Anda di halaman 1dari 17

Peradilan Agama pada Masa Orde Baru

Makalah disusun untuk memenuhi mata kuliah peradilan agama di


Indonesia

Dosen Pengampu: Miftahudin Azmi, M.HI.

Disusun oleh :

Kelompok 06

A. Rahbi Tenritatta Subair 210203110045

Nailah Aufa 210203110049


Trio Rizki Irawan 210203110056

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG TAHUN

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas

limpahan rahmatnya kita para penyusun dapat menuntaskan makalah dengan

judul “Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru”. Terima kasih kami

sampaikan kepada bapak Miftahudin Azmi,M.HI. sebagai dosen pengampu

mata kuliah Peradilan Agama di Indonesia yang telah membantu memberikan

arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.

Kami sadar bahwasanya dalam pembuatan makalah ini masih penuh

dengan kurangnya pengalaman dalam pembuatan. oleh sebab itu penyusun

sangat mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini.

Semoga apa yang tercantum dalam makalah bisa berguna bagi semua pihak

yang membutuhkan.

Malang 12 April 2023

Kelompok 6

ii
Daftar Isi
KataPengantar ......................................................................................... ii
Daftar Isi.................................................................................................. iii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 1
BAB II Pembahasan
A. Peradilan Masa Orde Baru ................................................................. 2
B. Kewenangan dan Kedudukan Peradilan Agama Pada Masa Orde
Baru ................................................................................................... 7
C. perubahan dan penyempurnaan UU peradilan agama ........................ 9
BAB III Penutup
A. Kesimpulan ........................................................................................ 13
B. Saran ................................................................................................... 13
Daftar Pustaka ......................................................................................... 14

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan agama sudah ada dan lahir di tengah-tengah


masyarakat muslim Indonesia bahkan sejak sebelum kemerdekaan
Indonesia. Substansi dari peradilan agama merupakan hal yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat muslim Indonesia sebagai alat penyelesaian
sengketa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Meskipun Begitu, dalam perkembangan lembaga Peradilan Agama di


Indonesia, banyak melewati tantangan dan rintangan. Kewenangan dan
keberadaannya seringkali berubah dari zaman ke zaman Walaupun
begitu, keberadaan Peradilan Agama di Indonesia memiliki kekuatan
yang kuat bila dilihat dari aspek historis yang kuat pula dalam
perjalanannya.

Berdasarkan aspek historis tersebut yang dimana menjadikan


peradilan agama di Indonesia seperti sekarang ini, menjadi jalan terampuh
bagi masyarakat muslim Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan
sengketa. Selain itu juga dapat menjaga eksistensi keberlangsungan salah
satu sumber hukum di Indonesia yaitu hukum islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Terbentuknya Sejarah Orde Baru dan bagaimana
Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru?
2. Bagaimana Kewenangan dan Kedudukan Peradilan Agama Pada
Masa Orde Baru?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peradilan Masa Orde Baru

Masa Orde Baru, kedudukan hukum Islam mulai mengalami


kemajuan yang signifikan dan diakui keberadaannya sebagai salah satu
sistem hukum yang berlaku. Pada masa berikutnya, hukum Islam mulai
mewarnai hukum nasional. Banyak peraturan perundang-undangan yang
disusun berdasarkan ketentuan hukum Islam, baik yang berlaku nasional
maupun khusus bagi umat Islam. Gejala mutakhir perkembang- an hukum
Islam adalah munculnya gerakan otonomisasi hukum Islam di sejumlah
daerah di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya aturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah yang ber-
kaitan dengan penerapan hukum Islam.

Penamaan lembaga ini pada masa Orde Lama masih simpang siur.
Seakan-akan lembaga peradilan agama tidak memiliki nama yang pasti
karena pada waktu itu banyak penamaan untuk lembaga peradilan agama
di Indonesia. Argument trsebut dapat dilihat dari perbedaan nama
lembaga peradilan agama di tiap tempat.

Nama lembaga peradilan agama tingkat pertama di Jawa dan Madura


disebut Pengadilan Agama, kemudian di Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan disebut Kerapatan Qadhi, sedangkan nama
Pengadilan Agama tingkat banding di Jawa dan Madura disebut
Mahkamah Islam Tinggi serta di Kalimantan Utara dan Selatan disebut
Mahkamah Syari'ah1.

1
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011)
hlm. 144.

2
Melihat keragaman nama lembaga peradilan pada masa Orde Lama,
Letnan Jenderal TNI Alam Syah yang menjabat sebagai Menteri Agama
RI mulai melakukan langkah maju, ditandai Ketika beliau
menyeragamkan nomen- klatur peradilan agama sebagai upaya ke arah
unifikasi hukum (penyatuan atau penyeragaman hukum).

Penamaan peradilan agama di masa Orde Baru tertuang dalam Surat


Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1980. Sejak saat itu, sebutan
nama (nomenklatur) Pengadilan Agama dalam lingkungan peradilan
tingkat pertama diseragamkan, yaitu Pengadilan Agama sebagai
pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai peng-
adilan tingkat banding yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.2 Sejak
dikeluarkan surat keputusan tersebut, lembaga peradilan agama di
Indonesia memiliki identitas pasti, tidak ada lagi kebimbangan untuk
menyebut lembaga peradilan agama.

Titik balik pencerahan pada perkeembangan peradilan agama di


Indonesia mulai terjadi pada saat 29 Desember 1989, RUUPA
(Rancangan Undang- Undang Peradilan Agama) yang telah lama
ditunggu akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang Negara, yaitu UU
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan adanya UU
Nomor 7 Tahun 1989 menjadi bukti nyata besarnya pemahaman
pemerintah terhadap aspirasi umat Islam yang telah lama mengharapkan
adanya UU yang secara khusus mengatur mengenai peradilan agama.

Dengan dipublishnya UU Nomor 7 Tahun 1989 mengenai peradilan


agama dengan demikian hal trsebut membawa pengaruh besar terhadap
Pengadian Agama di Indonesia sehingga menjadikan Lembaga ini sama
tinggi dengan peradilan lainnya. Undang-undang tersebut tidak hanya
mengatur tentang susunan, kekuasaan, dan acara peradilan dalam
lingkungan peradilan agama, melainkan hal mendasar, yaitu dicabutnya
berbagai aturan yang selama ini mengganjal, baik mengenai perbatasan,

2
Sutomo, M., Marwiyah, S., Mawaddah, D. N., Stai, W., Kencong, A.-F. A.-S., & Jember,
I. (n.d.). AKAR HISTORIS PENGADILAN AGAMA MASA ORDE BARU. hlm 259.

3
jangkauan, dan penerapan hukum Islam untuk umat Islam di Pengadilan
Agama, seperti yang tertera pada pasal 4 ayat 2 PP Nomor 45 Tahun 1957
(masih kuatnya pengaruh recepti hukum Islam baru bisa diterapkan
apabila sesuai dengan hukum adat), maupun mengenai ketergantungan
Pengadilan Agama kepada pengadilan negeri berkenaan dengan
pengukuhan, sebagaimana tertera dalam pasal 63 ayat 2 UU Nomor 1
Tahun 1974.3

Melalui pasal 107 UU Nomor 7 Tahun 1989, keberadaan Staatblad


1882 Nomor 152 tentang Peradilan Agama di Madura dan Jawa,
Staatblad 1937 Nomor 116 dan 610 tentang Mahkamah Islam Tinggi di
Jawa dan Madura, Staatblad 1937 Nomor 638 dan 639 tentang Kerapatan
Qadhi dan Kerapatan Qadhi Besar di sebagian residensi Kalimantan
Selatan dan Timur, PP Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Mahkamah Syariat di luar Jawa dan Madura, dan pasal 63 ayat 2 UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pengukuhan Keputusan Pengadilan Agama
oleh Pengadilan Negeri, secara yuridis dikatakan tidak berlaku lagi.4
Dengan demikian, peradilan agama sebagai peradilan khusus yang
mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai kelompok masyarakat
tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam, menjadi sejajar dengan
peradilan-peradilan lainnya di Indonesia (PN, PTUN, dan PM).

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hierarki


pengadilan dalam lingkungan peradilan agama memiliki hubungan ganda,
yakni:

1. Hubungan secara fungsional dengan Mahkamah Agung, yaitu segi


yuridiksi/ administrasi pengadilan.
2. Hubungan secara struktural dengan Departemen Agama, yaitu segi
adminis- trasi umum yang meliputi organisasi, kelembagaan,
kepegawaian, sarana, dan finansial.

4
Sutomo, M., Marwiyah, S., Mawaddah, D. N., Stai, W., Kencong, A.-F. A.-S., & Jember,
I. (n.d.). AKAR HISTORIS PENGADILAN AGAMA MASA ORDE BARU. hlm 261.

4
Undang-undang tersebut juga sekaligus menghapus sebutan
Pengadilan Agama sebagai pengadilan semu (kuasi pengadilan),
Pengadilan Agama telah memiliki regulasi yang kuat, yang mengatur
tentang susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.5

Pada awalnya dengan ketentuan ketetapan MPRS Nomor


XIX/MPRS/1966 jo No. XXXIX/MPRS/1968 adalah bahwa pemerintah
bersama DPR-GR mengadakan peninjauan atas UU Nomor 19 Tahun
1964 dan UU Nomor 6 Tahun 1969 yang menghendaki adanya UU
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang baru atau
sebagai penggantinya. Sebagai realisasinya, pada 17 Desember 1970
disahkan dan diundangkan UU Nomor 14 Tahun 1970.

Berdasarkan undang-undang tersebut, keberadaan peradilan agama


kokoh diakui sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman
di Indonesia. Bahkan sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat 1,
kedudukan- nya setara dengan peradilan-peradilan lainnya, seperti
Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Lembaga tersebut semakin menonjol setelah disahkannya Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada 2 Januari 1974
dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan, yang berlaku
secara efektif pada 1 Oktober 1975. Kemudian disusul dengan
diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Wakaf beserta pelaksanaannya.

Dengan dikeluarkannya Peraturan perundang undangan tersebut,


selain memperkuat posisi peradilan agama, juga memperluas beban
tugasnya. Tidak dapat dipungkiri pula pengesahan Perpu tersebut
menggugah dan membangkit-kan kembali peran serta fungsi badan
peradilan agama sehingga perkara yang masuk naik setiap tahun.

5
Journal.uii.ac.id.

5
Seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran hukum
masyarakat, pada 26 November 1977 Mahkamah Agung mengerluarkan
Peraturan Nomor 1 Tahun 1977 tentang Jalan Pengadilan dalam
Pemeriksaaan Kasasi untuk Perkara Perdata dan Perkara Pidana oeh
Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer, disertai Surat Edaran (SE),
MA/Pemb/0921/1977.

Dengan adanya hal tersebut, Mahkamah Islam Tinggi, Kerapatan


Qadhi besar, maupun Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah Provinsi,
tidak berlaku lagi.6

Sehingga sampai dengan dimilkinya UU tentang susunan kekuasaan


dan acara peradilan agama yang berintegrasi sesuai kehendak pasal 12
UU No. 14 Tahun 1970, demi keseragaman warna peradilan agama yang
selama ini berbeda-beda akibat keberadaan peraturan perundang-
undangan yang mengaturnya, keputusan Menteri Agama pada 28 Januari
1980 No. 6 Tahun 1980 telah menyatakan bahwa pengadilan tingkat
banding adalah Peeradilan Tinggi Agama.

Dengan demikian, nama Mahkamah Islam Tinggi, Kerapatan Qadhi


dan Kerapatan Qadhi Besar, serta Mahkamah Syari'ah Provinsi sudah
tidak dipakai lagi. Untuk dapat menetapkan dan memegang teguh tugas
serta fungsi Pengadilan Agama sebagai salah satu lingkungan peradilan
di jajaran kekuasaaan kehakiman di negara ini, pada 27 Maret 1982,
Presiden RI mengangkat seorang ketua muda MA urusan lingkungan
Peradilan Agama. Dengan demikian, tugas pembinaan teknis yustisial
atas Pengadilan Agama yang sebelumnya dilakukan langsung oleh
Departemen Agama, telah menjadi wewenang penuh Mahkamah Agung
sesuai ke- hendak UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Sebelum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 berlaku, dasar


penyelenggaraan peradilan beraneka ragam, sebagian merupakan produk

6
Journal.uii.ac.id.

6
pemerintah kolonial Belanda, dan sebagian lagi produk pemerintah
Indonesia. Dasar hukum tersebut meliputi berbagai Peraturan Perundang-
Undangan, yaitu:

1. Peraturan tentang peradilan agama di Jawa dan Madura (Staatblad


Tahun 1882 Nomor 152 serta Staatblad Tahun 1937 Nomor 116 dan
610).
2. Peraturan tentang Kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qadhi Besar untuk
sebagian residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatblad Tahun
1937 Nomor 638 dan 639).
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari'ah di luar Jawa dan
Madura(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).
4. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 63 ayat 2 UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).7

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, semua per-


aturan perundang-undangan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan demikian, penyelenggaraan peradilan Islam didasarkan pada
peraturan yang sama atau seragam. Penyeragaman dilakukan sebagai
upaya penerapan konsep wawasan Nusantara di bidang hukum dan
sebagai pelaksanaan politik hukum nasional, sebagaimana diamanatkan
dalam GBHN. Penyeragaman juga dilakukan untuk mewujudkan
penyelenggara- an peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan,
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 jo; UU Nomor 35
Tahun 1999.

B. Kewenangan dan Kedudukan Peradilan Agama Pada Masa Orde


Baru

Keberadaan Peradilan Agama sudah ada jauh bahkan sebelum


merdekanya Indonesia. Peradilan Agama telah mengarungi banyak

7
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Grafindo Persada: Jakarta) hlm. 126.

7
peristiwa seperti kedudukan, kewenangan, status hingga penamaan.
Bahkan pada masa Orde Baru, Peradilan Agama belum menjadi peradilan
yang mandiri, dikarenakan Peradilan Agama masih berada dibawah
Departemen Agama. Peradilan Agama juga pada saat itu masih belum
memiliki wewenang untuk secara langsung memutus perkara, yang mana
mereka harus mendapat putusan Peradilan Umum untuk persoalan-
persoalan tertentu, seperti persoalan terkait harta benda dan juga
permasalahan terkait waris.8

Data di atas menyatakan bahwa lembaga peradilan agama pada masa orde
baru masih di bawah interfensi dari lembaga peradilan umum, sehingga
putusan yang keluarkan oleh lembaga peradilan agama tidak bisa lebih
luas cakupannya karena harus disetujui oleh lembaga peradilan umum
terlebih dahulu sebelum diakui oleh umum. Hal ini disebabkan oleh
kehendak penguasa yang dominan sebagai pemegang dominasi politik.

Pada permulaan Orde Baru, kewenangan Peradilan Agama sangat kecil


bila dibandingkan dengan sekarang. Pada masa itu persoalan yang
diwenangi salah satunya dalam bidang hukum keluarga adalah;
Pernikahan,waris dan wasiat, cerai dan talak serta wakaf. Sementara
untuk persoalan seperti hukum perdata islam dan hukum pidana belum
diwenangi oleh Peradilan Agama, bahkan kewenangan yang dimiliki
Peradilan Agama pada masa itu masih memiliki komplikasi; Hukum
materiil Peradilan Agama yang belum tersusun dalan bentuk Undang-
Undang.9

Pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang


mana melingkupi terkait tentang cerai, penetapan asal-usul anak,
perwalian, serta izin menikah10 yang meskipun undang-undang ini
berlaku juga untuk seluruh rakyat Indonesia, tetapi undang-undang ini

8
Sutomo, M., Marwiyah, S., Mawaddah, D. N., Stai, W., Kencong, A.-F. A.-S., & Jember,
I. (n.d.). AKAR HISTORIS PENGADILAN AGAMA MASA ORDE BARU. hlm 268.
9
Sutomo, M., Marwiyah, S., Mawaddah, D. N., Stai, W., Kencong, A.-F. A.-S., & Jember,
I. (n.d.). AKAR HISTORIS PENGADILAN AGAMA MASA ORDE BARU. hlm 269.

8
membuat hukum agama mendapat jatah yang cukup banyak serta
membuat Peradilan Agama mendapat peran yang sangat besar.

Bisa dilihat bahwa perjalanan terkait Peradilan Agama dipenuhi dengan


berbagai cobaan dan tidak lepas dari dinamika politik. Walaupun begitu,
kewenangan Peradilan Agama masih tetap ada walau berbagai rintangan
seperti upaya penghapusan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman. Bisa dibilang juga bahwa perkembangan Peradilan
Agama cukup pesat dalam pelaksanaan hukum Islam di negara kita ini.

Sebenarnya, terlepas dari dinamika politik tersebut, berdasarkan


kehidupan sosial masyarakat muslim, nilai-nilai hukum Islam memang
harus hidup dan diterapkan dalam kehidupan seorang muslim. Karena
berdasarkan kewajibannya seseorang yang mengikatkan diri kepada
keyakinan Islamiyah maka dia wajib untuk mengikuti ajaran dan hukum
Islam, di dalam Islam dikenal dengan istilah mukallaf.

C. Perubahan dan penyempurnaan peradilan agama pada masa orde


baru

Setelah melalui proses Panjang, perjalanan peradilan agama untuk


mencapai hal yang diinginkan tidaklah mudah. Hingga akhirnya pada
tanggal 14 Desember 1989 setelah melalui berbagai hambatan dan
perdebatan yang serius di dalam sidang. DPR RI menyetujui undang
undang nomor 7 tahun 1989. Hal itu membuat masyarakat muslim merasa
senang atas undang undang penyempurna bagi peradilan agama secara
umum. Beberapa perubahan yang timbul antara lain sebagai berikut:

a. Perubahan tentang dasar hukum penyelenggaraan Peradilan


Agama di Indonesia.

Sebelum dikeluarkannya UU no. 7 tahun 1989 ada beberapa dasar


hukum penyelenggaraan peradilan agama yang beragam. Seperti

9
contohnya peraturan tentang Peradilan agama di jawa timur dan Madura,
tentang mahkamah syariah di beberapa daerah dan ada beberapa aturan
dasar hukum yang lain. Kemudian dengan disahkannya undang undang
ini maka aturan dasar hukum sebelumnya yang menyangkut seperti hal
yang disebutkan tadi tidak lagi diberlakukan

Dengan demikian, penyelenggaraan Peradilan Agama didasarkan


kepada peraturan yang sama dan seragam. Penyelenggaraan itu dilakukan
sebagai upaya penerapan konsep Wawasan Nusantara di bidang hukum,
dan sebagai pelaksanaan politik, dan juga demi terciptanya peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.

b. Perubahan tentang kedudukan Peradilan Agama dalam tata


Peradilan Nasional.

Kedudukan peradilan agama pada awalnya tidak sejajar dengan


peradilan peradilan yang lain. Namun setelah UU No 7 tahun 1989
diundangkan, peradilan mendapat titik terang bahwa peradilan agama
sudah sejajar dengan lingkungan peradilan yang lainnya bahkan peradilan
agama mampu untuk melaksanakan putusannya sendiri melalui apparat
juru sita seperti halnya peradilan yang lain.

c. Perubahan tentang kedudukan hakim Peradilan Agama.

Pasal 15 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 menetapkan bahwa hakim


diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
Menteri Agama berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung. Hal ini sama
dengan ketentuan bagi hakim dalam lingkungan Peradilan lainnya.
Sementara pada masa sebelumnya masih diakomodir hakim-hakim honor
yang terdiri dari ulama yang ada di daerah tersebut, dan mereka itu hanya
digaji dari uang sidang di mana mereka turut bersidang di dalamnya.

d. Perubahan tentang kekuasaan Pengadilan dalam lingkungan


Peradilan Agama di Indonesia.

10
Berdasarkan kepada pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 bahwa
wewenang Pengadilan Agama lebih luas meliputi tiga bidang, yaitu: a)
perkawinan, b) kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam, c) wakaf dan sadaqah. Hal ini menunjukkan bahwa wewenang
Pengadilan Agama di Jawa/Madura, dan di sebahagian Kalimantan Selatan
telah bertambah, dan kembali kepada wewenangnya seperti sebelum tahun
1937. Dengan perkataan lain wewenang Pengadilan Agama tersebut lebih
luas dari pada masa sebelumnya. Mengenai wewenang Pengadilan Agama di
selain Jawa/ Madura dan sebahagian Kalimantan Selatan yang diatur dalam
PP No. 45 Tahun 1957 tidak mengalami perubahan.

e. Perubahan tentang Hukum Acara Peradilan Agama.

Menurut ketentuan pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 hukum acara


Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
Undang Undang ini. Hal ini menunjukkan bahwa hukum acara yang berlaku
di Pengadilan Agama adalah hukum tertulis, di samping adanya
kekecualian, dan kekhususan yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989.
Kekhususan ini meliputi; prosedur cerai talak, cerai gugat, cerai dengan
alasan zina, dan biaya perkara. Sebelum berlakunya Undang Undang
tersebut hukum acara yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Agama
masih sangat sederhana karena tidak tertata rapi. Hal itu adalah hukum acara
yang tersebar dalam berbagai sumber, termasuk hukum tertulis dan hukum
tak tertulis.

f. Perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.11

Menurut Penjelasan Undang Undang ini, dinyatakan; Untuk


melindungi pihak istri, maka gugatan perceraian dalam Undang Undang ini
diadakan perubahan, tidak diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman tergugat. Dalam ketentuan sebelumnya
digunakan pasal 20 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975, yaitu: Gugatan perceraian

11
Cik Hasan Bisri, op. cit., hlm. 118.

11
diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman tergugar. Ketentuan ini tidak berlaku
lagi pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, dan tidak pula
dihapuskan. la tetap berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum.12

12
Cik Hasan Bisri, op. cit., hlm. 120

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Peradilan agama yang berada di negara kita Indonesia, telah ada


bahkan sebelum merdekanya bangsa Indonesia, namun eksistensinya belum
diakui secara yuridis oleh pemerintah Indonesia. Hingga pada masa orde baru,
kewenangan Peradilan Agama masih belum bisa dikatakan sebagai lembaga
yang berjalan mandiri atau sebagai lembaga independen karena dalam
pelaksanaanya, putusan-putusan peradilan agama masih dalam interfensi
peradilan umum.

Penetapan kewenangan peradilan agama di Indonesia pada masa orde


baru tentunya tidak mudah. Seperti dijelaskan di atas, ada berbagai pasang-
surut serta perlawanan-perlawanan dari pihak-pihak yang menolak adanya
ototritas penuh yang diberikan kepada peradilan agama di Indonesia. Namun
oleh pihak-pihak yang mendukung hal tersebut dengan seiring berjalannya
waktu kewenangan peradilan agama di Indonesia kian bertambah.

B. Saran

Demikian saja yang bisa kelompok kami sampaikan, Kesempurnaan


tentu saja masih bisa dibilang jauh tentang makalah kami. Karena sebab itu
kami sangat berharap atas kritik serta saran yang bisa membantu kami dari
pembaca agar makalah ini mencapai titik yang sempurna.

13
DAFTAR PUSTAKA

Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, (Bogor: Ghalia


Indonesia, 2011).

Jurnal.uii.ac.id.

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Grafindo Persada: Jakarta).

Cik Hasan Bisri, op. cit

Sutomo, M., Marwiyah, S., Mawaddah, D. N., Stai, W., Kencong, A.-F. A.-
S., & Jember, I. (n.d.). AKAR HISTORIS PENGADILAN AGAMA
MASA ORDE BARU.

14

Anda mungkin juga menyukai