbangsa dan bernegara, agar tercipta masyarakat yang sejahtera dan tentram. Apalagi di
zaman modern ini, dimana tuntutan kebutuhan masyarakat bertambah banyak sedangkan
sumber daya terbatas, telah membuat penegakan hukum mendapat perhatian serius di semua
aspek kehidupan masyarakat.
Lembaga penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya akan selalu
berhubungan dengan lembaga penegak hukum lainnya. Hubungan antara lembaga penegak
hukum ini diatur dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Dalam sistem peradilan pidana
Indonesia terdapat 4 (Empat) lembaga yang selalu bersinergi dalam menjalan tugasnya, yaitu
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. 4 Setiap lembaga dalam
sistem peradilan pidana Indonesia tersebut terikat kepada peraturan yang membatasi tugas dan
wewenang yang dapat dilakukannya, salah satunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana atau disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang mengatur mengenai bagaimana proses menjalankan peradilan bagi pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta
kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana.6 Proses pidana yang diatur dalam
KUHAP bukan hanya mengenai bagaimana cara menyelenggarakan peradilan di pengadilan
saja, namun juga mengatur mengenai hubungan antar aparat penegak hukum dari proses
penyelidikan hingga proses eksekusi, yang dalam proses tersebut melibatkan 4 (empat)
lembaga yang ada dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
B.Rumusan Masalah
3
Lawrence M. Friedman, 2001, American Law an Introduction (Hukum Amerika Sebuah Pengantar),
Tatanusa, Jakarta, hlm. 7-8.
4
Yesmil Anwar dan Adang, 2011, Sistem Peradilan Pidana Konsep, Komponen, dan Pelaksanaannya dalam
Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung, hlm. 29. 6 Konsideran Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
5
1. Bagaimana Tujuan kelembagaan penegakan hukum
C.Tujuan Masalah
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penegakan hukum
1. Pengertian Hukum
Hukum sebagai padanan kata dari istilah Jerman Recht, istilah Perancis Droit, dan
istilah Italia Diritto diartikan sebagai tata perilaku yang mengatur manusia, dan merupakan
tatanan pemaksa. Ini berarti bahwa semua tatanan itu bereaksi terhadap kejadian-kejadian
tertentu, yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak dikehendaki karena merugikan
masyarakat. Reaksi tersebut terutama ditujukan terhadap perilaku manusia yang merugikan
ini, dengan menggunakan tindakan paksa. Pengertian ini dikemukakan oleh Hans Kelsen
(2007 : 34-37).
Van Doorn, sosiolog hukum Belanda seperti yang dikutip Satjipto Raharjo (2007 : 4)
mengutarakan bahwa: “Hukum adalah skema yang dibuat untuk menata (perilaku) manusia,
tetapi manusia itu sendiri cenderung terjatuh diluar skema yang diperuntukkan baginya. Ini
disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang mempengaruhi dan
membentuk perilakunya”. John Austin, seorang ahli filsafat dari Inggris yang dikutip
Soerjono Soekanto (2007 : 34) mengemukakan bahwa hukum merupakan perintah dari
mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan.
Menurut Austin, hukum adalah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir,
perintah mana dilakukan oleh makhluk berpikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan.
Jadi hukum didasarkan pada kekuasaan dari penguasa. Austin beranggapan bahwa hukum
yang sebenarnya yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut-pengikutnya
mengandung 4 (empat) unsur, yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.
Pendapat Friedrich Karl Von Savigny, seorang pemuka ilmu sejarah hukum dari Jerman
mengemukakan bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat
(Volkgeist). Menurutnya semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan, bukan dari
pembentuk undangundang. Pendapat ini dikutip oleh Soerjono Soekanto (2007 : 38-39).
7
Pendapat Rudolph Von Ihering yang juga dikutip Soerjono Soekanto (2007 : 41)
mengemukakan bahwa hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai
tujuannya.
Hukum sebagai social engineering atau social planning berarti bahwa hukum sebagai
alat yang digunakan oleh agent of change atau pelopor perubahan yang diberi kepercayaan
oleh masyarakat sebagai pemimpin untuk mengubah masyarakat seperti yang dikehendaki
atau direncanakan. Hukum sebagai tatanan perilaku yang mengatur manusia dan merupakan
tatanan pemaksa, maka agar hukum dapat berfungsi efektif mengubah perilaku dan memaksa
manusia untuk melaksanakan nilai-nilai yang ada dalam kaedah hukum, maka hukum
tersebut harus disebarluaskan sehingga dapat melembaga dalam masyarakat.
8
istilah lain sering disebut penerapan hukum, atau dalam istilah bahasa asing sering disebut
rechistoepassing dan rechtshandhaving (Belanda), law enforcement dan application
(Amerika).
9
(fiat justitia et pereat mundus). Hukum harus dapat menciptakan kepastian hukum karena
hukum bertujuan untuk ketertiban masyarakat.
Attamimi seperti yang dikutip Siswanto Sunarno (2008 : 42) pada hakikatnya adalah
penegakan norma-norma hukum, baik yang berfungsi suruhan (gebot, command) atau
berfungsi lain seperti memberi kuasa (ermachtigen, to empower), membolehkan (erlauben,
to permit), dan menyimpangi (derogieren, to derogate). Lebih lanjut Siswanto Sunarno
mengatakan bahwa dalam suatu negara berdasarkan atas hukum materiil atau sosial yang
bertekad memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa maka
penegakan hukum peraturan perundang-undangan tidak dapat dicegah.
Andi Hamzah (2005 : 48-49) mengemukakan penegakan hukum disebut dalam
bahasa Inggris Law Enforcement, bahasa Belanda rechtshandhaving. Beliau mengutip
Handhaving Milieurecht, 1981, Handhaving adalah pengawasan dan penerapan (atau dengan
ancaman) penggunaan instrumen administratif, kepidanaan atau keperdataan dicapailah
penataan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan individual. Handhaving
meliputi fase law enforcement yang berarti penegakan hukum secara represif dan fase
compliance yang berarti preventif.
10
kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban
menjadi syarat mutlak, masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan
tetapi masyarakat aktif berperan dalam penegakan hukum” Keith Hawkins mengemukakan
seperti yang dikutip Koesnadi Hardjasoemantri (2000 : 376) bahwa : “Penegakan hukum
dapat dilihat dari dua sistem atau strategi, yang disebut compliance dengan conciliatory style
sebagai karakteristiknya dan sanctioning dengan penal style sebagai karakteristiknya”.
Pendapat lain dari Milieurecht yang juga dikutip Koesnadi Hardjasoemantri (2000
:376) mengatakan bahwa : ”Penyidikan serta pelaksanaan sanksi administrasi atau sanksi
pidana merupakan bagian akhir (Sluit stuk) dari penegakan hukum. Yang perlu ada terlebih
dahulu adalah penegakan preventif, yaitu pengawasan atas pelaksanaan peraturan.
Pengawasan preventif ini ditujukan kepada pemberian penerangan dan saran serta upaya
meyakinkan seseorang dengan bijaksana agar beralih dari suasana pelanggaran ke tahap
pemenuhan ketentuan peraturan”.
Hukum sebagai tatanan pemaksa, maka agar hukum mempunyai kekuatan berlaku dan
dapat dipatuhi oleh masyarakat, maka hukum memuat sanksi sebagai tindakan paksa. Dengan
sanksi maka hukum akan mempunyai wibawa untuk ditegakkan.
Prinsip pemberian reaksi terhadap perilaku manusia tertentu, baik dengan imbalan
maupun hukuman, adalah prinsip retribusi. Imbalan dan hukuman dapat disebut "sanksi,"
namun yang biasanya disebut sanksi adalah hukuman, bukannya imbalan atau ganjaran”..
11
Selanjutnya Hans Kelsen (2007 : 123-132) menyatakan bahwa hukum sebagai tatanan
sosial dan tatanan pemaksa, maka seharusnya dilakukan tindakan paksa atau tindakan yang
dilakukan bukan atas keinginan individu yang menjadi sasaran dan bila terjadi perlawanan akan
dipergunakan pemaksaan fisik. Tindakan paksa inilah yang merupakan sanksi, atau hanya
sebagai perlindungan (karantina) terhadap seseorang.
Dalam tatanan hukum nasional sanksi dapat diartikan sebagai penghukuman atau
sebagai eksekusi sipil. Tindakan atau tidak dilakukannya tindakan, memiliki karakter
pelanggaran jika tata hukum menjadikannya sebagai syarat dilakukannya tindakan paksa
sebagai sanksinya. Hukum merupakan tatanan sosial, sehingga akan menimbulkan kewajiban
hukum umum, yaitu perintah kepada individu untuk berperilaku tertentu. Hans Kelsen
menyebut sanksi sebagai sanksi hukum. Beliau mengkaitkan sanksi hukum dengan kewajiban.
Menurut beliau suatu kewajiban hukum terkait dengan konsep sanksi, atau calon pelaku
pelanggaran, atau individu yang mampu menghindari sanksi dengan berperilaku yang
sebaliknya.
Lebih lanjut Hans Kelsen mengatakan bahwa individu berperilaku sesuai tatanan
hukum, maka berlakunya tatanan hukum itu harus diwujudkan dalam bentuk :
Hadjon dkk (2005 : 262-265) mengemukakan bahwa tiada gunanya kaidah hukum
manakala kaidah tersebut tidak dapat dipaksakan melalui sanksi, sehingga salah satu upaya
pemaksaan hukum (law enforcement) adalah melalui pemberlakuan sanksi pidana terhadap
pelanggar kaidah hukum, yang berupa pidana penjara, maupun harta benda dalam bentuk
denda.
12
difikirkannya atau dibathinnya : tidak seorangpun dapat dihukum karena apa yang difikirkan
atau dibathinnya (cogitationis poenam nemo patitut)”.
Oleh karena itu berlakunya beberapa kaidah yang berlaku di masyarakat, beliau
menyampaikan beberapa pengertian sanksi sebagai berikut:
a. Sanksi dari kaidah kepercayaan adalah dari Tuhan.
b. Sanksi dari kaidah kesusilaan adalah dari diri sendiri.
c. Sanksi dari kaidah sopan santun adalah dari masyarakat secara tidak resmi.
d. Sanksi dari kaedah hukum adalah dari masyarakat secara resmi.
Pada kesimpulannya, kaedah kepercayaan, kaedah kesusilaan dan kaedah sopan santun
hanya membebani manusia dengan kewajibankewajiban saja, sedangkan kaedah hukum
membebani manusia dengan kewajiban juga hak atau bersifat normatif dan atribut.
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penegakan hukum merupakan tugas eksekutif dalam struktur kelembagaan negara modern,
dan dilaksanakan oleh birokrasi dari eksekutif dimaksud, atau yang disebut birokrasi
penegakan hukum. Eksekutif dengan birokrasinya merupakan bagian dari mata rantai untuk
mewujudkan rencana yang tercantum dalam peraturan (hukum) sesuai dengan bidang-bidang
yang ditangani (welfare state).Penegakan hukum menurut pendapat Soerjono Soekanto (1983
: 3) adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-
kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak
sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan
hidup. Dalam hal penegakan hukum di Indonesia khususnya dalam pemberantasan korupsi,
Satjipto Raharjo (2007 : 142-143) berpandangan bahwa pada umumnya kita masih terpaku
cara penegakan hukum yang konvensional, termasuk kultur. Hukum yang dijalankan
berwatak liberal dan memiliki kultur liberal yang hanya menguntungkan sejumlah kecil orang
(privileged few) di atas “penderitaan” banyak orang. Untuk mengatasi ketidakseimbangan
dan ketidakadilan itu, kita bisa melakukan langkah tegas (affirmative action). Langkah tegas
itu dengan menciptakan suatu kultur penegakan hukum yang beda, sebutlah kultur kolektif.
Mengubah kultur individual menjadi kolektif dalam penegakan hukum memang bukan hal
yang mudah.
14
DAFTAR PUSTAKA
15