Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

MAKALAH

Disusun Oleh : Kelompok 4

Neza Tessya Inggrit (2010102076)


Fitrotin Afifah (2010102063)
Nurhasanah (2010102012)

Dosen Pengampu:
Agustini Andriani, S.H., M.H

HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KERINCI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya
sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Sejarah Perkembangan
Peradilan Agama di Indonesia” ini tepat pada waktunya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, serta seluruh Masyarakat Indonesia khususnya
para mahasiswa untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah ini agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin
dalam pembuatan makalah kali ini masih banyak ditemukan kekurangan, oleh
karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Sungai Penuh, 03 September 2022

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
A. Awal mula terbentuknya lembaga peradilan agama.....................................2
B. Peradilan agama di era kerajaan islam..........................................................4
C. Peradilan agama di era penjajahan................................................................6
D. Peradilan agama di era reformasi..................................................................7
BAB III PENUTUP...............................................................................................11
A. Kesimpulan.................................................................................................11
B. Saran............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara tentang perjalanan peradilan agama yang telah dilalui dalam
rentang waktu yang demikian panjang berarti berbicara tentang masa lalu
yakni sejarah peradilan agama. Hal ini dianggap penting untuk rencana
melangkah kemasa yang akan datang peradilan agama telah tumbuh dan
melembaga di bumi nusantara ini sejak agama islam dianut oleh penduduk
yang berada diwilayah ini, berabad-abad lamanya sebelum kehadiran penjajah.
Tumbuh dan berkembang peradilan agama itu adalah karena kebutuhan
dan kesadaran hukum sesuai dengan keyakinan mereka Namun diakui bahwa
data sejarah peradilan agama tidak mudah mendapatkanya seperti yang
dikatakan, para ahli mengakui bahwa sumber rujukan peradilan agama
sangatlah minim karena sengaja dilewatkan oleh para cerdik pada masa lalu
yang mungkin belum menganggap penting.
Untuk mengetahui bagaimana fase-fase bersejarah perkembangan
peradilan agama dari masuknya islam ke indonesia, masa kerajaan islam, dan
masa penjajahan sampai ke masa era reformasi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal terbentuknya dari perdalilan agama ?
2. Bagaimana peradilan agama di era kerajaan islam?
3. Bagaimana peradilan agama di era penjajahan?
4. bagaimana peradilan agama di era reformasi?

C. Tujuan Penulisan
1. Memahami tentang terbentuknya peradilan agama di indonesia.
2. Memahami peradilan agama di era kerajaan islam.
3. Mengetahui tentang peradilan agama di era penjajahan.
4. Memahami dan mengetahui peradilan agama islam di era reformasi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Awal mula terbentuknya lembaga peradilan agama


Dengan masuknya agama Islam ke Indonesia yang untuk pertama kali
pada abad pertama hijriah (1 H/ 7 M) yang dibawa langsung dari Arab oleh
saudagar-saudagar dari Mekkah dan Madinah yang masyarakat mulai
melaksanakan ajaran dan aturan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari
yang tersumber pada kitab fiqih.Perjalanan kehidupan pengadilan agama
mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang
dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada
dalammasyarakat.1
Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan
berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan sering kali
mengalami berbagai rekayasa dari penguasa dan golongan masyarakat tertentu
agar posisi pengadilan agama melemah. Sebelum Melancarkan politik
hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri
telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik dimasyarakat maupun dalam
peraturan perundang-undangan negara.
Kekerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melakukan hukum
Islam dalam wilayah hukumnya masing-masing. Kerajaan Islam Pasal yang
berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam
pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerjaan Islam
lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten. Di
bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan
Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerjaan
Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukan
kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam
penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan

1
Abdullah Tri wahyudi.HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA.(SOLO, CV. Mandar Maju) 2014.
Hlm 2

2
3

Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M


penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia.2
Agama Islam masuk Indonesia melalui jalan perdagangan di kota-kota
pesisir secara damai tanpa melalui gejolak, sehingga norma-norma sosial
Islam oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganut
agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya
komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga
peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam semakin
diperlukan.
Peradilan Agama di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup
panjang.Jauh sebelum kemerdekaan, sistem peradilan agama sudah lahir. Oleh
karena itu, sebelum membahas tentang peradilan agama pada masa pra
kemerdekaan, selayaknya perlu untuk menarik sejarah ini jauh kebelakang
sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tepatnya pada
masa kerajaan.
Sebelum Islam datang ke Indonesia telah ada dua macam peradilan, yaitu
Peradilan Pradata dan Peradilan Padu. Materi hukum Peradilan Pradata
bersumber dari ajaran Hindhu dan ditulis dlam Papakem. Sedangkan Peradilan
Padu menggunakan hukum materiil tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan -
kebiasaan masyarakat. Dalam prateknya, Peradilan Pradata menangani
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan wewenang raja, sedangkan
Peradilan Padu menangani perosalan-persoalan yang tidak berhubungan
dengan wewenang raja. Keberadaan dua sistem peradilan ini berakhir setelah
raja Mataram menggantikan dengan sistem Peradilan Serambi yang
berasaskan Islam. Penggantian ini bertujuan untuk menjaga integrasi wilayah
kerajan Mataram.
Peradilan Agama sebagai bagian dari mekanisme penyelenggaraan
kenegaraan pernah mengalami pasang surut ketika Sultan Agung meninggal
dan digantikan oleh Amangkurat I. Amangkurat I pernah menutup Peradilan

2
Abimanyu,tinjauan dan kajian sejarahperadlan agama serta implementasinya.(jakarta,PT,
kharisma putra utama )2013. Hlm.20
4

Agama dan menghidupkan kembali Peradilan Pradata.Setelah masa ini


Peradilan Agama eksis kembali. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya
sebuah kitab hukum Islam “Shirath al – Mustaqin” yang ditulis Nurudin Ar –
Raniri. Kitab ini menjadi rujukan para hakim di Indonesia.3

B. Peradilan agama di era kerajaan islam


Zaman kerajaan Islam Islam sesungguhnya mengandung dua dimensi
ajaran pokok, yaitu ajaran yang berdemensi keyakinan (i’tiqadiyah) dan ajaran
yang berdimensi penerapan (‘amaliyah), kedua dimensi ini harus berjalan
seiringan karena satu sama lain saling mempengaruhi. Oleh karena itu
pelaksanaan ajaran Islam kembali kepada diri manusia itu sendiri sebagai
mukallaf yang dikenakan beban taklif berupa kewajiban malaksanakan ajaran
Islam tersebut.
Pelaksanaan hukum Islam pada dasarnya tidak mengharuskan adanya
perundang-undangan melalui penguasa (meskipun hal itu kini diarasakan
sangat perlu dan banyak manfaatnya) tetapi telah menjadi kewajiban individu
setiap muslim. Itulah sebabnya pada awal perkembangannya, kendati umat
Islam pada waktu itu belum ada penguasa yang memberi sanksi terhadap
pelanggaran agama, namun mereka tetap patuh karena kesadaran dan
keyakinan mereka, terutama keyakinan para pemimpin atau ulama mereka
bahwa hukum Islam itu adalah hukum yang benar yang harus dilaksanakan.
Dengan masuknya Islam ke Indonesia yang utuh pertama kali pada abad
pertama Hijriyah atau bertepatan dengan abad ketujuh Masehi yang dibawa
langsung dari Arab oleh saudagar-saudagar dari Mekkah dan Madinah yang
sekaligus sebagai muballig. Maka dalam praktek sehari-hari, masyarakat
mulai melaksanakan ajaran dan aturan-aturan agama Islam yang bersumber
pada kitab-kitab fikih. Di dalam kitab-kitab fikih tersebut tata cara ibadah
sseperti thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji serta sistem peradilan yang
disebut qad.4

3
Ibid hlm.30-39
4
Zaini Ahmad Nuh, Sejarah Peradilan Agama (Laporan hasil Simposium, Proyek Pembinaan
Administrasi Hukum dan Pradilan, 1983), hlm. 26.
5

a. Kewenangan Peradilan Agama di wilayah Jawa


Masa ini dikenal adanya Pengadilan Surambi yang mempunyai dua
kewenangan, pertama perkara-perkara yang akan diselesaikan menurut
hukum Islam semata, kedua perkara yang akan diselesaikan menurut
hukum adat dan tradisi Jawa. Terhadap perkara-perkara, seperti
perkawinan, perceraian, dan warisan tidak diajukan dan diselesaikan
dalam majelis Pengadilan Surambi, tetapi cukup diajukan kepada
penghulu yang memeriksa dan memutuskan perkara itu di tempat
pengadilan. Dalam pemutusan perkara tersebut penghulu dibantu oleh tiga
orang anggota majelis Surambi sebagai penasehat.5 Kewenangan ini sama
dengan Pengadilan Agama di Priangan yang mempunyai wewenang dan
kekuasaan untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-
perkara perkawinan dan kewarisan. Bahkan ketika kekuasaan kerajaan
Mataram telah merosot, perkara-perkara yang diancam dengan hukuman
badan dan hukuman mati yang merupakan kewenangan Peradilan Perdata,
karena tidak dapat dikirim ke Mataram menjadi wewenang Pengadilan
Agama.6
b. Kewenangan Pengadilan Agama di luar pulau Jawa
Beberapa daerah di luar pulau Jawa seperti Aceh, Jambi,
Palembang, Bengkulu, Sumatera Barat, Lampung kesemuanya memiliki
Pengadilan Agama yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan
perkara-perkara perkawinan, perceraian serta harta peninggalan atau
warisan. Di Sulawesi integrasi ajaran Islam dan lembaga-lembaganya
dalam pemerintahan kerajaan dan adat lebih lancar karena peranan raja,
sehingga raja dominan sebagai pemutus perkara, salah satu contohnya
adalah kerajaan Bone dimana raja adalah penghulu tertinggi dalam
kerajaan, yang berwenang memutus perkara keagamaan yaitu pernikahan

5
CikHasanBisri, Peradilan Agama di Indonesia (Cet. II; Jakarta: PT. GrafindoPeersada, 1998), h.
107-108.

6
H. A. BasiqDjalil, Peradilan Agama di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006), h. 37.
6

dan kewarisan di luar perkara-perkara kerajaan lainnya.7 Sama halnya


kewenangan Pengadilan Agama di Jawa, kewenangan Pengadilan Agama
di luar pulau Jawa zaman kerajaan Islam, menurut penulis tidak terlepas
dari putusan perkara perkawinan dan kewarisan.

C. Peradilan agama di era penjajahan


Pada tanggal 25 mei 1760 berlakunya Hukum Islam di akui oleh VOC
melalui Resolutie der Indische Regeling, yaitu berupa kumpulan aturan
Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan mebnurut Hukum Islam[4]. Hal
ini mungkin disebabkan karena sistem pemerintahan Belanda belum kuat
kekuasaannya, dan juga idealisme serta fanatisme keberagamaan masyarakat
Indonesia pada saat itu yang sangat kuat sekali, sehingga upaya pemerintah
Belanda untuk menekan Peradilan Agama dan memasukkan hukum Eropa
kurang berjalan lancar.
Kemudian pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811)
Pengadilan  Agama belum berdiri sendiri sebagai lembaga independen,
meskipun demikian untuk daerah Banten, daendels membiarkan adanya
Pengadilan Penghulu yang dapat praktik memutuskan perkara-perkara
kekeluargaan menurut hukum Islam. Di daerah-daerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur, walaupun tidak ada Pengadilan Agama di setiap landgerecht diikut
sertakan seorang penghulu yang akan ikut memberikan pertimbangan bila
ketua (bupati) Landoros beserta anggota akan memutuskan perkara./ untuk
setiap viredesqerecht di Jawa Tengah dan Jawa Timur diangkat seorang
penghulu sebagai anggota dan viredesqerecht ini akan memutuskan perkara-
perkara kecil misalnya perselisihan-perselisihan dalam perkawinan,
penganiayaan, utang piutang, dan sebagainya.
Seperti halnya VOC, Daendels menganggap hukum adat jawa yang terdiri
dari hukum Islam adalah lebih rendah derajatnya dari hukum Eropa, oleh
karena itu tidak cukup baik untuk orang Eropa. Hal ini tampak jelas ketika
terjadi seorang Eropa melakukan kejahatan bersama-sama dengan orang Jawa

7
Ibid., h. 38.
7

asli, maka yang berhak untuk mengadili mereka adalah Raad van Justitie dan
hukum materil yang diterapkan adalah hukum Eropa.
Dapat disimpulkan bahwa potret peradilan agama pada awal penjajahan
Belanda sudah beroperasi secara maksimal, diakui dan diterapkan oleh
kerajaan-kerajaan di Indonesia, walaupun belum diakui sebagai lembaga resmi
yang independen oleh Belanda. hal ini bisa terjadi karena memang pengaruh
Islam kuat sekali, kemudian pengakuan dan legitimasi yang diberikan oleh
penguasa juga sangat mendorong berdirinya peradilan agama dan diakui
keberadaannya serta aktualisasinya Ini sesuai dengan teori living law dan teori
hokum ketatanegaraan. Peradilan Agama pada mulanya masih eksis dan
memiliki peran penting pada masa awal penjajahan belanda, ini karena sesuai
dengan teori living law hukum yang hidup di masyarakat  dan yang
mempengaruhi pola piker mereka adalah hukum Islam, namun ketika belanda
berkuasa dan melancarkan politik hukumnya, peradilan agama dengan hukum
Islam yang diusungnya bersinggungan dengan hokum Eropa dan hokum adat,
ketika terjadi gap semacam ini maka kebijakan penguasalah yang paling
menentukan, pemerintah belanda dalam hal ini ingin menyingkirkan peradilan
agama walaupun masyarakat mayoritas muslim, ini tentunya tidak lepas dari
pertimbangan politik dari mereka8, seperti terancamnya kekuasaan, ketakutan
akan fanatisme yang berlebihan dari rakyat jajahan, dan sebagainya.

D. Peradilan agama di era reformasi


Era reformasi merupakan bentuk kesadaran dari semua elemen
masyarakatyang sadar dan tergugah untuk kembali kepada hakikat sebenarnya
dari bangsa/negara Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan atas hukum,
yakni dihormatinya supremasi hukum dalam kehidupan masyarakat.
Reformasi di Indonesia muncul akibat terjadinya krisis multidimensi yang
menimpa sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara. Tidak segera
diselesaikannya krisis tersebut, muncullah gerakan reformasi tahun 1998.
Meskipun awalnya reformasi terfokus pada tatanan politik, akan tetapi tidak
bisa dipisahkan dengan aspek hukum.
8
Jazuni,LegislasiHukumNasional di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2005.h.176-177
8

Dalam ruang lingkup hukum, sasaran yang tepat dalam menerjemahkan


maknan reformasi adalah membentuk dan  melakukan pembaruan hukum
(legal reform), di mana hukum dapat memberikan perlindungan yang
semestinya terhadap seluruh masyarakat. Hukum dan penegakan hukum dalam
era reformasi ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik elit penguasa.
Keterkaitan hukum dan penegak hukum dalam perilaku politik tersebut hanya
dapat terjadi dalam suatu negara yang tidak demokratis dimana transparasi,
supremasi hukum dan promosi, juga perlindungan HAM dikesampingkan.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu agenda reformasi adalah
supremasi hukum, sebab lemahnya penegakan hukum dan ketidak mandirian
lembaga peradilan yang terjadi pada era sebelumnya. Hal ini menghasilkan
TAP MPR NOMOR X/MPR/1998 yang menharuskan Pemerintah untuk
segera meninjau ulang ketentuan yang telah membagu dua penanganan
lembaga peradian antara institusi eksekutif di satu bidang dan institusi
yudikatif pada bidang yang lain. Adapun yang menjadi sasaran utama TAP
MPR tersebut adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentnag
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakima. Untuk itu, pada tahun 1999
Pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 sebagai
amandemen tehadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Sebagai konsekuensi dari diundangkannya Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 tersebut, diletakkannya kebijakan bahwa, segala urusan mengenai
peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi,
administrasi, dan finansial berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung. Kebijakan ini dalam istilah populernya biasa disebut “kebijakan satu
atap (one roof sysem)”.
Namun, seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi di
Negara Indonesia, Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut kemudian
diubah lagi menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Bahkan untuk
mempercepat proses peralihan lembaga-lembaga peradilan tersebut, dipertegas
lagi dalam ketentuan peralihan pasal 42 Undang-undang ini bahwa pengalihan
organisasi, administrasi dan finansial dalam lingkungan Peradilan Umum dan
9

Peradilan Tata Usaha Negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31


Maret 2004, Peradilan Agama tanggal 30 Juni 2004 dan Peradilan Militer
tanggal 30 Juni 2004.
Sedangkan untuk badan peradilan agama yang sejak lama berada di bawah
Departemen Agama,ahkan dalam hal-hal tertentu tidak dapat dipisahkan
hubungannya dengan Departemen Agama secara khusus dan dengan umum
termasuk majelis ulama. Maka, khusus untuk badan peradilan agama
mengingat sejarah peradilan agama yang spesifik dalam sistem peradilan
nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agama dilakukan dengan
memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama
Indonesia.
Bila dilihat secara komprehensif, perubahan-perubahan yang dilakukan
tersebut di atas, sejalan dengan semangat reformasi nasional yang berpuncak
pada perubahan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi dalam
penyelenggaraan negara Republik Indonesia, yang bertujuan antara lain
menempatkan hukum pada posisi yang paling tinggi dan yang sering disebut
sebagai supremasi hukum.
Bagi peradililan agama, amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tidak semata-mata berorientasi pada penambahan kewenangan pada
bidang Ekonomi Syari’ah, akan tetapi, secara makro lebih disebabkan karena
implikasi dari berubahnya sruktur hukum yang terkait dengan kekuasaan
yudikatif, termasuk paradilan agama sebagai akibat dari adanya reformasi
hukum di Indonesia.
Karena itu, berubahnya UUD 1945 memberikan implikasi pada perubahan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menjadi Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004. Begitu pula halnya dengan undang-undang yang mengatur
tentang peradilan agama, dengan adanya Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004, maka secara otomatis meniscayakan adanya perubahan terhadap
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Atas dasar
10

inilah, kemudian lahir Undang-undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang


perubahan atas Uuno 7 tahun 1989 tentang peradilan agama.9

9
Abdullah Tri Wahyudi. Hukum acara peradilan agama edisi revisi. (solo, CV. Mandar Maju 2018.
Cet 2. Hlm 9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Demikianlah perjalanan yang panjang Peradilan Agama mengalami pasang
surut, kemudian menjadi salah satu pelaksana kekuasaan pemerintah dalam
bentuk dan wewenang yang beraneka ragam. Pada masa penjajahan Belanda,
ia mengalami degradasi terutama kekuasaan mutlaknya kini ia mengalami
perkembangan pesat terutama pada struktrur, kekuasaan dan prosedurnya yang
sama dengan peradilan yang lainnya di Indonesia.

B. Saran
Dengan kerendahan hati, penulis merasakan tulisan ini sangat sederhana
dan jauh dari sempurna. Saran dan kritik yang konstuktif sangat diperlukan
demi kesempurnaan tulisan ini. Demikian pula, perlu penyempurnaan di sana-
sini agar tulisan ini menjadi lebih lengkap dan lebih bermanfaat bagi pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Tri Wahyudi. Hukum acara peradilan agama. (Solo, CV. Mandar Maju
2014)
Abdullah Tri Wahyudi. Hukum acara peradilan agama edisi revisi.(Solo, CV.
Mandar Maju 2018)cet. 2
Aripin, Jurnal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2008)
Atmasasmita, Romli, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan
Hukum, (Bandung: Bandar MAju, 2001)Zaini Ahmad Nuh, Sejarah Peradilan
Agama (Laporan hasil Simposium, Proyek Pembinaan Administrasi Hukum
dan Pradilan, 1983),
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Cet. II; Jakarta: PT. Grafindo
Peersada, 1998)
Djalil,  Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2010), cet 2
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA. Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2010.)
H. A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006

12

Anda mungkin juga menyukai