Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KONSEP PERNIKAHAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perkawinan

Dosen Pengampu :

M. Ilham Tanzilulloh, M.HI

Disusun Oleh :

Dewi Anggarini ( 102210037)


Ilma Mailatun Nikmah ( 102210065)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Pertama-tama marilah kita panjatkan rasa syukur kita kepada Allah SWT,
karena karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan
salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah
membimbing kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang, yakni dengan
tersiarnya agama Islam.
Dengan Hidayah, Rahmat dan Anugerah Allah SWT. Makalah dengan
judul“Makalah Tentang Konsep Pernikahan” ini dapat diselesaikan. Kami
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung atas
terselesaikannya makalah ini dan juga sangat mengharapkan kepada semua pihak
untuk memberi saran perbaikan makalah ini, karena makalah ini masih jauh akan
kesempurnaan. Adapun harapan kami, semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada kita semua, Amin.

Wa’alaikumsalam Wr. Wb

Ponorogo, 23 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A.Sejarah Pernikahan.......................................................................................4
B. Karakteristik Pernikahan Pra Islam………………………………………8
C. Pernikahan Ketika Islam Datang………………………………………..11
D. Pernikahan pasca islam............................................................................13
BAB III PENUTUP
Kesimpulan...................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan bagi manusia bukan hanya sebagai pernyataan (statemen) yang
mengandung keizinan untuk melakukan hubungan seksual sebagai suami isteri, tetapi
juga merupakan tempat berputarnya hidup kemasyarakatan. Dengan demikian,
perkawinan mempunyai arti yang amat penting dalam kehidupan manusia dan
merupakan pola kebudayaan untuk mengendalikan serta membentuk pondasi yang
kuat dalam kehidupan rumah Tangga. Sepanjang sejarah Indonesia, wacana Undang-
undang Perkawinan setidaknya selalu melibatkan tiga pihak/kepentingan, yakni
kepentingan agama, negara dan perempuan. Dalam wacana dikotomi publik-privat,
Perbincangan seputar perkawinan cendrung dianggap sebagai wilayah privat.
Pengaturan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks
inilah baik agama sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki kepentingan
untuk mengadakan pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan
yang signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil
memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam
agama. Sementara itu negara, sebagai institusi modern pun tak bisa mengabaikan
keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya. Meskipun kepentingan
negara ini tidak selalu sama dari pemerintahan satu ke pemerintahan yang lain. Di sisi
lain, umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas, bahkan komunitas
muslim paling besar dalam satu negara di dunia. Karena itu, menjadi sangat menarik
untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum perkawinan Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Sejarah Pernikahan?
2. Karakteristik Pernikahan Pra Islam?
3. Pernikahan Ketika Islam Datang?
4. Pernikahan Pasca Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pernikahan
Perkawinan Islam pada Masa Sebelum Kemerdekaan yaitu sebagai berikut :
1. Sejarah UU Perkawinan Pada Masa Kerajaan
Islam di Indonesia Islam adalah agama rahmatalilalamin.Hukum Islam
sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup
dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yangberdiri di
Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-
masing.
Sekitar abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasei di Aceh Utara menganut hukum
Islam Mazhab Syafi’i.Kemudian pada abad ke dan M di pantai utara Jawa,
terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan
Ngampel.Peranan dan fungsi pemeliharaan agama ditugaskan kepada penghulu
dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam
bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum
keluarga/perkawinan.
Sementara itu, di bagian timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam
seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut
diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.
2. Sejarah UU Perkawinan Pada Masa Penjajahan
Belanda di IndonesiaKetika VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)
datang keIndonesia,kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat
sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa
pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang
disebut dengan Compendium Freiyer, mengikuti nama
penghimpunnya.Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan
kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan
Gowa).Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial
berangsur-angsur berubah terhadap hukum Islam.
Ketika Konggres I Perempuan Indonesia pada tanggal 22-25 Desember 1928
di Yokyakarta mengusul-kan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun
undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan danmengganggu
kekompakan dalam mengusir penjajah. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada
rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum
yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di
kalangan umat Islam. Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada
dewan rakyat (volksraad).
Permulaan awal tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana
pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de
ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut:
Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah
satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang
diputuskan oleh hakim. Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya
diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang
beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak
oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang
bertentangan dengan hukum Islam.
3. Sejarah UU Perkawinan Pada Masa Awal Proklamasi Kemerdekaan
Sesudah proklamasi kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan
upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No:
22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat
beragama Islam. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan
Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai
Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU
No: 22 Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah
perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban
suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang
bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya
apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan
yang bercerai untuk rujuk kembali..
Bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar
Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana
undang-undang perkawinan. Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia
Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk.Maka lahirlah
Peraturan Pemerintah (PP) No: 19 tahun 1952 yang memungkinkan pemberian
tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga dan seterusnya.
Pada tahun1961 tanggal 6 Mei, Menteri Kehakiman membentuk
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam mengajukan
konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei 1963 Lembaga hukum
ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus dijadikan prinsip
dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga
hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum
Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah perkawinan
monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan
syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon
pengantin.
4. Sejarah UU Perkawinan Pada Masa Menjelang Pengesahanya Tahun 1973
Fraksi Katolik di Parlemen menolak rancangan UU Perkawinan yang
berdasarkan Islam. Konsep RUU Perkawinan khusus umat Islam yang disusun
pada tahun 1967 dan rancangan 1968 yang berfungsi sebagai Rancangan
Undang Undang Pokok Perkawinan yang di dalamnya mencakup materi yang
diatur dalam Rancangan tahun 1967. Akhirnya Pemerintah menarik kembali
kedua rancangan dan mengajukan RUU Perkawinan yang baru pada tahun 1973.
Pada 1973 tanggal 22 Desember, Menteri Agama mewakili Pemerintah
membawa konsep RUU Perkawinan yang di setujui DPR menjadi Undang-
Undang Perkawinan.. Maka pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan
Undang-Undang tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun
1974 tanggal 2 Januari 1974.
Dalam masa kurang lebih 15 tahun, yakni menjelang disahkannya
undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan sampai menjelang lahirnya
undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ada dua hal yang
menonjol dalam perjalanan. Peradilan Agama di Indonesia. Pertama, tentang
proses lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Kedua, tentang lahirnya Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. sekarang
telah diperbarui Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 1 Menurut
Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 2 menjelaskan bahwa : Perkawinan menurut

1
Nurhadi, Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang Pernikahan (perkawinan) ditinjau dari maqashid
syariah. Vol. 02, No. 02, Oktober 2018, hlm 214-218
hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat miitsaqan
ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.
Istilah perkawinan adalah merupakan istilah yang umum, yang
digunakan untuk semua makhluk ciptaan Allah dimuka bumi, sedangkan
pernikahan hanyalah diperuntukkan bagi manusia. Seperti kata nikah berasal
dari bahasa Arab yaitu “nikaahun” yang merupakan masdar atau kata asal dari
kata kerja nakaha, yang sinonim dengan tazawwaja. Jadi kata nikah berarti
“adh-dhammu wattadaakhul” artinya bertindih dan memasukkan, (Rahmat
Hakim, 2000 : 11) sedangkan dalam kitab lain dikatakan bahwa nikah adalah
“adh-dhmmu wal-jam’u” artinya bertindih dan berkumpul.
Jadi, perkawinan (nikah) adalah merupakan salah satu peristiwa
penting dalam kehidupan manusia, merupkan suatu lembaga resmi yang
mempertalikan secara sah antara seorang pria dengan seorang wanita untuk
hidup bersama sebagai suami istri. Sebab perkawinan bertujuan untuk
membentuk keluarga, melanjutkan keturunan, mencegah perbuatan tercela
(susila) serta menjaga ketentraman jiwa dan batin. Bagi pentingnya perkawinan
berarti tidak hanya menyangkut hubungan kelamin anatara pria dan wanita,
tetapi lebih luas menyangkut kehidupan dan kepentingan masyarakat, bangsa
dan Negara.2
B. Karakteristik Pernikahan Pra Islam
Terdapat faktor-faktor lain yang menjadi karakteristik dari keluarga sakinah,
yaitu:
1) Lurusnya Niyat (Islâh al-Niyyah) dan Kuatnya hubungan dengan Allah
(Quwwatu shilah billâh)
Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan
biologis/fisik. Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT
sebagaimana diungkap dalam al-Qur'an (QS. al-Rûm (30):21), sehingga bernilai
sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS. al-Nur
(24):32), yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan
Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits,
”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah
maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR. Al Thabrani dan al-Baihaqi).
2
Muktiali Jarbi, Pernikahan Menurut hukum Islam. PENDAIS Vol. I, No.1 2019. hlm 57-58
Oleh karena nikah merupakan sunnah Rasul, maka selayaknya proses
menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan kehidupan pasca
pernikahan harus mencontoh Rasul. Menikah merupakan upaya menjaga
kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah menikah semestinya
lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan syahwatnya.
Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim
(syakhsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan
keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim
teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam dalam segala aktivitas dan
interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu menjadi rahmatan li al
„âlamîn bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim
pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan
masyarakat yang sejahtera.
2. kasih sayang
Dalam proses perwujudan keluarga sakinan dan pendidikan keluarga,
ikatan kasih sayang antara anak dan orang tua ini mempunyai peran yang sangat
penting. Curahan kasih sayang yang diberikan orang tua dapat menciptakan
kesan yang sangat kuat di dalam hati dan benak anak. Persaaan kasih inilah yang
berperan membentuk jiwa, sekaligus membangun kepribadiannya. Para pakar
psikologi menjelaskan bahwa perasaan seorang anak kecil terhadap curahan
cinta, respon, dan interaksi orang-orang di sekitarnya terhadap dirinya sangat
penting dalam membantu pertumbuhan emosional dan kejiwaan, bahkan
kecerdasan anak.
3. saling Terbuka (Mushârohah), Santun dan Bijak (Mu’asyarah bil Ma’rûf)
hakikatnya keterbukaan itu pun harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan
(syu‟ur), pemikiran (fikrah), sikap (mauqif), dan tingkah laku (akhlâq), sehingga
masing-masing dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami-isterinya
dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqoh). Sikap yang santun dan bijak
dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan berumah tangga akan
menciptakan suasana yang nyaman dan indah. Suasana yang demikian sangat
penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan
pengkondisian suasana untuk betah tinggal di rumah.
4.komunikasi dan musyawarah
Pernikahan adalah menyatukan dua orang yang berasal dari latar belakang yang
berbeda dan dua keluarga yang berbeda. Karena itu, suam-istri perlu saling
memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta menerimanya
dengan lapang dada tanpa ada penyesalan yang berkepanjangan. Saling
memahami akan menjadikan suami-istri berempati terhadap pasangannya
sehingga tidak mudah saling berburuk sangka. Sikap saling empati/memahami
tidak berarti toleran terhadap kesalahan dan kelemahan yang dapat merugikan
pasangannya.
5. Tasâmuh (Toleran) dan Pemaaf;
Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan
pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan
terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu
permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian, dsb).
Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap toleran (tasamuh)
dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena itu masing-masing
suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan dan kelebihan
pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan
memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian maka suami/isteri harus
mampu mempercantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang
ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya meminimalisir
kekurangan yang ada (seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Al-Baqarah
(2):187).
6. adil dan persamaan;
Sikap adil merupakan factor yang harus muncul dalam keluarga sakinah. Adil
berarti seimbang dan proporsional. Dengan demikian, keadilan dapat diartikan
sebagai keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak pilih kasih, tidak diskriminatif,
dan memenuhi aspek pemenuhan kebutuhan berdasarkan proporsi dan
kebutuhan masing-masing. Kata adil merupakan kata serapan dari bahasa Arab
yaitu 'âdil. Di dalam al-Qur'an, pengertian adil tidak hanya ditunjukkan oleh
kata 'âdil tetapi juga ditunjukkan oleh kata qist. Dalam bahasa Inggris kata adil
dapat diterjemahkan menjadi kata just atau justice.
7. Sabar dan syukur
kesabaran adalah keridhaan menerima kelemahan/kekurangan
pasangan suami/isteri yang memang diluar kesanggupannya. Penerimaan
terhadap suami/isteri harus penuh sebagai satu “paket”, dia dengan segala hal
yang melekat pada dirinya, adalah hal yang harus diterima secara utuh.
Begitupun penerimaan orang tua kepada anak-anak dengan segala potensi dan
kecenderungannya. Kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal
yang fundamental (asâsî) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan
berikut: “Pernikahan adalah fakultas kesabaran dari universitas Kehidupan”.
Mereka yang lulus dari fakultas kesabaran akan meraih banyak keberkahan.
Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam
kehidupan berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara
penghuni neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur
kepada suaminya. Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah
suami seberapapun besarnya dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu
membandingbandingkan dengan suami orang lain, adalah modal mahal dalam
meraih keberkahan.3
Dalam pernikahan yang dilakukan oleh bangsa Arab pra Islam, mereka
mengikuti model kepemilikan, yang mana implementasinya terlihat dalam
berbagai jenis pernikahan yang ada, seperti: pernikahan istibda', pernikahan
maqthu', pernikahan rahthun, pernikahan khadan, pernikahan badal, dan
pernikahan shigar. Artinya memang di masa pra Islam, pernikahan hanya
semata bertujuan untuk semata memperoleh keturunan dan memuja nafsu
syahwat. Dengan menggunakan model pernikahan seperti ini, maka hakikat dan
tujuan pernikahan tidaklah akan pernah tercapai, lantaran wanita senantiasa
berada di dalam posisi yang terpuruk. Sebaliknya pria memiliki otoritas untuk
memperlakukan pasangannya sesuai dengan kehendak keinginannya. Sehingga
para istri berada di dalam situasi yang tidak menguntungkan.4
C. Pernikahan Ketika Islam Datang
Tradisi pernikahan sebenarnya sudah dikenal pada masa sebelum datangnya
Islam.Di mana pada masa tersebut terdapat beberapa model pernikahan yang biasa
digunakan oleh masyarakat pra Islam kala itu, di antaranya yaitu:
1. Pernikahan Istibdha’
3
Siti Chadijah, karakteristik keluarga sakinah dalam islam. Vol. 14, No. 1 Maret 2018.hlm 117-125
4
Ridwan Angga Januario,dkk. Hakikat dan tujuan pernikahan di era pra -islam dan awal islam. Jurnal
Al-Ijtimaiyyah, Vol. 8, No. 1, Januari-Juni 2022. hlm 5-7
(https://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/PMI/index)
Yaitu penikahan antara sepasang pria dan wanita, di mana pasca menikah sang
suami
tadi menyuruh kepada istrinya untuk melakukan hubungan badan dengan pria
lain yang dipandang terhormat dalam masyarakat karena memiliki derajat atau
kedudukan yang tinggi.6 Hal ini dilandasi oleh keinginan untuk memiliki anak
keturunan yang diwariskan dari pria yang berkedudukan tinggi tadi. Dan lalu
setelah terjadi kehamilan, maka suami sahnya meminta istrinya kembali dan
bergaul layaknya suami istri seperti biasanya.
2. Pernikahan Maqthu’
Pernikahan antara seorang pria dengan ibu tirinya. Sudah menjadi kebiasaan
pada masa pra Islam, di mana anak laki-laki memperoleh warisan berupa para
istri dari ayahnya yang telah meninggal. Dan jikalau anak tersebut masih kecil,
maka keluarganya menahan istri tersebut hingga sang anak sampai dewasa.
3. Pernikahan Rahthun
Biasa disebut sebagai poliandri, di mana seorang wanita menikahi lebih dari
seorang pria. Namun uniknya dalam pernikahan ini, bila wanita tadi hamil dan
melahirkan, maka ia mengundang seluruh pria yang pernah menggaulinya, dan
lalu memilih sendiri siapa yang berhak untuk menjadi ayah biologis dari bayi
tersebut. Sedang pria yang ditunjuk tadi mau tidak mau harus mengakui bahwa
bayi tersebut adalah anak kandungnya.
4. Pernikahan Khadan
Yaitu pernikahan antara pria dan wanita secara sembunyi-sembunyi tanpa
adanya ikatan yang sah, atau kita biasa menyebutnya sebagai kumpul kebo.
Namun kala itu masyarakat menganggap bahwa pernikahan seperti itu bukanlah
suatu aib bilamana dilakukan secara diam-diam.
5. Pernikahan Badal
Pernikahan yang terjadi dengan adanya saling tukar menukar istri dengan
adanya kesepakatan dari pihak suami, tanpa harus melalui talak atau perceraian.
Hal ini bertujuan hanya semata-mata ingin agar nafsu seksual mereka terpuaskan.
6. Pernikahan Syighar
Yang mana seorang ayah mengawinkan anak wanitanya atau saudara
perempuannya dengan pria lain tanpa adanya mahar. Akan tetapi sebagai
imbalannya, pria tersebut harus memberikan juga anak wanita atau saudara
perempuannya untuk menjadi istri daripada si ayah tadi. Begitulah gambaran
berbagai pernikahan yang terjadi di masa pra Islam, yang mana terlihat adanya
berbagai bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan terhadap wanita yang nampak
dalam pernikahan tersebut. Tujuan pernikahan hanyalah semata untuk memuja
kepentingan syahwat dan berkeinginan untuk memperoleh keturunan yang baik
tanpa menggunakan sistem pernikahan yang pro terhadap para wanita. Selain
daripada itu, para wanita juga tidak mendapat hak-hak mereka secara adil dan
manusiawi, bahkan mereka harus rela untuk kehilangan eksistensi
kemanusiaannya,lantaran kehormatan mereka dapat diwarisi oleh pihak
keluarganya. Maka dengan kedatangan Islam, terjadilah reformasi besar-besaran
terhadap segala macam bentuk pernikahan di atas yang sangat bertentangan
dengan norma-norma kemanusiaan.
Dengan berbagai model dan macam pernikahan yang ada pada masyarakat pra
Islam saat itu, menunjukkan adanya makna yang beragam terhadap pernikahan
yang biasa terjadi di masyarakat. Menariknya, selalu saja wanita menempati
posisi yang bawah dan cenderung dieksploitasi keberadaannya. Sudah menjadi
hal yang lumrah bahwa masyarakat Arab pra Islam, merasa amat malu dan
menjadi sebuah aib bilamana memiliki anak perempuan. Karena anak perempuan
merupakan jenis kelamin kedua dalam kehidupan mereka. Tentu hal tersebut
merupakan suatu kondisi yang amat buruk bagi para wanita.5
D. Pernikahan Pasca Islam
Eksistensi Perkawinan dan Perceraian menurut Undang-Undang
PerkawinanUndang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya
disebut UU Perkawinan) yang diundangkanpada tanggal 2 Januari 1974 dan
diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu PP No.
9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974tentang
Perkawinan.
Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
(Pasal 1 UU Perkawinan).Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan
terdapat pada Pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: “(1) Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya
itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
5
Ibid. 5
berlaku.” Perkawinan yang telah melalui proses pencatatanmemberikemaslahatan
bagi umum terutama bagikaum wanita karena hak asasinya menjadi
terlindungidantidak dilecehkan. Sedangkan menurut hukum positif Indonesia, nikah
di bawah tangan itu tidak diakui sama sekali, hanya sah menurut agama
karenaterpenuhinya rukun nikah. Sehingga banyak pendapat ahli hukum dan sarjana
hukum berpendapat bahwa perkawinan di bawah tangan adalah sah hanya kurang
dalam pencatatan perkawinan atau syarat administratif saja. Akan tetapi bila melihat
dari Pasal 2 ayat (1) dan (2) harus dibaca sebagai satu kesatuan, artinya perkawinan
yang sah adalah yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan itu dan harus
dicatatkan dan akta perkawinan merupakan bukti satu-satunya adanya suatu
perkawinan.
Aspek pencatatan perkawinan sebagai salah satu komponen administrasi
kependudukan berada pada fungsi pencatatan sipil yang secara struktural berada di
bawah pembinaan Direktorat Pencatatan Sipil Depdagri. Peran yang diberikan
dalam kerangka SIAK antara lain berupa penyajian data perkawinan sesuai dengan
komposisi yang diperlukan, yakni melalui pemberian input data secara proporsional
terhadap sistem yang ada. Melalui input yang lengkap dan benar akan dapat
disajikan data perkawinan sesuai dengan kebutuhan. Adapun manfaat data
perkawinan tersebut
antara lain adalah sebagai berikut:
a. .Untuk mengetahui jumlah penambahan keluarga yang dapat digunakan sebagi
acuan dalam penyusunan program pembinaan kesejahteraan keluarga dan
dijadikan komponen lembaga terkecil bagi pembentuka SDM yang berkualitas;
b. Untuk pengelolaan data berkaitan dengan rencana program pembinaan rumah
tangga dan advokasi penduduk pra nikah;
c. .Untuk mengetahui banyaknya pasangan yang telah memiliki akta perkawinan
sebagai tolok ukur tingkat kesadaran.
Dengan melihat pada fungsi data perkawinan tersebut di atas, maka sudah
selayaknya apabila penyelenggaraan pencatatan perkawinan diselenggarakan secara
terpadu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007. Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 menyebutkan bahwa perkawinan yang sah berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada
instansi pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60(enam puluh)
hari sejak tanggal perkawinan. Selanjutnya berdasarkan laporan tersebut, pejabat
pencatatan sipil mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan
akta perkawinan. Bagi penduduk yang beragama Islam pelaporan tersebut
disampaikankepada KUA yang selanjutnya KUA berkewajiban menyampaikan
laporan tersebut kepada pejabat pencatatan sipil.
Akibat Hukum Perkawinan dan Perceraian menurut Pandangan Hukum Islam
dan Pasca Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974adalah sebagai berikut:
1. Terhadap Anak –Anak. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau
perkawinan yang tidak tercatat (di bawah tangan), selain dianggap anak tidak
sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu
(Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan).
2. Terhadap Istri
Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan
perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum:
a.Tidak dianggap sebagai istri sah;
b.Tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia; dan
c.Tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum
perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi.
Secara sosial:
Akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah
tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan
perkawinan (alias kumpul kebo) atau anda dianggap menjadi istri simpanan.
3. Terhadap laki-laki atau suami
Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki
atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan.
4.Terhadap Harta
Menurut ketentuan Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa adanya
harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta
milik masing-masing suami atau isteri. Harta yang didapat dalam perkawinan di
bawah tangan hanya dimiliki oleh masing-masing yang menghasilkannya, karena
tidak adanya harta gono gini/harta bersama.
5.Pihak Ketiga
Apabila akibat hukum dari perceraian dikaitkan dengan pihak ketiga, maka
hak tersebut berkaitan dengan hutan-piutang antara suami-isteri dengan pihak
ketiga. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Pasal 95 Kompilasi hukum Islam(KHI)
menyatakan bahwa:
a. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada
hartanya masing-masing;
b. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan
keluarga dibebankan kepada harta bersama;
c. bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami;
d. bila harta suami tidak mencukupi, dibebankan kepada harta isteri
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akibat hukumnya terhadap pihak
ketiga adalah disesuaikan dengan kepada siapa pihak ketiga tersebut berhubungan.6

6
Fika Burlian, Eksistensi Perkawinan Dan Perceraian Menurut Hukum Islam Dan Pasca Berlakunya
UU NO. 1 Tahun 1974 Existence Marriage and Legal Separation of Islam and Pasca Go Into Effect UU
No. 1 Year 1974. Jurnal Ilmu Hukum, Vol 8, No. 2, Desember 2019. hlm 81-82
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkawinan (nikah) adalah merupakan salah satu peristiwa penting
dalam kehidupan manusia, merupkan suatu lembaga resmi yang
mempertalikan secara sah antara seorang pria dengan seorang wanita untuk
hidup bersama sebagai suami istri. Sebab perkawinan bertujuan untuk
membentuk keluarga, melanjutkan keturunan, mencegah perbuatan tercela
(susila) serta menjaga ketentraman jiwa dan batin. Bagi pentingnya
perkawinan berarti tidak hanya menyangkut hubungan kelamin anatara pria
dan wanita, tetapi lebih luas menyangkut kehidupan dan kepentingan
masyarakat, bangsa dan Negara.
Terdapat faktor-faktor lain yang menjadi karakteristik dari keluarga
sakinah, yaitu:
1).Lurusnya Niyat (Islâh al-Niyyah) dan Kuatnya hubungan dengan Allah
(Quwwatu shilah billâh),
2) Kasih sayang,
3). saling Terbuka (Mushârohah), Santun dan Bijak (Mu’asyarah bil
Ma’rûf),
4) komunikasi dan musyawarah
5).Tasammuh ( toleran) dan pemaaf.
Begitulah gambaran berbagai pernikahan yang terjadi di masa pra
Islam, yang mana terlihat adanya berbagai bentuk ketidakadilan dan
ketidaksetaraan terhadap wanita yang nampak dalam pernikahan tersebut.
Tujuan pernikahan hanyalah semata untuk memuja kepentingan syahwat dan
berkeinginan untuk memperoleh keturunan yang baik tanpa menggunakan
sistem pernikahan yang pro terhadap para wanita. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa akibat hukumnya terhadap pihak ketiga adalah
disesuaikan dengan kepada siapa pihak ketiga tersebut berhubungan.
DAFTAR PUSTAKA

Nurhadi, Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang Pernikahan


(perkawinan) ditinjau dari maqashid syariah. Vol. 02, No. 02, Oktober
2018, hlm 214-218

Jarbi, Muktiali Pernikahan Menurut hukum Islam. PENDAIS Vol. I,


No.1 2019. hlm 57-58

Siti Chadijah, karakteristik keluarga sakinah dalam islam. Vol. 14, No. 1
Maret 2018.hlm 117-125

Ridwan Angga Januario,dkk. Hakikat dan tujuan pernikahan di era pra -


islam dan awal islam. Jurnal Al-Ijtimaiyyah, Vol. 8, No. 1, Januari-Juni
2022. hlm 5-7
(https://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/PMI/index)

Burlian, Fika Eksistensi Perkawinan Dan Perceraian Menurut Hukum


Islam Dan Pasca Berlakunya UU NO. 1 Tahun 1974 Existence Marriage
and Legal Separation of Islam and Pasca Go Into Effect UU No. 1 Year
1974. Jurnal Ilmu Hukum, Vol 8, No. 2, Desember 2019. hlm 81-82

Anda mungkin juga menyukai