Anda di halaman 1dari 26

HUKUM KELUARGA ISLAM DI ASIA TENGGARA

MAKALAH

“Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Kawasan Hukum


Keluarga”

Disusun oleh:
Willy Fernando A.M. NIM. 931101419
Moh. Mushaf Abdullah R.M. NIM. 931101519
Moch. Atha’illah NIM. 931113719
Eli Novitasari NIM. 931115719

Dosen Pengampu:
Dr. Ulin Na’mah, M.H.I.

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH


KELAS A
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan nikmatnya kepada kita semua. Sehingga kami dapat menyelesaikan
pembuatan makalah dan penulis juga sadar masih banyak kekurangan yang perlu
di perbaiki dalam makalah ini.
Walaupun demikian kami sudah berusaha dengan maksimal, demi
menyempurnakan penulisan makalah ini baik dari sumber buku maupun internet.
Kritik dan saran yang sifatnya membangun, sangat kami harapkan guna
kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya
Dalam kesempatan ini, kami ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis juga berharap makalah ini bisa bermanfaat baagi para pembaca,
serta dapat membantu bagi perkembangan IAIN KEDIRI dimasa yang akan
datang. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang sudah
membantu, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah di berikan.
Aamin
Wassalamualaikum Wr.Wb.

Kediri, 19 November 2021

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Sampul ............................................................................................................. i
Kata Pengantar ................................................................................................. ii
Daftar Isi........................................................................................................... iii
Bab I : Pendahuluan ................................................................................... 1
A.Latar Belakang ............................................................................. 1
B.Rumusan Masalah ........................................................................ 2
Bab II : Pembahasan .................................................................................... 3
A. Bagaimana Hukum Keluarga Islam di Indonesia…………… ...3
B. Bagaimana Hukum Keluarga Islam di Malaysia………………6
C. Bagaimana Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam……9
D. Bagaimana Hukum Keluarga Islam di Filipina………………..12
E. Bagaimana Hukum Keluarga Islam di Thailand………………15
Bab III : Penutup........................................................................................... 19
A. Kesimpulan ................................................................................. 19
B. Saran ........................................................................................... 21
Daftar Pustaka .................................................................................................. 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asia Tenggara adalah tempat tinggal bagi penduduk Muslim terbesar di
dunia. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa penduduk Muslim
terbesar ada di kawasan Asia Tenggara. Secara geografis, kawasan Asia
Tenggara merupakan tempat yang unik dan menarik bagi perkembangan
agama-agama dunia, sehingga hampir seluruh agama terutama agama besar
pernah singgah dan mendapat pengaruh di beberapa tempat di kawasan ini,
termasuk agama Islam.1 Wilayah ini merupakan kawasan kebudayaan yang
berdasarkan etnolingusitik sangat luas dan beragam. Sekalipun secara
etnologis penduduk di kawasan ini lebih homogen pada etnis Melayu, namun
dalam kenyataan realitas sosial dan budayanya yang berkembang di dalamnya
menunjukkan keragaman, atau heterogen.2
Perkembangan dan pertumbuhan Islam di Asia Tenggara terutama
terhadap etnis Melayu, tidak terlepas dari proses masuknya Islam pada Abad
ke 7 Masehi bertepatan dengan makin meluasnya penaklukan kekhalifahan
Islam di Semenanjung Arab. Perkembangan dan pertumbuhan Islam di Asia
Tenggara tidak hanya mewakili corak keagamaan Islam yang terdapat dari
Semenanjung Arab yang lekat dengan kemurnian akan ajaran Islam itu
sendiri, atau Islam sebagaimana adanya sesuai dengan penyampaian Islam
melalui lisan Nabi Muhammad SAW berdasarkan tuntunan Allah SWT yang
termaktub dalam al-Quran dan Al-Hadits. Corak yang berbeda dari lisan Nabi
Muhammad SAW tentang Islam di Asia Tenggara tergambarkan dengan
bermunculannya tarekat-tarekat. Oleh sebab itu dalam makalah ini penulis

1
Dardiri, Helmiati, dkk., Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: kerjasama ISAIS dan Alaf
Baru, 2006), h. 53.
2
Fabian Fadhly, “Pemahaman Keagamaan Islam di Asia Tengggara Abad XIII-XX”, Jurnal
Millah, Vol. 18, No. 1, Agustus 2018, h. 52.

1
akan memaparkan sejarah perkembangan, pemikiran, dan pembaharuan
hukum keluarga Islam di Asia Tenggara.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana tersebut di atas, rumusan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Hukum Keluarga Islam di Indonesia?
2. Bagaimana Hukum Keluarga Islam di Malaysia?
3. Bagaimana Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam?
4. Bagaimana Hukum Keluarga Islam di Filipina?
5. Bagaimana Hukum Keluarga Islam di Thailand?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Hukum Keluarga Islam di Indonesia.
2. Untuk mengetahui Hukum Keluarga Islam di Malaysia.
3. Untuk mengetahui Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam.
4. Untuk mengetahui Hukum Keluarga Islam di Filipina.
5. Untuk mengetahui Hukum Keluarga Islam di Thailand.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Keluarga Islam di Indonesia


Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut
hukum Islam Mazhab Syafi’i.3 Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai
utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban,
Gresik dan Ngampel.4 Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu
dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam
bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga /
perkawinan.5 Hal ini sesuai dengan konteks Indonesia, sebuah negara yang
telah melakukan pembaruan dalam hukum keluarga Islam.6 Secara historis,
pembaruan hukum perkawinan Islam di Indonesia dapat dibagi dalam tiga
periode yaitu:7 (1) pra penjajajahan; (2) masa penjajahan; dan (3) masa
kemerdekaan (masa Orde Lama, Orde Baru, dan masa reformasi). Dalam
masing-masing periode ini, hukum keluarga Islam mengalami perubahan dan
pembaruan. Secara historis, hukum Islam sudah lama menjadi hukum positif
yang berlaku di Indonesia.

Perkembangan hukum Islam bidang keluarga di Indonesia cukup terbuka


disebabkan antara lain oleh Undang-Undang Dasar 1945 atau dengan
ungkapan lain bahwa konstitusi sendiri memang mengarahkan terjadinya
pembaharuan atau pengembangan hukum keluarga, agar kehidupan keluarga
yang menjadi sendi dasar kehidupan masyarakat, utamanya kehidupan wanita,
isteri, ibu dan anak-anak di dalamnya, dapat terlindungi dengan ada kepastian

3
Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 53.
4
Ibid, h. 145.
5
Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, ( Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), h. 70.
6
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo,
2005), h. 162-164.
7
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Islam, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009), h. 15-90.

3
hukumnya. Sepanjang sejarahnya, bahwa hukum keluarga di Indonesia telah
mengalami pasang surut seirama dengan pasang surut sampai perjuangan
kemerdekaan negara Republik Indonesia pada zaman penjajahan Barat dahulu.
Pada masa Kerajaan Islam di Pulau Jawa (berlangsung sekitar tahun 1613-
1882), al-ahwal al-syakhsyiyyah (hukum keluarga), menunjukan lahirnya
realitas baru, yakni diterimanya norma-norma sosial Islam secara damai oleh
sebagian besar penduduk Nusantara.8

Di Indonesia, upaya konkret pembaruan hukum keluarga Islam dimulai


sekitar tahun 1960-an yang kemudian berujung lahirnya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebelum hukum perkawinan
diatur, urusan perkawinan diatur melalui beragam hukum, antara lain hukum
adat, hukum Islam tradisional, ordonasi perkawinan Kristen, hukum
perkawinan campuran dan sebagainya sesuai dengan agama dan adat istiadat
masing-masing penduduk. Upaya pembaruan hukum keluarga berikutnya
terjadi pada masa Menteri Agama Munawir Syadzali. Upaya ini ditandai
dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tanggal 10 Juni 1991
yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang
diperuntukkan untuk umat Islam.

Secara historis, hukum keluarga Islam mencuat kepermukaan bermula dari


diakuinya peradilan agama secara resmi sebagai salah satu pelaksana “judicial
power” dalam negara hukum melalui Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
terakhir dirubah dengan Undanh-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Lebih lanjut,
kedudukan, kewenangan atau yurisdiksi dan organisatorisnya telah diatur dan
dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang
mempunyai kewenangan mengadili perkara tertentu: (1) perkawinan, (2)

8
Al Fitri, “Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia Melalui Kompilasi Hukum Islam”, Jurnal, h.
2.

4
waris, (3) wasiat, (4) hibah, (5) wakaf, (6) infaq, (7) shadaqah, (8) zakat dan
(9) ekonomi syari‟ah, bagi penduduk yang beragama Islam.

Dalam rangka pemberlakuan KHI maka keluarlah Intruksi Presiden


Nomor 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama RI untuk menyebarluaskan KHI
yang terdiri dari tiga buku, yaitu Buku I tentang perkawinan, terdiri dari 9 bab
dan 170 pasal (pasal 1 s/d pasal 170), Buku II tentang kewarisan, terdiri dari 6
bab dan 43 pasal (pasal 171 s/d pasal 214) dan Buku III tentang perwakafan,
terdiri dari 5 bab dan 12 pasal (pasal 215 s/d pasal 228).

Bidang Perkawinan

Pasal 5 KHI menyebutkan, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi


masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan
tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Jo. Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 1954. Jika kita melihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia, maka kata harus yang tercantum dalam pasal 5 tersebut bermakna
wajib9 begitu juga dalam hukum Islam. Dengan demikian menurut KHI,
perkawinan yang tidak dicatat dan dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 5 tersebut dikuatkan
pasal 7, yang menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Sehingga dapat
dikatakan bahwa, pencatatan perkawinan merupakan kewajiban bagi setiap
orang Islam yang melangsungkan perkawinan.

Bidang Kewarisan

Hukum kewarisan yang termuat dalam KHI terdiri atas VI bab dan 44
pasal (pasal 171-214), dari segi yuridis formalnya, perkara kewarisan belum
pernah dibahas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, baru
dalam KHI aturan tersebut diberlakukan, selama ini para hakim peradilan
agama menetapkan hukum kewarisan berdasarkan sumber hukum, yaitu al

9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 343.

5
Quran dan hadis, dan kitab-kitab fiqh. KHI membawa perubahan yang cukup
penting tentang sistem kewarisan yang selama ini dianut oleh masyarakat
beragama Islam di Indonesia pada umumnya menggunakan kitab-kitab yang
bersumber dari mazhab sunnī yang menganut sistem kewarisan patrilinier.
Sedang sistem kewarisan yang dianut KHI adalah sebagaimana tercantum
dalam Q.S. an-Nisā (4): 7 dan 11, yaitu sistem kewarisan bilateral.

Bidang Wakaf

Pembaruan fiqh juga terjadi dalam pasal-pasal mengenai hukum


perwakafan. Pembaruan yang terdapat dalam pasal-pasal ini dilakukan dengan
metode extra-doctrinal reform dan regulatory reform. Pembaruan dengan
metode extra doctrinal reform ini dapat diperhatikan pada ketentuan mengenai
ikrar wakaf kepada penerima wakaf yang harus dilakukan di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan dua orang saksi (pasal
218 KHI).

B. Hukum Keluarga Islam di Malaysia


Malaysia merupakan negara dengan multikulturalisme (multi etnik,
multi agama, multi komunal) dimana separuh dari penduduknya ialah
Melayu. Adapun sisanya terdiri dari kelompok India dan China. Dengan
jumlah yang mayoritas, sudah pasti Melayu memiliki kekuatan yang
dominan di bidang politik dan budaya Malaysia. Keberadaan Cina dan
India merupakan buah dari adanya Indianisasi di Melayu dan disusul
dengan proses Islamisasi yang dilakukan pedagang-pedagang Sufi Arab
dan Muslim yang singgah di sana. Munculnya Islam di Malaysia telah
bersinggungan dengan politik dan masyarakat tradisional di negara-negara
Melayu tersebut. Persinggungan agama dan politik secara langsung
sekaligus memberikan dampak pada pemberlakuan Islam sebagai sumber
ajaran. Islam lantas menjadi identic dengan Melayu. Menjadi orang
Melayu berarti menjadi Muslim. Bahkan Islam dijadikan sebagai sumber

6
legitimasi bagi para-Sultan yang memiliki pengaruh kuat dan menempati
posisi-posisi strategis Negara.10
Dalam konstitusi Malaysia, sebagaimana tertuang dalam bagian 1
pasal 3 menyebutkan bahwa “Islam adalah agama federasi”. Namun,
meski demikian Malaysia tidak lantas menolak adanya agama lain yang
dianut. Hal ini tertuang dalam pasal 11 yang mengatakan bahwa Negara
tersebut menerima prinsip kebebasan beragama.11 John L. Esposito
berpendapat bahwa konstitusi Malaysia cukup unik. Menurutnya konstitusi
Malaysia telah melanggengkan pengelompokan agama dan etnik, yakni
kedudukan istimewa diberikan kepada agama Islam, penganutnya dan juga
para sultan. Konstitusi tersebut mendefinisikan bahwa orang Melayu
mengakui Islam sebagai agamanya, menggunakan bahasa melayu sebagai
bahasa percakapan sehari-hari serta menyesuaikan dengan adat Melayu.
Bahkan orang-orangMelayu di sana mendapatkan kuota istimewa seperti
di lingkup pendidikan, pemerintahan dan bisnis.12
Hukum yang berlaku di Malaysia sebelum masa penjajahan Inggris
adalah hukum Islam dan hukum adat. Undang-undang yang berlaku
sebelum kolonialisme inggris adalah adat pepateh. Adat pepateh
kebanyakan digunakan oleh masyarakat melayu di negara bagian Negeri
Sembilan dan beberapa wilayah di Malaka. Negara bagian Semenanjung
menggunakan undang-undang adat temenggung.13 Pada tahun 1880,
pemerintahan Inggris di Malaysia mengakui eksistensi hukum perkawinan
dan perceraian Islam melalui “Mohammedan Marriage Ordinance11 No.
V Tahun 1880” dan diberlakukan di Negara-negara selat, Pulau Pinang,

10
Kholis Bidayati, dkk, “Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara Muslim (Studi
Atas Negara Malaysia dan Brunei Darussalam)”, ADHKI: Journal of Islamic Family Law, Volume
3, Nomor 1, Juni 2021, h. 53-54.
11
Adnan Amal dan Taufiq dkk, Politik Syariat islam dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2004), h.157.
12
John L Esposito, Demokrasi di Negara-negara Muslim (Jakarta: Penerbit Mizan, 1999), h.165.
13
Abdul Monir Yacob, Pelaksanaan Undang-Undang dalam Mahkamah Syariyah dan Mahkamah
Sipil di Malaysia (Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Malaysia (IKIM), 1995), h. 8.

7
Malaka, dan Singapore.14 Sedangkan untuk negara bagian Selangor, Perak,
Pahang dan Negeri sembilan) berlaku “Registration of Muhammadan
Marriages and Divorces Enactment 1885”. Sementara itu negara bagian
Peris, Kelantan, Terengganu, Johor dan Kedah berlaku “The Divorce
Regulation tahun 1907”.15
Aturan hukum yang tertuang dalam UU yang disahkan Inggris
tersebut hanya mengatur pendaftaran perkawinan dan perceraian. Sehingga
setelah Malaysia merdeka dari penjajahan Inggris mereka melakukan
pembaharuan secara menyeluruh di bidang perkawinan dan perceraian.
Pembaharuan ini oleh Kelantan, Negeri Sembilan dan Malaka telah
diupayakan sejak tahun 1982. Adapun Undang-Undang perkawinan yang
saat ini berlaku di Negara Malaysia ialah setiap negara bagian memiliki
undang-undangnya masing-masing. Beberapa diantaranya “UU Keluarga
Islam Malaka 1983”, “UU Kelantan 1983”, “UU Negeri Sembilan 1983”,
“UU Wilayah Persekutuan 1984”, “UU Perak 1984 (No.1)”, “UU kedah
1979”, “UU Pulau Pinang 1985”, “UU Trengganu 1985”, “UU Pahang
1987”, “UU Selangor 1989”, “UU johor 1990”, “UU Serawak 1991”, “UU
Perlis 1992”, dan “UU Sabah 1992”.16
Poligami
Berdasarkan hukum perkawinan di Malaysia, dalam poligami ada
tiga hal utama yang akan dibahas, meliputi syarat, alasan dan prosedur
poligami. Di Malaysia sendiri tidak ada penegasan tentang prinsip
perkawinan, berbeda dengan di Indonesia yang secara jelas disebutkan
bahwa prinsip perkawinan adalah monogami. Adapun syarat pertama yang
harus ada sebelum poligami di Negara Malaysia adalah adanya izin tertulis
dari hakim. Hampir di semua UU negara bagian aturan ini tercantum.

14
Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002), h. 62-65.
15
M. Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi
Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih (Jakarta: Ciputat Press,
2003), h. 20.
16
Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU
Modern dari Kitab-kitab Fikih, h. 22.

8
Mendaftarkan poligami yang dilakukan tanpa izin dibolehkan di
Malaysia, asalkan memenuhi syarat harus terlebih dulu membayar denda
atau menjalani hukuman sesuai ketentuan. Aturan ini berlaku di negeri
Serawak dan Kelantan.17
Pencatatan Perkawinan
Terkait masalah pencatatan perkawinan, di Malaysia pencatatan
dilakukan setelah dilangsungkannya akad menikah. Bagi mempelai yang
tinggal di negara bagian masing-masing pencatatan perkawinan boleh
dilakukan setelah prosesi akad. Pencatatan perkawinan untuk orang
Malaysia yang berada di luar negeri dapat melakukan perkawinan di
kedutaan Malaysia di luar negeri. Pencatatan perkawinan bagi orang
Malaysia yang berada di luar negeri dan tidak melakukan pernikahan di
kedutaan Malaysia, untuk kasus seperti ini yang bersangkutan (pria) yang
melakukan perkawinan dalam masa 6 bulan setelah akad nikah, mendaftar
pada petugas yang diangkat oleh kedutaan Malaysia setempat, atau jika
sebelum habis masa enam bulan dan yang bersangkutan kembali ke
Malaysia boleh mendaftarkan pernikahannya ke Malaysia. Ketentuan ini
berdasarkan “UU Serawak pasal 29 ayat 1”, “UU Kelantan” dan “UU
Negara Sembilan”.
Perkawinan Beda Agama
Negara Malaysia tidak mengakui pernikahan beda agama bahkan
melarangnya. “Syeksyen 51 Akta pembaharuan UU (Perkawinan dan
Perceraian) 1976”: “Jika salah satu pihak kepada suatu perkawinan telah
masuk Islam, pihak yang satu tidak masuk Islam boleh untuk perceraian.
Dengan syarat bahwa tiada suatu permohonan dibawah syeksen boleh
diserahkan sebelum tamat tempo tiga bulan dari tarikh masuk Islam itu”.
C. Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam
Pada tahun 1425 M penguasa Brunei mengunjungi Sultan Muhammad
Syah di Malaka, di sana ia memeluk Islam. Sebagaimana Malaysia, tampak
17
Kholis Bidayati, dkk, “Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara Muslim (Studi
Atas Negara Malaysia dan Brunei Darussalam)”, ADHKI: Journal of Islamic Family Law, Volume
3, Nomor 1, Juni 2021, h. 56-57.

9
jelas bahwa Islam akan mudah menyebar jika masuk melalui pintu Istana.
Brunei berada di bawah kekuasaan Inggris selama 100 tahun. Pada tahun 1963
menolak bergabung dengan Malaysia dan berdiri sendiri dari Inggris pada
1983. Brunei memproklamirkan dirinya pada 1 Januari 1984 dengan ibukota
Bandar Seri Begawan. Sehingga Brunei menjadi negara melayu yang
mengamalkan tradisi atau kebudayaan Melayu.18
Konstitusi di Brunei berdasarkan aliran ahlus sunnah wal jamaah dan
bermazhab Syafii. Namun demikian dalam beberapa hukum yang tidak diatur
dalam hukum keluarga resmi, warga Brunei dapat memilih atas beberapa
mazhab selain Syafii. Perkembangan pandangan politik umat Islam di Brunei
sejalan dengan perkembangan pemikiran terhadap nash yang berkaitan dengan
kepemimpinan. Perkembangan Brunei, tampak sejalan dengan penerimaan
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal-Jama’ah yang berimplikasi politik pada
kehidupan umat Islam di Brunei Darussalam.19
Sebelumnya aturan hukum Islam telah di terapkan di Brunei Darussalam
pada masa Sultan Hasan (1605-1619) sebelum colonial Inggris datang.
Bahkan aturan hukum Islam tersebut diberlakukan sebagai Undang-Undang
(qanun) yang disebut dengan Hukum Kanun Brunei.20 Setelah kedatangan
Inggris, sekitar tahun 1847 M, Sultan Brunei melakukan perjanjian dengan
pemerintah Inggris yang mana isi perjanjian tersebut ialah pemerintahan
inggris diberi wewenang untuk menangani kasus pertikaian yang terjadi antara
sesama warga Inggris di Brunei dan antara warga Inggris dengan warga negara
lain. Lalu pada 1888 ditandatangani perjanjian yang intinya Brunei
menyerahkan kuasa penuh kepada hakim Inggris untuk melaksanakan
tugasnya. imbas dari kebijakan tersebut ialah kewenangan hukum qanun
Brunei yang sifatnya Islami menjadi dipersempit. UU tersebut akhirnya
mengatur hanya sebatas masalah perdata dengan lahirnya “Muhammadan’s

18
A. Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam,” Al-Qadau 2 (2015), h.149.
19
Kholis Bidayati, dkk, “Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara Muslim (Studi
Atas Negara Malaysia dan Brunei Darussalam)”, ADHKI: Journal of Islamic Family Law, Volume
3, Nomor 1, Juni 2021, h. 60.
20
Dato Haji Mahmod Sardong Awang Othman, “Mahkamah Syari’ah di Negara Brunei
Darussalam dan Permasalahannya,” Mimbar Hukum, 1995, h. 41-42.

10
Law Enactment” Nomor 1 Tahun 1911 M. UU tersebut secara khusus hanya
mengatur sejumlah persoalan seperti ibadah, pernikahan dan perceraian
muslim.
Pada tahun 1913 dikeluarkan PP tentang pendaftaran perkawinan dan
perceraian yang disebut dengan “Muhammadan’s Marriage and Devorce
Enacment No. 2 Tahun 1913”. UU Majelis Ulama Islam, Adat Negeri dan
Mahkamah Agung kemudian lahir pada tahun 1955 untuk menyatukan semua
UU yang berkaitan dengan hukum Islam. Setelah itu berturut-turut mengalami
amandemen, yaitu mulai tahun 1957, 1960, 1961, dan 1967. Ketika terjadi
Revision Law’s of Brunei pada tahun 1984. Undang-undang ini mengalami
revisi tapi hanya sedikit saja, disamping namanya diubah dengan Undang-
Undang majelis Ulama dan Mahkamah Kadi Penggal 77.21
Pendaftaran Nikah
Terkait pendaftaran nikah di Brunei, yang berhak menjadi pendaftar nikah
cerai, selain qadi besar dan qadi-qadi adalah imam masjid. Aturan ini
merupakan reformasi hukum keluarga di Brunei yang sifatnya regulatory.
Namun perlu diketahui bahwa keberadaan pencatatan nikah ini merupakan
bentuk ijtihad istislahi dalam rangka menjaga kemaslahatan dari lima
kemaslahatan, yaitu hifz nasl dan hifz mal.
Wali Nikah
Dalam hal persetujuan, kedua mempelai harus menyetujui pernikahan
yang dilaksanakan. Selain itu persetujuan wali mempelai putrid harus ada atau
persetujuan kadi yang mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja
atau jika tidak terdapat wali nasab atau wali nasab tidak menyetujia
pernikahan dengan alasan yang tidak masuk akal. Hal ini sesuai dengan
mazhab Syafii yang mengharuskan adanya persetujuan wali. Di Brunei pun
demikian aturan ini berlaku. Namun tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah
persyaratan wali diperuntukkan bagi gadis saja atau juga janda.
Perceraian

21
A. Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam,” Al-Qadau 2 (2015), h. 152.

11
Dalam masalah perceraian ini ketentuan di negara Brunei tergolong
kontroversial. Apabila perempuan diceraikan qabla dukhul, perempuan tadi
tetap berhak untuk dirujuk Kembali oleh suami karena perempuan yang cerai
qabla dukhul tetap memiliki masa Iddah. Demikian tertuang dalam UU di
Brunei. Peraturan ini jelas berbeda dengan kebijakan di negara muslim
lainnya. Ketentuan pasal 140 dalam UU Hukum Keluarga di Brunei ini
melenceng dari ajaran Imam Mazhab dan bahkan melenceng dari alquran.
Namun hal ini perlu tetap dihargai sebagai bentuk keberanian negara Brunei
menetapkan aturan ini. Mungkin saja ada kemaslahatan yang ingin dicapai
dalam peraturan tersebut. Karena aturan hukum ini berdasarkan dengan
hukum adat setempat di Brunei. Masyarakat Brunei menilai bahwa
keperawanan perempuan merupakan hak suami yang telah menikahinya. Hal
ini yang kemudian menyebabkan perempuan sebelum dhukul jika diceraikan
maka tetap menjalani masa idah.22
Rujuk
Sebagaimana konsep rujuk dalam hukum Islam, di UU Brunei rujuk juga
diperbolehkan saat istri sudah ditalak baik talak satu, dua atau tiga dan belum
berakhir masa iddahnya. Pada masa itu suami dan istri haru tinggal Bersama
dengan syarat tidak melewati batas aturan agama lalu jika memutuskan untuk
rujuk, mereka bisa mendaftarkan kembali pernikahannya sebagaimana aturan
pencatatan perkawinan yang ada.
D. Hukum Keluarga Islam di Filipina
Dilihat dari luas wilayahnya, Filipina tidaklah termasuk negara padat
penduduk. Mayoritas penduduknya beragama Katolik yaitu, 85,8% dari
keseluruhan jumlah penduduk. Islam 4%, Protestan 3,1%, Iglesiani Kristo
1,3%, Budhis 0,08%, dan lain-lain 20%. Dr. Hamid dalam bukunya “Islam
Sebagai Kekuatan International”, mencantumkan bahwa Islam di Philipina
merupakan salah satu kelompok minoritas diantara negara-negara yang lain.
Dari statistik demografi pada tahun 1977, Masyarakat Philipina berjumlah 44.
300.000 jiwa. Sedangkan jumlah masyarakat Muslim 2.348.000. jiwa. Dengan

22
A. Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam,” Al-Qadau 2 (2015), h. 156.

12
prosentase 5,3% dengan unsur dominan komunitas Mindanao dan
Mogondinao.23
Sebelum kedatangan Islam, Filipina adalah sebuah wilayah yang dikuasai
oleh kerajaan-kerajaan. Islam dapat masuk dan diterima dengan baik oleh
penduduk setempat setidaknya karena ajaran Islam dapat mengakomodasi
berbagai tradisi yang telah mereka lakukan selama ini. Islam masuk ke
wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada tahun
1380 M. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja
Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di
kepulauan tersebut. Menurut catatan sejarah, Raja Baguinda adalah seorang
pangeran dari Minangkabau (Sumatra Barat). Ia tiba di kepulauan Sulu
sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga
dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga, akhirnya Kabungsuwan
Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao memeluk Islam.
Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis. Dakwah
Islam terus berlangsung sampai tersebar ke hampir keseluruh Filipina
termasuk di kota Manila, hanya saja penyebarannya terhenti ketika orang-
orang Spanyol datang dibawah Agustin de Lagasapi sekitar 1565, maka sejak
itu pula Filipina dijajah sekaligus dijadikan lahan penyebarkan agama Kristen
Katolik. Namun penguasaan penjajah tersebut tidak berhasil menduduki
semua daerah dalam wilayah Filipina, kesultanan Islam di Mindanau dan Sulu
berhasil mempertahankan diri dari serangan Portugis dari arah Selatan.24
Proses Islamisasi di Filipina melalui tiga hal, yaitu perdagangan,
perkawinan dan politik. Diterimanya Islam oleh orang-orang Mindanao, Sulu,
Manilad dan sepanjang pesisir pantai kepulauan Filipina tidak terlepas dari
ajaran Islam yang dibawa oleh para pedagang tersebut dapat mengakomodasi
tradisi lokal.Umat Islam Filipina yang kemudian dikenal dengan bangsa Moro,
pada akhirnya menghadapi berbagai hambatan baik pada masa kolonial
maupun pasca kemerdekaan. Bila direntang ke belakang, perjuangan bangsa
23
Hasaruddin, “Perkembangan Sosial Islam di Filipina”, AL MA' ARIEF: Jurnal Pendidikan
Sosial dan Budaya, Vol 1, No 1, Tahun 2019, h. 33-34.
24
Ibid, h. 36.

13
Moro dapat dibagi menjadi tiga fase: Moro berjuang melawan penguasa
Spanyol selama lebih dari 375 tahun (1521-1898), Moro berusaha bebas dari
kolonialismeAmerika selama 47 tahun (1898-1946), dan Moro melawan
pemerintah Filipina (1970-sekarang).25
Kebangkitan Islam terus digaungkan oleh dua kelompok yang sama-sama
mengatasnamakan umat Islam Filipina. Kelompok pertama berpandangan
radikal, dipegang oleh para anggota Moro National Liberation Front (MNLF)
yang merupakan minoritas di kalangan penduduk muslim. Kelompok kedua
berpandangan moderat, dipegang oleh warga Muslim yang ingin
memprakarsai berbagai perubahan dalam masyarakat yang lebih luas.
Kemerdekaan yang didapatkan Filipina (1946) dari Amerika Serikat
ternyata tidak memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro. Hengkangnya A.S dari
Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina). Namun
patut dicatat, pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru
dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti
MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Namun pada
saat yang sama juga sebagai masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro
menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan.
Kebijakan umum pemerintah Filipina terhadap kaum Muslim pada
dasarnya tidak berubah, hanya berbeda intensitasnya dari satu presiden ke
presiden lainnya. Pemerintah Manila mempunayi empat titik pandang
terhadap kaum Muslim . Pertama, pemerintah masih memegang pandangan
kolonial yaitu “Moro yang baik, adalah Moro yang mati. Kedua, kaum
Muslim adalah warga kelas dua di Filipina. Ketiga, kaum Muslim adalah
penghambat pembangunan. Keempat, masalah Moron adalah masalah
integrasi yaitu bagaimana mengintegrasikan mereka dalam arus utama (main
stream) tubuh politik nasional.
Kebijakan-kebijakan pemerintah ini telah mengundang sejumlah protes
dan perlawanan dari kaum Muslim. Dari sinilah kemudian muncul dan

25
Hasaruddin, “Perkembangan Sosial Islam di Filipina”, AL MA' ARIEF: Jurnal Pendidikan
Sosial dan Budaya, Vol 1, No 1, Tahun 2019, h. 42.

14
terbentuk front-front perlawanan seperti Muslim Independent Movement
(MIM) pada 1968, Anshar el-Islam, dan Moro Liberation Front (MLF) pada
1971. Perkembangan berikutnya memperlihatkan bahwa MLF sebagai induk
perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah. Pertama, Moro National
Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari yang berideologikan
nasionalissekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan
Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam
dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam
perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan.
Pada 30 Agustus 1996 di Istana Merdeka Jakarta ditandatanganinya
perjanjian perdamaian antara Nur Misuari (ketua MNLF) dengan Fidel Ramos
(Presiden Filipina). Namun perjanjian perdamaian antara warga Moro yang
diwakili Nur Misuari dengan pemerintah Filipina dengan mediator Indonesia
pada tahun 1996 itu, gagal total. Pertengahan tahun 2006, kaum Muslim Moro
yang diwakili oleh MILF kembali melakukan perundingan damai dengan
pemerintah Filipina. Namun kesepakatan ini kembali mengalami kegagalan,
karena ribuan pengunjuk rasa, mayoritas warga non-Muslim menentang
penandatanganan itu.
Berita tanggal 18 Oktober 2008 melaporkan bahwa Presiden Filipina,
Gloria Macapagal Arroyo, berikrar tidak akan berhenti melakukan serangan
militer terhadap para gerilyawan Muslim yang menduduki desa-desa dan
menyerang kota-kota di wilayah Mindanao, selatan Negara itu. Ia bahkan
mendesak tentara terus melakukan operasi-operasi terhadap gerilyawan Front
Pembebasan Islam Moro (MILF).
E. Hukum Keluarga Islam di Thailand
Muslim di Thailand adalah kelompok minoritas. Di negara ini Muslim
hanya berjumlah 3,930.0008 orang (5,7%) dari seluruh jumlah penduduk.
Sementara mayoritas penduduknya menganut agama Buddha, yaitu sekitar

15
80%.26 Minoritas Muslim yang hidup di Thailand menghadapi masalah yang
sama dengan bangsa Moro di Filipina. Problem yang dihadapi kaum Muslim
Thailand dan Filipina adalah problem kelompok minoritas yang harus hidup
berdampingan secara damai dengan non-Muslim. Minoritas Muslim di
Muangthai tinggal di empat propinsi bagian selatan: Pattani, Yala, Satun dan
Narathiwat, juga termasuk sebagian dari Propinsi Songkhla. Seluruh Propinsi
ini dulunya termasuk wilayah kesultanan Patani.
Kapan tepatnya kerajaan Patani beralih ke agama Islam, hingga kini belum
diketahui dengan pasti. Namun proses Islamisasi di kalangan penduduknya
secara lebih intensif terjadi pada abad ke-12 hingga ke-15. Syekh Said dari
Kampong Pasai 306 memainkan peranan yang sangat menentukan bagi proses
islamisasi kerajaan Patani yang berikutnya berubah menjadi kesultanan.
Institusi sosial politik kesultanan setidaknya telah berupaya menopang proses
islamisasi dengan cara mempraktekkan Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Namun usaha lebih lanjut untuk mempertajam akar islamisasi masyarakat ini
terhalang oleh instabilitas politik kesultanan, terutama setelah Patani masuk
dalam periode “Ratu-ratu Patani” (976-1101/1568-1688).
Meskipun Kesultanan Patani telah jatuh, namun kebijakan invansi damai
oleh kerajaan Thai sedikit membantu, sehingga tidak membuat kaum Muslim
Patani hanya tinggal sejarah. Namun demikian, di sisi lain, tradisi dan
peradaban Hindu-Budha cenderung menguat setelah kesultanan Patani
mengalami masa kemundurannya hingga institusi politik kesultanan tersebut
benar-benar jatuh ke kekuasaan Thai Budha pada abad ke-18. Sebenarnya,
Muslim Thailand lebih memilih untuk memisahkan diri dari kerajaan
Muangtha atau bergabung dengan Malaysia, meskipun berada di bawah
pemerintahan Inggris, karena dengan begitu mereka dapat hidup bersama
dengan masyarakat yang se-agama, se-bahasa, se-budaya dan se-bangsa. Di
bawah pemerintahan Muangthai yang menganut agama Budha sebagai agama
resmi negara, mereka merasa diperlakukan tidak adil sebagai minoritas.
26
Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life, Mapping the Global Muslim
Population: A Report on the Size and Distribution of the World’s Muslim Population, (Washington
DC, October 2009) , h. 28.

16
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Phibul Songkhram (1938-1944)
dan (1947-1957) misalnya, dikeluarkan kebijakan dan program integrasi
pemerintahan Muangthai yang sangat mengkhawatirkan rakyat Muslim Patani.
Sebagai seorang yang diktator, Phibul Songkhram berusaha men-Siamkan
semua kelompok minoritas non- Budhis di Muangthai. Pada tahun 1940 mulai
diberlakukan dan dipaksakan aturan-aturan kultural tertentu seperti; memakai
pakaian bergaya Barat, mengadopsi nama-nama Thai bila ingin memasuki
sekolah-sekolah pemerintah atau bila ingin melamar pekerjaan di dalam
jajaran pemerintahan. Bahasa Melayu dilarang diajarkan di sekolah-sekolah
negeri atau digunakan dalam percakapan dengan para pejabat pemerintah.
Tujuan pertama gerakan minoritas Muslim adalah membebaskan Melayu-
Muslim Patani dari kekuasaan Muangtahi dan bersatu dengan negara
Malaysia. Tetapi setelah melihat tujuan ini sulit untuk dicapai, maka tujuan
perjuangan mereka diubah, yaitu untuk mendapatkan otonomi di bidang
politik dan kebudayaan dengan harapan dapat menegakkan agama Islam di
dalam masyarakat Melayu-Muslim Patani.
Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan antara pihak Kerajaan Thai
dengan masyarakat Melayu-Muslim tampak membaik. Putera mahkota
kerajaan sering berkunjung ke propinsi-propinsi yang berbatasan dengan
Malaysia itu. Dan yang tak kalah pentingnya bagi Melayu Muslim adalah
bahwa sejak tahun 1990-an mereka mulai mendapat kebebasan dalam
menjalankan syari’at Islam. Namun, keinginan untuk memberlakukan hukum
Islam di wilayah mereka itu tetap terus mereka perjuangkan.27 Hubungan
pemerintah dan Melayu-Muslim yang mulai membaik ini tak dapat dipisahkan
dari semakin segarnya angin demokrasi yang bertiup di negara-negara sedang
berkembang termasuk Thailand. Seperti dikemukakan Abdul Rozak, seorang
tokoh Patani, bahwa perubahan sikap pemerintah Thailand itu agaknya lebih
karena tekanan internasional sehubungan dengan sedang menghangatnya isu
Hak Asasasi Manusia (HAM).

27
Eddy Yuniardi, “Muslim di Thailand Selatan: Bagai Api dalam Sekam”, Amanah, No. 188,
1993, h. 48.

17
Pada bulan Pebruari 2004, Organisasi Konferensi Islam (OKI) minta
pemerintah Thailand untuk mengakhiri tindak kekerasan terhadap warga
Muslim di wilayah selatan Thailand. Prof. Ihsanoglu mengungkapkan rasa
ketidakpuasannya, karena tindak kekerasan terhadap warga Muslim di
Thailand masih terus terjadi meskipun OKI dan dunia internasional sudah
mendesak pemerintah Thailand untuk segera mengakhirinya. Sekjen OKI itu
kembali mengingatkan Thailand pentingnya menegakkan keadilan dan
investigasi atas kasus-kasus kekerasan terhadap warga Muslim.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara historis, pembaruan hukum perkawinan Islam di Indonesia dapat
dibagi dalam tiga periode yaitu: (1) pra penjajajahan; (2) masa penjajahan; dan
(3) masa kemerdekaan (masa Orde Lama, Orde Baru, dan masa reformasi).
Sepanjang sejarahnya, bahwa hukum keluarga di Indonesia telah mengalami
pasang surut seirama dengan pasang surut sampai perjuangan kemerdekaan
negara Republik Indonesia pada zaman penjajahan Barat dahulu. Di
Indonesia, upaya konkret pembaruan hukum keluarga Islam dimulai sekitar
tahun 1960-an yang kemudian berujung lahirnya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Upaya pembaruan hukum keluarga
berikutnya terjadi pada masa Menteri Agama Munawir Syadzali. Upaya ini
ditandai dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tanggal 10 Juni
1991. Dalam rangka pemberlakuan KHI maka keluarlah Intruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama RI untuk menyebarluaskan
KHI.

Munculnya Islam di Malaysia telah bersinggungan dengan politik dan


masyarakat tradisional di negara-negara Melayu tersebut. Persinggungan
agama dan politik secara langsung sekaligus memberikan dampak pada
pemberlakuan Islam sebagai sumber ajaran. Islam lantas menjadi identic
dengan Melayu. Dalam konstitusi Malaysia, sebagaimana tertuang dalam
bagian 1 pasal 3 menyebutkan bahwa “Islam adalah agama federasi”. Namun,
meski demikian Malaysia tidak lantas menolak adanya agama lain yang
dianut. Adapun Undang-Undang perkawinan yang saat ini berlaku di Negara
Malaysia ialah setiap negara bagian memiliki undang-undangnya masing-
masing. Beberapa diantaranya “UU Keluarga Islam Malaka 1983”, “UU
Kelantan 1983”, “UU Negeri Sembilan 1983”, “UU Wilayah Persekutuan

19
1984”, “UU Perak 1984 (No.1)”, “UU kedah 1979”, “UU Pulau Pinang 1985”,
“UU Trengganu 1985”, “UU Pahang 1987”, “UU Selangor 1989”, “UU johor
1990”, “UU Serawak 1991”, “UU Perlis 1992”, dan “UU Sabah 1992”.

Konstitusi di Brunei berdasarkan aliran ahlus sunnah wal jamaah dan


bermazhab Syafii. Perkembangan pandangan politik umat Islam di Brunei
sejalan dengan perkembangan pemikiran terhadap nash yang berkaitan dengan
kepemimpinan. Sebelumnya aturan hukum Islam telah di terapkan di Brunei
Darussalam pada masa Sultan Hasan (1605-1619) sebelum colonial Inggris
datang. Pada tahun 1913 dikeluarkan PP tentang pendaftaran perkawinan dan
perceraian yang disebut dengan “Muhammadan’s Marriage and Devorce
Enacment No. 2 Tahun 1913”.

Dr. Hamid dalam bukunya “Islam Sebagai Kekuatan International”,


mencantumkan bahwa Islam di Philipina merupakan salah satu kelompok
minoritas diantara negara-negara yang lain. Sebelum kedatangan Islam,
Filipina adalah sebuah wilayah yang dikuasai oleh kerajaan-kerajaan. Islam
masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao
pada tahun 1380 M. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai
dirintis. Dakwah Islam terus berlangsung sampai tersebar ke hampir keseluruh
Filipina termasuk di kota Manila, hanya saja penyebarannya terhenti ketika
orang-orang Spanyol datang dibawah Agustin de Lagasapi sekitar 1565, maka
sejak itu pula Filipina dijajah sekaligus dijadikan lahan penyebarkan agama
Kristen Katolik.

Muslim di Thailand adalah kelompok minoritas. Di negara ini Muslim


hanya berjumlah 3,930.0008 orang (5,7%) dari seluruh jumlah penduduk.
Sementara mayoritas penduduknya menganut agama Buddha. Problem yang
dihadapi kaum Muslim Thailand adalah problem kelompok minoritas yang
harus hidup berdampingan secara damai dengan non-Muslim. Sebenarnya,
Muslim Thailand lebih memilih untuk memisahkan diri dari kerajaan
Muangtha atau bergabung dengan Malaysia, meskipun berada di bawah
pemerintahan Inggris, karena dengan begitu mereka dapat hidup bersama

20
dengan masyarakat yang se-agama, se-bahasa, se-budaya dan se-bangsa. Di
bawah pemerintahan Muangthai yang menganut agama Budha sebagai agama
resmi negara, mereka merasa diperlakukan tidak adil sebagai minoritas.

B. Saran
Dalam penyusunan makalah kelompok ini kami memohon maaf dan
menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam menyusun makalah ini serta
kekurangan baik itu referensi dari buku, internet ataupun lainnya, dikarenakan
terhalangnya situasi dan kondisi. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi
teman-teman dan kelompok selanjutnya lebih baik dari kelompok kami.

21
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Abdul Monir Yacob, Pelaksanaan Undang-Undang dalam Mahkamah Syariyah
dan Mahkamah Sipil di Malaysia (Kuala Lumpur: Institut Kefahaman
Malaysia (IKIM), 1995).

Adnan Amal dan Taufiq dkk, Politik Syariat islam dari Indonesia hingga Nigeria
(Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004).
Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,
( Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
Dardiri, Helmiati, dkk., Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: kerjasama
ISAIS dan Alaf Baru, 2006.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan


Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Yogyakarta:
Academia & Tazzafa, 2009).
Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia
(Jakarta: INIS, 2002).

Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976).
John L Esposito, Demokrasi di Negara-negara Muslim (Jakarta: Penerbit Mizan,
1999).
M. Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-
kitab Fikih (Jakarta: Ciputat Press, 2003).
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2005).
Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan
Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih.

22
Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life, Mapping the Global
Muslim Population: A Report on the Size and Distribution of the World’s
Muslim Population, (Washington DC, October 2009).

Jurnal:
A. Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam,” Al-Qadau 2
(2015).
Al Fitri, “Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia Melalui Kompilasi Hukum
Islam”, Jurnal.

Dato Haji Mahmod Sardong Awang Othman, “Mahkamah Syari’ah di Negara


Brunei Darussalam dan Permasalahannya,” Mimbar Hukum, 1995.

Eddy Yuniardi, “Muslim di Thailand Selatan: Bagai Api dalam Sekam”, Amanah,
No. 188, 1993.

Fabian Fadhly, “Pemahaman Keagamaan Islam di Asia Tengggara Abad XIII-


XX”, Jurnal Millah, Vol. 18, No. 1, Agustus 2018.

Hasaruddin, “Perkembangan Sosial Islam di Filipina”, AL MA' ARIEF: Jurnal


Pendidikan Sosial dan Budaya, Vol 1, No 1, Tahun 2019.
Kholis Bidayati, dkk, “Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara
Muslim (Studi Atas Negara Malaysia dan Brunei Darussalam)”, ADHKI:
Journal of Islamic Family Law, Volume 3, Nomor 1, Juni 2021.

23

Anda mungkin juga menyukai